GINGER & ROSA (2012)

Tidak ada komentar
 
Dakota Fanning boleh saja lebih dulu mencapai ketenaran dibanding sang adik, Elle Fanning. Elle Fanning juga boleh saja memulai karirnya dengan banyak memerankan versi muda dari karakter yang diperankan sang kakak, namun akhir-akhir ini Elle membuktikan bahwa karirnya lebih bersinar dan mempunyai talenta akting yang berada diatas Dakota. Disaat sang kakak lebih banyak menghabiskan waktunya berperan sebagai karakter sekunder dalam franchise Twilight dan beberapa film yang kurang berhasil, Elle Fanning justru makin meroket dengan membintangi film-film seperti Super 8, Somewhere, We Bought a Zoo, Twixt dan masih banyak lagi. Kali ini ia membintagi film Ginger & Rosa yang merupakan garapan sutradara senior Sally Potter bersama sesama aktris remaja, Alice Englert (Beautiful Creatures). Filmnya sendiri akan ber-setting pada tahun 1962 pada saat ancaman nuklir tengah dirasakan di seluruh dunia sebagai salah satu dampak terjadinya perang dingin pada saat itu. 

Pada masa krisis tersebut hiduplah dua orang gadis remaja, Ginger (Elle Fanning) dan Rosa (Alice Englert) yang lahir di hari serta temptat yang sama. Keduanya pun tumbuh sebagai sepasang sahabat yang selalu menghabiskan hari-hari mereka bersama. Kehidupan keluarga Ginger dan Rosa sendiri sama-sama tidak berjalan lancar. Rosa sudah ditinggalkan oleh ayahnya dan merasa tidak mendapat perhatian yang semestinya dari sang ibu, sedangkan Ginger sendiri meskipun kedua orang tuanya masih belum berpisah tapi harus menghadapi fakta bahwa sudah tidak ada lagi kebahagiaan dalam hubungan kedua orang tuanya. Sang ayah, Roland (Alessandro Nivola) memang dekat dengan Ginger tapi ia hampir tidak pernah berada di rumah. Sang istri, Natalie (Christina Hendricks) pun merasa tidak lagi mendapat kasih sayang dan mencurigai sang suami berselingkuh dengan salah seorang muridnya. Kondisi tersebut akhirnya mempengaruhi Ginger dan Rosa yang menjadi anak yang broken home. Namun kondisi krisis dunia akibat ancaman nuklir serta fakta bahwa keduanya mempunyai kepribadian yang berbeda membuat persahabatan mereka perlahan mulai berubah.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

LITTLE MISS SUNSHINE (2006)

4 komentar
 
Film perdana dari duet sutradara sekaligus pasangan suami istri Jonathan Dayton dan Valerie Faris ini layak jika dinobatkan tidak hanya sebagai salah satu film terbaik tahun 2006 tapi juga salah satu film tersukses pada tahun tersebut yang hingga sekarang pun masih sering dibicarakan. Dengan bujet hanya $8 juta, film dramedi keluarga kecil ini sanggup mengumpulkan pendapatan diatas $100 juta. Tidak hanya itu, Little Miss Sunshine juga berhasil mendapatkan empat nominasi di ajang Oscar tahun 2007 untuk Best Picutre, Best Supporting Actress (Abigail Breslin menjadi aktris termuda yang mendapat nominasi untuk kategori ini), Best Supporting Actor (Alan Arkin) dan Best Adapted Screenplay dimana film ini berhasil memenangkan dua diantaranya yaitu untuk naskah adaptasi terbaik dan aktor pendukung terbaik bagi Alan Arkin. Filmnya sendiri akan membawa kita kepada sebuah road movie yang dikombinasikan dengan unsur keluarga disfungsional yang akan dipaparkan dalam kemasa drama komedi. Kisah keluarga disfungsional tidak pernah terasa selucu dan sehangat seperti yang saya tonton dalam film ini. Jadi keluarga disfungsional macam apakah yang dihadirkan dalam naskah karya Michael Arndt (Toy Story 3, Star Wars Episode VII) ini?

Ini adalah kisah keluarga dari seorang wanita bernama Sheryl Hoover (Toni Collette), seorang istri sekaligus ibu dari dua orang anak yang tinggal di Albuquerque, Nex Mexico. Sheryl harus menghadapi fakta bahwa keluarganya tidaklah sehangat dan seindah yang ia harapkan. Sang suami, Richard (Greg Kinnear) adalah seorang motivator yang begitu membenci para loser dan begitu berambisi hidup sebagai seorang pemenang dan selalu mencekoki keluarganya dengan metode-metode untuk hidup dalam keberhasilan. Sang putera, Dwayne (Paul Dano) adalah remaja anti-sosial hidup dalam ketidak bahagiaan dan sedang berpuasa bicara sampai ia bisa memenuhi impiannya menjadi pilot di US Air Force Academy. Puterinya yang baru berusia tujuh tahun, Olive (Abigail Breslin) begitu berambisi menjadi seorang puteri kecantikan dan terus berlatih untuk kompetisi tersebut bersama sang kakek, Edwin (Alan Arkin) yang seorang pecandu heroin. Seolah masih belum cukup, Sheryl harus membawa pulang saudaranya, Frank (Steve Carrell), seorang gay yang baru saja melakukan usaha bunuh diri. Tentu saja keluarga ini tidak pernah akur dan sering bertengkar, sampai suatu saat mereka harus melakukan perjalanan bersama-sama menuju California dengan menaiki microbus guna mengantar Olive mengikuti ajang kecantikan Little Miss Sunshine.

4 komentar :

Comment Page:

STORIES WE TELL (2012)

3 komentar
Mengawali karir sebagai aktris yang angkat nama lewat film-film seperti Dawn of the Dead, eXistenZ hingga My Life Without Me, Sarah Polley kini mulai mematenkan namanya sebagai salah satu sutradara yang patut diperhitungkan. Dua film yang disutradarainya yakni Away from Her dan Take This Waltz berhasil mendapat tanggapan sangat baik dari para kritikus. Bahkan naskah adaptasi yang ia tulis dalam Away from Her mendapat nominasi Oscar. Setelah berhasil lewat dua drama tersebut, Polley memilih untuk menyutradarai sebuah film dokumenter sebagai karya ketiganya. Yang menarik dari dokumenter ini adalah materi yang diangkat merupakan rangkuman kehidupan pribadi Polley sendiri. Stories We Tell mengajak kita untuk menelusuri hubungan yang terjadi antara kedua orang tua Sarah Polley termasuk usaha yang ia lakukan untuk mengungkap sebuah rahasia besar mengenai jati diri ayah kandungnya. Yang menarik sebenarnya kisah tersebut sudah diketahui oleh beberapa jurnalis, namun mereka memilih tidak mempublikasikan kisah tersebut untuk menghormati Polley hingga ia siap untuk menuturkan kisah itu lewat caranya sendiri.

Stories We Tell memulai kisahnya saat kedua orang tua Polley yang sama-sama pelakon teater yakni Michael Polley dan Diane Elizabeth pertama kali bertemu dan saling jatuh cinta. Kemudian narasinya akan berjalan disaat satu per satu dari anggota keluarga Sarah Polley beserta kerabat-kerabat lain dari kedua orang tuanya mulai bercerita tentang sosok sang ibu yang telah meninggal saat Sarah berusia 11 tahun. Dari situlah perlahan kita mulai mempelajari bagaimana sosok dan kepribadian kedua orang tua Sarah, bagaimana pernikahan mereka berjalan, hingga pada akhirnya kita sampai pada penelusuran mengenai misteri siapa sebenarnya ayah kandung dari Sarah Polley. Film ini mengajak kita untuk mendengarkan cerita yang dituturkan oleh masing-masing narasumber sambil sesekali menyuguhkan rekonstruksi dari ceritanya yang dikemas dengan menarik. Adegan rekonstruksi tersebut terasa sangat menarik karena Sarah Polley memilih mengambil gambarnya dengan kamera Super-8 yang membuatnya terasa seperti footage sungguhan. Pengemasan setting lokasi, kostum dan tata make-up untuk para aktor dan aktrisnya makin membuat rekonstruksi tersebut serasa nyata. Saya seolah diajak untuk melihat secara langsung kejadian yang diceritakan oleh narasumbernya.

3 komentar :

Comment Page:

NOROI: THE CURSE (2005)

7 komentar
 
Film karya Koji Shiraishi ini dirilis pada masa dimana film horor yang memakai teknik found footage atau disebut juga mockumentary masih belum terlalu menjamur seperti sekarang. Pada saat itu belum ada Paranormal Activity dan The Blair Witch Project masih dianggap sebagai film mockumentary terbaik yang pernah ada. Seolah ingin menjawab keberhasilan Amerika memproduksi horor found footage, Koji Shiraishi kemudian membuat Noroi: The Curse yang hingga saat ini dianggap sebagai mocku-horror terbaik yang dimiliki oleh perfilman Asia. Semenjak kesuksesan film ini juga Koji Shiraishi seolah mendedikasikan karirnya untuk menyajikan film-film dengan gaya serupa (setelah The Curse Shiraishi membuat empat film mocku-horror lagi). Seperti mayoritas film bertemakan found footage, Noroi juga dikemas sedemikian rupa supaya terlihat seperti sebuah kejadian nyata guna menambah tingkat keseraman filmnya. Jika anda termasuk orang yang gemar menonton acara televisi Jepang di YouTube yang memperlihatkan rekaman penampakan hantu, maka anda akan menjumpai kemiripan opening film ini dengan acara tersebut. Gambar yang direkam dengan kualitas tidak seberapa dan diiringi voice-over dramatis dari seorang pria yng menarasikan isi dari rekaman tersebut.

Ceritanya sendiri berpusat pada penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli supranatural bernama Masafumi Kobayashi. Kobayashi selama ini telah menerbitkan berbagai macam buku mengenai hal-hal yang sifatnya supranatural, dan kali ini ia berniat untuk mendokumentasikan investigasi yang ia lakukan terhadap kasus-kasus paranormal yang ada. Beberapa kasus pun mulai ia selidiki, termasuk kasus yang menimpa seorang aktris bernama Maria Takagi dimana ia sempat keseurupan saat menjalani shooting sebuah variety show. Awalnya berbagai kasus tersebut nampak tidak saling berhubungan, tapi seiring dengan penyelidikan Kobayashi yang semakin dalam, ia pun perlahan menyadari bahwa semua hal tersebut sesungguhnya saling berkaitan dan menciptakan misteri horor yang jauh lebih besar.

7 komentar :

Comment Page:

LIEBSTER AWARD (AGAIN)

5 komentar
 
Ya, sebelumnya posting mengenai Liebster Award dan Sunshine Award sudah pernah saya posting di sini. Namun karena ada beberapa blog yang kembali menominasikan blog ini dan setelah membaca pertanyaannya saya merasa cukup menarik untuk dijawab, saya pun memutuskan untuk menjawab kembali pertanyaan-pertanyaan di Liebster Award. Blog-blog yang menominasikan saya kali ini adalah Movievora dan It Caught My Eyes. Dalam postingan kali ini hanya Liebster Award saja yang jawab dan saya tidak menominasikan blog lagi karena postingan kali ini murni untuk seru-seruan menjawab pertanyaan dari blog yang menominasikan saya tersebut.

5 komentar :

Comment Page:

IDENTITY THIEF (2013)

Tidak ada komentar
Identity Thief merupakan sebuah kejutan diawal tahun ini saat berhasil mengumpulkan lebih dari $170 juta dan hingga saat ini berada di peringkat delapan di jajaran film dengan pendapatan terbanyak di North America. Bagi sang sutradara Seth Gordon, keberhasilan ini melanjutkan track record positifnya setelah dua film sebelumnya yakni Four Christmasses dan Horrible Bosses juga sanggup mendapatkan banyak pundi-pundi uang. Bahkan untuk Horrible Bosses yang rilis dua tahun lalu tidak hanya berhasil meraih pendapatan diatas $200 juta tapi juga mendapat tanggapan positif dari para kritikus. Dalam Identity Thief, Seth Gordon membawa kembali aktor Jason Bateman yang juga menjadi bintang utama dalam Horrible Bosses. Tidak hanya itu, sebagai lawan main Bateman digaetlah properti komedi terpanas Hollywood saat ini, yaitu Melissa McCarthy. Ditambah beberapa bintang lainnya seperti Jon Favreau, John Cho, Genesis Rodriguez hingga T.I. Identity Thief merupakan usaha ambisius dari Seth Gordon untuk lagi-lagi menggabungkan unsur komedi dengan drama kriminal berbalut sedikit action seperti yang telah ia lakukan dalam Horrible Bosses.

Sandy Patterson (Jason Bateman) merupakan seorang akuntan dengan penghasilan biasa-biasa saja yang bekerja di sebuah perusahaan besar. Meski tidak mendapatkan penghasilan yang melimpah, kehidupan Sandy sudah cukup bahagia dengan keberadaan dua orang anaknya serta dukungan dari sang istri, Trish Patterson (Amanda Peet). Tapi kehidupan Sandy yang sederhana namun bahagia tersebut menjadi berantakan saat identitasnya dicuri oleh seorang wanita bernama Diana (Melissa McCarthy). Dengan mencuri identitas Sandy, Diana pun mulai menggunakan kartu kredit milik Sandy sepuasnya dan membuat Sandy terperangkap dalam tagihan yang menumpuk. Bahkan hal tersebut sempat membuat Sandy menjadi tersangka dalam berbagai tindak kejahatan yang sebenarnya dilakukan oleh Diana. Lebih parah lagi, kasus tersebut turut membuat Sandy terancam kehilangan pekerjaannya. Tidak ingin hidupnya semakin berantakan, Sandy memilih pergi ke Florida untuk mencari Diana dan menyeretnya sendiri kepada polisi. Maka terjadilah perjalanan penuh kekacauan yang dilakukan oleh Sandy dan Diana sepanjang film ini.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MEN BEHIND THE SUN (1988)

6 komentar
Jika Hollywood mempunyai rating NC-17 untuk film-film yang memiliki konten seksual atau kekerasan yang kental, maka di Hong Kong ada rating III untuk film-film yang tidak diperkenankan menjadi konsumsi usia dibawah 18 tahun. Sekedar informasi, rating III di Hong Kong mulai digunakan pada akhir tahun 80-an disaat perfilman Hong Kong tengah mengalami krisis penonton. Pada era tersebut disaat televisi dan home video mulai merajalela, bioskop di Hong Kong mulai sepi penonton, salah satu strategi yang digunakan para filmmaker untuk menarik perhatian penonton adalah dengan membuat film-film eksploitasi yang menampilkan berbagai adegan sadisme dengan begitu gamblang. Men Behind the Sun karya sutradara T.F. Mous ini merupakan salah satu pionir dari film-film eksploitasi di Hong Kong sekaligus film pertama yang mendapatkan rating III. Ceritanya sendiri diangkat dari kisah nyata mengenai aktivitas dari Unit 731 milik tentara Jepang yang semasa Perang Dunia II melakukan eksperimen terhadap manusia sebagai uji coba untuk menciptakan senjata biologis. Meski Mous mengklaim bahwa filmnya berfokus pada akurasi sejarah, banyak yang mengkritisi film ini terlalu berfokus pada eksploitasinya, bahkan kisah dibalik layarnya pun turut mengundang banyak kontroversi.

Unit 731 merupakan sebuah unit milik tentara Jepang yang ditempatkan di Cina dan berokus melakukan penelitian guna mengembangkan senjata biologis yang diharapkan dapat memberi kemenangan kepada Jepang di medan perang. Dalam penelitian tersebut, Unit 731 dipimpin oleh Letjen Shiro Ishii (Gang Wang) dan melakukan eksperimen terhadap para tahanan yang berasal dari Cina dan Rusia yang notabene merupakan musuh Jepang di Perang Dunia II saat itu. Disisi lain film ini juga akan menyoroti sekumpulan bocah yang tergabung dalam kesatuan Youth Corps, sebuah kesatuan militer Jepang yang terdiri dari anak-anak muda. Mereka tidak hanya digembleng dengan berbagai latihan-latihan militer yang keras namun juga dipaksa untuk menyaksikan berbagai eksperimen kejam yang dilakukan oleh Unit 731 atas nama pelatihan dan pendidikan. Disisi lain kita juga akan melihat bagaimana bocah-bocah ini menjalin persahabatan dengan seorang bocah Cina yang bisu.

6 komentar :

Comment Page:

PRINCE AVALANCHE (2013)

Tidak ada komentar
Sutradara David Gordon Green adalah orang yang berada dibalik kesuksesan sebuah komedi gila berjudul Pineapple Express. Semenjak kesuksesan film tersebut, namanya seolah begitu lekat dengan film-film komedi "jorok" setelah ia merilis Your Highness hingga The Sitter. Tapi sebelum menjamah ranah komedi mainstream, sebenarnya ia lebih banyak berkecimpung di dunia perfilman indie lewat film-film drama berbujet rendah. Namun sang sutradara nampaknya rindu untuk merasakan kembali bagaimana rasanya membuat film kecil yang kental dengan nuansa indie setelah ia memutuskan membuat Prince Avalanche yang tidak mendapat publikasi apapun saat proses produksi atas permintaannya sendiri. Film yang debut di Sundance Film Festival 2013 ini memang sebuah drama kecil dengan bujet hanya $60 ribu dan dibintangi oleh Paul Rudd dan Emile Hirsch. Naskahnya yang ditulis oleh David Gordon Green sendiri merupakan adaptasi lepas dari sebuah film Islandia berjudul Either Way yang rilis pada tahun 2011 lalu.

Alvin (Paul Rudd) dan adik pacarnya, Lance (Emile Hirsch) tengah menghabiskan musim panas mereka dengan bekerja sebagai pembuat marka jalan di sebuah jalanan di pinggiran kota yang begitu sepi. Di tempat yang tidak ada orang selain mereka berdua tersebut, Alvin dan Lance harus menghabiskan hari-hari mereka dengan beraktivitas hanya berdua. Masalahnya adalah mereka berdua sama sekali tidak menemukan kecocokan satu sama lain. Alvin yang mempekerjakan Lance merasa bahwa adik pacarnya itu adalah seorang laki-laki tidak berguna yang tidak berkompeten dalam melakukan apapun dan hanya memikirkan hasratnya untuk berhubungan seks. Sedangkan Lance merasa bahwa pekerjaan yang ia jalani begitu membosankan, sama membosankannya dengan sosok Alvin yang tidak bisa sedikitpun ia ajak bersenang-senang. Dengan penuh keterpaksaan mereka berdua harus menghabiskan sisa musim panas hanya berdua saja di tempat terpencil tersebut sambil sesekali berinteraksi dengan seorang supir truk dan seorang wanita tua misterius yang tempat tinggalnya habis terbakar setahun yang lalu.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE HEAT (2013)

Tidak ada komentar
Meski nominasi Oscar yang didapat oleh Melissa McCarthy terasa berlebihan, tapi harus diakui bahwa perannya sebagai Megan dalam Bridesmaids merupakan sebuah penampilan yang luar biasa lucu. Semenjak keberhasilan itulah nama Melissa McCarthy dalam genre komedi seolah sama dengan Dwayne Johnson dalam genre action. Jika ingin membuat film komedi yang laris, pakailah McCarthy. Jadi walaupun kualitas filmnya buruk sekalipun penonton dijamin bisa terhibur saat McCarthy muncul di layar. Ambil contoh Identity Thief yang diluar dugaan sanggup meraih pendapatan diatas $170 juta. Kali ini McCarthy kembali berkolaborasi dengan sutradara Paul Feig yang tidak lain adalah orang yang berada dibalik kesuksesan Bridesmaids dua tahun lalu. Kali ini McCarthy akan diduetkan dengan Sandra Bullock yang berkebalikan dengan lawan mainnya sedang jarang terlihat bermain dalam film akhir-akhir ini. Namun sesungguhnya kapasitas Sandra Bullock untuk bermain dalam film komedi tidak perlu diragukan lagi, asalkan ia tidak bermain dalam standar All About Steve, maka saya yakin semuanya akan berjalan lancar. 

Meski tidak menampilkan cerita yang baru, tetap saja premis mengenai buddy cop movie yang menampilkan sepasang polisi wanita akan terasa menarik setelah buddy cop yang menghadirkan dua pemeran utama pria sudah semakin terasa membosankan. Akan ada Sarah Ashburn (Sandra Bullock), seorang special agent FBI yang memiliki kemampuan deduksi luar biasa namun tidak disukai oleh rekan-rekannya akibat perangai sombong yang selalu ia munculkan. Disisi lain ada seorang anggota kepolisian Boston bernama Shannon Mullins (Melissa McCarthy) yang juga merupakan seorang polisi lapangan handal namun berkelakuan kasar layaknya preman. Suatu hari mereka berdua terpaksa harus bekerja sama disaat Sarah diberi tugas untuk menyelidiki mengenai seorang bandar narkoba misterius bernama Larkin yang ditengarai melakukan aksinya di Boston. Tentu saja seperti pada buddy movie lainnya Sarah dan Shannon pada awalnya tidak akan bisa berinteraksi apalagi bekerja sama dengan baik, hingga akhirnya berbagai kesulitan yang mereka hadapi mulai membuat mereka bersatu.

Segala formula yang biasa dipakai dalam buddy movie ada disini dan The Heat nampak memilih jalur aman dengan tidak mengutak-atik standar yang ada tersebut. Tentu saja kita semua tahu meski pada awalnya Sarah dan Shannon nampak bagaikan kucing dan anjing yang selalu bertengkar, pada akhirnya mereka akan menjadi partner bahkan sahabat yang begitu dekat satu sama lain. Untuk jalan cerita yang dihadrikan pun tidak memiliki sesuatu yang spesial. Selain konflik utama mengenai kasus yang tengah mereka berdua tangani kita juga akan dihadapkan pada konflik lain yang pastinya menyangkut sisi pribadi mereka dan bagaimana akhirnya mereka berdua bisa menjadi sahabat baik. Pada akhirnya segala konflik tersebut tidak ada yang bisa mengambil atensi saya secara keseluruhan. Sesungguhnya berbagai konflik tersebut telah dibagi dalam porsi yang cukup merata, hanya saja nampak tidak ada usaha untuk membuatnya menjadi lebih menarik. Misteri mengenai siapa sebenarnya sang pengedar narkoba dan penyelidikan yang ada sama sekali tidak menarik dan terlalu mudah ditebak. Kisah persahabatan ataupun kekeluargaan yang coba diangkat juga tidak terasa mengena. 
Sesungguhnya daya tarik utama dari sebuah buddy cop movie memang bukanlah ceritanya yang menarik melainkan bagaimana kedua karakter utamanya saling berinteraksi. Dalam hal inilah Sandra Bullock dan Melissa McCarthy sanggup melakukan tugas mereka dengan begitu baik entah disaat mereka harus melucu sendiri ataupun saling berinteraksi satu sama lain. Pada awalnya semua terasa tidak berjalan lancar. Sandra Bullock masih jauh dari kata lucu dan Melissa McCarthy malah terasa begitu menyebalkan. Sungguh, di paruh awal film dengan lelucon yang tidak lucu, cerita tidak menarik serta kombinasi kedua pemainnya yang kurang maksimal membuat The Heat terasa begitu berantakan dan membosankan. Namun semua mulai terasa menarik saat duo Bullock-McCarthy mulai menemukan sentuhan mereka. Segala umpatan dan sikap kasar McCarthy yang diawal begitu menyebalkan semakin terasa lucu seiring dengan berjalannya cerita. Dan hal tersebut terasa makin sempurna saat dipadukan dengan bagaimana Sandra Bullock memaksimalkan caranya merespon segala situasi yang ia alami dengan begitu lucu. Sangat disayangkan The Heat tidak berusaha memaksimalkan aspek lainnya, namun untunglah aspek utama dari buddy movie tersebut dapat dimaksimalkan dengan baik.

Jika bicara kurva, maka kurva dari film ini benar-benar terasa seperti tanjakan. Di paruh awal semuanya terasa datar dan membosankan, sampai kemudian perlahan-lahan kelucuannya semakin terasa dan daya tariknya pun semakin meningkat. Memang kelucuan ataupun daya tarik film ini tidak pernah sampai pada titik tertinggi, namun setidaknya masih menjadi hiburan yang menyenangkan dan mampu menghasilkan lebih dari sekedar senyum simpul di mulut saya. Adegan-adegan seperti sumpah serapah yang diucapkan Sandra Bullock di tengah rapat FBI atau bagaimana Bullock dan McCarthy berusaha kabur dari tawana musuh di klimaks adalah beberapa contoh highlights dari film ini. Akhirnya The Heat memang masihlah sebuah sajian menghibur yang sanggup memproduksi tawa dalam kadar yang lumayan, namun sayangnya dengan cerita yang begitu biasa dan hanya mengandalkan performa kedua pemain utamanya, film ini hanya terasa sebagai parade lelucon yang cukup lucu namun tidak lebih. Apalagi The Heat terasa lambat panas dan tidak "sepanas" judulnya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

VIDEODROME (1983)

1 komentar
Sebagai master of body horror, awal karir David Cronenberg diisi oleh begitu banyak film-film bertemakan body horror yang tidak hanya menyajikan sajian mengerikan nan menjijikkan namun juga dipenuhi aspek psikologis serta kritik sosial. Sekedar informasi bagi anda yang belum tahu, istilah body horror digunakan abgi sub-genre horor yang menampilkan perubahan tubuh manusia sebagai sajian utamanya. Misalkan sebuah virus mengubah tubuh seseorang menjadi monster lalat raksasa dan lain-lain. Intinya body horror menampilkan eksploitasi menjijikkan terhadap tubuh manusia dalam filmnya. Sebelum menciptakan The Fly yang merupakan karya paling terkenalnya, David Cronenberg terlebih dahulu membuat Videodrome, sebuah suguhan yang seolah-olah meramalkan bagaimana nantinya televisi bisa begitu mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam Videodrome, Cronenberg akan memamparkan visinya tentang bagaimana sebuah tontonan dalam televisi bisa mempengaruhi orang-orang yang menontonnya. Tentunya karena ini film Cronenberg, satir tersebut disajikan dengan cara semenjijikkan mungkin lewat eksploitasi body horror-nya.

Max Renn (James Woods) adalah seorang pimpinan dari sebuah stasiun televisi bernama CIVIC-TV. Namun apa yang dipertontonkan Max lewat siaran televisinya adalah tontonan yang kontroversial, karena ia lebih berfokus pada menyajikan tontonan-tontonan penuh kekerasan ataupun kadar seksual yang tinggi. Namun kini Max mulai tidak puas dengan acara-acara tersebut. Dia menginginkan sebuah acara yang lebih brutal, keras dan gamblang dalam menyajikan seks ataupun violence. Keinginannya tersebut terjawab saat salah seorang karyawannya, Harlan (Peter Dvorsky) berhasil membajak sebuah sinyal acara televisi yang ditengarai berasal dari Malaysia (kemudian diketahui sebenarnya sinyal tersebut berasal dari Pittsburgh). Acara yang berjudul Videodrome tersebut merupakan sajian tanpa plot yang hanya berisikan penyiksaan, kekerasan dan pembunuhan terhadap karakternya. Tentu saja Max tergiur melihat segala sajian brutal tersebut. Guna mencari tahu lebih dalam, Max pun mulai menyelidiki asal muasal acara tersebut. Tapi perlahan Max mulai menyadari sebuah keanehan saat ia mulai sering mengalami halusinasi yang mengerikan.

1 komentar :

Comment Page:

SHADOW DANCER (2012)

Tidak ada komentar
Setiap mendengar nama Clive Owen saya selalu merasa kebingungan. Bukan, bukan karena saya tidak mengenal aktor berusia 48 tahun tersebut, tapi saya kebingungan karena fakta bahwa Clive Owen hingga saat ini belum juga mendapat status aktor kelas A Hollywood, padahal ditinjau dari jajaran film hingga prestasi yang telah ia dapat, seharusnya nama Clive Owen sudah bersanding sejajar dengan aktor-aktor kelas satu macam George Clooney. Jelas dia punya penampilan fisik yang menarik dengan wajah tampan dan sosok macho. Dia pernah memenangkan Golden Globe serta mendapat nominasi Oscar saat bermain dalam film Closer. Clive Owen juga memiliki jajaran film yang tidak hanya sukses secara finansial namun juga mendapat pujian luar biasa dari para kritikus sebut saja Sin City, Children of Men, Gosford Park, Inside Man, Duplicity, The Bourne Identity dan masih banyak lagi. Dalam Shadow Dancer garapan sutradara James Marsh yang terkenal lewat film-film dokumenter macam Project Nim dan Man on Wire, Clive Owen berperan sebagai agen MI5 dan akan beradu peran dengan Andrea Riseborough (Oblivion).

Akibat sebuah kejadian traumatis di masa kecilnya, Colette (Andrea Riseborough) memilih untuk bergabung dalam organisasi militer pemberontak IRA. Suatu hari Colette mendapat tugas untuk meledakkan bom di sebuah subway di London. Namun misi tersebut gagal dan Colette pun tertangkap oleh MI5 yang dipimpin oleh seorang agen bernama Mac (Clive Owen). Pihak MI5 menawarkan perjanjian pada Colette bahwa ia boleh memilih menghabiskan waktu 25 tahun di dalam penjara atau menjadi mata-mata bagi pihak MI5 untuk memata-matai pergerakan IRA. Tentu saja itu memberikan Colette sebuah dilema karena jika ia menolak bekerja sama ia akan dipenjara dalam waktu lama dan itu akan memisahkannya dari sang putera tunggal yang masih kecil. Namun jika ia memilih bekerja sama dengan MI5, itu artinya Colette harus mengkhianati keluarganya termasuk kedua kakak dan ibunya yang juga merupakan anggota IRA.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

PAIN & GAIN (2013)

Tidak ada komentar
Dengan bujet hanya $26 juta, Pain & Gain menjadi film termurah kedua sepanjang karir Michael Bay dan hanya sedikit lebih mahal dari Bad Boys yang merupakan debut film Bay yang hanya berbujet $19 juta. Tentu saja hal ini cukup mengejutkan mengingat dalam beberapa tahun terakhir Bay selalu identik dengan Transformers yang memiliki bujet ratusan juta. Lebih mengejutkan lagi mengetahu fakta bahwa film ini nyaris tidak menampilkan ledakan dalam filmnya dan lebih berfokus pada sajian komedi hitam daripada adegan aksi yang memacu adrenaline. Film Michael Bay tanpa ledakan bombastis dan minim adegan aksi? Terdengar aneh namun begitulah faktanya. Pain & Gain sendiri sebenarnya merupakan sebuah proyek yang telah lama diimpikan Bay. Sejak beberapa tahun yang lalu ia memang seringkali mengungkapkan ingin menggarap proyek komedi hitam berbujet kecil. Kisahnya sendiri diangkat dari sebuah artikel yang dipublikasikan pada 1999 di Miami New Times dan ditulis oleh Pete Collins. Artikel itu sendiri berdasarkan kisah nyata tentang penculikan, perampokan serta pembunuhan yang dilakukan oleh para bodybuilder atau binaragawan. 

Daniel Lugo (Mark Wahlberg) adalah seorang instruktur di sebuah gym yang begitu terobsesi akan kebugaran tubuh dan American dreams. Suatu hari ia datang ke sebuah seminar yang diadakan oleh Johnny Wu (Ken Jeong). Melalui semianr tersebut, Daniel merasa harus melakukan sesuatu yang besar untuk membuat hidupnya lebih baik. Untuk itulah ia berniat melakukan penculikan dan pemerasan terhadap salah seorang kliennya, Victor Kershaw (Tonny Shalhoub). Namun untuk melakukan aksi ini, Daniel butuh bantuan. Untuk itulah ia mengajak rekannya sesama bodybuilder, Adrian (Anthony Mackie) yang baru saja didiagnosa menderita impotensi akibat penggunaan steroid yang berlebih dan seorang pegawai baru, Paul Doyle (Dwayne Johnson) yang merupakan mantan narapidana yang telah tobat dan ingin mengabdikan hidupnya kepada Yesus Kristus. Maka mereka bertiga pun melakukan aksinya. Namun pada dasarnya mereka tetaplah seorang binaraga dan bukannya penjahat profesional, jadi walaupun berbagai rencana sudah mereka persiapkan tetap saja kekacauan terjadi di lapangan.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

PEEPING TOM (1960)

Tidak ada komentar
Ada kalanya sebuah hasil karya lebih maju daripada zamannya. Hal itulah yang sering membuat banyak ilmuwan yang sering dianggap gila pada saat mereka masih hidup dan saat sudah meninggal barulah mereka dianggap jenius. Hal yang kurang lebih sama terjadi pada film karya sutradara Michael Powell ini. Pada awal perilisannya, Peeping Tom mendapat tanggapan sangat negatif dari para kritikus serta tidak berhasil mendapat pendapatan yang memuaskan. Bahkan karir Michael Powell pun ikut hancur seiring dengan respon negatif terhadap film ini. Namun seiring dengan berjalannya waktu, banyak re-evaluasi terhadap film ini dan banyak kritikus yang mengkoreksi pendapat mereka kepada film ini. Alhasil memasuki era 70-an, film ini perlahan mulai mendapat status cult bahkan dianggap sebagai masterpiece yang sering dimasukkan dalam daftar thriller terbaik sepanjang masa. Peeping Tom juga sering dibanding-bandingkan dengan Psycho milik Alfred Hitchcock yang dirilis hanya berselang tiga bulan setelah film ini.

Mark Lewis (Carl Boehm) adalah seorang kru film yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai fotografer soft-porn. Dibalik kebiasaannya yang tidak pernah lepas dari kameranya, Mark ternyata memiliki kebiasaan lain yang mengerikan dan tidak diketahui oleh siapapun, yakni membunuh wanita dan merekam ekspresi korbannya. Untuk apa Mark merekam sang korban? Jawabannya adalah karena ia begitu terobsesi pada ekspresi mereka yang ketakutan disaat mengetahui ajal akan segera menjemput. Mark sendiri tinggal di rumah peninggalan mendiang ayahnya dimana ia tinggal di lantai dua, sedangkan lantai bawah ia sewakan pada beberapa orang termasuk seorang wanita bernama Helen (Anna Massey). Helen sendiri mereasa tertarik pada sosok Mark yang pendiam dan misterius. Mark sendiri nampaknya mulai tertarik pada sang wanita. Mark yang selama ini tidak pernah banyak bersosialisasi pun mulai menjalin hubungan dengan Helen. Seiring dengan hubungannya dengan Mark, Helen perlahan mulai mengetahu beberapa hal termasuk masa lalu Mark yang kelam.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE LORDS OF SALEM (2012)

Tidak ada komentar
Setelah puas membuat remake Halloween beserta sekuel-nya, Rob Zombie memilih untuk kembali membuat film dengan cerita original seperti saat ia menulis sekaligus menyutradarai House of 1000 Corpses dan sekuelnya The Devil's Reject. Dengan judul film yang mengingatkan pada film Tobe Hooper, Salem's Lot, The Lords of Salem mengeksplorasi kisah mengenai para penyihir dan penyembah setan. Kisahnya dibuka lewat sebuah prolog yang dibacakan oleh seorang Pendeta bernama Jonathan Hawthorne (Andrew Prine) yang pada tahun 1696 menyadari keberadaan para pemuja setan di kota Salem. Menyadari hal tersebut sang Pendeta pun tidak berdiam diri dan memutuskan menghentikan mereka dengan cara membakar hidup-hidup para penyembah setan tersebut. Kemudian kisahnya berpindah ke masa sekarang untuk berfokus pada seorang wanita bernama Heidi (Sherri Moon Zombie) yang kesehariannya bekerja sebagai penyiar radio. Suatu hari ia mendapat kiriman berupa sebuah piringan hitam yang berisi lagu dari sebuah band bernama Lords of Salem. Tapi anehnya setiap kali mendengarkan lagu yang ada, Heidi langsung merasa ada keanehan pada tubuhnya. Yang tidak Heidi ketahui adalah lagu tersebut mempunyai hubungan dengan perkumpulan okultisme yang berada di Salem lebih dari tiga abad yang lalu.

Ada para wanita telanjang penyembah setan yang mencela ajaran Kristiani, ada musik yang dikutuk untuk memuja setan, ada makhluk supranatural berwujud aneh, ada gambaran-gambaran surreal yang absurd sekaligus disturbing, dan tidak lupa kemunculan kambing, The Lords of Salem bagaikan sebuah extended version dari video klip band black metal. Jadi bisa dibilang film ini merupakan film Rob Zombie yang kisah serta penggarapannya mungkin paling mendekati angan-angan serta visinya sebagai sutradara sekaligus musisi metal. Kenapa saya menganggap ini adalah versi panjang dari video klip black metal? Karena disamping berbagai unsur diatas, The Lords of Salem terasa lebih unggul jika bicara aspek visual dibandingkan kemampuannya bertutur. Cerita boleh saja berantakan ataupun tidak jelas, yang penting gambar-gambar yang disajikan enak dipandang, kurang lebih seperti itulah film ini. Cerita tentang seseorang yang harus terjebak dalam hal supranatural karena "darah" yang dibawanya dari nenek moyang memang sudah biasa diceritakan dalam film horor. Untuk itulah Rob Zombie membungkus film ini dengan berbagai visualisasi unik yang terasa creepy.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BEFORE MIDNIGHT (2013)

13 komentar
Sudah dua setengah tahun yang lalu semenjak saya dibuat jatuh cinta dengan kisah Jesse dan Celine lewat dua film Before Sunrise dan Before Sunset yang luar biasa itu. Saya tidak mengira bahwa akan ada film ketiganya yang lagi-lagi berjarak sembilan tahun dari film sebelumnya (Sunrise rilis 1995, Sunset 2004). Kalau ada film di tahun 2013 yang paling was-was saya nantikan karena begitu khawatir film tersebut akan punya kualitas mengecewakan maka jawabannya adalah Before Midnight, dan pada akhirnya ketika film ini mendapat nilai 98% di Rotten Tomatoes saya pun dengan semakin antusias menanti lanjutkan kisah cinta paling romantis dalam film ini. Seperti bagaimana Before Sunset menjawab pertanyaan "apakah akhirnya Jesse dan Celine bertemu lagi enam bulan kemudian?", Before Midnight juga menjawab pertanyaan "apakah akhirnya Jesse melewatkan pesawatnya di Before Sunset?" Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah "ya", karena disini Jesse dan Celine telah menjadi sepasang suami istri yang mempunyai sepasang anak kembar. 

Kali ini kisahnya berlokasi di Yunani disaat Jesse dan Celine tengah menjalani liburan musim panas. Disanalah kita kembali diajak mengikuti obrolan antara mereka berdua yang kali ini lebih menyoroti bagaimana hubungan keduanya yang semakin lama semakin dirundung permasalahan. Tentu saja Before Midnight masih membawa formula yang sama dengan kedua pendahulunya, yakni sebuah tontonan yang mayoritas berisi dialog demi dialog. Tentu saja film ini juga masih akan menampilkan rangkaian long shots yang sudah pasti hanya berisikan tokoh-tokohnya saling bertukar obrolan satu sama lain. Tapi jika anda begitu mencintai dua film pertamanya, maka semakin panjang obrolan semakin besar pula kesenangan yang anda dapatkan. Saya sudah dibuat girang sekaligus takjub saat Jesse dan Celine terus berbicara selama lebih dari 10 menit disaat mereka tengah berada di dalam perjalanan. Jesse terus berbicara sambil menyetir mobil, begitu pula Celine di sampingnya yang tidak pernah kehabisan kata-kata. Adegan tersebut terletak setelah opening-nya yang juga terasa spesial dimana kita akan melihat obrolan antara Jesse dengan puteranya dari sang mantan istri, Hank. Adegan pembuka itu saja sudah sanggup membuat saya terharu namun juga memunculkan senyum di bibir saya.

13 komentar :

Comment Page:

THE HOST (2006)

7 komentar
Sudah beberapa kali saya berniat menonton film berstatus "paling laris sepanjang masa di Korea" ini di televisi tapi selalu berhalangan dan akhirnya hanya menonton tidak sampai 20 menit durasinya. Hingga pada akhirnya setelah saya dibuat kagum oleh film-film Bong Joon-ho lainnya seperti Memories of Murder dan Mother, saya kesampaian juga untuk menonton The Host. Saya sendiri kembali tertarik menonton film ini karena faktor Bong Joon-ho. Pada tahun 2013 ini, Bong Joon-ho menjadi sutradara Korea ketiga yang mendapat kesempatan melakoni debut di Hollywood setelah sebelumnya Kim Ji-woon dan Park Chan-wook menghasilkan The Last Stand dan Stoker yang bagus secara kualitas tapi mengecewakan ditinjau dari raupan dollar yang didapat. Bong Joon-ho sendiri memulai debut dengan Snowpiercer yang beberapa waktu lalu telah diputar di Korea dan mendapatkan kesuksesan besar dimana sampai saat ini film tersebut telah ditonton lebih dari enam juta penonton dan berada di urutan 23 dalam daftar film terlaris di Korea. Sembari menunggu film tersebut rasanya tidak ada salahnya untuk menengok kembali The Host yang juga dianggap sebagai salah satu film kaiju (film monster) terbaik yang pernah ada.

Di tahun 2000 seorang ilmuwan Amerika menyuruh bawahannya yang merupakan orang Korea untuk membuang 200 botol formalin ke saluran pembuangan yang mengalir ke Sungai Han hanya karena ia tidak suka melihat botol-botol yang penuh dengan debu tersebut. Maka dibuanglah cairan-cairan kimia berbahaya tersebut ke Sungai Han. Enam tahun kemudian kita diajak berkenalan dengan Park Gang-du (Song Kang-ho) yang bersama ayahnya membuka sebuah usaha warung makanan kecil-kecilan. Dari awal terlihat bahwa Gang-du tidak lebih dari seorang pria dewasa yang kurang pintar dan lebih suka bermalas-malasan. Gang-du sendiri mempunyai seorang puteri yang hampir menginjak usia remaja, Hyun-seo (Go Ah-sung). Suatu hari disaat tengah melayani pelanggan, Gang-du dan orang-orang di sekitar Sungai Han melihat sebuah benda aneh tergantung di jembatan. Benda misterius tersebut ternyata sebuah monster mengerikan yang nampak seperti mutasi hewan laut. Monster itupun mulai menyerang orang-orang yang ada disana, termasuk Hyun-seo.

Tanpa ragu-ragu Bong Joon-ho sudah menunjukkan wujud monsternya secara nyata sedari menit-menit awal. Tidak seperti mayoritas film monster seperti Cloverfield misalnya yang baru menunjukkan sosok monsternya di pertengahan atau bahkan klimaks film, itupun dalam kondisi malam hari ataupun hujan deras, monster dalam The Host langsung muncul secara nyata di paruh awal dan itu adalah siang hari di tempat umum. Banyak sutradara yang lebih memilih membuat monsternya misterius supaya atmosfir ketegangan lebih terasa dan juga khawatir jika kengerian monsternya akan berkurang jika terlalu sering diumbar. Hal itu memang ada benarnya, namun apa yang dilakukan Bong Joon-ho jauh lebih hebat lagi karena meskipun monsternya muncul berkali-kali di siang bolong terornya tetap terasa. Bahkan kemunculan pertama sang monster disaat filmnya belum sampai setengah jam mampu menghadirkan sebuah ketegangan sekaligus kengerian yang luar biasa. Lewat adegan creepy saat monster itu bergelantungan lalu menceburkan diri ke air sampai pada akhirnya sang monster melakukan pembantian terhadap orang-orang, Bong Joon-ho berhasil memperkenalkan monsternya pada penonton dengan begitu efektif.
Satu hal yang biasanya mengecewakan saya saat menonton film monster adalah fakta bahwa monsternya jauh lebih menyeramkan saat masih belum nampak secara jelas, tapi malah terasa menggelikan saat wujudnya sudah terlihat jelas. Sedangkan dalam The Host, monsternya tetap terlihat menyeramkan sekaligus menjijikkan walaupun sudah muncul secara jelas berulang kali. Memang jika dilihat sekarang efek CGI yang dipakai tidak lagi terasa halus, tapi saya tidak peduli karena melihat si monster bergelantungan lalu melompat kearah korbannya akan selalu terasa mengerikan bagi saya. Desain monsternya yang bagaikan mutasi dari hewan amfibi juga makin menambah kesan jijik sekaligus seram pada sosoknya. Ukurannya memang tidak sebesar monster-monster pada film lain tapi aksinya jauh lebih menyeramkan. Bagaimana tidak? Jika monster lain berjalan biasa, monster ini bergelantungan dengan ekornya, dan bagi saya itu luar biasa menjijikkan...dan mengerikan.

Tapi The Host tidak hanya bisa tampil seram saja, karena diluar dugaan film ini juga diisi oleh banyak momen komedi. Komedinya pun bukan asal ceplos saja, karena hampir semuanya berhasil membuat saya tertawa. Selalu saja ada cara yang dilakukan film ini untuk membuat saya tertawa bahkan disaat yang serius dan menegangkan sekalipun. Ada sebuah adegan yang mampu membuat saya tertawa terpingkal-pingkal hanya untuk dibuat terbungkam selang beberapa detik kemudian karena adegannya berubah dari adegan konyol menjadi adegan yang tragis hanya dalam hitungan detik. Bahkan momen klimaksnya yang begitu intense dan dibalut dengan slo-mo keren itupun masih sempat diisi oleh humor konyol yang lagi-lagi berhasil membuat saya tertawa sembari bersumpah serapah. Kebanyakan humornya berasal dari tingkah masing-masing karakternya yang memiliki penokohan yang begitu kuat. Kita punya karakter utama Gang-du yang bodohnya luar biasa sampai tidak bisa menghitung jumlah peluru yang ia tembakkan, sampai karakter Nam-joo yang sekilas adalah wanita cantik yang serba bisa sebagai atlet panah tapi sebenarnya adalah orang yang lambatnya tidak tertolong lagi.

Disamping pengemasannya yang sukses menggabungkan drama, horror dan komedi, The Host sesungguhnya memiliki muatan politik atau setidaknya sindiran terhadap beberapa otoritas yang cukup terasa dalam filmnya. Mulai dari sosok ilmuwan Amerika yang dengan alasan yang begitu bodoh memerintahkan seorang warga Korea untuk membuang limbah ke sungai, penyembunyian fakta tentang virus yang dilakukan oleh pihak militer Amerika, sampai momen klimaksnya yang memperlihatkan sang monster dilempari dengan bom molotov dan seolah terlihat seperti pendemo yang sedang menyerang pihak yang menjadi objek demonstrasi. Ya, ini adalah sebuah kritikan mengenai pihak asing atau lebih tepatnya kepada Amerika Serikat. Dalam kenyataannya, pada tahun 2000 memang pemilik perusahaan pemakaman di Korea yang juga bekerja bagi militer Amerika pernah membuang formalin dalam jumlah besar ke saluran pembuangan di Seoul. Tapi pada akhirnya dengan atau tanpa unsur satir politik tersebut The Host tetap merupakan sebuah suguhan yang begitu mengesankan dan jarang saya temui, dimana sebuah film mampu menyajikan kengerian, ketegangan, kelucuan serta drama yang menyentuh secara bersamaan dalam porsi yang seimbang. Hebatnya lagi film ini ditutup dengan sebuah bittersweet ending yang menyentuh...dan saya masih belum percaya film ini berakhir seperti itu. 

7 komentar :

Comment Page:

LIEBSTER AWARD & SUNSHINE AWARD

6 komentar
Bukan, ini bukan ajang penghargaan film ataupun lomba dan semacamnya. Liebster Award dan Sunshine Award adalah sebuah bentuk postingan berantai yang disebarkan antar blogger-blogger yang intinya berisi pertanyaan-pertanyaan acak sampai fakta-fakta yang jauh lebih acak dari empunya blog. Bisa dibilang ini adalah ajang seru-seruan tapi sekaligus untuk memberikan rekomendasi antar masing-masing blog. Saya sendiri direkomendasikan dalam ajang ini oleh blog Ajirenji dan Manusia Unta. Terima kasih sebanyak-banyaknya atas rekomendasinya karena saya sendiri tidak menyangka akan mendapat rekomendasi hehehe. Jadi ini dia Liebster Award dan Sunshine Award dari Movfreak Blog

6 komentar :

Comment Page:

THE GREAT GATSBY (2013)

4 komentar
Film ini menandai kembalinya sutradara Baz Luhrmann setelah lima tahun lalu membuat sebuah romansa (maunya) epic yang sama sekali gagal menjadi epic berjudul Australia. Materi ceritanya berasal dari sebuah novel klasik berjudul sama karangan Scott Fitzgerald yang terbit tahun 1925. The Great Gatsby sendiri diawal perilisannya bukanlah novel yang sukses, namun setelah Fitzgerald meninggal pada tahun 1940 perlahan novel tersebut mulai memantapkan statusnya sebagai salah satu literatur klasik Amerika bahkan dunia. Tentu saja sebuah cerita tragedi percintaan yang penuh akan balutan kemewahan dan keriangan berbau hedonisme adalah materi favorit Baz Luhrman. Hal itu terlihat dari karya-karyanya seperti Romeo+Juliet dan Moulin Rouge!. Berbekal materi klasik, sutradara mumpuni serta jajaran cast seperti Leonardo DiCaprio, Tobey Maguire hingga Carey Mulligan membuat The Great Gatsby menjadi salah satu film yang paling ditunggu tahun ini. Apalagi fakta bahwa film ini dirilis dalam format 3D akan membuat para calon penonton penasaran bagaimana parade kemewahan penuh warna khas sang sutradara dikemas dalam format 3 dimensi.

Filmnya dibuka dengan narasi dari Nick Carraway (Tobey Maguire) yang tengah mendapat perawatan akibat kecanduan alkohol. Di hadapan sang dokter, Nick bercerita tentang pengalamannya tinggal di New York dengan segala kemewahan yang ia temui. Cerita pun kembali ke tahun 1922 saat Nick baru saja tiba di New York dan mengunjungi sepupunya, Daisy (Carey Mulligan) yang telah menikah dengan Tom (Joel Edgerton) yang juga teman Nick semasa kuliah. Pada kunjungan makan malam tersebut Nick mulai mengetahui bahwa tepat di samping rumahnya terdapat sebuah rumah besar yang begitu mewah yang ditinggali olehs eorang milyuner misterius bernama Jay Gatsby (Leonardo DiCaprio). Sosok Gatsby begitu misterius dan jarang diketahui oleh orang lain. Yang orang-orang tahu adalah Gatsby rutin mengadakan pesta besar-besaran di rumahnya yang dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan orang dari berbagai kalangan. Nick pun suatu hari mendapat undangan khusus dari Gatsby untuk datang ke pestanya, dan perlahan mereka berdua mulai menjalin pertemanan. Dari situ jugalah Nick mulai mengetahui rahasia besar yang dimiliki Jay Gatsby.

4 komentar :

Comment Page:

MIRACLE IN CELL NO. 7 (2013)

Tidak ada komentar
Diawal tahun ini sebuah film drama-komedi kecil berjudul Miracle in Cell No. 7 membuat kejutan saat berhasil mengumpulkan lebih dari 12 juta penonton atau setara dengan uang ekitar $90 juta. Hasil tersebut menempatkan film ini di peringkat ketiga dalam jajaran film terlaris sepanjang masa di Korea Selatan. Resepnya mudah saja, tidak perlu menempatkan jajaran bintang papan atas tapi cukup sajikan sebuah kisah tearjerker sederhana yang dibalut komedi maka jadilah sebuah film yang sempurna untuk mendapatkan atensi penonton. Ya, jauh sebelum terkenal dengan film-film brutal bertemakan balas dendam, perfilman Korea Selatan memang begitu identik dengan drama tearjerker yang akan membuat penontonnya banjir air mata atau setidaknya berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangis. Meski bukanlah kisah romansa tragedi seperti tearjerker pada umumnya, Miracle in Cell No. 7 tetap memiliki berbagai formula wajib yang harus dimiliki oleh film penguras air mata.

Miracle berkisah mengenai seorang pria penderita gangguan mental bernama Lee Yong-gu (Ryu Seung-ryong) yang harus hidup sebagai single parent mengurus puteri tunggalnya yang masih kecil, Ye-sung (Kal So-won). Suatu hari Yong-gu ditangkap oleh polisi atas tuduhan tindak penculikan, pemerkosaan sekaligus pembunuhan terhadap anak-anak. Yong-gu sendiri merasa tidak melakukan perbuatan tersebut. Namun masalahnya, korban merupakan puteri dari komisaris polisi dan hal itupun membuat posisi Yong-gu semakin tersudutkan. Mendapat tekanan dan ancaman dari polisi Yong-gu terpaksa mengakui perbuatannya dan diancam dakwaan hukuman mati. Kemudian Yong-gu pun dimasukkan kedalam penjara dimana ia ditempatkan di kamar nomor 7 bersama lima orang tahanan lainnya. Perlahan hubungan antara Yong-gu dan kelima rekan sekamarnya semakin dekat dan mereka pun berusaha sekuat tenaga untuk membantu Yong-gu entah itu supaya ia bisa bertemu dengan Ye-sung, atau membantunya mempersiapkan diri menghadapi persidangan.

Bagaimana cara termudah untuk membuat film tearjerker? Jawabannya adalah tarik simpati penonton pada karakter utamanya sebesar mungkin dengan cara menempatkan mereka pada sebuah situasi yang sulit. Situasi sulit yang saya maksud ada beberapa, misalkan membuat karakter utamanya sakit parah atau menempatkan mereka dalam permasalahan yang begitu berat. Nah, dalam Miracle in Cell No. 7, Yong-gu dan Ye-sung sebagai dua karakter utama memiliki hal-hal diatas. Yong-gu adalah penderita keterbatasan mental yang jika dieksploitasi dalam sebuah naskah film akan memberikan dampak yang tidak jauh berbeda dengan karakter yang sakit keras. Kemudian mereka berdua juga tengah berada dalam permasalahan yang begitu berat. Dengan keberadaan dua aspek tersebut maka sempurnalah formula yang dimiliki film ini untuk membuat penontonnya bersimpati pada sang tokoh utama. Dengan formula tersebut tidak peduli ceritanya sesederhana apa dan tidak peduli juga penonton sudah tahu akhir ceritanya sedari awal, film tersebut tetap bisa memuaskan penonton asalkan bisa menguras air mata mereka.
Premisnya mengingatkan saya pada drama Korea lain yaitu Mother. Kedua film ini sama-sama berkisah tentang seseorang dengan keterbatasan mental yang dituduh melakukan tindak pembunuhan. Bedanya, Mother punya atmosfer yang lebih kelam sedangkan Miracle in Cell No. 7 memberikan banyak sentuhan komedi di dalamnya. Dengan tone yang termasuk ceria berkat selipan komedinya, maka wajar saja jika pada akhirnya film ini sanggup menarik begitu banyak penonton. Toh selipan komedi yang dimasukkan cukup berhasil memancing tawa saya dan disaat humornya miss sekalipun saya tidak terganggu dan masih tetap bisa menikmatinya. Komedinya sendiri berasal dari kelakuan konyol para penghuni sel nomor 7 yang tidak hanya memperlihatkan hubungan hangat selayaknya keluarga antara satu sama lain tapi juga setia mengumbar kekonyolan yang membuat filmnya selalu terasa menghibur. 

Masalahnya, demi mendapatkan kisah yang ringan dan ceria film ini mengorbankan terlalu banyak akal sehat dalam penulisan naskahnya. Saya yang terbiasa menonton berbagai prison movie yang menampilkan suasana penjara yang keras, cellmate yang kejam hingga sipir yang tidak kalah brutal menjadi sering terganggu dengan suasana penjara yang ditampilkan disini. Semuanya terlalu cerah, terlalu bersih dan karakternya terlalu baik. Hal tersebut membuat kisahnya terlalu fantasi dan jauh dari kata believable. Begitu banyak adegan yang terasa berlebihan dan belum lagi plot hole yang begitu banyak bertaburan sepanjang dua jam lebih filmnya berjalan. Hal tersebut sangat saya sayangkan karena melihat film ini saya yakin bahwa tanpa harus memaksakan diri menjadi cerah, Miracle in Cell No. 7 tetap berpotensi menjadi tearjerker yang menarik. Untunglah hubungan antar karakternya entah itu Yong-gu dengan sang puteri ataupun Yong-gu dengan teman-teman satu selnya terasa begitu dinamis dan selalu berhasil menciptakan drama yang memikat serta komedi yang menghibur, hingga pada akhirnya saya pun bisa sedikit memaafkan segala kemustahilan dan hal-hal yang dipaksakan meski tidak sepenuhnya sanggup menerima semua itu.

Beberapa adegannya sendiri untungnya berhasil dieksekusi dengan begitu menarik hingga meski terasa berlebihan namun tetap menjadi rangkaian adegan yang berkesan. Adegan favorit saya justru hadir disaat tema-teman Yong-gu tengah melakukan reka ualng untuk menyelidiki kebenaran dibalik kasus yang menjerat Yong-gu. Miracle in Cell No. 7 mungkin bukan tearjerker terbaik yang pernah ada. Biar bagaimanapun segala kemustahilan dalam penjara itu terlalu mengganggu saya dan berujung pada tidak berhasilnya film ini membuat air mata saya mengalir deras. Patut disayangkan juga kisah mengenai sang kepala penjara tidak terlalu dalam dieksplorasi, karen pada akhirnya karakternya terasa begitu nanggung. Tapi sudahlah, berbagai kekurangan yang jumlahnya tidak sedikit itu nampaknya tidak akan banayk dipedulikan penonton karena film ini punya segalanya untuk menjadi sebuah sajian yang menghibur mulai dari karakter yang simpatik, drama tearjerker hingga komedi yang efektif. Sebuah kisah antara ayah dan anak serta persahabatan yang menyenangkan. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ZODIAC (2007)

2 komentar
Pada periode 60-an hingga 70-an di San Francisco sempat terjadi serangkaian kasus pembunuhan yang pelakunya dikenal dengan nama Zodiac Killer. Tidak hanya melakukan pembunuhan berantai, sang pelaku juga mengirimkan berbagai macam pesan kepada berbagai surat kabar termasuk beberapa kode rahasia mengenai perbuatan sekaligus identitas dirinya. Kasus ini pun akhirnya menjadi salah satu kasus paling terkenal dalam sejarah kriminal di Amerika yang hingga sekarang masih belum terpecahkan. Tidak hanya kasusnya saja yang berjalan panjang, proses untuk mengangkat kasus ini ke layar lebar juga tidaklah mudah. Mengambil dasar kisah dari buku Zodiac yang ditulis oleh Robert Graysmith, sutradara David Fincher dan penulis naskah James Vanderbilt menghabiskan waktu 18 bulan untuk melakukan investigasi dan penelitian secara mendalam terhadap kasus tersebut. Zodiac juga menghadirkan jajaran pemain yang menarik mulai dari Jake Gyllenhaal, Mark Rufallo hingga Robert Downey Jr. Namun sebenarnya tanpa perlu dibanjiri ensemble cast maupun embel-embel adaptasi kisah nyata, fakta bahwa ini adalah sebuah thriller/kriminal garapan David Fincher saja sudah membuat filmnya begitu menggiurkan.

Pada 4 Juli 1969 Darlene Ferrin (Ciara Hughes) dan Mike Mageau (Lee Norris) diserang oleh seorang pria misterius saat tengah berada di dalam mobil. Darlene tewas sedangkan Mike berhasil bertahan hidup meski mengalami luka tembak. Sebulan kemudian sang pembunuh yang menamakan dirinya sebagai "Zodiac" tersebut mengirimkan surat ke beberapa surat kabar termasuk San Francisco Chronicles bersamaan dengan sebuah sandi rahasia. Surat dan kode tersebut menarik perhatian banyak orang termasuk Robert Graysmith (Jake Gyllenhaal) yang merupakan kartunis surat kabar tersebut. Namun dengan posisinya sebagai kartunis tidak ada yang memperhatikan pendapat dan analisis Robert. Tapi lama kelamaan melihat ketekunan dan kecerdasan analisis Robert, Paul Avery (Robert Downey Jr.) yang merupakan kolumnis kriminal disana menjadi tertarik untuk saling berbagi informasi mengenai kasus tersebut. Disisi lain sang Zodiac Killer masih terus beraksi dan terus mengirimkan berbagai surat kepada media juga pihak kepolisian. Dari pihak kepolisian sendiri ada Detektif Dave Toschi (Mark Rufallo) yang ditugaskan menyelidiki kasus tersebut. Namun ternyata penyelidikan yang awalnya terlihat seperti kasus pembunuhan berantai biasa ini terus saja mengalami kebuntuan bahkan hingga bertahun-tahun lamanya.

2 komentar :

Comment Page:

THE WOLVERINE (2013)

2 komentar
Siapakah sosok aktor yang paling lekat dengan karakter superhero yang ia mainkan? Dengan keberhasilan Marvel Cinematic Universe menguasai jagad perfilman superhero mungkin banyak orang yang akan spontan menjawab Robert Downey Jr. Sebuah jawaban yang wajar mengingat sosoknya memang begitu sempurna sebagai Tony Stark dan sudah muncul di empat film dalam jangka waktu lima tahun terakhir. Tapi bagi saya Hugh Jackman masihlah sosok paling ikonis dalam memerankan sosok superhero, ditambah lagi dia begitu mencintai dunia komik itu sendiri. Total Hugh Jackman telah memerankan Wolverine dalam tujuh film (menghitung cameo di First Class dan kemunculannya di Day of Future Past tahun depan) yang merupakan jumlah film superhero terbanyak yang pernah diperankan seorang aktor. Hugh Jackman yang begitu mencintai sosok Wolverine menyadari bahwa karakter ini layak mendapat sebuah standalone film yang bagus. Sayangnya usaha pertama lewat X-Men Origins: Wolverine berujung kekecewaan disaat kualitas filmnya berantakan. Masih belum menyerah, maka dibuatlah The Wolverine yang seolah ingin menghapuskan X-Men Origins dari ingatan para penontonnya. Sempat akan disutradarai oleh Darren Aronofsky, film ini akhirnya dinahkodai oleh James Mangold (Walk the Line, Knight & Day). Akankah Wolverine akhirnya mendapatkan film yang layak?

Setelah kejadian dalam X-men: The Last Stand yang tidak hanya ingin dilupakan oleh Logan tapi juga oleh banyak penonton filmnya, Logan kini hidup sendirian dalam pengasingan. Dia masih merasa bersalah terhadap apa yang ia lakukan, bahkan dalam mimpi pun bayangan Jean Grey masih sering mendatanginya. Suatu hari seorang mutan wanita bernama Yukio (Rila Fukushima) mendatangi Logan dan memintanya untuk ikut ke Jepang guna menemui sang master. Sang master yang dimaksud adalah Yashida (Haruhiko Yamanouchi) CEO perusahaan terbesar di Asia yang dulu sempa diselamatkan nyawanya oleh Logan pada saat terjadi pemboman di Nagasaki. Saat itu Yashida tengah sekarat dan meminta Logan untuk melindungi cucunya, Mariko (Tao Okamoto) yang disebut akan menjadi pewaris kekayaan Yashida. Namun Logan sama sekali tidak mengira bahwa kedatangannya menemui sang kawan lama akan berujung pada petualangan penuh bahaya yang melibatkan Yakuza dan sekumpulan ninja misterius yang tidak kalah mematikan. Namun tidak hanya berusaha menyelamatkan Mariko saja yang harus Logan lakukan di Jepang, karena ia sendiri tengah bergulat untuk melawan trauma serta berbagai pertanyaan akan eksistensi dirinya yang abadi.

2 komentar :

Comment Page:

MUD (2012)

Tidak ada komentar

Mud merupakan salah satu contoh dari sebuah film kecil yang mengalami kesuksesan besar. Para kritikus memujanya dimana kita bisa melihat bukti pernyataan tersebut dari rating film ini di Rotten Tomatoes yang mencapai 98%. Tanggapan positif tersebut juga pada akhirnya berujung pada kesuksesan komersil film ini. Bukan rahasia lagi bahwa sebuah film drama mini seperti Mud akan kesulitan untuk meraup pundi-pundi uang. Sebagai contoh ambil saja film Jeff Nichols sebelumnya, Take Shelter yang hanya bisa mendapatkan total $3 juta dari bujetnya yang hanya $5 juta. Namun Mud diluar dugaan berhasil mendapat $26 juta dari bujet $10 jutanya. Bahkan film ini sempat beberapa minggu berada dalam daftar 10 besar Box Office. Sehebat itukah Mud hingga bisa menarik perhatian banyak penonton? Yang jelas ini adalah filmnya Jeff Nichols yang mempersembahkan Take Shelter yang luar biasa itu. Jajaran pemainnya sendiri cukup meyakinkan dimana ada Matthew McConaughey, Reese Witherspoon, aktor langganan Nichols, Michael Shannon hingga aktor cilik Tye Sheridan yang sempat bermain dalam The Tree of Life sebagai salah satu putera Brad Pitt.

Film ini berkisah mengenai dua orang sahabat, Ellis (Tye Sheridan) dan Neckbone (Jacob Lofland) yang suatu hari memutuskan pergi ke sebuah pulau terpencil dekat Sungai Mississippi untuk melihat sebuah kapal yang tersangkut di sebuah pohon. Tapi yang tidak mereka duga adalah disana mereka akan bertemu dengan seorang pria misterius bernama Mud (Matthew McConaughey) yang tinggal di kapal tersebut. Ellis yang merasa tertarik dengan sosok Mud memilih untuk bersedia membantunya. Neckbone sendiri bersedia membantu Mud dengan syarat Mud memberikan pistol yang ia miliki pada Neckbone. Mud sendiri ternyata sedang bersembunyi dari kejarang para bounty hunter yang mengejarnya karena Mud telah menembak seorang pria. Mud sendiri menembak pria tersebut karena pria itu telah menyakiti Juniper (Reese Witherspoon), wanita yang telah ia cintai sejak kecil. Dengan bantuan Ellis dan Neckbone, Mud mencoba untuk memperbaiki kapal tersebut supaya bisa melarikan diri bersama Juniper. Disisi lain, Ellis sendiri perlahan belajar mengenai makna cinta setelah melihat apa yang terjadi antara Mud dan Juniper, melihat hubungan kedua orang tuanya, hingga pengalaman cinta yang ia alami sendiri.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

KIM KI-DUK FILMS: WORST TO BEST RANKING

8 komentar
19 tahun berkarya, 20 film dan puluhan penghargaan berkelas internasional. Hal tersebut merupakan bukti bagaimana kehebatan seorang Kim Ki-duk sebagai seorang sutradara. Tanpa berbekal pendidikan formal mengenai perfilman dan hanya mengandalkan keinginan yang kuat, Kim bertransformasi dari seorang bocah kampung miskin yang tidak mampu membiayai sekolahnya menjadi seorang sutradara yang begitu dihormati di seluruh dunia. Semenjak pertama kali menonton filmnya di Spring, Summer, Fall, Winter...and Spring saya perlahan semakin jatuh cinta tidak hanya akan karya-karyanya tapi juga terhadap bagaimana caranya "bertarung" dalam kehidupan. Bagi saya sendiri Kim Ki-duk sekarang bukan hanya seorang sutradara yang karyanya saya sukai namun juga menjadi isnpirator paling besar bagi saya untuk terus berkarya. Seperti yang sudah saya singgung dalam artikel "30 Momen Terbaik Kim Ki-duk", bahwa saat itu saya tengah menyusun list berikutnya mengenai Kim Ki-duk yang berisi ranking filmnya dari yang terburuk hingga yang paling saya sukai. Disini saya menyusun ranking dari kesembilan belas film tersebut dari yang menurut saya paling buruk hingga yang terbaik.

8 komentar :

Comment Page:

WHAT MAISIE KNEW (2012)

Tidak ada komentar
Cukup banyak film yang mengangkat keluarga disfungsional hingga dampak perceraian terhadap anaknya. Salah satu yang paling mengena bagi saya adalah The Squid and the Whale (review) karya Noah Baumbach yang berhasil dengan sangat baik menangkap dampak perceraian pada anak. Kali ini giliran duo sutradara David Siegel dan Scott McGehee yang mengangkat tema tersebut dalam What Maisie Knew. Film ini juga mempunyai jajaran cast yang cukup menarik mulai dari Julianne Moore, Steve Cogan hingga Alexander Skarsgard. Kisahnya sendiri diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama yang terbit pada tahun 1897 karya Henry James. Ya, film ini memang mencoba memindahkan setting cerita yang aslinya berlokasi di London pada awal abad 19 menjadi New York masa kini. Sosok Maisie yang tertulis pada judulnya sendiri merupakan seorang gadis kecil yang harus terjebak dalam konflik yang terjadi antara kedua orang tuanya. Maisie (Onata Aprile) tinggal di apartemen milik sang ibu, Susanna (Julianne Moore) yang merupakan seorang vokalis band rock. Tentunya Susanna juga tinggal dengan gaya hidup rock star yang penuh keinginan terhadap kebebasan dan pesta pora. Sang ayah sendiri, Beale (Steve Coogan) merupakan seorang art dealer yang selalu sibuk berkeliling hingga keluar negeri untuk urusan pekerjaan.

Setiap harinya, Maisie harus selalu mendengar dan melihat pertengkaran hebat kedua orang tuanya yang selalu bertengkar setiap mereka bertemu. Maisie sendiri terlihat begitu tabah dalam menghadapi segala kondisi tersebut ditemani oleh sang pengasuh, Margo (Joanna Vanderham). Suatu hari akirnya kedua orang tuanya bercerai dan Maisie harus secara bergantian tinggal dirumah masing-masing dari mereka. Sang ayah kini menikah dengan Margo, sedangkan sang ibu menikah dengan seorang bartender muda bernama Lincoln (Alexander Skarsgard). Namun seiring berjalannya waktu, nyatanya tidak ada perubahan yang signifikan pada kepirbadian kedua orang tua Maisie. Meski mereka menyayangi sang puteri, namun untuk memberikan perhatian ataupun kedekatan nampaknya masih menjadi angan-angan belaka. Hal tersebut membuat Maisie yang begitu tabah harus terus hidup termobang-ambing diantara perebutan kedua orang tua terhadap dirinya. Konflik tersebut juga pada akhirnya ikut menyeret Margo dan Lincoln dalam konflik yang terjadi.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

A HIJACKING (2012)

Tidak ada komentar
Film yang mempunyai judul lain Kapringen ini adalah sebuah thriller Denmark yang diluar dugaan berhasil mendapat sambutan yang positif dari para kritikus. Digarap oleh Tobias Lindholm, A Hijacking menyoroti tentang kasus pembajakan yang dilakukan oleh para perompak Somalia. Seperti yang kita semua tahu, kasus pembajakan oleh para perompak Somalia adalah kasus yang sudah terjadi begitu sering dan telah menimpa begitu banyak awak kapal. Namun jangan mengharapkan A Hijacking menjadi sebuah sajian thriller yang bergerak cepat dan menampilkan usaha pembebasan para tawanan yang melibatkan kesatuan militer, karena film ini adalah tipikal thriller yang berjalan dengan alur lambat, jauh dari hingar bingar berondongan senapan, namun tetap berhasil menyajikan sebuah tontonan yang mencekam. Jadi mungkin bagi anda yang berharap tiba-tiba ada angkatan laut yang mengintervensi kasus pembajakan tersebut hingga menciptakan baku tembak seru maka bersiaplah untuk kecewa, karena A Hijacking bisa dibilang adalah thriller yang cukup segmented.

Peter C. Ludvigsen (Soren Maling) adalah seorang petinggi di sebuah perusahaan pelayaran. Peter memiliki kemampuan yang baik dalam hal yang berkaitan dengan negosiasis. Sebagai contoh ia baru saja berhasil menyelesaikan tawar menawar dengan perusahaan dari Jepang dan berhasil mendapatkan barang dengan harga yang relatif jauh lebih rendah dari tawaran pertama. Namun proses negosiasi terbesar dalam hidup Peter tiba saat sebuah kapal kargo milik perusahaannya dibajak oleh perompak Somalia. Para perompak tersebut meminta uang tebusan sebesar $15 juta. Peter sendiri menolak keterlibatan pihak luar dalam kasus tersebut dan berusaha sebisa mungkin menutupinya. Peter memilih untuk menyelesaikannya sendiri, berunding sendiri dengan pihak pembajak dengan meminta bantuan dari seorang ahli. Maka proses negosiasi yang dilakukan lewat telepon antara Peter dengan pihak pembajak pun dimulai. Disisi lain para kru kapal harus bersabar menunggu selesainya proses negosiasi dengan penuh rasa takut dan depresi.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

WILD ANIMALS (1996)

Tidak ada komentar
Pada proses syuting Crocodile yang juga merupakan fil m perdananya, salah seorang kru bertaruh pada Kim Ki-duk bahwa ia tidak akan pernah bisa membuat film untuk kedua kalinya. Nyatanya tidak sampai setahun setelah debut, Kim berhasil merilis film ini yang pada awalnya berjudul Two Crocodiles. Ada beberapa fakta menarik tentang Wild Animals. Yang pertama ini adalah satu-satunya film Kim Ki-duk yang ber-setting di luar Korea, tepatnya di Prancis sebelum 15 tahun kemudian Kim kembali membuat film dengan setting  di Eropa dalam Amen. Yang kedua adalah fakta bahwa film ini dibintangi oleh Denis Lavant (Holy Motors) yang juga bermain dalam film Les Amants du Pont-Neuf garapan Leos Carax yang notabene merupakan salah satu dari beberapa film yang ditonton Kim Ki-duk di Prancis dan membuka rasa ketertarikannya pada dunia perfilman. Dibintangi juga oleh aktor kesayangan Kim, Cho Jae-hyun, Wild Animals berkisah mengenai persahabatan yang terjalin antara dua orang Korea yang secara tidak sengaja bertemu di Paris. Cho Jae-hyun sendiri disini berperan sebagai karakter yang tidak jauh berbeda dengan yang ia mainkan di Crocodile. Cho berperan sebagai Cheong-hae, seorang pelukis jalanan di Prancis yang dianggap tidak memiliki bakat oleh sesama pelukis lainnya.

Dalam kesehariannya yang Cheong-hae lakukan adalah mencuri kanvas lalu menjual beberapa lukisannya di sepanjang jalanan Paris. Suatu hari di jalan ia dibuat kagum oleh Corrine (Sasha Rucavinaa) yang merupakan seorang street performer. Cheong-hae dan Corrine pun mulai saling tertarik satu sama lain setelah melalui sebuah pertemuan pertama yang berkesan bagi keduanya. Disis lain, mantan anggota militer Korea, Hong-san (Jang Dong-jik) tengah melakukan perjalanan menuju Paris dengan menggunakan kereta. Dalam perjalanannya, Hong-san sempat mendapat bantuan dari Laura (Jang Ryun) yang merupakan kekasih dari seorang gangster bernama Emil (Denis Lavant). Melalui sebuah kebetulan. Hong-san bertemu dengan Cheong-hae. Pada awalnya mereka berdua bagaikan dua orang bermusuhan yang saling membenci satu sama lain. Namun karena merasa saling membutuhkan, mereka pun mulai bekerja sama melakukan berbagai macam pekerjaan mulai dari mengadakan pertunjukkan martial arts di jalan hingga pada akhirnya bergabung dengan organisasi kriminal. Sama seperti Crocodile, ini juga merupakan kisah dari orang-orang yang terasingkan dan terpinggirkan dalam kehidupannya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

SHARKNADO (2013)

5 komentar
Apa film paling fenomenal sepanjang tahun 2013? Jawabannya bukanlah Iron Man 3, Man of Steel ataupun Fast & Furious 6 melainkan sebuah mockbuster garapan studio The Asylum yang punya judul epic, Sharknado! Ditayangkan di stasiun televisi Syfy, film ini berhasil menimbulkan fenomena di dunia maya khsusunya di twitter dimana begitu banyak yang membicarakan mengenai judul film, premis hingga trailernya yang konon kabarnya begitu epic dan mendobrak segala batas imajinasi penulisan naskah film. Kehebohan tersebut membuat Sharknado diputar hingga tiga kali penayangan dan berhasil mengumpulkan penonton hingga diatas 5 juta. Bahkan film ini sempat ditayangkan di beberapa bioskop dan berhasil sold out. Sebuah pencapaian luar biasa dari film mockbuster yang biasanya hanya berakhir sebagai rilisan dvd yang menjadi bahan lelucon para penontonnya. Keberhasilan yang luar biasa tersebut bahkan membuat film ini akan dibuat sekuelnya yang rencananya akan dirilis pada tahun 2014. Jadi segila apakah serangan hiu yang datang bersama tornadi ini?

Tidak perlu panjang lebar untuk memaparkan cerita dari Sharknado yang intinya hanyalah usaha dari seorang surfer legendaris yang sekarang menjadi pemilik bar di pinggir pantai untuk menyelamatkan dirinya beserta keluarganya dari serangan ikan hiu ganas yang terbawa oleh angin topan raksasa hingga ke tengah kota Los Angeles. Tentunya apa yang diharapkan hadir dalam Sharknado adalah berbagai macam adegan gila yang akan meleburkan segala logika dan akal sehat penontonnya. Jika yang anda harapkan adalah ratusan hiu yang jatuh dari langit maka anda akan mendapatkannya. Jika yang anda harapkan adalah seorang tokoh utama super badass yang sanggup membelah ikan hiu terbang menjadi dua dengan memakai gergaji mesin maka anda akan menemukannya. Jika yang anda harapkan adalah usaha karakternya menghentikan angin topan raksasa dengan cara melemparkan bom kedalamnya maka anda juga akan mendapatkannya. Sebutkan saja hal-hal tidak masuk akal yang berkaitan dengan hiu yang terbang dibawa oleh tornado maka anda akan menemukan semuanya. Karena ini adalah Sharknado, dan seperti apa yang tertulis di tagline-nya, enough said!

Tentunya sebuah film mockbuster tidak akan memiliki efek CGI mewah karena bujetnya sendiri minimalis. Bahkan konon katanya rata-rata bujet dari film buatan Asylum tidak lebih dari $1 juta. Tapi justru lewat hal itulah saya bisa dengan puas mentertawakan segala kebodohan plot maupun keburukan efek visualnya. Tentu saja bukan sebuah tindakan buruk mentertawakan hal tersebut karena saya yakin seyakin-yakinnya bahwa mereka yang berada dibalik pembuatan film ini tahu benar bahwa Sharknado memang diciptakan sebagai sebuah hiburan murni tidak peduli bagaimana penonton dibuat terhibur bahkan emski dengan cara mentertawakan segala kebodohan serta keterbatasan dana filmnya. Sharknado adalah usaha sadar diri yang dilakukan dengan maksimal. Pembuatnya sadar bahwa ini adalah film bodoh yang ditujukan sebagai hiburan dan oleh karena itu kenapa tidak buat semua kebodohannya pada tingkat yang paling tinggi saja sekalian? Dari mana saja kebohannya? Lupakan dulu inti ceritanya tentang hiu-hiu yang terbang terbawa angin tersebut, karena tanpa hal itupun Sharknado sudah bodoh. Mulai dari akting pemain yang konyol bukan main (baca: Tara Reid) sampai berbagai dialog one-liner yang memang diciptakan sekonyol mungkin.
Bicara one-liner hal tersebut adalah salah satu senjata utama untuk memberikan sentuhan komedi dalam film ini selain melalui plot luar biasa absurd tersebut. Akan ada begitu banyak dialog-dialog bodoh nan tidak penting yang saya jamin akan membuat anda tertawa setidaknya sekali atau dua kali. Bahkan film ini sempat memparodikan salah satu quote terkenal dalam film Jaws yang berbunyi "we're gonna need a bigger boat" menjadi "we're gonna need a bigger chopper". Sebuah bukti betapa jeniusnya Thunder Levin yang menulis naskah film ini. Sayang sekali keasyikan saya menonton Sharknado mengalami sebuah gangguan yang ironisnya datang dari strategi marketing film ini yang sebenarnya merupakan salah satu kunci keberhasilannya yang terbesar. Hal tersebut adalah banyaknya adegan-adegan keren dan gila yang sudah diumbar dalam trailer tersebut. Bahkan selain yang kita lihat di trailer tidak ada lagi adegan kurang ajar yang saya temui dalam filmnya. Masih ada memang adegan aneh lain tapi tidak ada yang segila adegan memotong hiu menjadi dua bagian ataupun menerobos masuk kedalam tubuh hiu.

Jika anda sudah menonton berbagai film Asylum lainnya seperti Sharktopus, Mega Piranha sampai Mega Shark versus Giant Octopus mungkin tidak akan menemukan hal baru disini karena sejujurnya kegilaan dan keanehan dalam Sharknado tidak beda jauh dengan film-film yang saya sebut diatas. Mungkin anda masih ingat adegan seekor hiu memakan pesawat dalam Mega Shark versus Giant Octopus yang juga menghebohkan itu. Strategi marketing yang baik adalah kunci fenomena kesuksesan film ini. Namun jika anda menginginkan hiburan yang bodoh namun menyenangkan maka tontonlah Sharknado dengan segala momen kerennya ini. Tidak banyak yang bisa saya bicarakan mengenai Sharknado karena memang hanya hiburan gila tanpa otaklah yang menjadi tujuan film ini, dan tujuan tersebut bisa dibilang berhasil.

5 komentar :

Comment Page: