MACHETE KILLS (2013)

Tidak ada komentar
Apa yang membuat Machete terasa menyenangkan? Jawabannya adalah berkat segala aspek over-the-top yang ada mulai dari gore sampai tingkat keseksian yang dijual dengan begitu murahan. Tapi sisi murahan yang ditampilkan oleh Robert Rodriguez tiga tahun lalu tersebut terasa sebagai sebuah bentuk kejujuran yang apa adanya. Pada akhirnya Machete memang menjadi sebuah hiburan bodoh yang menyenangkan namun semuanya tetap dirangkum dengan rapih meski dari luarnya terlihat begitu asal-asalan. Maka disaat film tersebut ditutup dengan "janji" bahwa Machete akan kembali lagi dalam dua sekuel berjudul Machete Kills dan Machete Kills Again saya pun dengan senang hati menantikan kembalinya Danny Trejo sebagai sosok super(anti)hero yang brutal tersebut. Masih sama seperti film pertamanya, Machete Kills menampilkan banyak bintang besar, bahkan jauh lebih banyak. Beberapa nama baru yang muncul antara lain Mel Gibson, Sofia Vergara, Amber Heard, Demian Bichir, Charlie Sheen, Vanessa Hudgens, Antonio Banderas hingga Lady Gaga. Bisa dilihat betapa ambisiusnya Robert Rodriguez untuk menghadirkan kegilaan yang jauh lebih besar di film ini.

Dilatar belakangi sakit hati dan hasrat membalas kematian kekasihnya, Sartana Rivera (Jessica Alba) Machete pun memilih menerima tawaran Presiden Rathcock (Charlie Sheen) untuk mengemban misi bagi Amerika Serikat. Misinya adalah menyusup ke Meksiko untuk menghentikan aksi seorang penjahat gila bernama Marcos Mendez (Demian Bichir) yang mengancam akan meluncurkan misil ke Washington. Dengan bantuan undercover agent bernama Blanca Vasquez (Amber Heard) Machete pun menyusup ke Meksiko untuk menyelamatkan dunia dari ancaman Marcos Mendez. Namun misi ini tidak semudah itu karena ada banyak pihak yang "mengganggu" aksinya mulai dari Madame Desdemona (Sofia Vergara) pemilik rumah bordil yang merasa Machete menculik puterinya, Cereza (Vanessa Hudgens) hingga seorang pembunuh misterius bernama El Chameleon yang memiliki banyak wajah mulai dari Cuba Gooding Jr. Antonio Banderas, hingga Lady Gaga. Ya, ini adalah misi yang rumit bagi Machete, bahkan begitu rumitnya saya yang menonton pun memilih untuk tidak lagi memikirkan segala cerita, identitas karakter hingga twist berlapis yang entah berusaha cerdas atau bodoh yang bertebaran disana sini.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE WAY WAY BACK (2013)

2 komentar
Nama Nat Faxon dan Jim Rash mungkin belum terlalu terkenal saat ini, namun tahukah anda bahwa dalam ajang Oscar tahun 2012 keduanya berhasil meraih kemenangan? Ya, mereka adalah co-screenwriter dari film The Descendants yang naskahnya ditulis oleh Alexander Payne dan berhasil memenangkan Best Adapted Screenplay saat itu. Setelah beberapa tahun keduanya sama-sama menjadi aktor dalam berbagai macam peran kecil, keberhasilan The Descendants akhirnya membawa mereka untuk menulis naskah bersama sekaligus berduet melakoni debut penyutradaraan mereka lewat The Way Way Back. Masih bernuansa indie yang kuat seperti The Descendants, film ini nyatanya meraih keberhasilan besar dengan meraup pendapatan diatas $23 juta, sebuah angka yang luar biasa mengingat bujetnya yang hanya $5 juta dan melihat fakta bahwa ini adalah drama indie yang mendapatkan distribusi penayangan yang tidak terlalu luas. Ceritanya sendiri tidaklah menampilkan hal baru, yakni tentang sebuah kisah coming-of-age yang ber-setting liburan musim panas lengkap dengan aspek keluarga disfungsional serta remaja antisosial yang introvert.

Duncan (Liam James) adalah remaja 14 tahun yang introvert dan mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan sosial. Pada sebuah liburan musim panas ia terpaksa pergi bersama ibunya (Toni Collette) dan sang kekasih, Trent (Steve Carell) yang tidak ia sukai karena selalu meremehkan dirinya. Mereka pergi berlibur ke rumah pantai milik Trent yang berada di Cape Cod. Disana semua anggota keluarga Duncan bersenang-senang khususnya karena kehadiran teman-teman Trent seperti Kip (Rob Corddry) dan Joan (Amanda Peet) yang selalu berkunjung untuk sekedar makan malam atau berpesta bersama. Kesendirian dan rasa jengah Duncan mulai berkurang saat ia bertemu dengan Owen (Sam Rockwell), seorang penjaga water park yang nyentrik dan mulai mengajak Duncan berenang-senang bersamanya. Pertemuannya dengan Owen mulai membuat liburan musim panas Duncan menyenangkan, apalagi setelah ia berkenalan dengan tetangganya, Susanna (AnnaSophia Robb). Tapi tetap saja masalah datang dari keluarganya sendiri khususnya Trent yang masih tidak ia sukai.

Seperti yang sudah saya bilang tadi, kisah yang ditawarkan oleh film ini bisa dibilang sangat klise. Seorang remaja cupu perlahan mulai menemukan perubahan dalam hidupnya berkat pertemuan dengan teman baru dan pada akhirnya mulai menjadi "keren" dan bisa bertemu dengan gadis yang ia sukai. Semuanya sudah pernah kita jumpai dalam film-film drama indie bertemakan coming-of-age lainnya dan The Way Way Back sendiri tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Namun lagi-lagi tidak semua hal yang berbau klise itu buruk. Kisah yang klise ini berhasil dihantarkan dengan begitu baik oleh Nat Faxon dan Jim Rash. Alurnya mengalir dengan begitu menyenangkan saat kita perlahan melihat perubahan Duncan dari remaja cupu yang canggung menjadi lebih percaya diri dalam bersosialisasi. Jika banyak film coming-of-age bermasalah dalam menghantarkan trasformasi tersebut, maka film ini tidak. Semuanya berjalan dengan baik tanpa terasa dipaksakan. Sehingga pada akhirnya saya sendiri yang awalnya cukup sebal dengan Duncan yang begitu anti-sosial perlahan mulai bisa menikmati karakternya saat perlahan ia berubah menjadi sosok yang lebih menyenangkan.
Berbagai momennya dihantarkan dengan begitu baik. Saya berhasil dibuat ikut bersenang-senang saat Duncan bergembira di water park bersama Owen dan teman-temannya. Selain itu beberapa konflik yang muncul juga berhasil dengan baik. Selain konflik Duncan dengan kepribadiannya, ada juga konflik mengenai keluarga disfungsional yang ia miliki. Kisah tentang bagaimana Duncan berusaha menghadapi Trent yang selalu meremehkannya maupun bagaimana sang ibu berusaha menyatukan keluarga tersebut bekerja dengan baik. Mungkin yang kurang maksimal adalah kisah cinta antara Duncan dengan Susanna yang terasa kurang greget meski sudah dibuka dengan apik dan dibantu oleh kecantikan AnnaSophia Robb. Tapi bintang utama dari film ini bagi saya tetaplah Sam Rockwell yang sanggup tampil sebagai karakter yang nyetrik, menyenangkan namun juga terasa simpatik dimana ia sendiri memiliki konflik romansa yang dihantarkan sekilas namun cukup kuat. Jika Liam James sebagai Duncan adalah sosok sempurna menggambarkan remaja antisosial yang perlahan berkembang, maka sosok Owen yang dimainkan Sam Rockwell adalah sosok teman yang nyaris sempurna dan begitu menyenangkan.

Secara keseluruhan saya berhasil menikmati segala konflik dan jalinan cerita coming-of-age yang ada. Walaupun semuanya sudah pernah kita temui dalam film lain dan terasa klise, namun eksekusi yang maksimal dan mendalam membuat segalanya terasa menyenangkan untuk ditonton. Kunci utama dari The Way Way Back adalah rasa simpati yang bisa didapatkan penonton terhadap karakter-karakter yang ada hingga segala momennya terasa berkesan saat ditonton. Konklusi yang ditawarkan pun terasa mengharukan sekaligus memunculkan rasa penuh harap pada yang begitu besar. Seperti judulnya ini adalah perjalanan panjang yang penuh dinamika pelajaran hidup sebelum akhirnya kembali pulang.

2 komentar :

Comment Page:

CARRIE (2013)

5 komentar
 
Film Carrie arahan Brian De Palma yang rilis tahun 1976 merupakan contoh sebuah film yang semakin sering dilihat akan semakin bagus hasilnya. Saat pertama kali menonton saya tidak terlalu terpesona kecuali pada akting Sissy Spacek dan Piper Laurie serta klimaksnya yang penuh kekacauan, api dan darah babi tersebut. Tapi semakin sering saya menonton ulang, atmosfer horornya yang kelam semakin terasa kuat, drama tentang bullying pada gadis anti-sosial serta hubungan unik antara Carrie dan ibunya terasa semakin bagus. Berselang 37 tahun kemudian Kimberly Peirce (Boys Don't Cry) mewujudkan kembali Carrie ke layar lebar untuk ketiga kalinya (yang kedua adalah film televisi yang rilis tahun 2002). Tentu saja saya merasa bahwa ini adalah proyek yang pointless meski Peirce menjanjikan adaptasi terbaru ini akan lebih dekat ke novelnya, tapi tetap saja versi De Palma adalah horor klasik yang sulit ditandingi. Tapi berkat jajaran cast yang memukau seperti Chloe Moretz dan Julianne Moore sayapun tertarik melihat film ini, khususnya untuk melihat bagaimana Chloe Moretz mewujudkan "kegilaan" Carrie White.

Kisahnya tidak berbeda jauh dengan versi De Palma, yakni tentang Carrie (Chloe Moretz), seorang gadis pemalu dan introvert yang dikucilkan di sekolahnya. Tidak jarang Carrie mengalami bullying di sekolahnya termasuk saat ia ketakutan melihat ada darah mengalir dari tubuhnya yang ternyata adalah darah menstruasi dimana kejadian itu berujung pada pelemparan tampon oleh teman-temannya. Kondisi Carrie dirumah ternyata tidak lebih mudah daripada di sekolah akibat sosok sang ibu, Margareth (Julianne Moore) yang begitu fanatik kepada agaman bahkan menjurus kearah gila. Margareth begitu mengekang kehidupan Carrie dan hanya memaksanya untuk berdoa dan memohon ampun pada Tuhan setiap hari. Namun Carrie bukannya tidak memiliki orang yang peduli padanya. Ada Miss Desjardin (Judy Greer) sang guru olahraga yang selalu membantu Carrie di sekolah. Kemudian ada juga Sue Snell (Gabriella Wilde), teman sekolah Carrie yang merasa bersalah telah melakukan bullying pada Carrie dan ingin menebus kesalahannya.

5 komentar :

Comment Page:

WE ARE WHAT WE ARE (2013)

Tidak ada komentar
Lagi-lagi sebuah horor remake oleh Amerika. We Are What We Are adalah remake dari film Meksiko berjudul sama yang rilis pada 2010 lalu. Ditangani oleh Jim Mickle (Stake Land) film ini nyatanya lebih dari sekedar remake yang dibuat untuk mencari untung melalui "jalan pintas" karena We Are What We Are versi baru ini meski punya dasar cerita yang sama tetapi mengalami berbagai perombakan termasuk dalam isu yang diselipkan kedalam medium horornya. Jika versi aslinya memasukkan berbagai kritik sosial tentang kemiskinan dan hilangnya rasa kemanusiaan diantara manusia, maka versi Jim Mickle ini bisa dibilang lebih sederhana karena fokusnya akan lebih condong kepada kisah coming-of-age karakter utamanya diiringi dengan aspek religiusitas yang membungkus kisahnya. Jika film aslinya dibuka dengan kematian seorang ayah, maka film ini dibuka dengan kematian seorang ibu yang meninggal. Dia pun meninggalkan sang suami, dua orang puteri yang remaja dan seorang putera yang masih kecil.

Kehilangan tersebut bukan hal yang mudah untuk dihadapi khususnya oleh kedua puterinya, Rose Parker (Julia Garner) dan Iris Parker (Ambyl Childers). Satu hal yang paling menjadi dilema keluarga Parker sepeninggal sang ibu adalah berkaitan dengan ritual makan malam yang selalu mereka lakukan. Ritual makan malam tersebut bukanlah makan malam biasa melainkan makan malam dengan memasak daging manusia. Ya, keluarga Parker adalah keluarga kanibal yang telah menjaga tradisi tersebut selama ratusan tahun. Sang ayah, Frank Parker (Bill Sage) percaya bahwa tradisi keluarga tersebut adalah perintah Tuhan yang harus terus dilestarikan. Oleh karena itu ia mewariskan kewajiban memasak tersebut kepada sang puteri sulung, Iris. Tentu saja membunuh dan memasak daging manusia bukan hal mudah bagi Iris, namun demi menjaga tradisi keluarga hal itu terpaksa ia lakukan. Disinilah kita mulai diajak melihat bagaimana Iris dan Rose dipenuhi dilema akan kondisi mereka yang "berbeda" dengan keluarga normal pada umumnya.

We Are What We Are adalah horor yang unik. Alurnya berjalan begitu lambat diiringi dengan setting di sebuah kota kecil yang terasa dingin dan sepi hingga makin menambah suasana kelam yang sunyi. Paruh awal filmnya lebih terasa sebagai sebuah drama kelam tentang keluarga disfungsional yang tengah dirundung duka akibat kehilangan sang ibu. Meski bertemakan keluarga kanibal, film ini hampir tidak menunjukkan darah apalagi adegan gore di paruh awalnya. Praktis momen tersebut digunakan sebagai pengenalan secara perlahan tentang keluarga Parker terhadap penonton. Jelas ini adalah keluarga yang disfungsional dimana sang ayah mendidik puterinya untuk bersedia melanjutkan tradisi kanibalisme di keluarga tersebut, bahkan puteranya yang masih kecil dan tidak tahu apa-apa juga diikut sertakan dalam ritual tersebut. Namun Frank Parker bukan sekedar orang sinting yang hobi memakan daging manusia, karena ia sungguh-sungguh percaya bahwa tradisi itu adalah perintah Tuhan dan mereka akan dikutuk jika tidak meneruskannya.
Pada momen inilah dramanya jauh lebih kental daripada aspek horornya meski secara atmosfer masih akan tetap terasa samar-samar kengerian yang perlahan mulai menusuk. Kisah tentang kepercayaan dan perintah Tuhan makin membuat dramanya menjadi kompleks dan menarik, karena keluarga Parker jelas lebih dari sekedar kumpulan maniak yang hobi makan daging manusia, mereka masihlah manusia biasa yang berusaha meneruskan tradisi dan menegakkan kepercayaan yang mereka anut. Disisi lain kisah coming-of-age dalam diri Iris dan Rose (khususnya Iris) semakin diekedepankan. Keduanya harus belajar menerima takdir bahwa mereka adalah diri mereka sendiri dan keluarga mereka berbeda dengan keluarga lainnya yang punya hidup normal, persis seperti apa yang diimpikan oleh mereka. Mungkin secara keseluruhan dramanya tidak pernah terasa luar biasa, tapi nyatanya cukup berpengaruh dalam membangun ceritanya dan membuat We Are What We Are jauh lebih kaya dan bukan hanya gorefest tanpa otak dan hati.

Secara keseluruhan porsi darah dan adegan gore di film ini termasuk minim apalagi untuk film yang mengetengahkan kanibalisme. Tapi bukan berarti porsi yang minim mengurangi greget filmnya, karena kemunculan adegan gore disini meski sedikit tapi penempatannya tepat dan efektif. Adegan makan malam yang pertama pun bisa terasa disturbing meski kita tidak diperlihatkan pembantaian yang vulgar dan sadis kepada korban yang akan mereka makan tapi kita tetap bisa dibuat merasa jijik melihat keempat keluarga Parker dengan nikmatnya melakukan santap malam bersama dengan penuh manner. We Are What We Are akhirnya memberikan apa yang ditunggu-tunggu pada momen klimaksnya yang intens dan menegangkan sebelum ditutup dengan adegan the last supper yang dibumbui twist serta kebrutalan penuh darah yang disajikan secara luar biasa. Saat itu adalah saat dimana baik horor maupun drama coming-of-age-nya sampai pada konklusi yang memuaskan. Overall, We Are What We Are adalah sebuah remake yang memuaskan berkat percampuran seimbang antara drama dan horornya serta memberikan rasa baru yang berbeda dibandingkan versi aslinya. Sedikit lambat dalam menghantarkan terornya namun tetaplah sebuah drama-horor yang cukup baik.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

LIKE SOMEONE IN LOVE (2012)

1 komentar
 
Abbas Kiarostami merupakan salah satu legenda hidup perfilman Iran dan telah banyak menghasilkan film luar biasa yang sayangnya belum pernah saya tonton satupun sebelum ini. Kiarostami sendiri dikenal lewat film-filmnya yang sering menggabungkan format fiksi dan dokumenter selama lebih dari 40 tahun berkarya di industri perfilman. Setelah tiga tahun lalu Kiarostami untuk pertama kalinya membuat film diluar Iran tepatnya di Prancis dalam Certified Copy, kali ini giliran Jepang yang menjadi tempat "persinggahan" berikutnya dari karya sang sutradara. Like Someone in Love sendiri secara keseluruhan bertempat di Jepang, menggunakan bahasa Jepang dan dibintangi aktor serta aktris Jepang seperti Rin Takanashi yang sebentar lagi akan kita lihat penampilannya dalam Killers buatan Mo Brothers. Judulnya memang mengandung kata cinta, tapi Like Someone in Love tidak akan membawa kita kepada kisah cinta romantis sepasang kekasih biasa saja meski aspek tersebut tetap ada pada film ini, namun fokus utamanya lebih dari itu.

Akiko (Rin Takanashi) mahasiswi Sosiologi yang tinggal di Tokyo. Tapi dibalik sosoknya sebagai mahasiswi cantik biasa sebenarnya dia menyimpan rahasia yang tidak diketahui oleh keluarga maupun kekasihnya, yaitu profesinya sebagai pekerja seks komersial. Hal itu dia sembunyikan dari neneknya yang jauh-jauh berkunjung ke Tokyo dan pacarnya yang posesif dan pencemburu, Noriaki (Ryo Kase). Suatu hari ia diminta untuk mendatangi rumah seorang klien bernama Takashi (Tadashi Okuno) yang ternyata adalah seorang pria tua yang tinggal sendirian di rumahya. Bukannya meminta Akiko untuk berhubungan seks, malam itu Takashi malah mengajak Akiko makan malam di rumahnya. Berawal dari situlah hubungan mereka berdua berkembang menjadi hubungan yang unik, lebih dari sekedar hubungan antara pelacur dan kliennya. Dan pada akhirnya secara keseluruhan Abbas Kiarostami akan mengajak kita menelusuri kisah yang lebih dari sekedar kisah "cinta" biasa antara pria dan wanita namun cinta yang lebih general, sederhana namun begitu indah nan mempesona bagi saya.

1 komentar :

Comment Page:

UZUMAKI (2000)

1 komentar
Bukan, ini bukan film tentang Naruto Uzumaki dan ninja Konoha dalam komik Naruto meski pada faktanya film garapan Higuchinsky ini memang diangkat dari buku komik. Uzumaki adalah adaptasi dari komik horor berjudul sama buatan Junji Ito. Saya sendiri sudah lebih dahulu membaca versi manga-nya dan menempatkannya sebagai salah satu manga tergila yang pernah saya baca bersandingan dengan Panorama of Hell milik Hideshi Hino. Ceritanya yang mengisahkan tentang obsesi sebuah kota kecil pada objek berbentuk spiral memang sangat unik, original dan tentunya penuh keabsurdan. Tapi yang paling saya suka dari manga tersebut adalah bagaimana Hideshi Hino mampu memvisualisasikan segala keanehan tersebut lewat goresan gambar yang begitu disturbing sekaligus memiliki keindahan tersendiri. Pada akhirnya saya memang agak dikecewakan oleh ending-nya yang menyisakan terlalu banyak misteri setelah selama 19 chapter saya dibuat terus bertanya-tanya tentang asal muasal obsesi atau kutukan tersebut. 

Tentu saja saya penasaran akan bagaimana hasilnya jika Uzumaki dibuat dalam media film, apalagi saya mendengar bahwa versi filmnya punya ending yang berbeda dari manga dikarenakan saat filmnya memulai masa produksi, manga-nya belum selesai. Jadi selain berharap akan sajian penuh kegilaan saya juga berharap akan menemukan konklusi yang lebih memuaskan dalam versi filmnya ini. Uzumaki seperti yang sudah saya singgung diatas punya kisah yang unik mengenai berbagai kejadian-kejadian aneh yang menimpa sebuah kota kecil bernama Kurouzu. Fenomena yang terjadi pada awalnya adalah obsesi tidak biasa yang dimiliki oleh beberapa warga terhadap benda-benda berbentuk spiral, sampai pada akhirnya keanehan yang muncul semakin menjadi. Mulai dari manusia yang berubah menjadi siput, rambut yang tumbuh membentuk spiral, dan masih banyak lagi kegilaan lainnya. Tapi sayangnya kegilaan yang ditampilkan oleh filmnya ini berada pada level yang jauh dibawah manga-nya sendiri.

1 komentar :

Comment Page:

THIS IS MARTIN BONNER (2013)

Tidak ada komentar
Jadi siapa Martin Bonner yang menjadi sosok sentral dalam film garapan Chad Hartigan ini? Martin Bonner (Paul Eenhoorn) adalah pria tua yang baru saja memilih pindah ke Nevada dari East Coast meninggalkan kedua anaknya setelah hidup selama lebih dari dua puluh tahun disana. Di rumah barunya, Martin juga harus merajut hidup yang baru. Setelah sebelumnya dipecat dari pekerjaannya sebagai manajer di sebuah gereja akibat bercerai dengan sang istri, kini Martin bekerja sebagai koordinator para volunteer pada sbeuah organisasi non-profit yang bertujuan membantu para tahanan untuk menjalani hidup baru setelah menyelesaikan masa hukumannya di penjara. Berinteraksi dengan para tahanan jelas bukan hal yang mudah bagi Martin, tapi dia harus berusaha membangun kembali kehidupannya setelah menganggur selama dua tahun dan mengalami kebangkrutan. Suatu hari ia harus membantu Travis Holloway (Richmond Arquette) yang baru saja bebas setelah 12 tahun mendekam dalam penjara. Dari situlah keduanya mulai menjalin pertemanan dimana Martin berusaha membantu Travis membangun hidupnya lagi termasuk memperbaiki hubungannya dengan sang puteri.

Judulnya memang seolah memberikan gambaran bahwa ini adalah film yang mengisahkan tentang Martin Bonner seorang, tapi sebenarnya This is Martin Bonner lebih dari sekedar kisah tentang sang pria tua yang mencoba memulai kehidupan barunya. Tapi ya, salah satu hal utama yang dibahas adalah tentang memulai hidup baru, tepatnya tentang bagaimana Martin Bonner dan Travis Holloway mencoba memulai kembali kehidupan mereka di tempat baru secara lebih baik setelah sebelumnya mereka sama-sama merasakan "kehancuran" dalam hidup mereka. Kesamaan nasib dan harapan tersebut pada akhirnya menyatukan mereka berdua dan menciptakan persahabatan yang unik diantara keduanya. Travis yang keluar dari penjara tanpa bekal apapun nyatanya memang cukup kesulitan saat harus memulai hidup barunya, khususnya dalam menjalin kembali hubungan baik dengan sang puteri tunggal. Disisi lain hubungan Martin dengan kedua anaknya tidaklah berjalan mulus. Dia memang dekat dengan sang puteri tapi sang putera tidak pernah menghubungi ataupun menjawab telepon darinya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THOR: THE DARK WORLD (2013)

Tidak ada komentar
 
Film pertama Thor bisa dibilang cukup sukses dalam memperkenalkan sosok sang dewa petir yang arogan namun heroik beserta Asgard dan segala isinya. Secara keseluruhan film pertamanya menghibur, apalagi dengan kemunculan pertama Tom Hiddlestone sebaga Loki yang sudah mengesankan. Namun saya tetap tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa film tersebut dibuat hanya sebagai jembatan menuju The Avengers. Sebuah tontonan yang menghibur namun tidak lebih dari itu. Bandingkan dengan film pertama Iron Man yang sanggup mematahkan anggapan bahwa film superhero yang berkualitas tidaklah harus punya tone gelap. Dalam phase 2 sebenarnya saya lebih menantikan Iron Man 3 dan Captain America: The Winter Soldier daripada film kedua Thor. Dengan embel-embel The Dark World pada judulnya, disutradarai oleh Alan Taylor yang dikenal lewat Game of Thrones, serta dari materi trailer, film ini sepertinya akan punya skala yang jauh lebih besar, lebih epic dan tentunya atmosfer yang jauh lebih kelam. 

Dua tahun setelah kedatangan Thor pertama kali ke Bumi atau setahun setelah Loki membuat kekacauan bersama para Chitauri, Thor kini masih harus menghentikan kekacauan yang melanda sembilan dunia yang dipimpin Odin sang ayah. Disisi lain, Loki harus menerima hukuman dikurung dalam penjara seumur hidup sebagai ganjaran atas kekacauan yang ia timbulkan di Bumi. Disaat yang bersamaan, Jane Foster yang masih terus berusaha menemukan kembali keberadaan Thor secara tidak sengaja menemukan lubang antar-dimensi yang membawanya ke sebuah tempat dimana Aether dikuburkan. Diawal film sendiri dijelaskan bahwa Aether memiliki sebuah kekuatan yang luar biasa dimana ribuant ahun yang lalu para Dark Elves yang dipimpin Malekith hendak memakai kekuatan Aether untuk membawa kegelapan abadi ke alam semesta sebelum dihentikan oleh Bor, ayah Odin. Dengan bangkitnya kekuatan Aether, maka Malekith dan Dark Elves pun kembali dari tidur panjangnya untuk menghancurkan Asgard dan membuat dunia diselimuti kegelapan/

Tidak ada komentar :

Comment Page: