THIRD STAR (2010)

2 komentar
Melihat setting tempatnya, mungkin Third Star tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah road movie. Namun berbagai unsur yang terkandung dalam sebuah road movie jelas terasa dalam debut penyutradaraan Hattie Dalton ini. Ada kisah perjalanan empat orang sahabat yang dalam perjalanan tersebut perlahan mulai menemukan banyak hal bermakna dalam hidup mereka. Third Star mempunyai karakter utama bernama James (Benedict Cumberbatch) yang tengah merayakan ulang tahunnya yang ke 29. Namun saat itu ia dan kerabat-kerabatnya sadar bahwa itu adalah ulang tahun terakhir James yang memang sudah terkena penyakit kanker yang parah dan divonis akan meninggal tidak lama lagi. Untuk itu James meminta untuk ditemani pergi ke pantai Barafundle Bay yang merupakan tempat favoritnya. Dalam perjalanan kesana James ditemani oleh tiga orang temannya, yakni Davy (Tom Burke) yang merupakan teman setianya dan dipercaya untuk menjaga James oleh keluarganya, Bill (Adam Robertson) dan Miles (J. J. Feild) yang sudah cukup lama menghilang dari kehidupan James. Mereka bertiga membantu James yang harus menaiki sebuah troli/kereta khusus karena kesulitan berjalan melewati hutan hingga lereng curam untuk sampai di tempat tujuan. Namun ternyata tidak hanya rintangan dari alam yang menghambat perjalanan mereka, karena konflik satu sama lain perlahan mulai terjadi dan berbagai rahasia pun mulai terungkap.

Tentu saja dalam sebuah road movie atau film apapun yang menyoroti perjalanan yang dilakukan oleh karakternya kita tidak mungkin mengharapkan sebuah perjalanan yang lancar. Pastinya akan terjadi berbagai konflik, rintangan atau hal tidak terduga lainnya yang pada akhirnya justru memberikan pelajaran berharga pada setiap karakternya, begitu juga yang terjadi dalam Third Star. Keempat sahabat ini perlahan mulai menemui konflik baik itu yang terjadi akibat adanya kejadian tak terduga semisal kecelakaan atau barang yang hilang hingga konflik antar personal yang seringkali memecah belah mereka. Konflik tersebut justru merupakan daya tarik film-film bertipe seperti ini, dan pada akhirnya konklusinya akan memberikan sebuah pelajaran berharga tidak hanya bagi karakter dalam film itu namun juga pada penonton. Masalahnya, dalam Third Star konflik yang terjadi terlalu penuh dan kemunculannya sering tidak dalam timing yang pas. Setelah berjalan lambat tanpa konflik diawal, memasuki pertengahan kita mulai dijejali oleh satu persatu konflik yang muncul saling bergantian. Awalnya terasa menarik, namun setelah jumlahnya makin banyak saya terasa lelah. Apalagi sebenarnya semua konflik tersebut punya makna tersirat yang sama, sehingga perlahan saya mulai dibuat bosan dengan hal itu. Siapa sih yang tidak bosan diperlihatkan adegan orang saling bertengkar secara terus menerus?

2 komentar :

Comment Page:

THE NEW WORLD (2005)

7 komentar
Bagi Terrence Malick, The New World adalah filmnya yang keempat sepanjang 32 tahun karirnya sebagai sutradara saat itu. Malick memang tidak hanya dikenal sebagai sutradara yang gemar menghabiskan banyak waktu di ruang editing (konon film yang dibuatnya bisa sampai mengalami perubahan plot pada sesi editing) tapi juga sebagai sutradara yang hanya menghasilkan sedikit film dalam rentang waktu karirnya yang lama tersebut. Saya sendiri sebelum ini baru sekali menyaksikan film Terrence Malick yakni The Tree of Life yang langsung saya nobatkan sebagai film terbaik di tahun 2011. Dalam The New World yang dibintangi oleh Colin Farrell, Christian Bale, Christopher Plummer serta Q'orianka Kilcher, Malick mengangkat kisah tentang penemuan Jamestown oleh para pelaut Inggris. Jika anda kurang familiar dengan kisah itu, maka anda pasti akan familiar dengan kisah Pocahontas. Ya, ini adalah kisah Pocahontas seorang puteri kepala suku Powhatan yang mungkin lebih dikenal lewat versi Disney yang penuh dengan nuansa magis dan ajaib tersebut. Tapi tentu saja dalam versi Malick tidak ada hewan bicarra ataupun sebuah pohon suci yang juga bisa bicara pada Pocahontas. Ini adalah kisah asmara yang terjadi antara Pocahontas dan Kapten John Smith disaat pihak suku Powhatan dan pelaut Inggris tengah tejebak dalam konflik.

Pada tahun 1607 awak kapal Inggris termasuk John Smith (Colin Farrell) tiba di Jamestown, Virginia dalam sebuah ekspedisi untuk mencari koloni baru bagi kerajaan Inggris. Disanalah mereka bertemu dengan suku Powhatan yang merupakan penduduk asli setempat. Awalnya tidak ada masalah diantara kedua belah pihak, sampai suatu hari saat tengah menyusuri hutan John Smith tertangkap oleh suku tersebut dan hendak dieksekusi mati. Beruntung ada Pocahontas (Q'orianka Kilcher) yang menolong John Smith dari hukuman mati. John Smith kemudian malah hidup membaur dengan suku Powhatan dan diperlakukan layaknya keluarga. Dari situlah benih cinta antara John Smith dan Pocahontas mulai bersemi. Namun tentu saja cinta ini terlarang karena Pocahontas tidak boleh mencintai pria lain yang bukan berasal dari sukunya. Bahkan tanpa pengetahuan sang ayah, Pocahontas membantu para awak kapal Inggris yang tengah kelaparan di musim dingin. Sampai akhirnya sang ayah/kepala suku mengetahui perbuatan Pocahontas dan menyadari bahwa para awak tersebut tidak punya niat untuk pergi dan memang berniat terus menetap disana. Akhirnya terjadilah pertempuran tragis antara kedua belah pihak, dimana John Smith serta Pocahontas berusaha sekuat tenaga tetap mempertahankan cinta terlarang mereka.


Film ini dirilis dalam tiga versi. Yang pertama adalah versi yang ditayangkan secara terbatas pada tahun 2005 untuk memenuhi persyaratan bersaing di ajang Oscar dengan durasi 150 menit. Versi kedua adalah yang ditayangkan secara luas pada awal 2006 dengan durasi lebih pendek, yakni 135 menit. Sedangkan yang ketiga sekaligus yang saya tonton adalah extended version yang dirilis dalam bentuk DVD pada 2008 dengan durasi mencapai 172 menit. Tapi ini bukan hanya sebuah film biasa dengan durasi mendekati 3 jam, ini adalah film Terrence Malick dengan durasi mendekati 3 jam. Tentu saja seperti yang ia pertunjukkan dalam The Tree of Life, The New World masih dirangkum dengan gaya yang kurang lebih sama, hanya saja lebih realis tanpa ada adegan penuh metafora layaknya momen penciptaan alam semesta yang luar biasa itu. The New World memang bukannya tanpa dialog, tapi begitu minim dialog yang muncul dalam interaksi antar karakternya, melainkan lebih banyak menggunakan voice over dengan baris kalimat yang begitu puitis dan bersayap, hanya saja maknanya termasuk gampang dicerna hingga mudah memahaminya. 
Tentu saja karya seorang Terrence Malick selalu punya deretan gambar-gambar indah yang membuat ceritanya seolah ber-setting di dunia lain ataupun alam mimpi yang penuh dengan mimpi indah. Sosok sinematografer Emmanuel Lubezki memang sesuai dengan visi seorang Terrence Malick yang hobi menangkap gambar indah sebanyak mungkin sebelum nantinya akan dia edit sepuasnya di ruang editing. Dalam The New World hal apapun bisa terlihat begitu indah, mulai dari rerumputan, langit, sungai, bahkan sebuah peperangan tragis pun bisa disajikan dengan cantik disini. Saya juga begitu suka bagaimana kamera menangkap sosok Pocahontas yang tengah berlarian dan menari-nari dengan indahnya. Q'orianka Kilcher mungkin bukan seorang gadis yang berparas cantik bagi saya, tapi bagaimana sosoknya sebagai Pocahontas ditangkap di layar menjadi seperti tidak hanya wanita tapi bahkan makhluk paling cantik yang ada. Dengan begitu kita bisa merasakan bagaimana rasa cinta dan kekaguman mendalam yang dirasakan oleh John Smith terhadap Pocahontas. Sebuah sinematografi indah yang pada akhirnya mendapat nominasi Oscar namun (sangat disayangkan) kalah oleh Memoirs of Geisha.

The New World bukan hanya menghadirkan sebuah kecantikan tanpa arti, karena keindahan visualnya justru turut berperan besar dalam membangun suasana yang dibangun oleh ceritanya. Pada dasarnya film ini memang tentang sebuah dunia baru, namun dunia baru tersebut dapat mempunyai berbagai macam makna yang semuanya saling berkaitan dan turut terbantu oleh keindahan visualnya. Awak kapal Inggris yang tiba di Virginia memang menemukan sebuah dunia baru yang belum pernah mereka jamah. Sebuah dunia yang semuanya diisi oleh alam dan orang-orangnya hidup bersandingan dengan alam tanpa campur tangan hal selain itu selayaknya manusia modern. John Smith turut menemukan dunia baru yang ia rasakan seperti mimpi saat harus hidup bersama dengan suku Powhatan. Ini adalah sebuah kisah persinggungan manusia modern dengan mother nature yang sebenarnya begitu dekat namun terasa asing bagi mereka. Sedangkan bagi Pocahontas yang selama ini asing terhadap orang selain sukunya, pertemuan dengan awak kapal Inggris jelas membuatnya serasa hidup di dunia yang baru, apalagi setelah John Smith masuk dalam kehidupannya, Pocahontas benar-benar hidup dalam dunia yang terasa sama sekali baru. Dia merasakan cinta, konflik batin yang tidak pernah ia alami sebelumnya, bahkan akhirnya ia benar-benar hidup di dunia baru saat dibawa pindah ke Inggris.

Saya nyaris menobatkan The New World sebagai film yang sempurna dalam dua jam pertamanya, disaat gambar indah secara bergantian saling mengisi dengan plot yang mengalir lambat namun tidak pernah terasa membosankan ataupun lama. Alurnya benar-benar mengalir dengan begitu sempurna dan penuh keindahan. Sampai akhirnya paruh akhir yang sedikit mengubah rasa dan fokus filmnya muncul. Momen saat Pocahontas tinggal bersama orang-orang Inggris dan pada akhirnya bertemu dengan John Rolfe (Christian Bale) menjadi terasa kurang menarik lagi. Saat saya sudah tenggelam dalam kisah antara Pocahontas dan John Smith dengan sosok Pocahontas yang begitu indah sebagai puteri suku Powhatan, kisah antara Pocahontas dan John Rolfe yang menampilkan sosok sang puteri mulai menjadi sosok manusia modern seperi layaknya orang Inggris lain menjadi kurang menarik dan kehilangan sedikit keindahannya. Untungnya film ini kembali menemukan sentuhannya di saat mencapai konklusi. Bagian akhirnya terasa begitu indah dan menyentuh saat akhirnya Pocahontas kembali menemukan dunia baru dan akhirnya menemukan sekaligus bersatu dengan sang mother nature. Secara keseluruhan The New World nyaris sempurna dengan segala keindahan dan sisi puitisnya yang bagaikan mengarungi alam mimpi yang diisi oleh kisah cinta dan pencarian akan sebuah dunia baru.


7 komentar :

Comment Page:

THE SAPPHIRES (2012)

1 komentar
Pada awalnya The Sapphires adalah sebuah pertunjukkan drama musikal dari Australia yang diproduksi pada tahun 2004 dan ditulis oleh Tony Briggs. Pementasan ini juga sempat diproduksi lagi pada tahun 2010 lalu sebelum pada akhirnya diangkat menjadi film musikal pada 2012 ini. Kisah dari The Sapphires sendiri terinspirasi dari kisah nyata yang dialami oleh ibu Tony Briggs, Laurel Robinson beserta adik dan dua sepupunya dimana mereka berempat harus tampil sebagai penyanyi untuk menghibur para prajurit yang sedang berperang di Vietnam. Kisah dalam filmnya sendiri punya inti yang sama dengan versi panggungnya, yakni tentang empat wanita Aborigin yang untuk menggapai mimpinya menjadi bintang besar harus rela melakukan perjalanan berbahaya di Vietnam yang tengah dilanda perang untuk bernyanyi menghibur para prajurit disana. Kisahnya dimulai pada tahun 1968 dimana tiga orang kakak beradik wanita, Gail (Deborah Mailman), Cynthia (Miranda Tapsell) dan Julie (Jessica Mauboy) tengah mengikuti ajang pencarian bakat di sebuah kota kecil. Tapi walaupun penampilan mereka adalah yang terbaik mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka gagal menang hanya karena mereka adalah kaum kulit hitam asli Aborigin. 

Namun performa mereka saat itu mendapat perhatian dari Dave Lovelace (Chris O'Dowd) yang merupakan MC dari acara tersebut sekaligus seorang pemain piano. Dave pada akhirnya membantu mereka bertiga untuk mendapatkan pekerjaan sebagai penyanyi yang tampil di depan para prajurit yang tengah berperang di Vietnam. Untuk melengkapi formasi grup tersebut mereka juga mengajak sepupu mereka, Kay (Shari Sebbens) yang notabene bukan seorang kulit hitam asli Aborigini. Pada akhirnya mereka berempat memulai perjalanan mereka sebagai penyanyi di tengah perang Vietnam. Tentu saja perjalanan tersebut tidak mudah karena selain harus berlindung dari serangan yang bisa terjadi kapan saja, mereka juga harus menghadapi berbagai macam konflik mulai dari konflik percintaan, persahabatan hingga konflik keluarga yang terjadi di masa lalu. 

1 komentar :

Comment Page:

OZ THE GREAT AND POWERFUL (2013)

3 komentar
Pembuatan film ini jelas sebuah keputusan yang begitu berani jika tidak boleh dikatakan lancang. Pembuatan sekuel, prekuel, remake hingga reboot memang sudah jadi hal yang begitu wajar dilakukan oleh Hollywood sekarang ini, namun tetap saja ada karya-karya klasik nan legendaris yang sudah seharusnya tidak diutak-atik lagi. Film The Wizard of Oz yang dirilis tahun 1939 adalah satu dari beberapa film yang masuk kategori klasik tersebut. Dengan bujet $215 juta jelas menjadikan Oz the Great and Powerful sebagai pertaruhan besar, karena bisa saja film ini menjadi sebuah kegagalan total baik dari segi kualitas maupun komersil. Kejutan kembali terjadi saat Sam Raimi ditunjuk sebagai sutradara. Meskipun sudah melakukan berbagai lintas genre mulai dari film superhero (trilogi Spider-Man) hingga drama dalam For Love of the Game tetap saja nama Raimi lebih identik dengan film horror. Maka dari itu keputusannya untuk menyutradari sebuah film fantasi yang lebih punya tone cerah cukup mengejutkan. Cerita dalam film ini sendiri adalah prekuel tidak langsung dari film klasiknya dan ber-setting sekitar 20 tahun sebelum kedatangan Dorothy ke Oz.

Oscar "Oz" Diggs (James Franco) adalah seorang pesulap yang hidup bersama sebuah kelompok sirkus. Saat tengah mengadakan pertunjukkan di Kansas dia terlibat masalah dengan anggota sirkus lain akibat sifatnya yang sering bermain-main dengan wanita. Oz pun menaiki balon udara untuk kabur. Namun di tengah perjalanan ia terjebak dalam sebuah tornado dahsyat dan begitu terbangun ia sudah tiba d Oz, sebuah negeri misterius namun juga indah layaknya di negeri dongeng. Disana, Oz bertemu dengan seorang penyihir bernama Theodora (Mila Kunis) yang memberitahukan tentang sebuah ramalan mengenai kemunculan seorang penyihir bernama Oz yang akan menyelamatkan negeri tersebut dari kekuasaan sang penyihir jahat. Tanpa pikir panjang Oz langsung membenarkan bahwa dirinya memang benar penyihir yang ada dalam ramalan. Theodora yang perlahan mulai jatuh cinta pada Oz membawa Oz untuk bertemu dengan kakaknya, Evanora (Rachel Weisz) yang juga merupakan satu dari tiga penyihir wanita di Oz. Oz pun diminta untuk megakhiri kekuasaan sang penyihir jahat yang belakangan diketahui adalah Glinda (Michelle Williams). Namun dalam perjalanannya Oz tidak sendiri dimana ia juga ditemani oleh seekor monyet terbang yang bisa bicara dan sebuah boneka keramik berwujud gadis cilik.

Oz the Great and Powerful punya begitu banyak referensi yang juga sebagai bentuk homage bagi film The Wizard of Oz. Bagi anda yang sudah menonton film klasik tersebut pasti akan dengan mudah menemukan homage yang bertebaran tersebut. Paruh awal kurang lebih 20 menit pertama film ini dikemas layaknya The Wizard of Oz dimana gambarnya memakai rasio berukuran 4:3 lengkap dengan warna hitam putih sebelum kembali memakai format widescreen penuh warna saat film sudah berlokasi di Oz. Hal ini sama dengan film lamanya dimana saat Dorothy masih berada di Kansas film memakai warna hitam putih sebelum kemudian menjadi berwarna saat ia tiba di Oz. Pengemasan ini tidak hanya memberikan homage saja tapi juga membuat penonton secara tidak sadar akan makin terpukau saat mulai memasuki negeri Oz setelah sebelumnya disuguhi gambar hitam putih dengan rasio gambar berukuran kecil. Berbagai referensi lain yang berkaitan dengan jalan cerita juga turut muncul di film ini dan akan membuat penonton yang sudah menonton The Wizard of Oz pasti akan terhibur dengan berbagai referensi tersebut bahkan mungkin akan tertantang untuk terus menemukan hal-hal yang menghubungkan film ini dengan pendahulunya tersebut. 

Diluar segala referensi tersebut, Oz the Great and Powerful punya cerita yang bisa dibilang sederhana. Jika Dorothy melakukan perjalanan untuk kemudian menemukan kekuatan dalam dirinya, maka film ini adalah kisah tentang seorang pria egois yang menemukan kebaikan dalam dirinya meski hal itu tidak ia sadari dan tidak berusaha ia cari sebelumnya. Singkatnya ini adalah sebuah kisah zero-to-hero yang standar tanpa menawarkan perubahan berarti, bahkan twist yang diberikan pun bukan sebuah hal yang mengejutkan meski saya sendiri tidak yakin hal itu dimaksudkan memang untuk menjadi sebuah kejutan. Tapi disamping kisahnya yang tidak menawarkan inovasi, film ini tertolong oleh berbagai momen komediknya yang begitu efektif untuk memancing tawa. Kemunculan karakter Finley si monyet terbang adalah salah satu pemancing tawa terbanyak di film ini. Berbagai dialog juga dengan cukup cerdas mampu memberikan humor yang efektif memancing tawa. 
Oz the Great and Powerful juga cukup sering dibandingkan dengan Alice in Wonderland milik Burton karena aspek visualnya dalam memvisualisasikan dunia Oz. Film ini memang penuh dengan warna yang cerah lengkap dengan berbagai macam tumbuhan ataupun hewan-hewan unik yang membuat visualnya menjadi semakin berwarna. Tapi sebenarnya saya tidak merasakan polesan visual dari CGI film ini sebagai hal yang spesial karena tipikal dunianya tidak jauh beda dengan apa yang terliaht di Alice in Wonderland, bahkan di beberapa bagian CGI-nya tidak selaras dengan para pemainnya dan masih terlihat kasar. Untungnya film ini dibalut dengan efek 3D yang cukup memukau. Aspek 3D tersebut membuat pemandangan yang ditampilkan memiliki kedalaman yang baik, warna yang cerah dan terpenting momen dimana objek nampak keluar dari layar muncul dengan meyakinkan. Sebuah adegan dimana Oscar baru tiba di negeri Oz dan harus berjuang melewati sebuah air terjun menjadi terasa menegangkan berkat polesan 3D yang bagus. 

Jika bicara tentang deretan pemainnya, film ini punya nama-nama yang menjanjikan. James Franco muncul sebagai pemeran utama menggantikan Johnny Depp dan Robert Downey Jr. yang sebelumnya adalah pilihan pertama. Performanya disini saya yakin akan memecah pendapat orang menjadi dua kubu. Franco sendiri sebenarnya tidaklah terlalu buruk sebagai sosok Oz yang egois, womanizer dan punya beberapa momen sekaligus line komedi. Namun dia kurang memiliki kharisma sebagai seorang leading man. Tapi bagi saya memang seperti itulah sosok Oz. Dia bukan pria dengan wibawa karena sebenarnya ia hanya seorang penipu yang egois, tapi secara perlahan mulai menemukan kebaikan dalam hatinya. Banyak orang mungkin akan lebih memilih Downey Jr. tapi melihat sosok Downey Jr. yang terasa terlalu tua saya tetap lebih memilih James Franco. Depp? Saya masih merasa bosan jika harus melihatnya bermain dalam peran seperti sosok Oz. Sedangkan untuk ketiga penyihir wanita yang ada memang tidak menampilkan akting yang bisa dibilang sangat bagus akibat karakterisasinya memang tidak ditampilkan mendalam. Namun saya menyukai Michelle Williams yang begitu pas sebagai sosok penyihir baik hati dan saya tidak bisa membayangkan aktris lain menggantikannya dalam peran tersebut. Tapi diluar itu ketiganya sanggup memperlihatkan sosok penyihir wanita yang cantik dan begitu menggoda, membuat saya melupakan kekurangan akting maupun karakterisasinya. 

Visual yang berwarna dibalut dengan aspek 3D yang memukau membuat film ini menjadi sajian visual yang memuaskan. Ceritanya sederhana dan dibalut komedi yang efektif juga membuat Oz the Great and Powerful menjadi sebuah hiburan yang menyenangkan untuk ditonton secara santai sebagai sebuah film ringan nan menghibur. Namun sayangnya plot yang ditawarkan seringkali terasa sedikit kacau dan cukup terburu-buru. Ambil contoh disaat salah Theodora berbalik menjadi membenci Oz, hal tersebut terasa terlalu cepat terjadi. Terasa tidak logis disaat seorang yang tadinya begitu mencintai negerinya berubah 180 derajat dengan begitu cepatnya. Karena perasaannya disakiti? Saya rasa itu sebuah transformasi yang terlalu terburu-buru dan terlalu menggampangkan. Diluar contoh tersebut masih ada beberapa plot hole lainnya yang biar bagaimanapun terasa mengganggu bagi saya. Tapi lagi-lagi Oz the Great and Powerful beruntung punya kelebihan di aspek lainnya seperti visual, tiga pemeran wanitanya yang begitu menggoda, serta sentuhan humor yang berhasil menjadikan film ini sebagai hiburan yang menyenangkan meski cukup kacau jika bicara masalah plot. 


3 komentar :

Comment Page:

REAR WINDOW (1954)

4 komentar
Sebelum ini baru tiga film Alfred Hitchcock yang pernah saya tonton, tapi dari ketiga film itu saya sudah mengakui statusnya sebagai master of suspense. Mulai dari Psycho, The Birds hingga Rope, sutradara yang satu ini selalu punya cara luar biasa untuk menghadirkan ketegangan bagi penontonnya. Berbagai momen sederhana mulai dari adegan menyeberang jalan atau seorang polisi yang di-close up dalam Psycho hingga adegan ribuan burung yang mendadak hinggap di halaman sekolah mampu disulapnya menjadi sebuah adegan yang begitu mencekam. Hitchcock seolah tahu benar cara mempermainkan sisi psikologis dan ketegangan penonton, dan Rear Window adalah bukti lain bahwa Hitchcock selalu bisa melakukan hal tersebut namun dengan memakai teknik dan pendekatan yang berbeda-beda. Rear Window sendiri adalah sebuah film yang membawa Alfred Hitchcock meraih nominasi Oscar untuk kelima kalinya dalam nominasi Best Director, sebuah kategori yang pada akhirnya akan sekali lagi ia dapatkan lewat Psycho namun seumur hidup tidak pernah ia menangkan (salah satu aib terbesar Academy Awards). Selain itu film ini juga mendapat nominasi Best Screenplay untuk naskah yang ditulis John Michael Hayes.

Jika dalam Rope Hitchcock membuat filmnya seolah diambil lewat satu shot panjang sehingga membuat emosi penonton mampu terbawa maka dalam Rear Window penonton seolah ikut ambil bagian dan terlibat dalam film tersebut. Kisahnya adalah tentang L.B. Jefferies (James Stewart), seorang fotografer profesional yang baru saja mengalami kecelakaan saat bekerja yang membuat kakinya patah dan memaksa Jefferey tinggal di kursi roda, "terkurung" dalam apartemennya. Tentu saja tidak banyak hal yang bisa ia lakukan dalam kondisi seperti itu. Rasa bosan dan kesepian menjadi hal yang selalu ia rasakan, apalagi selama itu ia hanya bisa bertemu dengan perawatnya, Stella (Thelma Ritter) dan Lisa (Grace Kelly), yang merupakan kekasihnya. Jefferies sendiri juga sedang merasa bosan terhadap Lisa yang dianggapnya terlalu sempurna. Karena itu satu-satunya hal yang bisa menjadi hiburan bagi Jeff adalah memperhatikan kegiatan para tetangganya dari balik jendela. Awalnya semua itu hanya untuk senang-senang sampai akhirnya Jeff merasa ada yang mencurigakan dari salah seorang tetangganya, dan kegiatan "mengintip" tersebut berjalan terlalu jauh dan mulai berbahaya.

4 komentar :

Comment Page:

RUROUNI KENSHIN (2012)

1 komentar
Meski bukan termasuk penggemar berat, di masa kecil dulu saya cukup suka mengikuti kisah Rurouni Kenshin (disini lebih dikenal dengan judul Samurai X) baik lewat manga ataupun anime-nya. Saya menyukai bagaimana kisahnya sanggup menggabungkan aksi yang keren dengan selipan humor segar lengkap disertai karakter-karakter yang punya ciri khas kuat. Selain itu kisahnya juga berpatokan pada sejarah yang nyata. Maka dari itu, cukup mengejutkan bahwa Rurouni Kenshin harus menunggu begitu lama untuk diadaptasi ke layar lebar disaat manga lain yang lebih baru macam Death Note hingga 20th Century Boys malah sudah punya tiga film layar lebar. Tapi memang kisah petualangan Kenshin Himura tidak mudah untuk dirangkum kedalam sebuah film. Manga dengan total 27 volume dan berbagai story arc yang penuh dengan konflik dan begitu banyak karakter membuat sutradara yang berniat membuat adaptasinya harus benar-benar jeli memilih kisah mana yang akan dijadikan dasar naskah filmnya. Pada akhirnya sutradara Keishi Otomo dan penulis naskah Kiyomi Fujii memilih untuk memperkenalkan kisah Kenshin sedari awal, dimulai dari masa disaat ia masih menjadi seorang pembantai bernama Battosai dan pada akhirnya memutuskan berhenti membunuh.

Sepuluh tahun semenjak peperangan usai, Battosai (Takeru Satoh) kini sudah bertobat dan menanggalkan julukan pembantai yang selama ini melekat padanya. Kini ia hanyalah Kenshin Himura sang pengembara. Perjalanannya membawa Kenshin tiba di Tokyo dan bertemu dengan Kamiya Kaoru (Emi Takei), seorang gadis yang juga merupakan pemilik perguruan Kamiya Kasshin. Lewat Kaoru pula Kenshin pada akhirnya mendengar cerita bahwa di Tokyo akhir-akhir ini terjadi kasus pembunuhan berantai dimana sang pembunuh mengaku sebagai Battosai si pembantai. Tidak hanya berusaha mencari sosok yang mengaku sebagai Battosai, Kenshin juga harus berurusan dengan Hajime Saito (Yosuke Eguchi) yang merupakan mantan anggota Shinsengumi yang notabene adalah musuh dari Kenshin di masa perang dulu. Disana pula Kenshin bertemu dengan seorang petarung bernama Sanosuke Sagara (Munetaka Aoki) yang kita tahu nantinya akan menjadi sahabat Kenshin.

1 komentar :

Comment Page:

GRINDHOUSE (2007)

3 komentar
Istilah grindhouse berasal dari sebutan kepada bioskop-bioskop di era 70-an yang memutar film-film eksploitasi, dimana film dengan genre tersebut memang jarang mendapat tempat di bioskop umum. Film-film dengan genre eksploitasi juga dikenal sebagai film yang jauh dari kata "nyeni" karena memang film-film tersebut mengekploitasi hal-hal khsus semisal sadisme, seksual sampai ras kulit hitam dalam blaxploitation. Tapi bagaimana jika film dari genre yang sering diidentikkan dengan selera rendahan tersebut dibuat oleh dua sutradara kenamaan, yaitu Robert Rodriguez dan Quentin Tarantino? Robert Rodriguez memang tidak hanya dikenal sebagai sutradara film anak-anak seperti Spy Kids hingga The Adventures of Sharkboy and Lavagirl tapi ia juga pernah membuat film-film seperti El Mariachi yang cukup mendekati tipikal film-film grindhouse. Sedangkan Tarantino sendiri memang terkenal sering mengangkat genre film yang dipandang sebelah mata menjadi sebuah karya luar biasa. Sebut saja blaxploitation dalam Jackie Brown sampai kung-fu dalam Kill Bill. Grindhouse juga dikemas dalam format yang unik dimana dua film Rodriguez dan Tarantino digabung menjadi satu film (double feature) berdurasi 191 menit, dimana format semacam itu sering dipakai dalam film-film grindhouse dahulu.

Setiap sebelum film dimulai, Grindhouse menampilkan fake trailer yang dibuat oleh sutradara ternama mulai dari Machete yang disutradarai Robert Rodriguez, Werewolf Women of the SS buatan Rob Zombie, Don't kaya Edgar Wright dan Thanksgiving karya Eli Roth.  Selain itu untuk versi screening yang ditayangkan di Kanada juga menampilkan trailer Hobo with the Shotgun milik Jason Eisener. Film pertama adalah Planet Terror milik Rodriguez yang mengisahkan seorang penari go-go bernama Cherry Darling (Rose McGowan) yang memilih untuk kabur dan keluar dari pekerjaannya. Di sebuah bar dia bertemu dengan mantan kekasihnya, El Wray (Freddy Rodriguez). Di tempat lain, terjadi sebuah konfrontasi antara sebuah pasukan militer yang dipimpin Lt. Muldoon (Bruce Willis) dengan seorang ilmuwan bernama Dr. Abby (Naveen Andrews). Konfrontasi tersebut berujung pada terlepasnya sebuah gas misterius yang nantinya akan menyebabkan sebuah wabah penyakit misterius yang akan menyebabkan sebuah teror mengerikan di tempat tersebut. Berlanjut ke segmen kedua adalah Death Proof milik Quentin Tarantino yang berkisah di Austin, Texas. Jungle Julia (Sydney Tamiie Politier), seorang DJ radio terkenal disana sedang merayakan ulang tahun bersama dua orang teman wanitanya. Di sebuah bar mereka bertemu dengan seorang pria misterius yang ternyata sudah beberapa lama menguntit mereka. Pria tersebut bernama Stuntman Mike (Kurt Russell) yang tanpa mereka duga akan memberikan teror maut bagi para wanita tersebut.

3 komentar :

Comment Page:

FREAKS (1932)

1 komentar
Perkenalan saya dengan film ini dimulai setelah saya membaca sebuah artikel tentang Prince Randian yang juga dikenal sebagai The Human Caterpillar. Dalam artikel tersebut saya terpukau dengan kemampuan Prince Randian yang meskipun tidak mempunyai tangan dan kaki tapi bisa melinting dan menyalakan rokoknya sendiri hanya dengan mulut. Dalam artikel tersebut saya mengetahui bahwa Prince Randian pernah bermain dalam sebuah film berjudul Freaks bersama orang-orang lain yang juga mengalami kelainan pada tubuhnya. Film ini sendiri berbasis pada sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Tod Robbins dipadukan dengan pengalaman dari sang sutradara, Tod Browning yang di masa mudanya sempat hidup dalam rombongan sirkus. Pada awal perilisannya Freaks memang cukup membuat kontroversi dengan keputusannya untuk menggunakan para "freaks" sungguhan dibandingkan memakai make-up dan kostum. Awalnya Freaks adalah sebuah film berdurasi 90 menit sampai kemudian banyak kontroversi muncul berkaitan dengan konten yang dianggap terlalu disturbing. Bahkan sampai ada seorang wanita yang menuntut pihak MGM dimana sang wanita mengaku mengalami keguguran akibat shock setelah menonton Freaks. Akhirnya durasi dipotong sampai hanya 64 menit termasuk membuat ending baru yang lebih bahagia.

Freaks akan membawa kita melihat sebuah rombongan sirkus yang di dalamnya juga terdapat orang-orang dengan berbagai macam kelainan fisik, mereka disebut sebagai freaks. Para freaks ini memang saling menjaga satu sama lain dan bersatu menghadapi segala kesulitan bersama. Kehidupan mereka memang berat, karena tidak hanya di dunia luar tapi orang-orang dalam sirkus pun sering mengejek mereka. Salah satu dari para freaks tersebut adalah Hans (Harry Earles) seorang pria dengan tubuh mini (cebol) yang menikah dengan wanita yang juga punya kondisi tubuh sama, Frieda (Daisy Earles). Meski sudah menikah, Hans ternyata mulai tergoda dengan wanita lain. Wanita tersebut adalah Cleopatra (Olga Baclanova) seorang pemain akrobat yang memang dikenal sebagai primadona dalam sirkus tersebut. Hans sendiri melakukan banyak hal bagi Cleopatra tanpa ia sadari bahwa sang wanita sesungguhnya hanya menginginkan harta milik Hans. Cleopatra dan Hercules (Henry Victor) yang sebenarnya merupakan sepasang kekasih memang berencana menguras harta Hans dengan cara membuat Cleopatra menikah dengan Hans sebelum pada akhirnya mereka berdua berniat menghabisi nyawa Hans. Diluar kisah utama tersebut Freaks juga menampilkan beberapa subplot mengenai masing-masing freaks yang aslinya diambil dari keseharian mereka di dunia nyata.

1 komentar :

Comment Page:

POLTERGEIST (1982)

8 komentar
Diproduseri dan ditulis naskahnya oleh Steven Spielberg dan disutradarai oleh Tobe Hooper membuat Poltergeist menjadi salah satu film yang paling diantisipasi di masanya. Speilberg tengah meraih puncak kejayaan setelah kesuksesan Jaws dan Raiders of the Lost Ark. Bahkan di tahun yang sama dengan Poltergeist, tepatnya seminggu setelah film ini dirilis Spielberg juga akan merilis E.T. yang legendaris itu. Tobe Hooper sendiri sedang menjadi salah satu sutradara horror paling dipandang semenjak kesuksesan Texas Chainsaw Massacre dan miniseri Salem's Lot. Pada akhirnya kolaborasi keduanya memang menuai kesuksesan dimana Poltergeist berhasil meraih pendapatan diatas $121 juta dan hingga kini dianggap sebagai salah satu film horror terbaik sepanjang masa. American Film Institue juga menempatkan film ini di peringkat 84 dalam daftar 100 Years...100 Thrills. Tidak hanya itu, Poltergeist juga berhasil meraih tiga nominasi Oscar meski pada akhirnya tidak berhasil memenangkan satupun piala. Bahkan bisa dibilang film ini berhasil memperkenalkan istilah Poltergeist bagi orang-orang yang sebelumnya tidak mengerti arti dibalik kata tersebut. Sebegitu seram dan hebatkah film horror ini?

Steve (Craig T. Nelson) and Diane Freeling (JoBeth Williams) adalah sepasang suami istri yang hidup di sebuah kota kecil bernama Cuesta Verde. Mereka mempunyai tiga anak, yaitu Dana (Dominique Dunne ), Robbie (Oliver Robins) dan Carol Anne (Heather O’Rourke). Mereka berlima hidup tenang dan bahagia sampai suatu hari beberapa kejadian misterius mulai terjadi di rumah tersebut. Peristiwa poltergeist dimana benda-benda bergerak dengan sendirinya terjadi di rumah tersebut. Awalnya hal tersebut tidak terasa menakutkan, malah memberikan hiburan sendiri bagi mereka melihat sebuah kursi bisa bergerak dan hal-hal unik lainnya. Bisa dibilang pada awalnya kejadian paranormal tersebut tidaklah mengerikan dan tidak terasa adanya ancaman bagi keluarga tersebut. Sampai suatu hari gangguan tersebut berubah menjadi teror yang menyeramkan dimana semua berpuncak pada hilangnya si bungsu Carol Anne. Benarkah ada sekelompok makhluk halus yang menculik Carol Anne?

Dalam berbagai ulasan saya di blog ini sudah berulang kali saya menyatakan bahwa saya bukanlah pecinta karya-karya Spielberg. Saya tidak suka kebiasaannya yang selalu memberikan sentuhan dramatisasi berlebihan. Namun ada satu hal lagi yang tidak saya sukai dimana Spielberg seringkali terlalu dominan dalam menggarap film yang ia produseri. Hal itu terlihat jelas dalam Super 8 dimana film itu lebih terlihat sebagai karya Spielberg dibanding J.J. Abrams meskipun Abrams mengakui bahwa ia adalah penggemar karya-karya Spielberg. Hal yang sama kembali saya lihat dalam Poltergeist, bahkan pengaruhnya terasa jauh lebih besar. Tobe Hooper yang saya kenal adalah seorang sutradara horror yang tidak ragu menyajikan adegan creepy dan sadis dengan suasana yang terasa begitu "kumuh" dalam filmnya. Hal itu bisa dilihat dalam Texas Chainsaw Massacre ataupun Eaten Alive. Tapi yang terlihat disini adalah bukan film yang saya harapkan muncul dari tangan Tobe Hooper. Nyaris tidak ada adegan yang begitu mengerikan dan membuat saya merinding. Rasa seorang Tobe Hooper mungkin hanya bisa dilihat dalam satu atau dua adegan, misal saat ada seorang karakter yang berhalusinasi melihat mukanya sedikit demi sedikit terkelupas. Tapi sisanya benar-benar lebih kental rasa seorang Steven Spielberg.
Kisah tentang sebuah keluarga yang tinggal di kota kecil tentu saja sudah menjadi ciri khas seorang Spielberg, hanya saja disini kisah keluarga itu dibalut dengan formula haunted house. Dibalut dengan efek visual yang begitu canggih di jamannya memang membuat Poltergeist terasa spesial jika ditinjau dari segi teknologi. Lagi-lagi satu hal yang menjadi ciri khas dan kelebihan seorang Spielberg. Poltergeist adalah sebuah film yang well made. Tapi jika ditinjau dari kaca mata film horror, maka film ini nyaris tidak ada seram-seramnya. Dibanding sebuah film horror, film ini lebih pantas jika disebut film fantasi. Konsep tentang benda yang bergerak sendiri dan gangguan supra natural jelas sebuah dasar yang cukup menjanjikan dan bisa menjadi sebuah tontonan yang mengerikan jika digarap dengan baik. Namun sayangnya film ini dibuat supaya lebih bersahabat sebagai tontonan keluarga yang ringan. Poltergeist pada akhirnya hanya berakhir menjadi sebuah horror dalam ranah konsep, namun pada hasil akhirnya adalah sebuah film fantasi keluarga yang begitu ringan dan tidak mengerikan. Memang masih ada beberapa adegan yang cukup menegangkan, semisal adegan klimaksnya yang melibatkan tulang manusia asli, tapi tetap saja itu tidak cukup. Bahkan di sebuah adegan klimaks yang sudah cukup tegang tensinya, film ini masih sempat menyelipkan sedikit momen komedi.

Sebenarnya unsur keluarga yang dimasukkan tidaklah buruk. Sempat ada momen cukup ironis yang terasa menyentuh dimana keluarga Freeling mendatangkan paranormal untuk pertama kalinya. Disana diperlihatkan mereka sudah mulai "terbiasa" dengan gangguan makhluk halus dan hilangnya puteri mereka. Terasa sekali bagaimana impact kejadian tersebut pada psikologis keluarga Freeling. Tapi lagi-lagi bukan itu yang saya harapkan dari sebuah film horror. Segala hal seperti cerita yang mengharukan, akting bagus ataupun efek visual keren hanyalah bonus dalam film horror, karena yang paling penting adalah bisa tidaknya film tersebut menakut-nakuti saya, dan Poltergeist gagal melakukan hal tersebut. Tentu bukan tanpa alasan jika kesalahan ditimpakan pada Spielberg. Bahkan Directors Guild of America pernah melakukan investigasi tentang sejauh mana peran Spielberg dalam film ini, karena dari beberapa kru dan pemain muncul pernyataan bahwa secara de facto Spielberg adalah sutradara film ini, dan mengarahkan mayoritas scene. Tentu saja saya lebih mengharapkan more Hooper and less Spielberg dalam film ini. Salah satu film paling overrated yang pernah saya tonton.

8 komentar :

Comment Page:

WARM BODIES (2013)

1 komentar
Saya termasuk orang yang begitu skeptis mendengar pengembangan film Warm Bodies yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karangan Isaac Marion ini. Bagaimana tidak? Kisah percintaan antara zombie dan manusia jelas terdengar jauh lebih konyol dibandingkan kisah cinta antara vampir dengan manusia seperti yang muncul di Twilight Saga. Jika vampir masih digambarkan sebagai makhluk yang rupawan, zombie berbeda 180 derajat. Zombie adalah sesosok mayat hidup dengan penampilan yang mengerikan, dan berbeda dengan vampir, zombie tidak punya perasaan. Yang mereka punya hanyalah nafsu untuk memuaskan rasa lapar mereka akan daging manusia. Tapi jika melihat bahwa ada nama Jonathan Levine (50/50) di kursi penyutradaraan rasa-rasanya Warm Bodies cukup berpotensi sebagai sebuah film zombie yang memberikan twist dalam genre tersebut. Apalagi setelah melihat cuplikan beberapa menit adegan awalnya yang menjanjikan, dimana dalam cuplikan yang rilis beberapa waktu yang lalu tersebut, Warm Bodies terasa punya unsur humor yang cukup cerdas. 

Dunia dalam Warm Bodies adalah dunia post-apocalyptic dimana umat manusia hanya tersisa sedikit setelah terjadinya zombie apocalypse yang tidak diketahui secara pasti penyebabnya. R (Nicholas Hoult) adalah salah satu zombie yang menjalani rutinitas yang selalu sama setiap harinya. Jika tidak sedang mencari makan di kota, ia hanya berjalan kesana kemari di dalam bandara tanpa bisa berkomunikasi dengan orang lain, karena zombie meman tidak bisa berkomunikasi layaknya manusia. Disisi lain umat manusia hidup dibalik tembok besar yang dibangun oleh Kolonel Grigio (John Malkovich) sebagai benteng perlindungan dari serangan zombie. Suatu hari para pemuda dari dalam benteng termasuk Julie (Teresa Palmer) yang merupakan puteri dari Kolonel Grigio dan kekasihnya, Perry (Dave Franco) pergi keluar untuk mencari persediaan obat-obatan. Malangnya keberadaan mereka diketahui oleh kawanan zombie yang sedang mencari mangsa. Dalam konfrontasi tersebut, Perry menjadi mangsa dari R yang kemudian memakan otak Perry. Tanpa disangka akibat hal tersebut R menjadi memiliki memori dan perasaan yang dimiliki oleh Perry. Hal itu membuatnya jatuh cinta pada Julie, dan bukannya memakan sang gadis tapi malah melindungi dan membawanya pulang.

1 komentar :

Comment Page:

KON-TIKI (2012)

Tidak ada komentar
Pada tahun 1947, seorang etnografer bernama Thor Heyerdahl melakukan sebuah ekspedsi gila yang diberi nama Kon-Tiki Expedition. Disaat orang-orang yakin bahwa Polinesia ditemukan oleh orang-orang yang ber-migrasi dari Barat, Thor meyakini sebaliknya, bahwa Polinesia ditemukan oleh orang-orang dari Amerika Selatan. Perjalanan tersebut direkam oleh Thor dan pada akhirnya menghasilkan sebuah film dokumenter berjudul Kon-Tiki yang memenangkan Oscar untuk kategori Best Documentary Feature Film di tahun 1951. Kemenangan tersebut menjadikan film dokumenter itu sebagai satu-satunya film Norwegia yang berhasil memenangkan Oscar hingga kini. Selang 65 tahun dari ekspedisinya, film tentang Kon-Tiki kembali dibuat, bedanya kali ini bukan dengan format dokumenter. Lagi-lagi film ini berhasil mendapat nominasi Oscar, kali ini untuk kategori Best Foreign Language Film dan menjadikan Kon-Tiki sebagai satu-satunya film Norwegia yang berhasil meraih nominasi di Oscar dan Golden Globe. Nampaknya ekspedisi Kon-Tiki memang sebuah anugerah yang selalu membawa keuntungan bagi Norwegia, bahkan hingga kini.

Dalam film ini kita akan diajak mengikuti usaha Thor Heyerdahl yang sejak kecil digambarkan sebagai seseorang yang tidak pernah takut menantang bahaya dan tidak pernah mendengar cibiran ataupun larangan dari orang lain akan hal tersebut. Jadi meskipun para ilmuwan dan berbagai macam pihak mencibir teorinya tentang Polinesia Thor tetap tidak gentar. Bahkan disaat ia mendapat tantangan untuk membuktikan kebenaran teorinya dengan berlayar menuju Polinesia hanya dengan menaiki rakit, dia menyanggupi hal tersebut. Awalnya Thor kesulitan mencari dana dan orang-orang yang akan diajaknya berlayar. Sampai pada akhirnya Thor berhasil mendapatkan lima orang untuk diajak mengarungi lautan dan mendapatkan pendanaan dari pemerintah Peru. Akhirnya pada 28 April 1947 Thor dan kelima rekannya mulai berlayar menempuh hampir 7.000 km hanya dengan rakit  yang dibuat secara begitu tradisional, seperti yang dilakukan orang-orang Tiki pada 1.500 tahun yang lalu. Di tengah laut mereka harus menghadapi berbagai macam rintangan mulai dari kondisi cuaca yang tidak bersahabat, hingga ancaman hewan buas khususnya hiu.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

TROUBLE WITH THE CURVE (2012)

Tidak ada komentar
Nama Robert Lorenz memang tidak terlalu terkenal, dan film Trouble with the Curve sendiri merupakan debut penyutradaraannya. Tapi jika bicara soal pengalaman, Robert Lorenz bukan orang baru di dunia film karena sudah beberapa kali ia menjadi produser dalam film-film milik Clint Eastwood seperti Mystic River, Letters From Iwo Jima hingga Million Dollars Baby. Selain itu dia juga sudah sangat sering berperan menjadi asisten sutradara dalam film-film Eastwood. Dalam Trouble with the Curve Lorenz akhirnya mendapat kesempatan menyutradarai mentornya sendiri, dimana bagi Eastwood ini adalah come back aktingnya setelah terakhir ia berakting di 2008 lewat Gran Torino. Ini juga adalah kali pertama dalam 19 tahun terakhir dimana Eastwood bermain dalam film yang tidak ia sutradarai sendiri. Selain Eastwood masih ada beberapa nama tenar lain dalam film ini seperti Amy Adams, Justin Timberlake, hingga John Goodman. Selain itu Scott Eastwood yang tidak lain adalah putera Clint Eastwood juga ambil bagian dalam salah satu peran minor. 

Film ini sendiri berkisah tentang Gus Lobel (Clint Eastwood) seorang baseball scout (pencari bakat) senior yang terkenal dengan kemampuan serta instingnya untuk mendeteksi bakat-bakat terpendam dari seorang pemain. Namun seiring dengan berjalannya waktu banyak yang meragukan kemampuan Gus yang dinilai sudah makin menua dan tidak mampu untuk beradaptasi dengan kemajuan zaman. Disaat para pencari bakat lain sudah memakai bantuan komputer untuk melakukan analisis, Gus tetap bersikukuh bahwa cara terbaik adalah melihat secara langsung pemain yang diincar. Namun disisi lain Gus memang tengah dalam masalah dimana matanya mulai sulit untuk melihat dengan jelas. Padahal penglihatan adalah hal yang paling penting dalam scouting. Untuk itulah Pete Klein (John Goodman) yang merupakan atasan sekaligus sahabat baik Gus meminta bantuan pada Mickey (Amy Adams) yang tidak lain adalah puteri tunggal Gus untuk membantu sang ayah dalam bertugas di North Carolina. Selama ini hubungan Gus dan Mickey tidak pernah akur dimana Mickey merasa sang ayah membuangnya. Di tempat yang sama mereka juga bertemu dengan Johnny Falanagan (Justin Timberlake) seorang scout muda yang dulu sempat menjadi pemain hebat yang direkrut oleh Gus.

Saya bosan melihat drama dengan tipikal seperti ini, sama seperti saya yang bosan dengan formula film-film action era 80-an yang begitu tipikal atau sama seperti begitu bosannya saya dengan cerita-cerita di film komedi romantis yang begitu predictable. Trouble with the Curve adalah gabungan dari formula standar mengenai drama ayah-anak yang dibalut kisah romansa dengan formula dalama film drama yang bertemakan olah raga. Jika itu masih belum cukup tambahkan formula standar dalam film-film milik Clint Eastwood yang pastinya tidak pernah jauh dari kesan serius dan karakter pria tua penggerutu yang dimainkan oleh Eastwood. Semua formula standar tersebut bersatu padu hingga membentuk sebuah sajian drama yang punya alur luar biasa klise dan begitu mudah ditebak arahnya. Konklusi tentang semua konfliknya mulai dari bagaimana nasib Gus Lobel dalam karir scouting-nya, konflik Gus dengan Mickey, hingga kisah cinta yang sudah bisa ditebak dari awal akan terjadi dan akan berakhir bagaimana antara Mickey dan Johnny semuanya punya arah yang begitu predictable. 
Saya tidak terlalu mempermasalahkan jalinan cerita yang mudah ditebak jika dalam alurnya punya momen-momen yang sanggup mengangkat tensi cerita. Jika dalam kisah drama, meski alurnya mudah ditebak, tidak akan menjadi masalah jika filmnya masih sanggup membuat saya tersentuh atau setidaknya terikat dengan cerita dan jalinan emosi yang coba ditampilkan, dan itu tidak saya jumpai dalam Trouble with the Cruve. Memang masih ada chemistry kuat antara Clint Eastwood dan Amy Adams dimana keduanya begitu baik dalam menjalin hubungan ayah dan anak yang tidak berjalan mulus. Eastwood masih sebagai pria tua penggerutu dan kuno, tapi disini dia tidak sekelam biasanya. Masih ada beberapa momen-momen dimana dia mengeluarkan celetukan yang berbalut unsur humor, sesuatu yang jarang ditemui dalam peran-peran tipikal Eastwood. Masalahnya sosok Gus tidak berhasil mendapatkan simpati saya. Gus adalah sosok yang begitu keras kepala. Bukan hanya berpegang pada prinsip tapi dia juga begitu tertutup pada perubahan, dan sekali lagi dia keras kepala termasuk dalam urusan kesehatannya sendiri. Amy Adams sebagai waita yang begitu independen juga menarik perhatian. Lupakan Justin Timberlake yang begitu biasa disini, karena momen menarik dalam film ini hanyalah disaat Eastwood dan Amy Adams saling berinteraksi.

Sebenarnya Trouble with the Curve adalah film yang masuk kategori well-made dimana semua aspeknya dikerjakan dengan begitu rapih. Namun sayangnya tidak ada hal baru yang ditawarkan. Semuanya begitu mudah ditebak sedari awal filmnya dimulai. Konklusinya memang cukup memuaskan dimana terasa menyenangkan meliaht tokoh antagonis yang diperlihatkan begitu menyebalkan sepanjang film dipermalukan di depan banyak orang, tapi untuk konklusi kisah cinta antara Mickey dan Johnny saya merasa terlalu terburu-buru hingga tidak menciptakan momen emosional yang kuat. Untung masih ada penampilan bagus dan chemistry kuat dari Clint Eastwood dan Amy Adams yang sanggup menyelamatkan film ini. Tapi tetap saja Trouble with the Cruve terasa mengecewakan sebagai sebuah film yang menandai kembalinya Clint Eastwood sebagai aktor setelah sekitar empat tahun.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE MACHINIST (2004)

9 komentar
Anda mungkin belum pernah menonton film ini, tapi saya yakin anda pernah mendengar cerita dibalik proses pembuatan filmnya. Cerita yang saya maksud tidak lain adalah tentang Christian Bale yang melakukan diet ketat demi menjadi karakter yang ia mainkan di film ini. Bale yang aslinya mempunyai berat badan 82 kilogram sebelum syuting menurunkan beratnya menjadi hanya 54 kg, yang artinya dia kehilangan 28 kg. Diet yang ia lakukan adalah dengan hanya mengkonsumsi kopi hitam tanpa gula ditambah satu buah apel atau satu tuna kalengan tiap harinya. Awalnya Bale masih ingin menurunkan lagi beratnya hingga mencapai 45 kg, tapi sutradara Brad Anderson menolak karena hal itu bisa membahayakan kesehatan sang aktor. Jika fakta itu sudah terdengar luar biasa, jangan lupa bahwa setelah The Machinist Bale kembali menambah beratnya sebanyak 27kg demi perannya sebagai Bruce Wayne dalam Batman Begins yang rilis setahun kemudian. Tapi selain Christian Bale yang nampak seperti mayat hidup, tentunya film ini punya hal lain untuk ditawarkan pada penonton.

Trevor Reznik (Bale) adalah seorang pria yang bekerja sebagai seorang operator mesin (machinist) di sebuah pabrik. Trevor sudah setahun ini mengalami insomnia akut yang membuatnya tidak pernah bisa tidur sedetikpun. Hal itu sendiri membuat kondisi fisiknya menurun, dimana berat badanya terus-terusan anjlok. Rekan-rekan kerjanya sendiri mulai merasa adanya perubahan dalam diri Trevor yang makin sering menyendiri dan tidak pernah lagi berkumpul bersama mereka diluar jam kerja. Selama ini juga Trevor terus ditemani oleh seorang pelacur bernama Stevie (Jennifer Jason Leigh). Namun hubungan mereka sendiri lebih dari sekedar pelacur dan pelanggan, karena mereka sering bertukar cerita, dimana hal itu membuat Stevie dan Trevor sama-sama nyaman dalam menjalani kesendirian mereka. Suatu hari Trevor bertemu dengan Ivan (John Sharian) yang mengaku sebagai sesama pekerja di pabrik, meski selama ini Trevor merasa belum pernah melihat Ivan. Munculnya Ivan ternyata mempengaruhi Trevor dimana suatu hari Trevor sampai membuat kecelakaan di tempat kerja yang membuat rekannya kehilangan satu lengan. Sambil menyelidiki keberadaan Ivan, Trevor mulai menemukan satu demi satu misteri yang ada di sekitarnya.

9 komentar :

Comment Page: