REVIEW - CIVIL WAR

Melalui Civil War yang jadi film termahal produksi A24 sampai saat ini (50 juta dollar), Alex Garland bukan sedang menudingkan jari ke pihak tertentu, melainkan Amerika Serikat secara menyeluruh. Dilukiskannya gambaran kemungkinan masa depan, di saat negara yang terpolarisasi berujung meruntuhkan dirinya sendiri. Tidak ada benar atau salah. Hanya kehancuran dan kematian. 

Alkisah perang sipil tengah pecah di Amerika. Garland tak menjabarkan alasan pastinya, sebab penonton cukup memahami satu hal: kebencian mengakar terlampau kuat di sana. Para loyalis pendukung pemerintahan presiden yang telah menjabat selama tiga periode berhadapan dengan beberapa faksi yang tersebar di berbagai daerah. Lee Smith (Kirsten Dunst), si jurnalis perang ternama, turut meliput peperangan tersebut di garis depan. 

Joel (Wagner Moura) dari Reuters, Sammy (Stephen McKinley Henderson) si jurnalis senior The New York Times, dan Jessie (Cailee Spaeny) yang amat mengidolakan Lee, turut serta dalam liputan berbahaya tersebut. 

Terdapat satu poin menarik, di mana keempat karakternya nampak seperti perwujudan sebuah keluarga (ayah, ibu, anak, kakek) yang tengah melakukan road trip. Seiring waktu ikatan di antara mereka menguat, pun di sepanjang perjalanan, masing-masing memperoleh pelajaran berharga. Bedanya, bukan kehidupan yang mereka saksikan, tapi bau busuk kematian. 

Selama 109 menit, Civil War menempatkan karakternya dalam beragam skenario berbahaya, yang masing-masing mewakili gagasan Garland tentang bagaimana rupa suatu negeri yang dikuasai kebencian. Kita tak pernah mengetahui alasan di balik perang sipilnya, dan bisa saja, orang-orang bersenjata yang karakternya temui pun tidak benar-benar memahami, atau telah melupakan alasan tersebut. Mungkin mereka cuma menikmati kebebasan meluapkan amarah dan kebencian atas nama perang. 

Dari situlah kita memahami keresahan Lee, yang diperankan oleh Kirsten Dunst dengan kematangan dan kekokohan hasil gemblengan realita pahit. Berkali-kali ia lolos dari medan perang untuk menginformasikan horor di garis depan lewat foto-fotonya, tapi mengapa peristiwa serupa senantiasa terulang? Apakah profesinya yang konon penuh jasa itu sungguh berdampak? Apakah umat manusia dengan segala hasrat keji mereka memang sudah tak tertolong lagi?  

Dibantu tata suara mumpuni yang bakal membuat penonton merasa diletakkan di tengah baku tembak sungguhan, Garland menyajikan ketegangan lewat keping-keping peristiwa yang protagonisnya alami. Jadilah film perang yang tak kalah mengerikan dibanding horor. 

Ada kengerian yang bersumber dari implikasi mengenai bakal bagaimana kondisi dunia selepas filmnya usai (imajinasi penonton), ada pula kengerian yang berasal dari paparan lebih gamblang tatkala Garland secara efektif memvisualisasikan kondisi perang sipil tersebut. Menonton Civil War seperti menyaksikan cuplikan hari kiamat dengan atmosfer menghantui yang sukar dihapus dari ingatan. 

Satu hal yang agak disayangkan adalah terkait tendensi Garland untuk menjauh dari sudut pandang para jurnalis, menyoroti pusat peperangan secara lebih dekat, guna menghadirkan spektakel yang lebih besar. Hasilnya lebih seru, lebih epik, namun realisme dan keintiman filmnya justru melemah.

Garland memilih jurnalis sebagai protagonis untuk menekankan netralitas Civil War. Bukan berarti sang sineas kurang tegas bersuara. Sebaliknya, poin tersebut membuktikan kalau Garland tidak naif dengan memandang salah satu pihak politik lebih baik dari yang lain. Perjalanan para jurnalisnya merupakan proses menangkap realita secara apa adanya, dan akhirnya realita tersebut cuma menunjukkan potret kematian.

REVIEW - THE ARCHITECTURE OF LOVE

Di The Architecture of Love yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Ika Natassa, latar luar negeri bukan sekadar destinasi jalan-jalan yang ditangkap keindahannya melalui sudut pandang turis. Setiap sudut kota New York ibarat alat perekam kenangan yang mengabadikan cerita-cerita dua protagonisnya. 

Raia (Putri Marino) adalah novelis sukses yang karyanya telah diadaptasi ke layar lebar. Pada malam pemutaran perdana filmnya, Alam (Arifin Putra), sang suami yang selama ini merupakan inspirasi terbesarnya, ketahuan berselingkuh. Raia hancur, mengalami writer's block, kemudian pergi ke New York, menumpang di apartemen sahabatnya, Erin (Jihane Almira), guna mencari inspirasi. 

Ketakutan menjalin hubungan sejatinya menghantui Raia, namun ia berusaha meredamnya. Sehingga, saat di sebuah pesta perhatiannya tertuju pada arsitek bernama River (Nicholas Saputra), secara aktif Raia berusaha menjalin kedekatan. River juga menyimpan trauma terkait hubungan yang menimbulkan berbagai gejala PTSD. 

Dua protagonis kita ibarat dua sisi koin. Serupa tapi tak sama. Sewaktu Raia coba beranjak dari memori percintaan lamanya, River masih terjebak. Ketika Raia ingin membuka lembaran baru, River beranggapan bahwa cerita baru bakal menghapus kenangan yang lebih berharga. "Sesuatu yang kosong tidak harus diisi", ucapnya. 

The Architecture of Love bukan berniat menuding pihak mana yang lebih baik/buruk, melainkan memaparkan bahwa peristiwa traumatis dapat menghasilkan dampak berbeda di tiap individu. Bahkan, kecuali Alam si tukang selingkuh, tak satu pun karakter layak disebut "jahat". Ada pesaing cinta yang terluka, hingga sosok yang takut mengutarakan perasaan, tapi (nyaris) tiada manusia kejam di sini. 

Dari situlah naskah buatan Alim Sudio memasang pondasi romansanya, menciptakan dinamika manis antara dua manusia yang kesulitan beranjak dari luka. Diiringi musik beraroma jazz gubahan Ricky Lionardi, Raia dan River menghabiskan waktu, bertukar pikiran, pula berbagi lara, dengan berbagai titik kota New York menjadi saksi bisu yang merekam jejak keduanya. 

Di kursi sutradara, Teddy Soeriaatmadja tidak ingin menyajikan opera sabun. Presentasinya amat elegan. Letupan-letupan emosi dijaga supaya tidak terlampau eksplosif tanpa harus kehilangan kekuatannya. Barisan kalimat quotable yang naskahnya "ambil" dari novel Ika pun terdengar lebih indah berkat pendekatan Teddy tersebut. 

Tentunya Teddy juga dibantu oleh performa dua pelakon utamanya. Nicholas Saputra menghadirkan salah satu penampilan paling berwarna sepanjang karirnya, menghidupkan dua wajah River yang ada kalanya tenang nan memesona, tapi tak jarang kehilangan kendali atas emosinya. 

Sedangkan Putri Marino meyakinkan saya kalau dia adalah aktris terbaik yang saat ini dimiliki Indonesia. Caranya mengangkat deretan momen kasual menjadi pertunjukan akting kelas satu sungguh luar biasa. Bagaimana sang aktris meletakkan jeda dalam tuturan verbal, bagaimana tiap reaksi baik dalam bentuk gestur atau ekspresi terlihat begitu kaya, seluruhnya mengagumkan. Seorang aktris hebat dalam sebuah film yang hebat. 

REVIEW - CHALLENGERS

Melalui Challengers, Luca Guadagnino (Call Me by Your Name, Suspiria) mengubah materi yang biasanya identik dengan opera sabun murahan menjadi observasi tentang dorongan hasrat manusia, yang tampil cerdas, intens, indah, dan di luar dugaan, amat sangat seksi. 

Art Donaldson (Mike Faist) dan Patrick Zweig (Josh O'Connor) bukan cuma sahabat sejak kecil, pula pasangan ganda tenis yang berprestasi. Keduanya pun tertarik pada orang yang sama, yakni Tashi Duncan (Zendaya), yang digadang-gadang sebagai calon bintang tenis masa depan. Sebelum pertandingan final yang mempertemukan Art dengan Patrick, Tashi berjanji bakal memberi nomornya pada siapa pun yang keluar sebagai pemenang. 

Cinta segitiga penuh pengkhianatan membentang selama belasan tahun hingga meruntuhkan persahabatan dua laki-laki. Ide dasar Challengers memang "sangat opera sabun". Tapi di sinilah kita melihat bagaimana seniman hebat dapat menyuntikkan warna mereka guna mengubah gagasan usang menjadi karya yang terasa segar. 

Agar penceritaannya lebih berbumbu, Justin Kuritzkes selaku penulis naskah memakai teknik non-linear, di mana tiap pengkhianatan adalah twist menusuk, dan isi hati manusia merupakan misteri yang lebih dalam dari samudera. Challengers menggiring penontonnya mempertanyakan apa yang masing-masing karakternya pikirkan, rasakan, serta sembunyikan di balik segala keputusan mereka. 

Satu hal yang jadi motor penggerak trio Tashi-Art-Patrick: hasrat. Apa yang kita saksikan selama kurang lebih 131 menit tidak lain adalah dinamika tiga manusia, yang sadar atau tidak, selalu mencari dorongan hasrat, mendambakan pacuan adrenalin, guna menjaga nyala api kehidupan mereka. Zendaya, Mike Faist, dan Josh O'Connor saling terkoneksi kuat, memendam geliat hasrat, kemudian meledakkannya di setiap kesempatan yang didapat. 

Kata "hasrat" adalah kunci. Di tangan Kuritzkes dan Guadagnino, "hasrat" yang sejatinya adalah dorongan bersifat universal dibawa ke pendefinisian yang kental sensualitas. Tapi siapa sangka lapangan tenis adalah panggung sempurna bagi pertukaran hasrat tersebut? 

Sebagaimana diucapkan Tashi, "Tenis adalah sebuah hubungan". Di Challengers, sewaktu dua individu mengayunkan raket dalam satu lapangan, saling memukul bola ke arah masing-masing seolah tengah mengomunikasikan perasaan sembari berpeluh berdua, saat itulah tercipta ikatan intens yang tak memerlukan bahasa verbal untuk saling memahami dan merasakan. 

Dibarengi beragam pilihan shot indah nan kreatif dari kamera sang sinematografer, Sayombhu Mukdeeprom, pula musik elektronik gubahan Trent Reznor dan Atticus Ross yang menghipnotis, Guadagnino menuangkan kenakalannya. Semua interaksi karakter tak pernah lepas dari aroma sensualitas yang menyengat sekaligus menegangkan, di mana setiap gestur maupun celotehan tersusun atas sexual innuendo. Begitu tiba di konklusi yang begitu nakal sekaligus playful, sulit rasanya menahan hasrat untuk melepaskan tawa penuh kekaguman. Brilian! 

REVIEW - GLENN FREDLY: THE MOVIE

Kita semua mengenal figur Glenn Fredly sebagai salah satu musisi terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Empat tahun setelah ia meninggal, barisan lagu-lagunya pun masih melekat di telinga dan hati banyak orang. Tapi seberapa banyak yang mengenal aktivisme seorang Glenn Fredly? Poin itulah yang dipakai oleh Glenn Fredly: The Movie untuk membangun urgensi. 

Naskah buatan Raditya (Mantra Surugana) pun memilih agak menjauh dari pakem biopic tradisional, dengan tidak berusaha merangkum kisah hidup lengkap sang tokoh sedari kecil hingga akhir hayat. Pertama kita bertemu dengan Glenn Fredly (Marthini Lio), ia sudah berstatus penyanyi terkenal yang merilis dua album, pula terlibat romansa high profile bersama Nola AB Three (Alyssa Abidin). 

Popularitas Glenn memang merupakan poin penting narasinya. Glenn merasa, karena bakat tarik suara ditambah ketenaran miliknya, ia wajib berbuat lebih bagi masyarakat Ambon yang pada masa itu tengah terjebak beragam konflik. Di suatu kesempatan, ketika sedang bernyanyi untuk menghibur jemaah gereja, Glenn menyaksikan penggemarnya tewas di depan mata. Wajar jika kelak ia merasa beban menciptakan perdamaian terletak di pundaknya.  

Ketidakmulusan bercerita jadi batu sandungan dalam paruh pertama Glenn Fredly: The Movie, yang kerap bergerak secara kasar, melompat kurang mulus dari satu titik narasi ke titik berikutnya. Kelemahan ini untungnya mampu ditutupi oleh perspektif unik filmnya dalam memotret sosok Glenn Fredly. 

Kita bukan disuguhi proses Glenn tersadar untuk menumbuhkan kepedulian terhadap sesama. Sebaliknya, sejak awal kesadaran itu sudah tumbuh. Kesadaran itulah yang menyiksa Glenn, menjadikannya "tortured artist" yang terbebani oleh kebesaran dan bakatnya sendiri. Pernikahan pertamanya dengan Dewi Sandra (Sonia Alyssa) pun kandas karenanya. Glenn begitu terobsesi menjadikan hubungannya dengan Dewi sebagai simbol keberhasilan pernikahan beda agama di Indonesia, hingga melupakan hal-hal seperti cinta serta kebahagiaan. Glenn Fredly memang bukan manusia sempurna. 

Marthino Lio mampu menangani kompleksitas batin tersebut, sembari memainkan warna suaranya supaya terdengar semirip mungkin dengan Glenn Fredly. Hasilnya memuaskan. Aktingnya tak pernah jatuh ke ranah parodi, dan tidak kalah penting, tercipta sinkronisasi antara suara Glenn saat sedang bicara yang dibawakan Marthino Lio, dengan suara ketika sedang bernyanyi yang diisi oleh Eldhy Victor. 

Tentunya turut dibantu oleh penataan suara yang solid, saya pun dibuat percaya bahwa segala suara tersebut berasal dari satu orang. Tatkala adegan bernyanyi terlihat meyakinkan, semakin mudah bagi penonton untuk menikmati barisan nomor-nomor legendaris milik Glenn Fredly. 

Di luar perjalanan karir Glenn dan perjuangannya selaku aktivis, konflik keluarga yang melibatkan perpecahan sang penyanyi dengan ayahnya (Bucek Depp) turut disoroti. Konflik ayah-anak inilah yang nantinya berjasa merangkum pesan utama filmnya secara menyentuh. Apa pun masalahnya, semua adalah soal memutus rantai kebencian. Pesan itu pula yang senantiasa didengungkan oleh Glenn Fredly semasa hidupnya. Perjalanan hidupnya mungkin telah usai, namun kisahnya terus abadi dan tak berakhir di Januari.   

REVIEW - THE ROUNDUP: PUNISHMENT

Kalau di tiga film pertama (The Outlaws, The Roundup, The Roundup: No Way Out) punggung kekar Ma Seok-do (Ma Dong-seok) yang berjalan membelakangi kamera lebih dulu nampak, di The Roundup: Punishment kita langsung melihat wajahnya. Hanya itu perbedaan signifikan yang franchise ini bersedia tawarkan. Tapi siapa peduli? Seisi studio bertepuk tangan ketika tinju si jagoan menghantam wajah penjahat, sedangkan tawa pecah saat sesosok wajah familiar menampakkan batang hidungnya. 

Seri The Roundup sudah membentuk formulanya sendiri. Setiap repetisi bukan wujud miskinnya kreativitas, namun pengulangan yang telah penonton hafal serta nantikan kehadirannya. Sewaktu posisi sutradara dan penulis naskah kembali berpindah tangan (kali ini masing-masing diisi oleh Heo Myung-haeng dan Oh Sang-ho), pola itu pun tak mengalami modifikasi. 

Sekarang giliran praktik judi daring yang coba diberantas oleh Ma Seok-do bersama timnya. Baek Chang-ki (Kim Mu-yeol) menjalankan bisnis tersebut di Filipina, sementara Jang Dong-cheol (Lee Dong-hwi) si jenius di bidang TI mengontrol segalanya dari Korea. Han Ji-soo (Lee Joo-bin) dari tim siber dikirim untuk membantu Ma Seok-do yang gaptek, tapi tentu saja bogem sang detektif tetap jadi palu keadilan terkuat. 

Alur Punishment bergerak dengan hanya membawa satu tujuan: supaya Ma Seok-do bisa memukuli lebih banyak orang. Kesederhanaan itulah pesona utama serinya. Pengembangan cerita ke arah berbeda, juga ide-ide aksi yang lebih segar tentu diperlukan bila ingin terus menjalankan franchise-nya, namun untuk saat ini, detik ini, formula familiar inilah yang membuat The Roundup digandrungi. 

Apabila No Way Out memantik sedikit kekhawatiran kalau formula itu akan segera usang, Punishment berhasil membuktikan sebaliknya. Selama tiap lini mampu dimaksimalkan, ketiadaan pembaruan bukanlah sesuatu yang berbahaya, setidaknya untuk sementara. 

Di luar kewajiban berupa baku hantam brutal dengan polesan efek suara yang membuat tinju Ma Seok-do terasa bak ledakan bom, Punishment akhirnya mengatasi masalah terkait antagonis. Monster seperti apa yang dapat mengimbangi Ma Seok-do? Rupanya bukan monster, melainkan manusia biasa berperawakan ramping bernama Baek Chang-ki, yang terasa intimidatif berkat akting Kim Mu-yeol ditambah keahlian karakternya memainkan pisau. 

Sayatan demi sayatan dari Chang-ki menambah kebrutalan gelaran aksinya, sementara di sisi berlawanan, Park Ji-hwan sebagai Jang Yi-soo memimpin presentasi komedi filmnya yang efektif memancing tawa. Itulah kunci kesuksesan The Roundup: Punishment sebagai sebuah blockbuster: keseimbangan. 

REVIEW - THE FALL GUY

"Aku akan membakar tubuhku untukmu, melompat ke mobil yang melaju kencang untukmu, menghadapi ledakan bom untukmu". 

Stuntperson sungguh profesi yang romantis. Sempat jadi salah satu yang terbaik di bidang tersebut sebelum beralih peran sebagai sutradara, David Leitch (John Wick, Atomic Blonde, Deadpool 2, Bullet Train) pun merasa perlu meromantisasi romantisme tersebut, dengan cara mengadaptasi serial televisi The Fall Guy (1981-1986) ke layar lebar. 

Colt Seavers (Ryan Gosling) dianggap sebagai stuntman nomor satu lewat gayanya yang keren dan tanpa takut. Dia sesuai melakoni posisi pemeran pengganti Tom Ryder (Aaron Taylor-Johnson), bintang laga sombong yang tengah naik daun. Jody Moreno (Emily Blunt) adalah operator kamera yang juga kekasih Colt. Kisah cinta keduanya mewakili perjalanan banyak pasangan yang berbagi impian bersama. 

Gosling selalu memukau dalam peran-peran semacam ini. Peran yang di satu titik mengeksploitasi citra "pria keren" miliknya, lalu memarodikannya di kesempatan lain. Sementara antusiasme Blunt yang membara kala menghantarkan baris demi baris kalimat, menghadirkan perkawinan sempurna dengan sisi dingin sang aktor.

Sayangnya tidak ada hal (baik) yang abadi. Sebuah kecelakaan di lokasi seketika menamatkan karir Colt. Selama 18 bulan ia mengasingkan diri, sampai mendadak datang panggilan pekerjaan baru yang berasal dari Jody. Bukan Jody si operator kamera, karena ia kini tengah bersiap menjalani debut sebagai sutradara. 

Colt rela melakukan segalanya demi mendapatkan hati Jody kembali. Puluhan kali terkena ledakan yang membuatnya terlempar, sampai mengendarai mobil yang berguling selama 8 setengah kali dan memecahkan rekor dunia, semua bersedia ia jalani untuk Jody. Bahkan demi membantu sang mantan menyelesaikan film impiannya, Colt tidak pikir panjang mengorbankan nyawa hingga terseret kasus pembunuhan.

Begitulah cara Leitch, dibantu Drew Pearce selaku penulis naskah, memberi lampu sorot yang layak kepada para pelaku stunt. Tidak hanya manusia, pula anjing dalam sosok Jean-Claude yang menjadi partner Colt di beberapa sekuen aksi. 

Persembahan terbesar yang The Fall Guy berikan tentu berupa deretan adegan aksi, yang sejenak mengesampingkan CGI (dipakai secukupnya) guna mengeksplorasi beragam bentuk dan prinsip dunia stunt itu sendiri. Klimaksnya adalah glorifikasi yang luar biasa untuk profesi tersebut, menggambarkan mereka bukan lagi sebagai pengganti yang terlupakan, melainkan jagoan tangguh yang kebintangannya patut dirayakan.  

Naskahnya memang masih memerlukan polesan di sana-sini, terutama terkait sentuhan humor yang kurang tajam dan butuh tambahan kreativitas. Kekurangan itu acap kali membuat The Fall Guy tampil bak hewan buas yang lehernya terbelenggu rantai. Tapi bukan berarti ia tidak bisa menggigit. 

REVIEW - DUA HATI BIRU

Sewaktu berumur sekitar 4-5 tahun, saya dan teman-teman di kampung pernah menghanyutkan kulit jantung pisang di sungai kecil, berimajinasi seolah itu sebuah perahu yang membawa sebagian jiwa kami bertualang ke samudera luas. Di Dua Hati Biru, Adam (Farrell Rafisqy), putera Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Aisha Nurra Datau), juga melakukan hal serupa. Tidak dengan jantung pisang tentunya, melainkan perahu kertas cantik berwarna biru. 

Mungkin Adam juga punya imajinasi yang mirip, membayangkan perahu itu membawa segenggam hati miliknya, pula kedua orang tuanya, berlalu menuju masa depan yang penuh misteri. Bagi bocah seusia Adam, angan-angan perihal masa depan itu adalah sesuatu yang berharga. 

Sebaliknya, bagi Bima dan Dara tidak ada waktu untuk memimpikan masa depan, yang eksistensinya di hidup mereka bak bunga tidur yang telah layu dihantam kenyataan. Setelah empat tahun menjadi ayah tunggal, merawat Adam dibantu kedua orang tuanya (Arswendy Bening Swara & Cut Mini Theo) serta ibu Dara (Lulu Tobing), akhirnya Bima bertemu istrinya lagi. Dara telah menyelesaikan studinya di Korea Selatan. 

Harapan bahwa segalanya bakal lebih mudah saat dijalani bersama segera sirna, tatkala bersatunya Bima dan Dara malah menimbulkan banyak permasalahan, saat Gina S. Noer selaku penulis naskah (turut menyutradarai bersama Dinna Jasanti), seperti pelukis yang menolak adanya ruang kosong di atas kanvas, memenuhi tiap sudut kisahnya dengan konflik. 

Gina menyimpan keresahan menumpuk, yang semuanya enggan ia "buang" dari penceritaan, sehingga coba dipadatkan menjadi kisah 106 menit lewat penyuntingan bertempo cepat. Ada kalanya gaya frantic tersebut berujung mewakili liarnya guliran nasib yang mesti dua protagonisnya hadapi, namun kesan berantakan tidak jarang pula muncul karenanya. 

Sejatinya tidak ada yang belum pernah kita lihat dan dengar di film ini. Gesekan perspektif pasangan mengenai pola asuh, peran gender dalam hubungan, hingga campur tangan orang tua di rumah tangga anak mereka, tentu merupakan hal-hal yang familiar. Tiada yang baru, karena demikianlah wajah kehidupan.

Wajah itu pula yang dipamerkan jajaran pemainnya. Angga Yunanda yang bergulat dengan kerapuhan maskulinitasnya; Aisha Nurra Datau yang membawa Dara menuju pendewasaan yang sekuel ini perlukan; Keanu sebagai Iqi, sahabat Bima, yang mulutnya bak senapan mesin dengan amunisi tanpa batas; serta trio senior, Cut Mini, Arswendy Bening Swara, dan Lulu Tobing yang melahirkan momen emosional masing-masing. Jangan lupakan Farrell Rafisqy. Sungguh hebat talenta bocah satu ini dalam melakoni berbagai adegan sulit secara natural.

Jika Dua Garis Biru punya "pertengkaran long take" yang ikonik, maka momen terbaik di Dua Hati Biru jauh lebih intim dari segi skala. Momen tersebut menampilkan debat kusir antara Bima dan Dara, yang terjadi sedemikian sering sepanjang durasi. Tapi kali ini penonton tidak diperlihatkan pusat keributan. Kita justru dipertontonkan reaksi Adam yang nampak tertekan. Sebuah proses observasi memilukan tentang bagaimana prahara rumah tangga bakal lebih dulu memberi dampak kepada anak. 

Adegan di atas jadi bukti sensitivitas penyutradaraan duo Dinna-Gina, walau bantuan departemen lain tak boleh dilupakan, sebutlah sinematografi kaya rasa garapan Mawan Kelana, hingga musik karya Tofan Iskandar dan Hariopati Rinanto yang sarat kreativitas (terutama kala menjadikan suara bocah sebagai isian vokal).

Apakah keluarga Bima dan Dara bakal berlayar sejauh perahu yang menantang lautan, atau setinggi balon yang mengangkasa? Mungkin kelak mereka bakal karam, atau jatuh ke tanah dan merasakan sakit yang teramat sangat. Tapi setidaknya, memiliki satu sama lain membuat dua hati yang membiru takkan pernah menjadi kelabu.

REVIEW - BADARAWUHI DI DESA PENARI

Masih jelas di ingatan bagaimana adegan mandi milik KKN di Desa Penari (2022) lebih menghasilkan tawa daripada teror. Badarawuhi di Desa Penari memiliki adegan yang mirip, hanya saja dengan peningkatan kualitas. Beragam peningkatan serupa dapat ditemukan di adegan-adegan lain sepanjang durasi, yang membuat prekuel ini tampil bak remake yang mengusung satu tujuan: memperbaiki kekurangan film orisinalnya.

Penunjukan Kimo Stamboel yang telah beberapa kali mengobati franchise pesakitan menjadi sutradara, ditambah "gelar" sebagai film Asia Tenggara pertama yang menyandang status "filmed for IMAX" (sesuatu yang tidak bisa saya komentari karena cuma menontonnya di format reguler), rasanya sudah cukup membuktikan besarnya ambisi yang melandasi film ini.

Tapi jangan mengharapkan adanya eksplorasi terhadap asal-usul Badarawuhi (Aulia Sarah) meski namanya terpampang di judul. Sekali lagi, ia lebih seperti remake dengan alur yang tidak jauh berbeda. Kali ini ada empat anak muda yang mengunjungi Desa Penari: Mila (Maudy Effrosina), Yuda (Jourdy Pranata), Arya (Ardit Erwandha), dan Jito (M. Iqbal Sulaiman). 

Mereka bukan datang untuk kegiatan KKN. Mengambil latar 80-an, kali ini ada motivasi personal yang dibawa, terutama oleh Mila. Dibantu Ratih (Claresta Taufan Kusumarina) si warga lokal, Mila ingin menyibak rahasia dari masa lalu yang membawanya bersinggungan dengan sosok Badarawuhi. 

Alurnya memunculkan ilusi bernama "penceritaan yang lebih baik". Saya sebut "ilusi" karena sesungguhnya naskah buatan Lele Laila terasa mengalami peningkatan semata-mata karena satu hal, yakni tidak adanya barisan penampakan acak, yang di film pertama kerap dipaksa masuk seolah hanya untuk memenuhi obligasi "horor lokal wajib punya banyak jumpscare". 

Gampangnya begini: ambil naskah KKN di Desa Penari, modifikasi latar waktunya, tukar letak beberapa peristiwa, hapus jumpscare, maka jadilah film ini. Ibarat rumah lawas yang dibersihkan, dicat ulang, diubah susunan perabotnya, namun dengan pondasi yang masih sama rapuhnya. 

Kerapuhan tersebut makin berdampak saat seiring waktu, walau minimnya penampakan mengurangi kesan "annoying", filmnya terasa makin membosankan. Hampa. Tanpa cerita menggigit, tanpa misteri yang memancing rasa penasaran karena tanda tanya yang harus dijawab praktis telah tersingkap. Itulah kelemahan dari pilihan narasi yang memposisikan penonton sebagai pihak serba tahu. Sewaktu karakternya masih kebingungan dalam investigasi mereka, pemahaman kita selaku penonton sudah jauh meninggalkan mereka. 

Di situlah kualitas akting berjasa menjaga kestabilan. Maudy Effrosina terbukti ada di jajaran terdepan dalam barisan scream queen Indonesia; Aulia Sarah semakin lihai memadukan sisi mistis dan sensual Badarawuhi meski kini tak dibebani adegan berbau seksual; Claresta Taufan Kusumarina terus mencuri perhatian sejak Ronggeng Kematian beberapa minggu lalu; sedangkan kombinasi Aming dan Diding Boneng memberi dimensi lebih pada karakter Mbah Buyut, yang bukan lagi sebatas figur dukun biasa, namun menyimpan kepedulian pada warga desa. 

Terkait penyutradaraan, Kimo boleh saja kurang piawai membangun atmosfer sehingga tempo lambatnya tidak pernah benar-benar mencekam, tapi eksplorasi teknisnya adalah faktor yang mengangkat kelas Badarwuhi dibanding pendahulunya. Ambisi melahirkan horor blockbuster pun tercapai lewat pilihan shot megah serta beberapa transisi yang menegaskan keunggulan teknis filmnya. 

Tapi di babak ketiga barulah Kimo menunjukkan kelasnya. Seolah ingin menelurkan Suspiria versi Indonesia, diolahnya tari-tarian selaku amunisi penebar kengerian yang turut memperhatikan pencapaian estetika. Hadirlah sebuah kejanggalan mistisisme yang indah. Badarawuhi di Desa Penari mungkin tidak memberi eksplorasi memadai bagi sosok Badarawuhi, tapi setidaknya ini memang horor mengenai para penari. 

REVIEW - SIKSA KUBUR

"Anda akan percaya". Begitulah kalimat yang dipakai untuk memasarkan karya teranyar Joko Anwar ini, yang merujuk pada diskusi soal eksistensi siksa kubur. Beberapa meyakini keberadaannya, tidak sedikit pula yang sanksi. Apakah benar filmnya sekuat itu sampai bisa menggiring penonton memercayai paham tertentu? 

Pastinya protagonis kita tidak percaya. Sita (Faradina Mufti) namanya. Seorang perawat panti jompo. Kakak Sita, Adil (Reza Rahadian), bekerja sebagai pemandi jenazah. Semasa kecil (versi muda masing-masing karakter diperankan oleh Widuri Puteri dan Muzakki Ramdhan dengan kualitas yang tak kalah dibanding senior-senior mereka) keduanya menyaksikan kematian tragis orang tua mereka (Fachri Albar dan Happy Salma) yang jadi korban bom bunuh diri atas nama agama. 

Si pelaku terdorong melakukan aksinya karena sebuah rekaman yang konon berisi teriakan orang-orang yang mendapat siksa di alam kubur. Saya pun teringat pada rekaman serupa yang ramai beredar sekitar 15-20 tahun lalu. Sebagaimana komik Siksa Neraka karya MB. Rahimsyah, rekaman tersebut sempat memancing ketakutan kolektif di hati beberapa anak. 

Saya sendiri, seiring pertambahan usia meyakini bahwa rekaman itu hanya rekayasa. Tapi Sita memberi respon berbeda. Amarah atas kematian orang tua membawanya pada satu misi, yakni membuktikan kalau siksa kubur tidaklah ada, dengan cara masuk ke kuburan seorang pendosa kejam, kemudian merekam kondisi di dalamnya. 

Joko bisa saja menempuh jalan mudah. Buat Sita melihat siksaan brutal di alam kubur, beri dia pelajaran atas skeptismenya terhadap agama. Tujuan berceramah terpenuhi, demikian pula kesukaan penonton atas tontonan sarat gore. Tapi "jalan mudah" berbanding terbalik dengan karakteristik yang selalu dimiliki karya-karya sang sineas, yaitu "ambisius". 

Siksa Kubur merupakan film Joko paling ambisius sejak Pintu Terlarang (2009). Dua jamnya dipenuhi barter antar karakternya mengenai agama serta siksa kubur. Penonton yang mencari horor konvensional mungkin bakal dibuat kewalahan oleh obrolan demi obrolan tersebut, pula tempo penuturannya yang cenderung lambat. 

Celetukan mengenai "buaya berkumis lele" di adegan pembukanya memunculkan kerinduan akan obrolan kasual kreatif nan menggelitik yang bagi saya merupakan keunggulan utama dalam penulisan Joko selama ini, namun obrolan filosofis Siksa Kubur memang efektif mewakili berbagai pertanyaan dan keresahan banyak pihak mengenai topik siksa kubur. 

Salah satunya tatkala Wahyu (Slamet Rahardjo), salah satu penghuni panti jompo tempat Sita bekerja, mempertanyakan mengenai bentuk siksaan yang akan diterima. "Bagaimana dengan para masokhis yang menikmati rasa sakit?", ucapnya. Pertanyaan Wahyu sungguh menantang logika, dan berangkat dari situ, Joko turut menantang formula horor religi Indonesia.

Daripada petuah ahli agama, Siksa Kubur lebih seperti proses spiritual manusia biasa. Joko tidak menempatkan diri di atas penonton. Karena seperti kita, ia pun hanya manusia dengan segudang pertanyaan dan keresahan, yang ia tuangkan melalui medium horor psikologis ala Jacob's Ladder (1990) guna menyoroti sisi gelap individu.

Joko mengajak penontonnya mengingat betapa manusia berbeda-beda. Ketakutan kita berbeda, trauma kita pun berbeda. Setelah memahami konsep tersebut, niscaya anda takkan menganggap film ini begitu pelit menampilkan peristiwa yang ia pakai sebagai judul. Hanya saja, Joko membawa definisi yang berbeda, kreatif, sekaligus humanis bagi istilah "siksa kubur". 

Bukan berarti filmnya tak menyisakan keluhan. Joko kerap tenggelam dalam ambisinya menahan diri untuk tidak menginjak pedal gas sebelum babak akhir, yang acap kali mengurangi kemampuan meneror sebuah adegan. Terutama terkait jumpscare, yang di dua pertiga awal durasi tampil kurang menggigit akibat keengganan berlebihannya untuk tidak membalut diri dengan efek suara menggelegar. 

Seiring waktu, begitu Joko mulai melepaskan diri dari tali kekangnya sendiri, Siksa Kubur semakin menggila. Sebuah adegan yang mempertemukan Christine Hakim dengan mesin cuci bakal jadi salah satu momen paling ikonik dalam horor Indonesia. Tapi tidak ada yang bisa menandingi kengerian milik klimaksnya. 

Diiringi musik score gubahan Aghi Narottama yang mampu mencekik lewat kebolehannya membangun atmosfer, Joko tidak sekadar mengumbar kesadisan, namun benar-benar menebar ketakutan. Rasanya "immersive" merupakan definisi yang paling pas. Daripada kebrutalan yang tengah terjadi, kamera malah lebih banyak menangkap ekspresi karakternya, selaku cara menempatkan penonton di ruang emosi yang sama. 

Tentu pendekatan tersebut memerlukan akting mumpuni dari jajaran pemain. Tidak hanya Faradina Mufti lewat totalitas olah rasa miliknya dan Reza Rahadian dengan kemampuan menghidupkan trauma menusuk hati, tapi seluruh ensemble cast-nya diberi kesempatan bersinar. Tidak berlebihan menyebut Siksa Kubur sebagai salah satu film lokal yang paling berhasil memaksimalkan ensemble cast bertabur bintang. 

Kembali pada pertanyaan awal, apakah Siksa Kubur bisa membuat penontonnya "percaya"? Entahlah kalau terkait siksa kubur itu sendiri. Tapi Joko Anwar jelas membuat saya percaya bahwa formula usang horor religi Indonesia masih sangat bisa dieksplorasi, dan tentunya ditingkatkan kelasnya sebagaimana berhasil ia lakukan di sini. 

REVIEW - THE FIRST OMEN

"Mereka menginginkan anak laki-laki", ucap karakter The First Omen saat menjelaskan modus operandi orang-orang yang hendak membangkitkan antichrist. Mengingat status film ini sebagai prekuel The Omen (1976), mudah berasumsi bahwa kalimat di atas sebatas referensi terkait Damien Thorn. 

Tapi ternyata para pembuatnya punya gagasan lain, dengan memakai pernyataan tersebut untuk membuka rute baru bagi franchise-nya. Sebuah kisah mengenai perempuan, yang oleh masyarakat dianggap cuma berfungsi sebagai tempat mengandung. Sekadar batu loncatan yang memuluskan jalan laki-laki menuju kekuasaan. 

Persoalan tersebut baru nampak begitu kisahnya tuntas. Sedangkan selama hampir dua jam sebelumnya, The First Omen enggan terdistraksi oleh pesan-pesan maupun komentar sosial. Filmnya cuma mengusung satu misi, yakni melahirkan horor penuh rasa tidak nyaman, dan ia berhasil.

Margaret (Nell Tiger Free) adalah gadis Amerika yang dikirim ke Roma untuk memulai pengabdian kepada gereja dengan bekerja di suatu panti asuhan. Tidak butuh waktu lama bagi Margaret untuk merasa terganggu oleh cara para suster mendisiplinkan anak-anak di sana, terutama Carlita (Nicole Sorace) yang dianggap biang masalah sehingga kerap dikurung di kamar sempit. 

Lalu terjadilah pertemuan dengan pendeta bernama Brennan (Ralph Ineson), yang mewanti-wanti Margaret soal konspirasi gereja radikal untuk membangkitkan antichrist. Tujuannya adalah menebar ketakutan di jiwa orang-orang, yang di masa itu (filmnya berlatar tahun 70-an) dirasa tak lagi memercayai agama, dengan harapan mereka bakal kembali ke gereja. 

Biarpun tersirat, perspektif yang dibawa naskah buatan sang sutradara, Arkasha Stevenson, bersama Tim Smith dan Keith Thomas, tidak sukar untuk dibaca: agama tidak seharusnya bersikap anti terhadap gerakan-gerakan progresif hingga membungkam kebebasan bicara, dan tentunya, bukan menjual ketakutan semata. Jika terjadi hal-hal demikian, maka radikalisme telah mengakar kuat. 

Terkait bagaimana pesannya dibungkus, Stevenson kentara banyak terpengaruh oleh karya-karya sineas Eropa. The First Omen memang cenderung menjauh dari formula horor arus utama Hollywood. Filmnya bukan pertarungan generik antara hitam melawan putih. Ketimbang pertunjukan soal upaya kebaikan menghapus kebatilan, rasanya seperti tengah menyaksikan proses yang mustahil dihindari tatkala keburukan menelan kebaikan hingga nyaris tak bersisa. 

Alhasil muncul perasaan tidak nyaman yang senantiasa mencengkeram. Teknik pewarnaan serta pilihan tata kamera ala horor lawas (minus tata suara yang tidak lagi mono), keberhasilan Mark Korven menggarap ulang musik gubahan Jerry Goldsmith termasuk nomor legendaris Ave Satani, sampai deretan kematiannya berjasa menguatkan ketidaknyamanan tersebut. 

Cara sang sutradara mencabut nyawa karakter (yang masing-masing merupakan tribute terhadap deretan kematian di film orisinal) bukan sekadar fokus pada "seberapa sadis". Bukan pula pada daya kejut. Sebaliknya, penonton diberi waktu untuk menyadari bahwa seorang karakter bakal tewas. Antisipasi itulah yang memancing perasaan tak nyaman. Perasaan saat kita tahu hal buruk akan segera menghampiri, tanpa tahu kapan pastinya, serta bagaimana hal itu datang. 

Seperti telah disinggung sebelumnya, The First Omen banyak terinspirasi oleh horor Eropa. Salah satunya adalah Possession (1981). Film ini memberi penghormatan untuk karya Andrzej Żuławski tersebut, khususnya dalam sebuah adegan yang memberi kesempatan pada Nell Tiger Free memamerkan totalitas aktingnya yang bagaikan tengah kerasukan Isabelle Adjani. Dialah mesin penggerak dalam upaya The First Omen membangun wajah baru yang lebih relevan untuk franchise-nya.