X-MEN: DAYS OF FUTURE PAST (2014)

5 komentar
Mungkin berlebihan jika mengatakan bahwa X-Men: The Last Stand dan X-Men Origins: Wolverine hampir menamatkan riwayat franchise X-Men di layar lebar. Tapi yang jelas kedua film tersebut memang layak disebut sebagai yang terburuk dalam franchise ini. Setelah Brett Ratner merusak segala hal bagus yang diciptakan Bryan Singer dalam dua film pertama X-Men, para mutan ini memang baru mendapatkan film yang layak lagi lima tahun kemudian lewat sebuah reboot/prequel X-Men: First Class garapan Matthew Vaughn yang sukses memperkenalkan masa lalu dari Charles Xavier (Professor X) dan Erik Lensherr (Magneto). Wolverine pun pada akhirnya mendapat film solo yang lebih layak lewat The Wolverine. Sampai pada akhirnya Bryan Singer kembali menyutradari film X-Men setelah 11 tahun "pergi". Tapi dia tidak hanya kembali karena film yang ia sutradarai bisa dibilang merupakan yang terbesar baik dari segi skala cerita, jumlah karakter, sampai bujet yang digelontorkan. Ya, Singer kembali dengan membawa sebuah ambisi besar tidak hanya untuk menciptakan film X-Men terbesar tapi juga mungkin film superhero terbesar yang bisa menandingi The Avengers. Filmnya sendiri mengambil cerita dari komik Days of Future Past yang terbit tahun 1981 dan dianggap sebagai salah satu storyline terbaik dalam komik X-Men.

Pada awalnya kita akan dibawa pada era masa depan yang begitu kelam dimana dunia dikuasai oleh robot-robot raksasa bernama Sentinel. Pada awalnya Sentinel diciptakan untuk membunuh mutan, dan itu berhasil dimana banyak mutan yang akhirnya tewas di tangan Sentinel. Tapi lambat laun robot ini juga mulai membunuh manusia yang dari gen mereka berpotensi mempunyai keturunan mutan. Dunia pun menjadi tempat yang begitu mengerikan khususnya bagi para mutan. Para mutan yang bertahan hidup mulai menyusun rencana dibawah pimpinan Profesor X (Patrick Stewart). Mereka pun akhirnya memutuskan untuk mengirim Wolverine (Hugh Jackman) ke masa lalu tepatnya tahun 1973 dengan bantuan Kitty Pride (Ellen Page) guna memperingatkan Xavier muda (James McAvoy) tentang masa depan yang porak poranda tersebut. Hal itu dilakukan dengan harapan mereka bisa menghentikan Bolivar Trask (Peter Dinklage) yang pada tahun 1973 sedang berencana untuk membuat Sentinel. Tapi tentu saja hal itu tidak mudah dilakukan karena pada masa itu Xavier tengah dirundung banyak duka, kehilangan kekuatannya, dan masih bersitegang luar biasa dengan Erik (Michael Fassbender) yang saat itu tengah di penjara atas tuduhan pembunuhan terhadap Presiden JFK.

5 komentar :

Comment Page:

THE MONUMENTS MEN (2014)

Tidak ada komentar
George Clooney dan Matt Damon bergabung lagi mengumpulkan rang-orang terbaik untuk menciptakan sebuah "super group" dalam sebuah film bertemakan heist dengan setting perang dunia II. Apakah ini Ocean's dalam versi period? Dengan disutradarai oleh George Clooney serta banyaknya bintang yang bermain mulai dari Clooney dan Damon, lalu ada Bill Murray, John Goodman, Jean Dujardin hingga Cate Blanchett, The Monuments Men nampak seperti sebuah film yang sudah pasti mendapat keberhasilan pada award season termasuk Oscar. Hal tersebut juga terlihat dari jadwal rilis filmnya yang semula dijadwalkan pada Desember 2013, yang berarti bertepatan dengan award season. Namun tiba-tiba jadwal rilisnya mundur sampai bulan Februari 2014 dengan alasan terjadi sedikit permasalahan pada proses editing. Apakah ini berarti pihak studio tidak percaya diri untuk merilis film ini pada bulan-bulan penghargaan karena kualitasnya yang tidak terlalu baik? Apapun itu, sebuah film yang disutradarai oleh Clooney dan diisi nama-nama besar yang penuh sesak sudah pasti masuk daftar wajib tonton saya. Setelah menonton film ini saya pun amat sangat memaklumi pemunduran jadwal rilisnya. Bukan hanya tidak punya kualitas untuk bersaing di ajang Oscar, The Monuments Men juga punya kualitas yang mengecewakan secara general.

Alkisah pada perang dunia II, terjadi sebuah kekhawatiran bahwa peperangan tersebut akan menghancurkan berbagai macam benda seni bersejarah milik para seniman ternama pada masa lalu. Kekhawatiran lain juga muncul berkaitan dengan rencana Hitler untuk mencuri semua benda seni yang ada untuk membangun sebuah musem miliknya yang akan diberi nama Fuhrer Museum. Atas dasar itulah Letnan Frank Stokes (George Clooney) meminta pembentukan sebuah tim yang bertujuan untuk mengamankan benda-benda seni dari kehancuran sekaligus mencari dan mengembalikan karya-karya yang telah dicuri oleh Hitler dan para Nazi. Setelah permintannya disetujui oleh Presiden, Frank pun mulai mengumpulkan orang-orang yang ia rasa layak untuk tergabung dalam tim tersebut. Bersama teman lamanya, Letnan James Granger (Matt Damon), Stokes pun membentuk tim bernama "The Monuments Men" yang akhirnya terjun ke medan perang dengan mengusung misi menyelamatkan benda seni sebanyak mungkin termasuk yang dicuri oleh Hitler untuk dikembalikan pada tempat asalnya. Tapi tentu saja misi ini tidak akan mudah karena The Monuments Men diisi oleh orang-orang yang kurang berpengalaman di medan perang atau mereka para veteran perang yang tentu saja sudah tidak lagi fit untuk bertempur di bawah desingan peluru dan ledakan bom. Disisi lain Granger juga tengah berusaha menggali informasi dari Claire Simon (Cate Blanchett) seorang kurator yang diyakini tahu tempat para Nazi menyimpan benda seni yang mereka curi.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ILO ILO (2013)

Tidak ada komentar
Film debut garapan Anthony Chen ini sukses mengukir sejarah dengan menjadi film Singapura pertama yang berhasil meraih piala pada ajang Cannes Film Festival. Pada Cannes setahun yang lalu, Ilo Ilo memang berhasil memenangkan Camera d'Or, sebuah penghargaan bagi film debut terbaik pada festival tersebut. Tidak hanya, itu, film ini juga menjadi perwakilan Singapura di ajang Oscar awal tahun ini meski pada akhirnya gagal menembus nominasi final. Ilo Ilo tidak hanya sukses di berbagai festival international, karena pada dasarnya film ini juga berisikan para pemain international pula dengan kebangsaan yang berbeda-beda, mulai dari Chen Tianwen (Singapura), Yeo Yann Yann (Malaysia) dan Angeli Bayani (Filipina). Cerita filmnya sendiri ber-setting pada tahun 1997 yang seperti kita ketahui bersama adalah masa dimana krisis moneter melanda negara-negara di Asia termasuk Indonesia. Ilo Ilo akan membawa kita melihat bagaimana sebuah keluarga di Singapura berjuang untuk memenuhi kehidupan mereka dalam kondisi keuangan yang benar-benar mencapai titik puncak krisis tersebut. Tapi meski begitu Ilo Ilo sama sekali bukanlah tontonan yang depresif, bahkan ada sedikit rasa manis dan momen menggelitik yang menyenangkan di dalam film ini.

Hwee Leng (Yeo Yann Yann) merasa benar-benar kesulitan mengatur kehidupan keluarganya dalam masa krisis ini. Disaat ia harus menambah usahanya dalam bekerja karena sang suami, Teck (Chen Tianwen) juga tidak terlalu sukses sebagai sales, Hwee malah terus mendapat "gangguan" akibat tingkah polah putera tunggalnya, Jiale (Koh Jia Ler) yang begitu nakal di sekolah. Karena itulah Hwee merasa perlu mempekerjakan seorang pembantu rumah tungga untuk meringankan bebannya. Akhirnya mereka pun merekrut Teresa atau yang dipanggil Terry (Angeli Bayani), seorang wanita asal Filipina yang juga tengah berjuang menghidupi anaknya. Tapi pekerjaan Terry dalam keluarga tersebut ternyata tidak dimulai dengan mudah. Semuanya terjadi karena Jiale yang nakal sama sekali tidak menyukai Terry dan terus menerus mengganggunya dengan memberikan satu demi satu permasalahan. Namun Terry tidak langsung menyerah dan terus mencoba membangun hubungan dengan Jiale, dan secara perlahan pun hubungan keduanya mulai semakin membaik. Tapi nyatanya masih banyak terjadi permasalahan dalam keluarga yang pada dasarnya memang sudah tidak terlalu harmonis ini. Ya, semuanya dipicu oleh krisis keuangan yang benar-benar membuat kehidupan mereka begitu berat dan seolah tanpa harapan.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

3 DAYS TO KILL (2014)

Tidak ada komentar
Menilik nama Luc Besson sebagai produser sekaligus penulis naskah, maka ada dua kemungkinan yaitu bisa saja film ini adalah film hiburan brainless yang menyenangkan macam Taken, atau bisa saja ini hanya film tanpa otak yang benar-benar buruk seperti Colombiana. Satu yang pasti, 3 Days to Kill tidak akan lebih dari sekedar hiburan tanpa otak, apalagi jika melihat nama McG (Terminator Salvation, This Means War) di kursi sutradara saya jadi semakin yakin untuk tidak mengharapkan tontonan cerdas dalam film ini. Cukup duduk manis dan nikmati segala hal-hal bodoh yang memang ditujukan sebagai hiburan semata. Tapi ternyata perkiraan saya sedikit meleset. Saya mengira bahwa McG akan lebih banyak berfokus pada adegan aksi berkecepatan tinggi sambil sesekali mengangkat tema keluarga seperti yang sering dilakukan oleh Luc Besson, tapi ternyata 3 Days to Kill tidaklah "sebombastis" itu. Kisahnya berpusat pada karakter Ethan (Kevin Costner), seorang agen CIA veteran yang masih jadi andalan dalam melaksanakan tugas lapangan seperti saat ia ditugaskan untuk mengagalkan transaksi bom yang dilakukan oleh Albino (Tomas Lemarquis). Namun misi tersebut tidak berjalan lancar dan Albino berhasil lolos meski Ethan sempat menembak sebelah kakinya.

Albino sendiri berhasil kabur karena disaat Ethan hampir menangkapnya, ia tiba-tiba jatuh pingsan. Ethan pun kemudian tahu bahwa ia menderita sebuah kanker otak parah dan divonis hanya akan bertahan hidup selama beberapa bulan ke depan. Karena penyakit itu jugalah pihak CIA memberhentikan Ethan dari pekerjaannya sebagai agen rahasia. Setelah semua itu, Ethan memutuskan untuk berusaha memperbaiki hubungannyya yang retak dengan sang mantan istri, Christine (Connie Nielsen) dan puterinya, Zoey (Hailee Steinfeld). Tentu saja itu tidak mudah karena Ethan selama ini sudah meninggalkan keduanya, apalagi Zoey yang akhirnya tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Kesempatan bagi Ethan untuk memperbaiki hubungannya yang kaku dengan Zoey datang saat Christine harus bekerja keluar kota selama beberapa hari dan menitipkan Zoey pada Ethan. Namun ternyata hal itu juga tidak berjalan dengan lancar setelah Ethan "dikunjungi" oleh Vivi (Amber Heard), seorang agen CIA yang memerintahkan Ethan untuk membunuh The Wolf (Richard Sammel) yang merupakan atasan dari Albino. Meski awalnya menolak, Ethan akhirnya menerima misi tersebut setelah Vivi menawarkan sebuah obat hasil eksperimen yang dikatakan bisa menyembuhkan penyakit Ethan.
Seperti yang saya katakan diawal tadi, 3 Days to Kill tidaklah sebombastis yang saya perkirakan. Saya benar-benar tertipu oleh kulit luarnya. Dengan judul yang mengandung kata "kill" dan posternya yang sedemikian rupa, mudah untuk mengira bahwa film ini adalah sebuah action-thriller yang kelam, apalagi mendengar premisnya yang berkisah tentang seorang agen rahasia yang harus menjalankan misi sembari membina kembali hubungan dengan keluarganya disaat ia sedang sekarat. Saya menduga film ini akan punya tone yang mirip dengan Edge of Darkness yang dibintangi Mel Gibson, tapi nyatanya 3 Days to Kill tidak sekelam itu. Bagian awalnya memang langsung menampilkan adegan aksi penuh ledakan, seolah menandakan ini akan menjadi sebuah kisah tentang secret agent yang bergerak cepat dan memacu adrenaline. Tapi semuanya berubah saat Ethan mulai mencoba membangun kembali hubungannya dengan Zoey. 3 Days to Kill mendadak berubah menjadi lebih banyak berfokus pada drama keluarganya sambil sesekali kembali ke ranah action-thriller yang juga dibumbui komedi. Warna filmnya jadi semakin cerah, semakin ringan dan mengesampingkan segala tetek bengek mengenai agen CIA yang berusaha menangkap gerombolan teroris. 
Tapi itu bukanlah hal yang buruk, karena saya akui drama keluarga dan sentuhan komedinya bekerja dengan cukup baik. Hubungan ayah-anak antara Ethan dan Zoey mungkin tidak sampai terasa begitu menyentuh tapi tetap bisa terasa manis khususnya berkat chemistry kuat dari Kevin Costner dan Hailee Steinfeld. Komedinya yang cukup baik juga semakin membuat hubungan keduanya terasa menyenangkan untuk diikuti. Bahkan sentuhan komedi juga terasa cukup kental saat film ini menampilkan kembali momen aksinya. Bukan sebuah komedi yang membuat saya tertawa terbahak-bahak memang, tapi cukup untuk membuat saya menikmati segala momen yang dihadirkan McG dalam filmnya ini. 3 Days to Kill juga terlihat bergantung pada sosok Kevin Costner yang tampil maksimal disini. Costner tidak hanya punya kharisma yang membuatnya meyakinkan sebagai agen CIA veteran yang handal tapi juga sanggup menjadi sosok ayah yang "terjebak" dalam usaha mencairkan hubungan dengan sang puteri yang begitu kaku setelah sekian lama. Costner juga fasih dalam mengemban porsi komedi yang diberikan padanya. Bahkan dengan wibawa yang ia miliki momen komedi yang ada semakin terasa lucu. Sayangnya sebuah potensi bernama Amber Heard gagal dimanfaatkan dengan baik disini. Amber Heard jelas punya potensi menjadi scene stealer berkat keseksian dan karakternya yang dingin, tapi hal itu tidak dimaksimalkan. Vivi hanya muncul sesaat untuk kemudian menghilang lagi dan muncul lagi, menjadikan karakternya terlihat dipaksakan masuk dan tidak penting. Padahal hubungan Vivi dan Ethan bisa jadi sebuah sajian yang menghibur khususnya lewat dialog keduanya.

Tidak hanya Vivi, karakter lainnya pun banyak yang terasa hanya tempelan belaka seperti dua antagonis Albino dan Wolf serta keluarga yang tinggal di rumah Ethan. Khusus untuk Albino dan Wolf kedua penjahat yang begitu lemah dan sangat tidak menarik ini menjadikan klimaks 3 Days to Kill menjadi jauh dari kata menegangkan dan terasa datar. Pada akhirnya bukan hanya porsi aksinya saja yang terpinggirkan, tapi juga beberapa subplot yang coba dimasukkan termasuk tentang sekelompok keluarga yang menumpang di rumah Ethan. Dari situ sangat terasa bahwa naskah yang ditulis oleh Luc Besson dan Adi Hasak punya ambisi yang begitu besar tanpa diimbangi kualitas yang mumpuni. Ada ambisi besar untuk menggabungkan berbagai macam genre dan aspek-aspek cerita melalui beberapa subplot, tapi akibat kualitas yang kurang terjadilah ketidak seimangan porsi yang begitu terasa. Banyak hal yang akhirnya hanya terasa numpang lewat dan hambar. Untungnya walaupun adegan aksinya terpinggirkan, tiap kemunculannya dieksekusi dengan lumayan baik hingga tetap terasa menghibur. Secara keseluruhan pun, 3 Days to Kill masih menjadi tontonan yang menghibur meski jelas terdapat banyak kebodohan dalam ceritanya, pembagian porsi yang kurang seimbang, beberapa kesan repetitif, serta peralihan momen antara drama keluarga dan aksi yang begitu kasar dan dipaksakan.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

GODZILLA (2014)

2 komentar
Sebutkan sosok monster paling terkenal sepanjang sejarah perfilman atau bahkan dalam sepanjang sejarah pop culture pasti akan banyak yang menyebut Godzilla/Gojira sebagai jawabannya. Memulai sejarahnya semenjak tahun 1954 atau 60 tahun yang lalu, sudah ada sekitar 31 film tentang Godzilla sebelum ini termasuk versi Hollywood yang disutradarai oleh Roland Emmerich pada tahun 1998 lalu. Sayangnya versi Emmerich yang diharapkan bakal menjadi franchise baru malah menjadi kegagalan serta dicaci maki kritikus serta para fans Godzilla. Emmerich dianggap tidak mengerti tentang sang kaiju dan visinya melenceng terlalu jauh sehingga Godzilla miliknya dianggap hanya "nama" belaka atau sering disebut GINO (Godzilla In Name Only). Akhirnya keburukan film tersebut "memaksa" Toho memulai kembali Godzilla setahun kemudian lewat Godzilla 2000 sebelum akhirnya mematikan lagi sang monster dalam Godzilla: Final Wars 10 tahun yang lalu. Selang satu dekade, Gareth Edwards membuat versi reboot dan usaha kedua Hollywood untuk membangun franhise Godzilla. Edwards sendiri dikenal lewat debut penyutradaraannya yang sukses dalam Monsters, sebuah film invasi alien/monster indie. Jadi apakah versi Edwards sanggup menghapus mimpi buruk dari versi Emmerich?

Film ini membuka ceritanya dengan beberapa gambaran tentang beberapa peledakan bom nuklir yang ditengarai menyimpan rahasia di dalamnya. Pada tahun 1999, ilmuwan Jepang bernama Dr. Serizawa (Ken Watanabe) bersama rekannya, Dr. Vivienne (Sally Hawkins) dipanggil ke Filipina untuk memeriksa sebuah penemuan fosil makhluk raksasa beserta dua kepompong/telur yang salah satunya sudah menetas. Di saat bersamaan, terjadi sebuah kecelakaan di tempat penelitian nuklir yang berada di Jepang. Kecelakaan tersebut menewaskan Sandra Brody (Juliette Binoche) yang tewas di depan mata suaminya, Joe Brody (Bryan Cranston). Joe yang amat terpukul atas kejadian tersebut terus meneliti apa yang sesungguhnya terjadi pada hari itu bahkan sampai 15 tahun kemudian. Frod Brody (Aaron Taylor-Johnson) yang kini telah menjadi letnan dan merupakan penjinak bom handal suatu hari mengunjungi Jepang setelah menerima berita bahwa sang ayah ditangkap karena melintasi perbatasan daerah karantina. Joe yang dianggap gila oleh sang anak berusaha membuktikan bahwa ada sosok misterius yang tidak diektahui orang-orang berkeliaran disana. Sosok itu jugalah yang menurut Joe menjadi penyebab kecelakaan 15 tahun yang lalu. Tanpa ada yang tahu sosok itu ternyata berwujud monster-monster raksasa yang siap membawa kehancuran dunia

2 komentar :

Comment Page:

ABOUT LAST NIGHT (2014)

Tidak ada komentar
Sekilas tidak ada yang menarik dari About Last Night. Menawarkan formula komedi romantis standar yang berasal dari remake film berjudul sama yang dirilis pada tahun 1986, About Last Night pada awalnya nampak tidak lebih dari sekedar usaha untuk menghasilkan pundi-pundi uang lewat jalan yang mudah. Orang-orang yang terlibat di dalamnya pun tidak terlalu spesial bagi saya. Di posisi sutradara ada Steve Pink yang meraih kesuksesan lewat komedi Hot Tube Time Machine yang sesungguhnya punya kualitas tidak bagus-bagus amat. Di jajaran pemainnya ada beberapa nama komedian seperti Kevin Hart dan Regina Hall yang tetap saja tidak menjadi jaminan mutu sebuah film. Tapi setelah dirilis film ini memberikan kejutan dengan meraih kesuksesan Box Office lewat raihan $49 juta (bujetnya hanya $13 juta) serta respon yang cukup baik dari para kritikus. Saya pun memutuskan untuk memberikan kesempatan bagi film ini yang pada akhirnya tidak berakhir mengecewakan. Ya, About Last Night berhasil memberikan sebuah hiburan yang cukup menyenangkan lewat kombinasi kisah romansa dengan rentetan komedi-komedi verbalnya. Kisahnya sendiri berpusat pada dua pasang sahabat. Yang pertama adalah para pria, Dany (Michael Ealy) dan Bernie (Kevin Hart) sedangkan satunya adalah para wanita, Joan (Regina Hall) dan Debbie (Joy Bryant).

Bernie dan Joan baru saja memulai sebuah hubungan. Hubungan yang sebenarnya masih belum terlalu jelas apakah merupakan pacaran serius atau sekedar one night stand yang sedikit lebih panjang dari sekedar seks satu malam. Bernie dan Joan pun membawa sahabat mereka masing-masing dalam sebuah kencan, yaitu Dany dan Debbie. Tujuan keduanya jelas, menjodohkan Dany dengan Debbie karena mereka berdua dianggap memiliki banyak persamaan. Mereka sama-sama dianggap membosankan dan tidak bisa bersenang-senang, dan yang paling penting keduanya masih jomblo setelah putus dengan pacar mereka masing-masing. Diluar dugaan "perjodohan" tersebut berjalan dengan sangat lancar. Dany dan Debbie semakin dekat dan terlihat mulai menjalin hubungan bahkan keduanya tinggal bersama setelah Debbie pindah ke apartemen Dany. Tapi pertanyaannya lagi-lagi sama, apakah mereka berdua memang saling mencintai atau hanya sekedar menginginkan kepuasan seksual dan bersenang-senang belaka? Dari hal itulah hubungan mereka mulai mendapat banyak cobaan khususnya saat Bernie dan Joan akhirnya putus dan saling bermusuhan bahkan memanas-manasi sahabat mereka masing-masing untuk melakukan hal yang sama.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

GRAVE OF THE FIREFLIES (1988)

2 komentar
Jika menyebut nama Ghibli, pasti yang terlintas di pikiran banyak orang adalah film-film animasi indah, penuh fantasi serta keceriaan dan harapan. Mayoritas film Ghibli pun tidak akan memberikan kita sosok penjahat seperti yang wajar muncul dalam film manapun termasuk animasi. Lihat saja film-film macam My Neighbor Totoro, Spirited Away sampai Ponyo dan anda akan mengerti yang saya maksudkan. Namun pada tahun 1988, Isao Takahata memberikan sentuhan lain dalam film animasi Ghibli lewat Grave of the Fireflies. Sebuah film adaptasi dari novel semi-autobiografi berjudul sama karya Akiyuki Nosaka, film ini tidak hanya puya tingkat realisme yang jauh lebih kental tapi juga atmosfer yang jauh dari kata ceria, berbeda dengan mayoritas film Ghibli lainnya. Kisahnya berada pada masa perang dunia II saat Jepang berperang melawan sekutu dan sering mendapat serangan bom dari udara. Dengan setting di Kobe, film ini membawa kita pada kehidupan dua kakak beradik, Seita dan Setsuko yang harus bertahan hidup di tengah hujan bom yang mewarnai tiap hari mereka. Keduanya harus hidup sendiri setelah dalam suatu serangan udara ibu mereka tewas karena luka parah yang ia derita.

Seita yang tidak tega menceritakan itu pada Setsuko yang masih kecil memilih tidak memberitahu kematian ibu mereka. Sang ayah sendiri adalah seorang angkatan laut yang tentu saja sedang berada di medan perang saat itu. Sendirian dan tidak punya tempat tinggal setelah rumah mereka hancur, Setsuko dan Seita pergi keluar kota untuk tinggal bersama bibi mereka. Tapi disana kehidupan mereka tidaklah membaik. Selain karena serangan udara yang tidak kunjung berhenti, sang bibi juga perlahan mulai memperlihatkan ketidak sukaannya kepada Setsuko dan Seita yang dianggapnya malas dan tidak berguna. Dari situlah perjuangan kakak beradik ini untuk bertahan hidup lewat usaha mereka sendiri terus berlanjut. Sebuah usaha yang jauh dari kata mudah dan tentunya penuh dengan penderitaan. Ya, akan ada banyak penderitaan yang menyesakkan disini. Grave of the Fireflies memberikan pemandangan yang "aneh" dan cukup mengagetkan bahkan sedari adegan pembukanya. Film Ghibli yang dibuka dengan narasi dari karakter utama yang bercerita tentang kematiannya tentu saja terasa begitu mengejutkan. Sedari awal nuansa depresif sudah sangat terasa. Bahkan setelah kita mulai dibawa masuk kedalam ceritanya, ketegangan langsung terasa karena belum apa-apa saya sudah disuguhi adegan serangan udara. 

2 komentar :

Comment Page:

THE AMAZING SPIDER-MAN 2 (2014)

Tidak ada komentar
Saya cukup menyukai film The Amazing Spider-Man yang pertama. Sebenarnya saya setuju bahwa film tersebut menyalahi janjinya sebagai the untold story of Spider-Man karena sebagian besar yang terjadi sudah kita tahu atau pernah kita lihat dalam film Spidey garapan Sam Raimi. Tapi disisi lain saya senang karena Marc Webb lebih "setia" pada komiknya daripada Raimi salah satunya dengan menghadirkan sosok Spidey yang sering melontarkan lelucon konyol saat beraksi sampai kemunculan Gwen Stacy yang memang merupakan love interest pertama Peter Parker sebelum Mary Jane. Filmnya sendiri cukup menyenangkan dan yang paling penting bisa membuat saya mengantisipasi sekuel dan expanded universe ala Marvel yang hendak dibangun oleh Sony. Maka sekuelnya yang rilis dua tahun setelah film pertamanya jelas saya tunggu. Tapi disisi lain saya merasa was-was karena dua hal. Pertama tentu saja berkaitan dengan usaha memperluas dunia Spidey yang bisa menjadikan film ini hanya sebagai jempatan penyambung universe daripada sebuah stand alone yang kokoh. Yang kedua adalah fakta bahwa Webb membawa banyak villain dalam film ini. Tercatat ada tiga nama, yaitu Electro, Green Goblin dan Rhino. Apakah dia lupa dengan kegagalan Spider-Man 3 karena terlalu banyak musuh yang muncul?

Kisahnya melanjutkan apa yang ditinggalkan film pertama, yaitu bagaimana Peter Parker (Andrew Garfield) melanjutkan kehidupan gandanya sebagai Spider-Man dan seorang siswa SMA yang akan segera lulus. Kini Peter mengalami dilema dan terus dihantui oleh sosok mendiang ayah kekasihnya, Gwen Stacy (Emma Stone) yang sebelum tewas berpesan supaya Peter menjauhi Gwen untuk melindungi keselamatannya. Tapi tentu saja berat bagi Peter melakukan itu, apalagi Gwen adalah sosok keras kepala yang tidak akan mudah untuk diminta menjauh dari orang yang ia cintai. Disisi lain sebagai Spider-Man, Peter harus menghadapi ancaman baru yang datang dari Electro. Electro adalah super villain yang punya kemampuan mengendalikan listrik. Sosoknya sendiri tercipta dari Max Dillon (Jamie Foxx) seorang teknisi listrik dari perusahaan Oscorp yang hidupnya selalu diisi kesepian. Max tidak punya teman, dan dia sangat mengidolakan Spider-Man yang suatu hari pernah menolongnya. Namun sebuah kecelakaan di tempat kerja membuatnya tewas dan akhirnya bangkit kembali sebagai Electro. Dipenuhi dendam dan keinginan yang besar untuk mendapat "perhatian", dia pun mulai mengacaukan seisi kota. Masalah Peter tidak hanya berhenti sampai disitu, karena disaat bersamaan ia bertemu kembali dengan teman masa kecilnya, Harry Osborn (Dane DeHaan) yang kini memimpin Oscorp dan berusaha mendapatkan darah Spider-Man untuk menyembuhkan penyakit yang ia alami.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE SELFISH GIANT (2013)

Tidak ada komentar
Pada tahun 2010 lalu Clio Barnard sempat membuat film dokumenter berjudul The Arbor yang penyampaiannya terasa inovatif. Dalam film tersebut, Barnard menyajikan kisahnya bagaikan sebuah pertunjukkan diatas panggung, hanya saja kebanyakan set-nya berada di taman lengkap dengan sofa di tengahnya. Tapi meskipun unik saya pribadi tidak terlalu menyukai dokumenter itu. Kali ini dia kembali dengan sebuah drama berjudul The Selfish Giant yang terinspirasi dari cerita buatan Oscar Wilde dengan judul sama. Jika film sebelumnya dari Barnard berjudul The Arbor, kali ini tokoh utama dalam The Selfish Giant yang bernama Arbor. Diperankan oleh Conner Chapman, Arbor adalah seorang bocah yang hidup di Bradford, Inggris. Dalam kesehariannya Arbor banyak tidak disukai oleh orang-orang termasuk teman bahkan guru di sekolahnya. Semua itu karena gangguan psikologis yang ia miliki. Arbor tidak hanya hiperaktif, tapi juga mudah marah. Karena itulah dia dijauhi karena dianggap memberikan banyak pengaruh buruk. 

Walaupun begitu, Arbor beruntung memiliki seorang sahabat yang begitu sabar dan setia menemani Arbor dengan segala "keliaran" yang ia miliki. Sahabatnya itu bernama Swifty (Shaun Thomas). Sama seperti Arbor, kehidupan Swifty juga tidaklah bahagia. Sesungguhnya dia adalah anak yang sangat baik dan simpatik, tapi kondisi keluarganya yang miskin dan ayahnya yang "hobi" menjual barang-barang rumah untuk melunasi hutang membuat Swifty selalu dicela orang-orang di sekitarnya. Pada akhirnya kedua bocah yang terbuang oleh sosialnya itupun selalu bersama-sama termasuk saat mereka bekerja di sebuah tempat pengumpulan besi bekas milik Kitten (Sean Gilder). Mereka pun bersama-sama bekerja, mencari uang sembari bersenang-senang sebagai pengumpul besi bekas bahkan sampai mencuri kabel-kabel. Ya, begitulah kisah dari The Selfish Giant. Sebuah cerita tentang dua anak manusia yang sama-sama kesepian, sendiri dan terbuang. Keduanya pun saling mengisi satu sama lain. Karena itulah saya sangat bisa memaklumi kenapa Swifty yang begitu baik masih terus betah berteman dengan Arbor yang menyebalkan dan begitu egois. Keduanya tidak hanya menemukan sosok teman biasa, tapi sahabat sejati yang akan selalu bersama. Ini adalah studi karakter, bahkan studi hubungan yang sederhana tapi mendalam diantara keduanya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

JALANAN (2014)

2 komentar
Pengamen. Tentu saja mereka selalu ikut mewarnai keseharian kita. Ada yang merasa kehadiran para pengamen menjadi hiburan sejenak dikala macet atau menunggu lampu merah berganti menjadi hijau, tapi banyak juga yang tidak suka dengan kehadiran mereka yang dianggap mengganggu ketertiban. Daniel Ziv melalui dokumenternya ini coba menangkap kehidupa para pengamen, para musisi jalanan yang hidup di tengah hiruk pikuk dan kerasnya kehidupan ibu kota Jakarta. Melalui Jalanan, Daniel Ziv akan memperlihatkan bagaimana ketiga tokoh utamanya hidup sebagai pengamen, berusaha bertahan hidup dan mencari uang dengan cara mengamen dari satu bus ke bus lainnya sambil sesekali bicara tentang hidup, negara, bahkan cinta. Film ini sendiri berhasil meraih penghargaan sebagai film dokumenter terbaik dalam ajang Busan International Film Festival tahun 2013 lalu. Ketiga pengamen yang kehidupannya dijadikan fokus adalah Boni, Ho dan Titi. Ketiganya punya nasib yang sama, merantau ke ibukota untuk mencari uang dan memilih hidup di jalanan sebagai pengamen. Mereka pun juga memiliki mimpi yang sama, yaitu mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik, khususnya bagi orang-orang yang mereka sayangi.

Melihat tampilan luar mereka mungkin banyak yang akan menganggap sebelah mata ketiganya. Melihat Boni yang penuh tato atau Ho dengan rambut gimbalnya akan banyak orang yang memandang mereka tidak lebih dari sekedar preman yang hidup seenaknya, bahkan mungkin mengasosiasikan mereka sebagai kriminal yang lebih baik digaruk satpol pp saja demi ketertiban lingkungan. Sedangkan melihat Titi mungkin banyak yang mencibir saat melihat seorang wanita memilih mengamen sebagai sumber penghasilannya. Kemudian film ini perlahan mulai berjalan, mulai mengajak kita berkenalan dengan ketiganya secara lebih dalam. Kita akan tahu bagaimana Boni yang tinggal di bawah kolong jembatan dan harus kelabakan saat banjir tiba tetap merasa hidupnya bahagia bahkan merasa kolong jembatan itu adalah Grand Hyatt. Siapa juga yang menyangka bahwa di balik tampangnya yang sangar, Ho punya sisi romantis dalam dirinya yang rela menabung berhari-hari untuk mengajak wanita pujaannya makan di warung Padang. Sedangkan Titi akan membuat kita terenyuh dengan perjuangannya mencari uang untuk menghidupi anak-anak serta kedua orang tuanya di kampung meski sempat ditentang saat memilih menjadi pengamen. Tidak hanya itu, ia juga masih menyimpan hasrat besar untuk menuntut ilmu seperti yang terlihat saat Titi bersiap mengikuti ujian paket C.

2 komentar :

Comment Page:

ROUGH PLAY (2013)

2 komentar
Yes, another movie by Kim Ki-duk! Tapi kali ini Kim "hanya" berperan sebagai penulis naskahnya dimana posisi sutradra ditempati oleh Shin Yeon-shick. Ini memang bukan kali pertama Kim Ki-duk memberikan naskahnya untuk disutradarai oleh orang lain. Selain Rough Play, tercatat ada tiga film lain yang berasal dari naskah Kim, yaitu Rough Cut, Beautiful dan Poongsan. Judul Rough Play mungkin akan membuat banyak orang mengira ini adalah sekuel dari Rough Cut yang disutradarai oleh Jang Hoon karena kemiripan judul dan sama-sama ditulis oleh Kim Ki-duk, tapi sesungguhnya kedua film ini sama sekali berbeda meski sama-sama mengambil tema tentang sisi kelam industri film. Menariknya, film ini dibintangi oleh Lee Joon yang selama ini lebih dikenal sebagai seorang idol dan anggota dari boyband MBLAQ. Ya, seorang idol bermain dalam film yang naskahnya ditulis oleh Kim Ki-duk merupakan sebuah keunikan bagi saya mengingat selama ini film Kim jelas bukan film yang dicintai penonton dan banyak mengandung kontroversi di dalamnya. Walaupun Lee Joon pernah bermain dalam film sebelumnya (versi muda Rain dalam Ninja Assassin) tapi tetap saja peran utama dalam film yang ditulis naskahnya oleh Kim adalah cerita berbeda.

Oh Young (Lee Joon) adalah seorang aktor berbakat, tapi sayangnya kesuksesan masih terlihat belum mau mendekati karirnya. Sampai saat ini dia hanya menjadi seorang aktor utama di pementasan teater kecil dan peran-peran figuran yang tugasnya hanya untuk dipukuli dalam sebuah film. Semuanya karena sikapnya yang tidak disukai baik oleh sesama aktor maupun sutradara. Oh Young memang punya akting yang mumpuni dan pendalaman karakter yang hebat, tapi seringkali ia kelewat batas dalam sebuah adegan. Sebagai contoh dia pernah hampir mencekik mati aktris lawan mainnya saat berada di atas panggung. Peruntungannya perlahan mulai berubah saat seorang manager bernama Kim Jang-ho (Seo Beom-seok) melihat bakat Oh Young dan menawari sang aktor untuk bekerja sama dengannya. Dengan cepat dan hanya lewat satu film sebagai supporting actor, Oh Young langsung mendapatkan popularitas luar biasa dan begitu dipuja oleh publik, bahkan melebihi aktor yang menjadi pemeran utama dalam film tersebut. Tapi kebahagiaan yang ia dapat lewat kesuksesan itu tidak bertahan lama, karena makin lama Oh Young semakin terjebak dalam lingkaran hitam yang mengelilingi sisi gelap industri perfilman. Sesuatu yang mulai membahayakan karirnya yang cemerlang tersebut.

2 komentar :

Comment Page:

ENEMY (2013)

19 komentar
Prisoners (review) milik Dennis Villeneuve merupakan salah satu pengalaman menonton bioskop paling menyenangkan tahun lalu. Film tersebut adalah sajian thriller yang begitu lengkap saat berhasil menghadirkan intensitas ketegangan tinggi, misteri yang menarik, gambar-gambar indah, sisi emosional yang mendalam, sampai akting luar biasa para pemainnya. Saya sangat menyukai Prisoners dan tidak sabar untuk menonton karya berikutnya dari Villeneuve. Tapi siapa sangka karya berikutnya itu datang begitu cepat. Hanya sekitar satu bulan lebih setelah Prisoners dirilis, Villenueve kembali meluncurkan filmnya yang berjudul Enemy. Memulai debut penayangannya di Toronto International Film Festival tahun lalu, Enemy pun langsung menjadi film "wajib tonton" bagi saya. Kembali dibintangi oleh Jake Gyllenhaal yang sukses memberikan salah satu akting terbaik sepanjang karirnya lewat Prisoners, film ini mengangkat ceritanya dari novel garapan Jose Saramago yang berjudul The Double. Enemy sendiri pada awalnya akan memperkenalkan kita pada Adam Bell (Jake Gyllenhaal), seorang guru sejarah yang terlihat punya kehidupan biasa saja Dia tinggal di apartemen sederhana, mengisi kesehariannya dengan mengajar, serta menjalin hubungan dengan seorang wanita bernama Mary (Melanie Laurent). Tidak ada yang terlalu spesial dari hidup Adam tapi semuanya baik-baik saja dan bahagia.


Semuanya berubah saat Adam menonton sebuah film berjudul Where There's A Will There's A Way yang direkomendasikan oleh temannya. Alangkah terkejutnya Adam saat ia melihat salah satu aktor figuran daam film tersebut mempunyai wajah yang sangat mirip dengannya. Setelah melakukan penelusuran, Adam pun menemukan pria yang bernama Anthony Claire tersebut. Apa yang terjadi berikutnya semakin rumit disaat Adam mulai menemukan lebih banyak persamaan antara dirinya dan Anthony dan disaat orang-orang terdekat mereka mulai ikut terseret dalam hal tersebut termasuk istri Anthony yang tengah hamil enam bulan, Helen (Sarah Gadon). Enemy memulai semuanya dengan lambat. Dibuka dengan adegan slow-motion, suasana yang seringkali terasa sunyi dan kelam, sampai narasinya yang juga terasa lambat. Kita tidak langsung disuguhi misteri utamanya, melainkan diajak terlebih dahulu berkenalan dan melihat lebih jauh sosok Adam Bell. Saya memang sudah tahu dari awal bahwa film ini akan bertutur tentang sosok "kembar" yang dimiliki oleh karakter utamanya, tapi saya sama sekali tidak tahu bagaimana semua itu akan dimulai dan pada akhirnya akan dibawa kemana misteri tersebut. Hingga pada akhirnya saat Villeneuve pertama kali memperlihatkan "kembaran" Adam lewat jalan yang tak terduga saya pun dibuat terkesima dan secara tidak sadar mulai terikat dengan misterinya.

19 komentar :

Comment Page:

12 O'CLOCK BOYS (2013)

Tidak ada komentar
Mendengar istilah "geng motor" pasti pikiran hampir semua orang tertuju pada segerombolan berandalan yang beramai-ramai membuat onar dan mengganggu ketertiban lewat aksi arogan mereka di atas sepeda motor. Singkatnya, geng motor selalu berkonotasi negatif di mata masyarakat umum. Tapi jangan kira fenomena geng motor hanya terjadi di Indonesia saja, karena di Amerika Serikat hal ini juga sudah mendapatkan banyak sorotan. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah sekelompok geng motor yang melakukan aksinya di Baltimore. Mereka yang dikenal dengan istilah dirt-bike riders ini menamakan diri mereka sebagai 12 O'clock Boys. Jadi apa yang dilakukan 12 O'Clock Boys saat sedang beraksi? Apakah mereka menghancurkan toko-toko? Apa mereka membakar sesuatu? Apa mereka memukuli orang-orang? Jawabannya tidak. Mereka memang melakukan kebut-kebutan di jalan tanpa memakai helm ataupun pengamana lainnya, tapi mereka tidaklah melakukan aksi-aksi kriminal seperti yang saya sebutkan diatas. Mereka melakukan freestyle di tengah jalan raya yang memang membahayakan bagi mereka maupun pengguna jalan lain, tapi secara keseluruhan tidak melakukan tindak kejahatan. Tapi tetap saja aksi mereka meresahkan dan dianggap berbahaya, apalagi setelah adanya kasus kematian akibat kecelakaan pada saat mereka beraksi.

Pihak kepolisian Baltimore sendiri tidak mampu berbuat banyak karena mereka dilarang untuk melakukan aksi pengejaran akibat dianggap terlalu berbahaya. Bahkan walaupun helikopter sudah dikerahkan, para 12 O'Clock Boys yang terkenal begitu membenci polisi masih sulit untuk diringkus. Tapi dalam filmnya ini, Lotfy Nathan tidak hanya berfokus pada 12 O'Clock Boys dan segala aksi mereka di jalanan, melainkan banyak berfokus pada sosok bocah bernama Pug. Sudah sedari lama Pug sangat menyukai motor dan bermimpi akan menjadi salah satu anggota 12 O'Clock Boys suatu hari nanti. Karena itulah Pug selalu mengisi hari-harinya merawat motor, berlatih melakukan berbagai macam trik, sampai dengan setia melihat para idolanya beraksi di jalan raya. Pug sendiri nampak tidak peduli dengan omongan-omongan mirng tentang 12 O'Clock Boys dan nasihat orang-orang di sekitarnya termasuk sang ibu yang tidak setuju jika Pug ingin menjadi salah satu dari para dirt-bike rider tersebut. Yang Pug tahu adalah para pengendara motor itu adalah orang-orang keren yang videonya selalu ia tonton berulang-ulang dan impian terbesar dalam hidup Pug adalah menjadi salah satu dari mereka. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: