NOAH (2014)

2 komentar
Film Noah merupakan film adaptasi karya Darren Aronofsky dari kisah Noah dari alkitab atau lebih dikenal sebagai Nabi Nuh dalam Al Qur'an milik umat Islam. Tentu saja tidak perlu menjadi seorang yang taat beragaman untuk tahu setidaknya dasar cerita dari Noah. Hampir semua orang tahu tentang bahtera yang ia bangun untuk menampung umat dan para hewan dari banjir bandang raksasa yang diturunkan oleh Tuhan untuk menyapu para pendosa dari muka Bumi. Memang menarik menanti karya baru dari Aronofsky setelah Black Swan yang rilis empat tahun lalu, namun perilisan Noah tidak hanya menarik ditunggu karena sosok Aronofsky dan para bintangnya macam Russell Crowe, Anthony Hopkins, Jennifer Connelly hingga Emma Watson melainan juga karena kontroversi yang selalu mengiringi film ini. Baik umat Kristen maupun Islam sama-sama banyak memprotes pembuatan film ini, termasuk di Indoneia yang melarang perilisan film ini karena dianggap bisa mempengaruhi keimanan umat. Nyatanya kontroversi dan berbagai pencekalan yang ada tidak membuat ini ditinggalkan penonton, terbukti dengan keberhasilannya meraup pendapatan diatas $359 juta untuk peredarannya di seluruh dunia. Pertanyaannya adalah seberaa kontroversial sebenarnya film ini?

Noah (Russell Crowe) adalah keturunan ke-8 dari Adam atau lebih tepatnya keturunan dari Seth, salah satu anak dari Adam. Noah yang pada saat kecil menyaksikan sang ayah, Lamech (Marton Csokas) dibunuh oleh Tubal-cain (Ray Winstone) tumbuh menjadi seorang pria baik yang menikah dengan Naameh (Jennifer Connelly) dan dari pernikahan tersebut mempunyai tiga orang anak laki-laki. Noah adalah sosok orang yang begitu menghargai alam, kehidupan dan percaya bahwa ia mengemban tugas untuk melakukan perintah dari sang pencipta (baca: Tuhan). Suatu hari Noah mendapatkan sebuah mimpi yang ia yakini sebagai sebuah pertanda dari Sang Pencipta. Dalam mimpi itu Noah melihat pemandangan mengerikan saat dunia terendam air dan semua umat manusia tewas tenggelam. Dari mimpi itulah Noah percaya bahwa Sang Pencipta akan melakukan penghakiman pada umat manusia yang telah banyak berbuat dosa dan menghancurkan Bumi dengan cara melenyapkan seluruh umat manusia lewat banjir besar. Noah yang masih bingung harus melakukan apa memutuskan untuk menemui kakeknya, Methuselah (Anthony Hopkins). Pertemuan tersebut memberikan Noah petunjuk dan akhirnya memutuskan untuk membuat bahtera raksasa dengan bantuan para malaikat yang terjebak dalam tubuh raksasa batu bernama "The Watchers". Namun dalam prosesnya banyak konflik terjadi seperti perlawanan dari Tubal-cain sampai perselisihan antara Noah dan putera keduanya, Ham (Logan Lerman).

2 komentar :

Comment Page:

THE ROCKET (2013)

Tidak ada komentar

Setiap tahunnya Australia selalu berhasil menghasilkan film-film yang sukses menyita perhatian dunia khususnya lewat berbagai festival-festival. Sebut saja Snowtown, Lore, Samson and Dellilah, dan masih banyak lagi film bagus lainnya dari negeri kanguru tersebut. Untuuk tahun 2013 sendiri The Rocket-lah yang mencuri perhatian. Tidak hanya menjadi perwakilan Australia di ajang Oscar tahun ini, film garapan sutradara Kim Mordaunt ini juga berhasil meraih kesuksesan di berbagai macam festival. Pada Tribecca Film Festival, The Rocket berhasil meraih dua penghargaan di ajang Audience Award, yaitu untuk Best Narrative Feature dan Best Actor bagi aktor cilik Sittiphon Disamoe. Meskipun ini merupakan film Australia, tapi setting tempatnya berada di Laos, tepatnya di sebuah desa tradisional yang terletak di dekat hutan. Ceritanya dimulai saat seorang wanita bernama Mali (Alice Keohavong) tengah menjalani proses persalinan dengan dibantu oleh ibunya, Taitok (Bunsri Yindi). Tentu saja kebahagiaan begitu terasa setelah anak Mali yang berjenis kelamin laki-laki akhirnya lahir. Tapi kebahagiaan tersebut langsung berubah menjadi kekhawatiran disaat Mali ternyata mengandung anak kembar. Berdasarkan kepercayaan lokal, jika ada bayi kembar maka salah satu diantaranya akan membawa keberuntungan dan satunya lagi membawa kutukan kesialan.


Tapi ternyata bayi yang kedua meninggal dalam proses persalinan, membuat Taitok menyarankan untuk membunuh bayi pertama karena bisa saja bayi yang bertahan hidup itulah yang membawa kutukan. Tapi tentu saja Mali tidak bersedia membunuh puteranya. Akhirnya mereka berdua sepakat untuk menguburkan bayi yang meninggal di bawah pohon mangga dan merahasiakan hal tersebut dari sang suami, Toma (Sumrit Warin). Bayi yang bertahan hidup diberi nama Ahlo (Sittiphon Disamoe). Ahlo tumbuh menjadi bocah yang ceria dan begitu aktif. Taitok sendiri masih tidak menyukai Ahlo karena kekhawatirannya akan kutukan yang bisa dibawa oleh anak itu. Disisi lain Mali terus bersikukuh bahwa puteranya itu bukanlah seorang pembawa sial dan amat menyayanginya. Sampai suatu hari terjadi sebuah tragedi yang membuat Ahlo disalahkan atas kejadian tersebut. Berbagai hal buruk pun mulai terjadi di sekitarnya. Benarkah Ahlo memang seorang anak yang membawa kesialan? Ahlo pun berusaha membuktikan bahwa ia tidak membawa kesialan sambil dibantu oleh seorang gadis cilik bernama Kia (Loungnam Kaosainam) yang tinggal bersama pamannya yang eksentrik dan penggemar James Brown bernama Purple (Suthep Po-ngam) setelah orang tuanya meninggal akibat malaria.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

HEATHERS (1988)

Tidak ada komentar
Melihat judulnya, posternya, sampai deskripsi singkat di halaman atas Wikipedia membuat saya pada awalnya mengira bahwa Heathers adalah komedi-romatis klasik yang klise dari Hollywood. Dengan mudah saya menduga bahwa film garapan sutradara Michael Lehmann ini berkisah tentang seorang gadis remaja bernama Heather yang harus menghadapi berbagai konfik tentang cinta dan persahabatan. Dugaan itu tidak sepenuhnya salah. Memang benar ini merupakan film klasik atau lebih tepatnya cult classic karena diawal perilisannya film ini tidak terlalu sukses (pendapatan $1.1 juta dari bujet $2 juta). Baru setelah beberapa tahun penggemar film ini semakin bertambah banyak. Karakter utama film ini memang seorang wanita yang harus menghadapi berbagai konflik termasuk cinta dan persahabatan. Tapi Heathers bukanlah komedi romantis, apalagi tontonan klise. Film ini justru banyak mengandung unsur komedi hitam dan satir. Karakter utamanya juga bukan bernama Heather, melainkan Veronica Sawyer yang diperankan oleh Winona Ryder. Satu lagi yang pasti bahwa Heathers ternyata berada jauh diatas ekspektasi saya. 

Veronica adalah seorang gadis remaja yang cerdas dengan IQ tinggi, tapi seperti yang ia utarakan kecerdasan tersebut ia korbankan demi mendapatkan popularitas. Caranya adalah berteman dengan tiga orang gadis cantik, kaya dan popular di sekolahnya. Ketiga gadis itu punya nama depan yang sama, yaitu Heather. Mereka adalah Heather Chandler (Kim Walker) sebagai pemimpin, Heather Duke (Shannen Doherty) dan Heather McNamara (Lisanne Falk). Veronica terpaksa harus menuruti keinginan para Heather dan mengikuti semua tingkah laku mereka yang sebenarnya tidaklah ia sukai. Bahkan Veronica sampai terpaksa meninggakan sahabat lamanya, seorang gadis cupu bernama Betty Finn (Renee Estevez). Disaat kesabaran Veronica atas segala tingkah laku teman-temannya itu habis, dia bertemu dengan Jason Dean (Christian Slater). Dengan segala kharisma yang ia miliki, mudah bagi Jason untuk membuat Veronica jatuh hati. Bagi Veronica, Jason adalah pria yang keren dan bisa diandalkan. Suatu hari keduanya berencana membalas perbuatan Heather Chandler yang sudah membuat kesabaran Veronica habis. Tapi ternyata pembalasan dendam itu berujung fatal, dan akhirnya makin berkembang luas menjadi rangkaian tragedi yang penuh kematian dan kegilaan sosial.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

TRUE DETECTIVE - SEASON 1 (2014)

6 komentar
Saya sedang menyukai serial televisi yang memiliki format antologi entah yang setiap episode mempunyai cerita berbeda seperti The Twilight Zone atau yang mengusung rangkaian cerita berbeda setiap musim layaknya American Horror Story. Saya suka format itu karena cerita yang tidak akan terasa diulur-ulur karena selesai dalam satu musim atau episode saja. Setiap episode atau musim terbarunya pun menjadi terasa lebih fresh meski mengusung tone dan menggunakan aktor yang sama. Hal yang sama juga berlaku pada True Detective dimana tiap musimnya akan mengusung cerita dan karakter berbeda. Musim pertamanya pun tergolong pendek karena hanya terdiri dari delapan episode saja. Keunikan lain dari serial ini adalah karena selama satu musim naskahnya ditulis hanya oleh satu orang saja, yaitu Nic Pizzolatto. Kedelapan episodenya pun hanya disutradarai oleh satu orang, yaitu Cary Fukunaga (Sin Nombre & Jane Eyre). Tidak seperti kebanyakan serial lainnya, True Detective diisi oleh dua aktor kelas A Hollywood, yakni duet Matthew McConaughey dan Woody Harrelson. Jadi kisah detektif macam apakah yang ditawarkan oleh True Detective ini?
Sepanjang musinya serial ini akan bercerita dalam dua timeline, yakni tahun 1995 dan tahun 2012 (nantinya di pertengahan musim kisah tahun 1995 akan berganti menjadi tahun 2002). Pada tahun 2012 kita akan melihat dua orang mantan detektif, Rustin "Rust" Cohle (Matthew McConaughey) dan Marty Hart (Woody Harrelson) yang tengah di-interview mengenai sebuah kasus yang pernah mereka tangani di tahun 1995. Keduanya adalah partner saat itu, meski di tahun 2012 kita akan segera tahu bahwa telah terjadi perpecahan diantara keduanya. Kasus yang dibicarakan adalah sebuah pembunuhan terhadap seorang wanita yang terjadi di Louisiana. Kasus itu bukan pembunuhan biasa karena diduga ada sangkut pautnya dengan ajaran sesat setelah melihat kondisi mayat yang "didandani" sedemikian rupa. Rust dan Marty mendapat bagian menangani kasus tersebut, tapi waktu mereka tidak banyak karena kasus itu akan segera diambil alih oleh kesatuan task force. Nyatanya itu bukan sekedar kasus pembunuhan biasa karena ada sebuah konspirasi besar di dalamnya yang melibatkan beberapa petinggi dan kasus-kasus kriminal lain yang pernah terjadi sebelumnya. Konflik juga sempat terjadi antara Rust dan Marty akibat ketidak cocokan mereka. Rust adalah seorang pria penuh dengan pesimisme (yang ia sebut realistis) dan sering mengeluarkan kata-kata yang sulit dicerna oleh partnernya. Sedangkan Marty yang tidak menyukai kebiasaan Rust itu juga harus menghadapi permasalahan yang hadir dalam keluarganya.

6 komentar :

Comment Page:

DAWN OF THE PLANET OF THE APES (2014)

Tidak ada komentar
Tiga tahun lalu, Rupert Wyat berhasil membuat sesuatu yang langka yaitu Rise of the Planet of the Apes, sebuah reboot yang bagus dari franchise klasik Planet of the Apes yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh Tim Burton dengan versinya yang memalukan dengan patung Abraham Lincoln monyet itu. Diluar dugaam "Rise" punya kualitas yang bagus lengkap dengan keberhasilan mendapat lebih dari $480 juta dari bujet hanya $93 juta. Tentu saja mudah bagi 20th Century Fox untuk memberikan lampu hijau pembuatan sekuel yang berjudul Dawn of the Planet of the Apes. Kali ini memang tidak ada lagi nama Rupert Wyatt di posisi sutradara karena ia sudah digantikan oleh Matt Reeves (Cloverfield, Let Me In). Dawn masih menampilkan banyak aktor dengan memakai baju motion capture seperti Toby Kebbell dan tentu saja sang master mo-cap Andy Serkis yang nampaknya masih akan mendapat banyak dukungan untuk memenangkan Oscar lagi tahun depan. Sedangkan di jajaran cast manusia ada Jason Clarke dan Gary Oldman menggantikan James Franco yang merupakan sosok sentral di Rise. Meski mengganti semua tokoh manusianya, Dawn masih melanjutkan apa yang ditinggalkan oleh film pertama, lebih tepatnya 10 tahun pasca ending Rise.

Virus ALZ-113 yang dibawa oleh para monyet kini tidak hanya telah menyebar ke seluruh dunia tapi juga sudah memusnahkan hampir sebagian besar peradaban manusia. Beberapa orang di San Francisco cukup "beruntung" karena secara genetis mereka kebal terhadap virus tersebut dan kini tingga bersama-sama untuk membangun kembali peradaban sambil mencari para survivor lainnya dibawah pimpinan Dreyfus (Gary Oldman) dan tangan kanannya, Malcolm (Jason Clarke). Disisi lain, para kera yang dipimpin oleh Caesar (Andy Serkis) kini hidup secara berkelompok, membangun peradaban di Muir Woods, tidak jauh dari tempat tinggal para manusia, meski kedua belah pihak sama-sama tidak tahu tentang keberadaan masing-masing. Kera-kera itu sendiri kini sudah semakin cerdas. Mereka sudah bisa sedikit membaca, menulis, bahkan berbicara meski masih terbatas dan sering menggunakan bahasa isyarat. Caesar sendiri kini masih harus menghadapi konflik lain lagi di dalam kelompoknya tersebut, mulai dari sang anak, Blue Eyes (Nick Thurston) yang mulai beranjak dewasa dan ingin menunjukkan kehebatan dirinya, sampai Koba (Toby Kebbell) yang makin berhasrat menghabisi manusia akibat dendam yang selama ini ia pendam. Disisi lain para manusia membutuhkan tenaga PLTA dari sebuah bendungan yang terletak di dekat pemukiman para kera, sesuatu yang bisa menimbulkan perselisihan maupun aliansi diantara kedua belah pihak.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY - COVEN (2013)

2 komentar

 
Serial American Horror Story memasuki musim ketiganya setelah musim keduanya yang merupakan peningkatan drastis dari musim pertamanya itu. (Review season 1 dan season 2). Jadi setelah rumah hantu dan rumah sakit jiwa yang penuh kegilaan itu, serial buatan Ryan Murphy dan Brad Falchuk ini akan membawa kita ke sebuah dunia penuh penyihir dan ilmu hitam. Seperti judulnya, Coven adalah kisah tentang sebuah "perkumpulan" wanita yang berkedok sebuah sekolah tapi di sesungguhnya merupakan tempat untuk membimbing para penyihir muda yang masih berusaha mengendalikan potensi kekuatan mereka. Sekolah yang terletak di New Orleans ini dikepalai oleh Cordelia Foxx (Sarah Paulson). Cordelia sendiri adalah wanita yang baik dan begitu menyayangi murid-muridnya yang masih belum bisa mengendalikan kekuatan dan belum mengetahui bagaimana menyikapi jati diri mereka sebagai seorang penyihir. Meski Cordelia adalah kepala dari "sekolah" tersebut, sampai sekarang ia masih hidup di bawah bayang-bayang sang ibu, Fiona Goode (Jessica Lange) yang merupakan "Supreme" alias pemimpin dari Coven tersebut. "Supreme" adalah penyihir yang dianggap terkuat, dan menguasai tujuh kekuatan berbeda, dimana sebelum dipilih ia akan melalui tes yang bernama "The Seven Wonders". Meski bertugas melindungi kaumnya, Fiona adalah supreme yang egois dan hanya memikirkan kenikmatan hidup serta kekuasaannya sendiri.
The coven
Disaat sang supreme terlihat tidak mempedulikan para kaumnya, coven tersebut tengah terancam karena jumlah mereka semakin lama semakin berkurang. Selain Cordelia dan Fiona, di tempat itu hanya ada empat gadis lainnya. Para gadis yang tinggal disana memiliki berbagai macam kekuatan yang berbeda-beda. Zoe Benson (Taissa Farmiga) sang murid baru bisa membunuh semua orang yang berhubungan seks dengannya, termasuk pacarnya yang tewas mengenaskan saat berhubungan seks dengan Zoe. Ada juga Madison Montgomery (Emma Roberts), mantan aktris Hollywood yang kecanduan drugs punya kemampuan memindahkan benda dengan pikirannya. Queenie (Gabourey Sidibe) adalah human voodoo doll yang bisa memindahkan luka serta rasa sakit pada tubuhnya ke orang lain. Terakhir ada nan (Jamie Brewer), seorang gadis dengan down syndrome yang bisa mendengar isi pikiran orang lain. Mereka berempat seharusnya saling melindungi satu sama lain dalam kondisi coven yang tengah diterpa krisis seperti sekarang ini, tapi ego masing-masing dari mereka menghambat itu. Madison dengan segala keegoisan dan tingkah ala superstarnya selalu membuat masalah termasuk saat ia membunuh para remaja pria setelah ia diperkosa oleh mereka. Salah satu yang tewas adalah Kyle (Evan Peters), pria yang memendam perasaan pada Zoe, begitu juga sebaliknya. Konflik lain pun mulai muncul satu demi satu, mulai dari ancaman para witch hunter, pertempuran abadi dengan pengguna voodoo pimpinan Marie Laveau (Angela Bassett), bahkan ancaman dari dalam akibat ambisi Fiona untuk terus berkuasa sebagai supreme.

2 komentar :

Comment Page:

RIGOR MORTIS (2013)

3 komentar
Saya yakin banyak dari anda yang pada saat kecil dulu pernah bermain "vampir-vampiran" atau apapun sebutannnya. Saya ingat dulu saat masih SD sering bermain permainan itu, dimana saya dan beberapa orang "berperan" sebagai manusia yang dikejar oleh vampir. Yang menjadi vampir tentu saja teman saya yang lain dimana dia akan melompat-lompat dengan menjulurkan tangan ke depan. Untuk melarikan diri yang perlu dilakukan adalah menahan nafas atau menempelkan kertas mantera yang terlebih dulu ditulisi huruf China asal-asalan dan ditulis dengan "darah" dari jempol yang telah kita gigit sendiri. Jujur itu salah satu permainan paling menyenangkan sekaligus menyeramkan dulu. Benar-benar menggambarkan film-film Jiangshi yang menginspirasi permainan tersebut. Film Jiangshi atau yang lebih sering disebut "Film Vampir China" itu pernah rutin menghiasi layar kaca pada era 90-an sampai awal 2000-an. Kalau tidak salah Jumat siang, jadi sambil menanti waktu Solat Jumat, film-film itulah yang jadi hiburan saya. Filmnya seram tapi juga penuh komedi yang lucu serta adegan aksi yang seru. Kini Juno Mak berusaha membangkitkan kembali Jiangshi yang telah redup dengan judul Rigor Mortis. "Rigor Mortis" sendiri merupakan sebutan untuk proses kekakuan secara bertahap pada mayat.


Dalam film ini, Chin Siu-ho memerankan dirinya sendiri, yaitu seorang mantan aktor besar yang dulu identik dan meraih kesuksesan lewat film-film Jiangshi. Tapi kini kesuksesan tersebut telah berakhir dan Siu-ho hidup sebatang kara setelah kehilangan anak dan istrinya. Siu-ho pun memilih pindah ke sebuah apartemen yang kecil dan kumuh. Disanalah ia memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Tapi sesaat setelah ia melakukan itu, Siu-ho mendapat banyak gambaran visual aneh yang menyeramkan dan tidak lama kemudian datanglah Yau (Anthony Chan), seorang pemburu vampir yang tinggal di apartemen tersebut menghentikan aksi bunuh dirinya. Ternyata kamar yang ditempati oleh Siu-ho juga merupakan tempat bersemayamnya arwah penasaran dari dua gadis kembar yang dulu mati bunuh diri secara mengenaskan disana. Alasan Yau menyelamatkan Siu-ho adalah karena dua arwah penasaran tersebut mencoba masuk ke dalam tubuh Siu-ho. Setelah kejadian itulah Siu-ho mulai melakukan perenungan terhadap kehidupan masa lalunya yang telah membawanya ke momen depresi seperti sekarang. Yau sendiri adalah seorang pemburu vampir yang kini bekerja sebagai koki di apartemen tersebut setelah pekerjaan memburu vampir menjadi sepi karena secara misterius para vampir menghilang. Tapi tanpa mereka ketahui akan segera terjadi teror mengerikan sekaligus mematikan di apartemen tersebut setelah sebuah ilmu hitam membangkitkan sesosok vampir.
Apa yang dihadirkan oleh Juno Mak dalam Rigor Mortis tidak hanya sebuah penghormatan terhadap franchise Jiangshi macam Mr. Vampire dan Encounters of the Spooky Kind tapi juga sebuah re-imagining, pengemasan baru yang lebih modern dan menyesuaikan jaman bagi film Jiangshi. Bagi anda yang sudah familiar dengan film-film macam ini pasti langsung banyak menangkap berbagai tribute yang dimasukan Juno Mak, mulai dari berbagai cara menangkal vampir yang saya sebutkan di awal tulisan (menahan nafas, menggigit jari untuk mengeluarkan darah yang digunakan menulis di kertas mantera), ciri khas vampir dan pemburu vampirnya, sampai beberapa foto lawas yang memperlihatkan para ikon Jiangshi termasuk sang "pendeta" Lam Ching-ying yang telah meninggal pada tahun 1997. Para aktor utamanya pun adalah mereka yang sudah malang melintang di franchise Jiangshi, termasuk Chin Siu-ho, Anthony Chan dan Richard Ng. Dengan segala aspek tersebut, Rigor Mortis sudah cukup memberikan rasa nostalgia yang menyenangkan bagi saya. Walaupun begitu ada juga perubahan yang dilakukan Juno Mak guna memberikan rasa tersendiri pada filmnya. Yang paling terasa adalah dihilangkannya komedi yang sangat kental pada Jiangshi jaman dahulu. Tidak hanya menghilangkan komedinya, tone film ini pun terasa lebih gelap dan depresif dengan banyaknya intensi bunuh diri pada karakter sampai romansa tragis.
Kehadiran Takashi Shimizu (Ju-On) sebagai produser juga nampaknya berpengaruh pada atmosfer kelam serta creepy pada film ini. Pemangkasan komedinya memang mengurangi kesenangan ala Jiangshi, tapi toh Juno Mak punya hal lain yang ditawarkan untuk menyuntikkan keasyikan pada film ini. Ada banyak momen gore penuh darah serta bagian tubuh terpotong disini. Banyak kematian sadis yang tidak saya bayangkan bakal muncul dlam film-film vampir muncul disini. Yang paling menyenangkan tentu saja saat Rigor Mortis masih mempertahankan keseruan klimaks pertarungan antara vampir dan manusia. Momen klimaks saat Chin Siu-ho bertarung habis-haibsan melawan vampir Richard Ng itu luar biasa seru dan tentunya keren. Keren berkat pengemasan berbagai efek CGI stylish yang menghiasi sepanjang film. Sedikit terkesan berlebihan tapi saya tidak peduli karena Juno Mak sanggup mengemasnya dengan baik dan sekali lagi: keren! Rigor Mortis pun masih mempunyai keseraman yang cukup baik. Vampir Richard Ng punya make-up mengerikan dengan muka hancurnya. Sedangkan arwah gadis kembar yang sempat muncul di sebuah adegan yang terinspirasi dari The Shining-nya Staney Kubrick juga turut menambah ancaman mengerikan disini. Klimaks seru nan stylish itu pada akhirnya berujung pada sebuah ending yang cukup membingungkan tapi sebenarnya adalah momen yang amat kelam dan tragis.

Rigor Mortis sendiri mulai dari awal, pertengahan sampai ending-nya itu merupakan gambaran nasib dari film Jiangshi saat ini. Dialog Yau yang mengatakan bahwa "vampir secara misterius menghilang" menggambarkan bahwa sekarang film Jiangshi tidak hanya tak lagi dikagumi tapi memang menghilang. Tidak ada lagi film-film menghadirkan vampir Hong Kong melompat sekarang ini, jika pun ada hanya akan berakhir sebagai sebuah film yang terlupakan dengan sedikit orang yang menonton. Hal itu jugalah yang menjadi alasan kenapa Chin Siu-ho memerankan dirinya sendiri, karena ini juga merupakan gambaran karirnya dan para ikon Jiangshi lain kecuali Sammo Hung yang tidak lagi mendapat tawaran film. Ending-nya terasa tragis dan deprsif karena segala kejadian yang hadir sepanjang film sesungguhnya tidak lebih dari "visual" yang terbersit di memori dan ingatan Siu-ho disaat tubuhnya perlahan menjadi kaku dan akhirnya meregang nyawa dalam kesendirian, kesepian, dan terlupakan. Yang ia harapkan adalah seorang pemburu vampir tiba-tiba datang menyelamatkan dirinya dan "mengabarkan" padanya, "Hei, ada vampir lagi yang muncul untuk kita lawan". Tidakkah diluar segala horror dan keseruannya Rigor Mortis adalah kisah yang tragis dan menyedihkan? Tribute yang pantas dari Juno Mak, meski minus komedi dan terdapat kekurangan pada caranya bertutur yang terkadang membingungkan.

3 komentar :

Comment Page:

THE WIND RISES (2013)

Tidak ada komentar
Hayao Miyazaki adalah legenda hidup dan itu tidak bisa dibantah. Bersama Isao Takahata ia membuat Sutdio Ghibli yang menjadi salah satu studio film animasi terbaik yang pernah ada. Jika ada studio yang bisa secara konsisten menandingi bahkan melebihi Pixar, Ghibli adalah studio tersebut. Hayao Miyazaki sendiri sebelum ini telah menyutradarai 10 film selama lebih dari 30 tahun karirnya. Film-film yang ia buat juga layak ditempatkan dalam daftar karya-karya terbaik Studi Ghibli, yaitu mulai dari Spirited Away, Princess Mononoke, sampai yang terakhir Ponyo. Lima tahun setelah Ponyo, Miyazaki akhirnya kembali menyutradarai film, sebuah kabar gembira yang sayangnya harus dibarengi dengan kabar menyedihkan karena film ini direncanakan bakal menjadi film terakhir Hayao Miyazaki. Tentu saja ini bukan pengumuman pensiun pertamanya, tapi kali ini Miyazaki terlihat sangat bersungguh-sungguh. Pada awalnya ia berniat membuat sekuel dari Ponyo sebelum produser Toshio Suzuki berhasil membujuknya untuk membuat The Wind Rises sebagai karya terakhir, yang juga merupakan adaptasi dari manga berjudul Kaze Tachinu karangan Miyazaki sendiri. Tentu saja ekspektasi saya melambung tinggi karena ini adalah film Ghibli, yang disutradarai Miyazaki sebagai film terakhirnya, dan mendapat nominasi Oscar untuk film animasi terbaik. 

Film ini berkisah tentang Jiro Horikoshi, seorang bocah yang bermimpi menjadi seorang pilot pesawat tempur. Tapi mimpi itu terpaksa ia kubur dalam-dalam karena penglihatannya yang tergangu. Setelah bertemu dengan seorang desainer pesawat terbang dari Italia bernama Caprioni dalam mimpinya, Jiro pun memutuskan untuk bercita-cita menjadi seorang desainer pesawat. Lima tahun kemudian Jiro sudah berkuliah di sebuah universitas di Tokyo. Disanalah ia mulai membangun cita-citanya untuk membuat pesawat. Bersama sahabatnya, Honjo, pada akhirnya Jiro berhasil diterima bekerja di pabrik pesawat Mitsubishi. Petualangan dan usaha Jiro yang tidak mudah untuk membangun pesawat yang hebat pun dimulai dari sini. Disisi lain, The Wind Rises juga akan bercerita tentang kehidupan percintaan Jiro dengan Naoko. Naoko adalah gadis yang ditemui Jiro di atas kereta api saat ia sedang menuju ke Tokyo. Pada saat itu Jiro menolong Naoko dan pembantunya untuk sampai kerumah saat terjadi gemba besar Kanto tahun 1923. Semenjak itu keduanya tidak pernah lagi bertemu meski dalam hati mereka sama-sama memendam perasaan cinta. Sampai suatu hari takdir mempertemukan mereka kembali. Tapi ternyata kisah cinta Jiro tidak lebih mudah daripada usahanya membuat pesawat terbang.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

TRANSCENDENCE (2014)

Tidak ada komentar
Wally Pfister sudah dikenal namanya sebagai salah satu sinematografer terbaik sekaligus kolbaorator rutin bagi film-film Christopher Nolan semenjak Memento. Lewat film itu jugalah Pfister mulai angkat nama menjadi seperti sekarang, seorang sinematografer yang sukses meraih empat nominasi Oscar untuk Best Cinematography dan memenangkan salah satu diantaranya (Inception). Wally Pfister adalah sinematografer hebat itu tidak perlu diragukan lagi, tapi bagaimana jika ia menyutradarai fil? Tentu saja kualitasnya masih perlu dibuktikan bahkan dipertanyakan. Tahun ini Pfister melakoni debut penyutradaraannya lewat Transcendence, salah satu film sci-fi yang paling ditunggu tahun ini. Transcendence begitu dinantikan karena banyak hal. Pertama jelas karena ini debut dari Wally Pfister. Kedua karena banyaknya nama besar yang muncul mulai dari Johnny Depp, Rebecca Hall, Paul Bettany, Cillian Murphy, Morgan Freeman hingga Kate Mara. Yang terakhir adalah, karena film ini merupakan satu dari sedikit film sci-fi Hollywood yang punya cerita original, bukan adaptasi, sekuel maupun remake selain Intersellar milik Christopher Nolan yang akan rilis di akhir tahun. Dengan bujet yang mencapai $100 juta, tentu saja film ini menimbulkan ekspektasi yang besar. Meskipun pada akhirnya banyak mendapat respon negatif dari kritikus, gagal di Box Office (hanya mendapat $90 juta) saya tetap penasaran meski memutuskan melewatkan penayangannya di bioskop.

Dr. Will Caster (Johnny Depp) adalah seorang ilmuwan jenius yang berambisi mengungkap rahasia-rahaia alam dan berusaha menyembuhkannya. Dengan bantuan sang istri, Evelyn (Rebecca Hall), Will telah mengembangkan sebuah Artificial Intelligence (A.I.) yang tidak hanya memiliki kejeniusan luar biasa (konon mampu mencakup segala pengetahuan yang ada dari sepanjang masa) tapi juga mempunyai kesadaran. Will Caster tidak hanya berusaha membuat komputer yang jenius tapi juga mempunyai kehidupan layaknya manusia. Namun pengembangan ini mendapat tentangan dari para ekstremis yang mengatas namakan diri mereka sebagai Revolutionary Independence From Technology (R.I.F.T.) yang melakukan usaha pembunuhan terhadap para pengembang A.I. termasuk Will. Meski selamat dari usaha penembakan pada dirinya, hidup Will ternyata tidak akan lama lagi karena peluru yang menyerempet tubuhnya telah diberikan racun mematikan. Evelyn yang berusaha melakukan segala cara untuk menyelamatkan Will akhirnya berusaha meng-upload kesadaran Will kedalam komputer dengan harapan meski tubuhnya telah mati tapi memori dan pikiran Will akan bisa terus hidup. Dengan bantuan sahabat Max (Paul Bettany) keduanya pun pada akhirnya berhasil menunggah kesadaran Will. Namun Max menyadari ada yang tidak beres saat Will meminta supaya dia diunggah secara online supaya bisa mengeksplorasi segala hal di seluruh dunia. Disaat Evelyn begitu bahagia karena sang suami telah kembali, Max dan beberapa pihak lain termasuk R.I.F.T yakin bahwa sosok itu bukan Will dan akan membahayakan umat manusia.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

TRANSFORMERS: AGE OF EXTINCTION (2014)

Tidak ada komentar
Dengan pendapatan lebih dari $2.6 milyar hanya dalam tiga filmnya praktis membuat franchise film Transformers menjadi salah satu yang paling sukses. Kisah pertempuran para robot ini mungkin bukanlah film pujaan kritikus tapi jelas penonton menggilai film-film ini. Saya yakin hampir semua bioskop di seluruh Indonesia akan antri panjang selama berhari-hari bahkan mungkin berminggu-minggu saat ada film Transformers diputar. Namun setelah Dark of the Moon, sang sutradara Michael Bay menyatakan bahwa ia sudah tidak lagi bersedia memegang kendali pada film-film Transformers berikutnya. Hal tersebut main diperkuat saat Bay merilis film "kecil" Pain & Gain seolah memperlihatkan bahwa dirinya sedang tidak tertarik menyutradarai film raksasa dengan bujet ratusan juta dollar plus CGI dimana-mana.Tapi ternyata sebagai sutradara yang menomor satukan kepuasan penonton secara general (baca: money oriented) Bay pun bersedia untuk kembali menjadi sutradara dalam film keempat yang bertajuk Age of Extinction. Untuk aktornya sendiri sebagai pengganti Shia LaBeouf nama Jason Statham sempat digosipkan ambil bagian sebelum akhirnya Mark Wahlberg yang bergabung. Sedangkan Nicola Peltz meneruskan tongkat estafet dari Megan Fox dan Rosie Huntington-Whiteley sebagai eye candy film ini. Dengan bujet terbesar dalam sejarah franchise Transformers ($210 juta), Age of Extinction akan ber-setting empat tahun pasca film ketiganya.

Pertempuran antara Autobots dan Decepticon di Chicago yang dahsyat tersebut tidak hanya menghancurkan kota tapi juga memakan ribuan korban jiwa. Hal itulah yang membuat pihak dunia khususnya Amerika Serikat mulai memandang para Transformsers sebagai ancaman bagi umat manusia yang harus diburu. Dipimpin oleh agen CIA, Harold Attinger (Kelsey Grammer) perburuan terhadap Autobots dan Decepticon yang dilakukan pasukan CIA pun dilakukan. Banyak autobots yang pada akhirnya tewas di tangan mereka. Disisi lain, kita akan berkenalan dengan Cade Yeager (Mark Wahlberg), seorang penemu yang tinggal bersama puteri tunggalnya, Tessa (Nicola Peltz). Cade sendiri adalah penemu yang bisa dianggap gagal karena sampai saat ini dia belum menemukan hal yang berguna dan itu membuat kehidupan Cade dan Tessa dililit banyak hutang. Sampai tanpa sengaja Cade menemukan sebuah truk rongsokan yang sudah berkarat dan membawanya pulang dengan harapan bisa merubah truk tersebut menjadi temuan yang berguna. Tanpa disangka  truk rongsokan itu adalah Optimus Prime yang selama ini disangka telah menghilang. Cade pun berusaha membantu Optimus menyatukan kembali Autobots yang tersisa untuk kabur dari perburuan terhadap mereka.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

WOMAN IS THE FUTURE OF MAN (2004)

1 komentar
Film kelima dari Hong Sang-soo ini merupakan film ketiganya yang diputar di Cannes Film Festival setelah The Powerof Kangwon Province (1998) dan Virgin Stripped by Her Bachelors (2000). Tapi inilah kali pertama film dari Hong Sang-soo diputar di Cannes sebagai bagian dari kompetisi. Judul Woman is the Future of Man sendiri diambil oleh Hong dari bait puisi karya Louis Aragon yang ia baca di sebuah kartu pos dari Prancis. Sudah cukup lama sejak terakhir saya menonton film karya Hong Sang-soo meskipun saya sudah memiliki beberapa filmnya sejak lama. Hal ini saya lakukan karena merasa setuju dengan ungkapan seorang kritikus yang menulis kurang lebih seperti ini, "sekali kamu melihat film Hong Sang-soo maka kamu sudah melihat semua filmnya" dan saya kurang lebih setuju dengan pernyataan tersebut. Dari empat film Hong yang sudah saya tonton, semuanya memang terasa tidak jauh berbeda mulai dari tema, karakter hingga cara pengemasannya. Jadi akan terasa familiar dan cukup membosankan jika menonton film Hong secara maraton, apalagi karena film-filmnya merupakan tontonan arthouse yang agak "berat", jadi kecuali kamu adalah penggemar fanatik sang sutradara saya sarankan untuk tidak menonton film-filmnya secara berdekatan. Benar saja Woman is the Future of Man memang tidak jauh beda dengan karya Hong yang lain meski ada beberapa faktor yang membuatnya lebih "segar".

Filmnya dibuka dengan reuni dua teman lama, Lee Mun-ho (Yoo Ji-tae) dan Kim Hyeon-gon (Kim Tae-woo) setelah sekian lama tidak berjumpa. Mereka berpisah setelah Hyeon-gon pergi ke Amerika untuk menuntut ilmu di sebuah sekolah film yang kini telah lulus dan memutuskan pulang kembali ke Korea. Sedangkan Mun-ho sendiri saat ini menjadi seorang dosen kesenian di sebuah universitas. Keduanya pun memulai obrolan mereka di sebuah cafe sambil minum-minum dan tidak butuh waktu lama untuk terjadinya sebuah perang mulut antara mereka berdua. Selepas dari cafe, Hyeon-gon mengajak Mun-ho untuk bertemu dengan Seon-hwa (Sung Hyun-ah) yang tidak lain adalah mantan pacar Hyeon-gon sebelum akhirnya mereka berpisah saat ia pergi ke Amerika. Seon-hwa sendiri sekarang bekerja di sebuah bar yang ada di suatu hotel. Keduanya pun akhirnya sepakat mengunjungi Seon-hwa bersama-sama. Tapi Hyeon-gon tidak tahu bahwa setelah kepergiannya ke Amerika, Mun-ho dan Sun-hwa sempat menjalin hubungan. Pertemuan ketiganya pun membawa kembali kenangan lama yang sudah bertahun-tahun terlewatkan meski tidak pernah terlupakan sedikitpun. 

1 komentar :

Comment Page:

RIO 2 (2014)

Tidak ada komentar
Diluar franchise Ice Age yang akan memasuki seri kelimanya dua tahun lagi, Blue Sky Studios tidaklah memiliki film animasi lain yang mendapatkan kesuksesan besar di Box Office. Disaat film-film Ice Age semakin meningkat pendapatannya bahkan film keempatnya berhasil meampaui $877 juta, film-film mereka lainnya tidak sanggup menembus angka $300 juta meski secara kualitas sebenarnya lumayan bagus. Karena itulah disaat tiga tahun lalu Rio sukses mengumpulkan lebih dari $480 juta yang mana itu mengungguli pendapatan film pertama Ice Age, Blue Sky segera ancang-ancang untuk meluncurkan franchise animasi mereka berikutnya. Film pertama Rio memang sukses besar berkat jalan cerita sederhana yang dibalut petualangan seru serta animasi warna-warni cerah yang sukses menyegarkan mata penontonnya. Kesuksesan Rio pun meramah media lain termasuk game lewat Angry Bird Rio. Maka dari itu Blue Sky Studios yang berharap banyak pada franchise baru mereka ini rela menggelontorkan dana $103 juta untuk Rio 2, sebuah angka yang merupakan bujet tertinggi dari film animasi milik Blue Sky sampai saat ini. Tugas dari sutradara Carlos Saldanha pun hanya satu, yakni membuat sebuah sekuel yang jauh lebih besar, lebih meriah dan tentunya lebih seru. Sebuah formula paling standar bagi sebuah sekuel yang biar bagaimanapun sering menjadi faktor kesuksesan sebuah sekuel meski terkadang malah menghancurkannya. 

Dalam Rio 2, Blu dan Jewel kini sudah hidup bahagia di tengah gegap gempitanya kota Rio de Janeiro. Bahkan kebahagiaan mereka berdua semakin lengkap dengan hadirnya tiga orang anak, Carla, Bia dan Tiago. Blu kini harus belajar menjadi ayah yang baik. Berat memang, tapi dia bahagia dengan semua kehidupan berkeluarga ini. Sampai suatu hari mereka melihat berita di televisi yang memperlihatkan Linda dan Tulio tengah berada di Amazon dan berhasil menemukan keberadaan burung macaw biru selain Blu dan Jewel. Mengetahui hal tersebut, Jewel yang selama ini mengira bahwa ia dan Blu merupakan sisa terakhir dari spesies mereka langsung mengajak keluarganya untuk terbang ke Amazon dengan harapan bisa bertemu burung-burung lain yang sejenis dengan mereka. Bagi Blu yang selama ini sudah hidup nyaman, perjalanan jauh ke Amazon dan harus melintasi hutan liar jelas bukan perkara mudah. Hal itu berbeda dengan Jewel yang justru ingin ketiga anaknya merasakan bagaimana hidup di habitat asli mereka sebagai burung liar yang tidak hidup seperti manusia. Tapi gangguan ternyata banyak menunggu mereka dalam perjalanan itu. Yang pertama adalah Nigel, burung kakatua yang berniat membalas dendam pada Blu. Sedangkan gangguan kedua muncuul dari para penebang hutan liar yang tidak suka dengan usaha Linda dan Tulio untuk menjaga kelestarian hutan Amazon.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

A TOUCH OF SIN (2013)

Tidak ada komentar
Film garapan salah satu sutradara terbaik China, Jia Zhangke ini merupakan salah satu film yang meraih kesuksesan pada Cannes Film Festival tahun 2013 lalu. Tidak hanya mendapatkan nominasi Palme d'Or, naskah dari A Touch of Sin yang ditulis sendiri oleh Jia Zhangke bahkan berhasil memenangkan naskah terbaik pada festival tersebut. Jadi sebenarnya bercerita tentang apakah A Touch of Sin? Apa hubungannya cerita pada film ini dengan kata "dosa" yang terdapat di judulnya? Tentu saja seperti film-filmnya yang lain, disini Jia Zhangke masih akan menjadikan kehidupan yang otentik dan nyata di China sebagai unsur utama dalam ceritanya. Bedanya, dalam film ini tidak hanya satu tapi empat kisah yang diangkat oleh Jia. Ada empat cerita yang kesemuanya merupakan adaptasi lepas dari empat kisah nyata yang terjadi dari tahun 2001 hingga 2013. Keempat kisah tersebut sempat menggemparkan tidak hanya publik China tapi juga dunia. Keempat cerita tersebut digabung menjadi satu kesatuan cerita yang meskipun hanya sedikit bersentuhan satu sama lain tapi memiliki benang merah yang nampak begitu nyata dan berhubungan kuat satu sama lain. Lewat  A Touch of Sin Jia Zhangke akan mengajak kita menelusuri manusia-manusia yang harus bersentuhan dengan dosa.

Pertama ada kisah tentang Dahai (Jiang Wu), seorang penambang yang begitu membenci dan selalu melawan para pejabat serta pemerintahan korup di sekitarnya. Namun apa yang bisa dilakukan oleh rakyat kecil seperti Dahai? Alih-alih berhasil menyampaikan tuntutan terhadap korups yang terjadi Dahai justru dipermalukan. Hal itulah yang membangkitkan monster dalam diri Dahai. Tidak jauh dari tempat Dahai tinggal sempat terjadi penembakan yang menewaskan tiga orang pemuda. Pelakunya sendiri adalah Zhou San (Wang Baoqiang), seorang pria yang berkeliling China untuk mencari uang bagi anak dan istrinya di kampung. Pekerjaan yang dialkukan Zhou San adalah merampok dan membunuh orang dengan pistolnya. Sesuatu yang dianggap Zhou sebagai satu-satunya hal yang tidak membosankan. Ada pula Xiao Yu (Zhao Tao), seorang wanita yang tengah menghadapi dilema saat kekasihnya masih bingung akan meninggalkan istrinya dan menikah dengan Xiao Yu atau tidak. Yang terakhir ada Xiao Hui (Lanshan Luo), seorang pemuda yang bekerja di pabrik milik kekasih Xiao Yu yang terpaksa harus menanggung hutang akibat kecelakaan yang menimpa temannya di tempat kerja. Xiao Hui memilih kabur dan bekerja sebagai waiters di rumah bordil. Disanalah ia bertemu dengan wanita yang ia cintai.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE TURNING (2013)

Tidak ada komentar
The Turning merupakan sebuah proyek film anthologi yang sangat ambisius. Bagaimana tidak? Film asal Australia ini mempunyai durasi seoanjang tiga jam yang mungkin menjadikan film ini sebagai film anthologi dengan durasi terlama. Total ada 17 segmen yang digarap oleh 17 sutradara yang berbeda disini. Ketujuh belas segmen tersebut semuanya merupakan adaptasi dari 17 cerita pendek yang terangkum dalam novel The Turning karya Tim Winton. Berada di posisi sutradara, ada 17 sineas asli Australia mulai dari yang sudah cukup dikenal sebagai sutradara film macam Robert Connolly (Balibo), Justin Kurzel (Snowtown) dan Warwick Thornton (Samson and Delilah), lalu ada David Wenham dan MiaWasikowska yang melakoni debut penyutradaraan mereka, sampai nama-nama lain yang masih belum dikenal dalam dunia perfilman tapi sudah punya pengalaman menggarap berbagai pementasan teater. Cate Blanchett sendiri awalnya akan menjadi salah satu sutradara sebelum beralih "hanya" sebagai aktris. Film ini memang sebuah karya dari Australia yang ambisius. Bukan hanya dunia perfilman, tapi The Turning juga merupakan sebuah ambisi besar dari dunia seni Australia untuk menyajikan sebuah karya besar yang melibatkan banyak talenta hebat mereka. Namun sayang ambisi besar tersebut akhirnya gagal memenuhi ekspektasi.

Jika dalam versi novelnya ketujuh belas cerita yang ada saling berkaitan dengan karakter Vic Lang sebagai sentral, maka versi filmnya tidak. Kesemua segmen cerita yang ada sama sekali tidak punya kaitan cerita antara satu dengan yang lain. Yang mengikat masing-masing cerita adalah tema yang cukup bersinggungan serta penggarapan dari tiap-tiap segmen yang kurang lebih satu tipe. Tema-tema yang diangkat antara lain hubungan dengan orang lain entah itu pasangan atau keluarga, perubahan dalam hidup, kisah cmong-of-age, hingga tema-tema lain yang menyinggung berbagai sendi-sendi kehidupan. Saya belum membaca novelnya, tapi dari apa yang tersaji dalam filmnya saya merasa bahwa Tim Winton bukan berkonsentrasi pada alur melainkan lebih banyak bertutur mengenai rasa dan memori. Pada akhirnya hal ini memang memberikan kebebasan yang lebih bagi masing-masing sutradara untuk mengembangkan segmen mereka, karena yang menjadi fokus utama bukan untuk menghadirkan cerita atau sosok seorang karakter yang semirip mungkin dengan versi novelnya melainkan melakukan transfer rasa dari novel ke filmnya. Memang lebih bebas, tapi justru ini lebih sulit karena jika salah dieksekusi yang hadir adalah sebuah tontonan yang mengawang dan membosankan. Sayangnya itulah yang terjadi pada mayoritas cerita dalam The Turning. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BLUE RUIN (2013)

Tidak ada komentar
Sebuah film tentang balas dendam selalu menjadi sebuah tontonan yang lezat untuk disantap. Film dengan tema tersebut biasanya menjanjikan sebuah paket lengkap di dalamnya, mulai dari momen emosional, rangkaian adegan menegangkan, hingga momen penuh balutan kekerasan yang selalu siap untuk mengalirkan darah. Mau dijejali berapa kali pun, saya tidak akan bosan menyaksikan film dengan tema balas dendam, termasuk Blue Ruin karya Jeremy Saulnier ini. Didanai lewat platform pengumpulan dana Kickstarter, film ini berhasil meraih kesuksesan saat diputar perdana pada Cannes Film Festival tahun 2013 lalu disaat berhasil memenangkan FIPRESCI prize. Sebagai sebuah film yang terbilang kecil tentu saja kita tidak akan bisa mengharapkan rangkaian adegan aksi mahal berkecepatan tinggi yang bakal memacu adrenaline dalam kisah mengenai balas dendamnya. Jeremy Saulnier sendiri tampak menyadari itu dan mengemas Blue Ruin sebagai sebuah vengeance thriller yang berjalan selangkah demi selangkah, tidak terlalu cepat tapi selalu berjalan maju tanpa pernah terasa stagnan. Dieksekusi layaknya film-film arthouse yang bertempo lambat dan minim dialog, Blue Ruin nyatanya masih sangat berhasil menyuguhkan ketegangan dan keasyikan kisah balas dendam yang tentunya penuh darah ini.

Dwight (Macon Blair) adalah seorang pria bertampang berantakan dengan rambut gondrong dan jenggot tebal yang mencari makan dari dalam tempat sampah, mandi di rumah orang yang ia bobol, dan tidur di dalam mobil Pontiac biru karatan miliknya. Melihat sosok dan cara dia hidup Dwight mungkin tidak jauh berbeda dari seorang gelandangan. Namun hidupnya yang tidak punya arah itu berubah saat suatu hari ia didatangi seorang polisi yang mengabari bahwa Wade Cleland (Sandy Barnett) yang tidak lain adalah pembunuh kedua orang tua Dwight akan segera bebas dari penjara. Mendengar itu, Dwight yang diliputi rasa dendam dan kaget mulai berencana untuk mendatangi Wade dan membunuhnya. Dengan persiapan yang seadanya dan menaiki mobil Pontiac biru karatan miliknya, Dwight pun mendatangi Wade yang sedang berkumpul bersama keluarganya. Ya, dari paruh awal film kita sudah diperlihatkan bahwa Dwight berhasil membunuh Wade. Tapi ternyata itu hanyalah awal dari segala bahaya yang menganca Dwight. Sebagai seorang amatiran yang sama sekali tidak pernah berurusan dengan membunuh orang, tentu saja rencana Dwight banyak kelemahannya, sesuatu yang tidak hanya membahayakan dirinya tapi juga sang kakak perempuan, Sam (Amy Hargreaves) dan kedua anaknya yang masih kecil. Dwight yang lemah itu kini harus melindungi keluarga dan dirinya sendiri.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

LIKE FATHER, LIKE SON (2013)

1 komentar
Mungkin jika anda mendengar tentang sebuah kisah tentang anak yang tertukar, pikiran anda akan langsung tertuju pada cerita-cerita konyol ala sinetron-sinetron Indonesia. Mungkin anda jengah, bosan dan akan menganggap bahwa cerita semacam itu sebagai cerita yang bodoh. Saya pun demikian, gara-gara sinetron lokal kisah tentang putera atau puteri yang tertukar atau ditukar akan terdengar konyol sekarang ini. Tapi Like Father, Like Son garapan sutradara asal Jepang Hirokazu Koreeda ini membuktikan bahwa kisah semacam itu jika memang ditangani dengan benar tetaplah berpotensi menjadi sebuah drama keluarga yang bagus dan menghanyutkan. Film ini sendiri banyak mendapat apresiasi dari bebragai festival film internasional mulai dari Toronto, Vancouver, San Sebastian hingga puncaknya disaat Like Father, Like Son berhasil memenangkan penghargaan Jury Prize pada Cannes Film Festival tahun lalu. Memang penggerak dan pemicu konflik utama film ini adalah tertukarnya seorang anak, tapi dibalik itu ada banyak drama keluarga lain yang dieksplorasi secara mendalam oleh Koreeda. Jadi siapa anak yang tertukar dalam film ini? Namanya adalah Keita (Keita Ninomiya), seorang bocah berusia enam tahun yang merupakan putera tunggal dari pasangan Ryota (Masaharu Fukuyama) dan Midori (Machiko Ono). 

Ryota adalah seorang arsitek sukses dan tentu saja kaya raya. Semua itu ia dapatkan berkat ambisi besar, rasa tidak ingin kalah dan waktu yang ia luangkan untuk terus berkonsetransi pada pekerjaannya tersebut. Tapi semua itu harus dibayar dengan sedikitnya waktu yang bisa ia habiskan bersama Keita. Hanya pada malam hari sepulang kerja saja ia bertemu dengan sang putera, itupun hanya beberapa saat. Meskipun begitu, Ryota punya harapan atau lebih tepatnya ambisi besar supaya Keita bisa mengikuti langkah suksesnya. Salah satunya adalah dengan terus mengajari Keita untuk bermain piano, sesuatu yang juga begitu ia kuasai. Sampai suatu hari Ryota dan Midori mendapat kabar mengejutkan dari rumah sakit tempat Keita lahir, bahwa ternyata Keita bukanlah anak mereka. Pada saat di rumah sakit ternyta Keita tertukar oleh anak dari pasangan Yudai (Riri Furanki) dan Yukari (Yoko Maki). Yudai dan Yukari adalah pasangan suami istri pemilik toko elektronik yang telah mempunyai tiga orang anak, dimana salah satunya adalah Ryusei (Shogen Hwang) yang tidak lain adalah putera kandung dari Ryota dan Midori. Bagi kedua pasangan ini dilema besar pun segera menghampiri, yang membuat mereka berpikir "haruskah mereka menukar kembali anak mereka setelah dibesarkan enam tahun lamanya?" 

1 komentar :

Comment Page:

MY SHORT MOVIE: CONVERSATION OF MEN

5 komentar
Yap, seperti yang sudah tertulis di judulnya postingan ini saya maksudkan untuk membagi satu lagi film pendek yang telah saya buat. Film berjudul "Conversation of Men" ini sebenarnya dibuat secara "mendadak". Tidak sampai satu minggu yang lalu saya sedang dalam proses mengerjakan tiga film pendek (satu sedang finishing, satu dokumenter sedang di edit, dan satu lagi masih tahap syuting), tapi karena beberapa kendala, ketiganya harus tertunda dan belum terselesaikan. Saya pun memutuskan untuk membuat satu film secara mendadak tanpa menggunakan naskah. Mengaja dua orang teman saya, setelah briefing selama setengah jam, kami pun langsung mulai pengambilan gambar yang berlangsung dua jam. Setelah melalui proses editing singkat, film ini pun selesai. Lucunya ini adalah film keenam berdasarkan dimulainya proses tapi malah selesai sebagai film ketiga saya. 

5 komentar :

Comment Page:

AFFLICTED (2013)

Tidak ada komentar
Satu lagi horor dengan teknik found footage. Tidak bisa dipungkiri, teknik found footage atau mockumentary kini sudah menjadi tren, khususnya setelah kesuksesan Paranormal Activity. Film tersebut bagaikan bagi saya bagaikan pisau bermata dua. Disatu sisi berhasil menyajikan jenis kengerian yang fresh dan terasa nyata, tapi disisi lain memicu maraknya kemunculan horor found footage yang lama kelamaan semakin terasa membosankan. Masalahnya adalah banyak pembuat mockumentary horror yang muncul dengan ide serupa, teknik menakut-nakuti yang itu-itu lagi, sampai semakin dilupakannya esensi utama dari mockumentary itu sendiri, yakni aspek realisme. Yang membedakan mocku horor dengan yang konvensional adalah kesan bahwa semua yang terlihat adalah nyata, jadi disaat sebuah mocku horor terlalu berlebihan hal itu justru mengurangi esensi dan tingkat keseramannya. Tapi setidaknya teknik tersebut telah banyak memberikan kesempatan bagi para filmmaker baru untuk membuat tontonan menarik meski tidak mempunyai bujet yang besar. Begitu pula yang terjadi pada duo sutradara asal Kanada, Derek Lee dan Clif Prowse. Dengan hanya bermodal bujet yang berasa dari teman-teman serta keluarga mereka, keduanya "nekat" membuat sebuah film horor yang dibintangi oleh mereka berdua sendiri. Hasilnya? Afflicted berhasi mendapat respon positif termasuk memenangkan Best Canadian First Feature Film di Toronto International Film Festival 2013.


Derek Lee dan Clif Prowse memerankan diri mereka sendiri, dimana dalam film ini diceritakan keduanya yang merupakan teman sedari kecil akan memulai perjalanan keliling dunia berdua selama setahun. Perjalanan itu juga mereka rencanakan untuk dibuat menjadi sebuah web series yang berjudul Ends of the Earth dimana Clif akan terus merekam setiap momen dari perjalanan mereka. Meski keduanya amat bersemangat mempersiapkan perjalanan ini, sebenarnya bukannya tidak ada masalah yang menghadang. Sebenarnya Derek tidak diperbolehkan pergi baik oleh keluarga maupun dokternya karena gangguan arteri di otaknya bisa membunuh Derek kapan saja. Tapi Derek tetap bersikeras untuk pergi karena baginya traveling adalah hal kesukaan yang telah lama tidak ia lakukan lagi. Keduanya pun mulai melakukan perjalanan dengan Eropa sebagai tujuan pertama. Semuanya berjalan lancar dan menyenangkan dimana Derek dan Clif melakukan berbagai hal gila dan bersenang-senang bersama termasuk bertemu dengan beberapa teman di Paris. Tapi sebuah kejadian di suatu malam yang menimpa Derek perlahan mulai merubah perjalanan menyenangkan tersebut menjadi penuh misteri, tanda tanya dan pastinya mimpi buruk yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. 
Tentu saja cerita yang dipakai dalam Afflicted adalah cerita standar yang sudah dipakai berulang kali dalam film-film mockumentary horror. Sebuah perjalanan yang perlahan berubah menjadi mimpi buruk memang salah satu klise dalam dunia horor. Tapi yang membuat Afflicted terasa lebih baik adalah building yang dilakukan sebelum kita diajak masuk kedalam terornya. Narasi pembuka dalam mockumentary biasanya membosankan. Dibuat dengan niat memperkenalkan dan membuat penonton peduli pada karakternya tapi digarap dengan tidak maksimal sehingga jangankan bersimpati, penonton pun mungkin belum berhasil "berkenalan" dengan mereka. Sebagai contoh lihat franchise  Paranormal Activity. Sedangkan Afflicted punya intro yang menyenangkan untuk diikuti. Melihat bagaimana Derek dan Clif dengan penuh semangat bercerita tentang perjalanan yang akan mereka lakukan, bagaimana sebuah momen singkat tapi efektif memperkenalkan persahabatan mereka berdua, sampai saat kita disuguhi fakta bahwa Derek bisa mati kapan saja akibat penyakitnya, semua itu sudah cukup untuk membuat saya tidak mengantuk. Mungkin tidak sampai membuat saya terikat dengan keduanya, tapi jelas terasa bahwa Derek dan Clif merupakan "tokoh manusia" bukan "pajangan" yang hanya dipakai untuk menjadi perantara teror layaknya mockumentary horror kebanyakan.
Saya suka bagaimana film ini berubah tone dalam tiap sepertiga bagiannya. Sepertiga awal menampilkan tone yang ringan dan ceria. Ditampilkan dengan begit natural, paruh awalnya membuat saya sedikit lupa sedang menonton sebuah mocku horor. Hal itulah yang membuat ketegangannya lebih terasa setelah memasuki paruh kedua. Setelah digempur dengan kesenangan, tiba-tiba atmosfernya menjadi lebih kelam dan tegang. Seperti yang pernah disampaikan seorang Alfred Hitchcock, salah satu kunci untuk memberikan ketegangan yang maksimal adalah memberikan tone yang berbeda jauh antara sebelum dan sesudah teror yang sesungguhnya dimulai. Afflicted melakukan hal itu dan bagi saya cukup berhasil pada akhirnya. Tapi paruh kedua sebenarnya belumlah 100% suguhan horor, karena momen tersebut justru sedikit mengingatkan pada film Chronicle. Barulah pada paruh akhirnya, film ini menjadi horor sepenuhnya dengan berbagai jump scare hingga beberapa momen gore yang cukup memuaskan para pecinta muncratan darah. Jump Scare yang dipakai tidak terlalu banyak, tidak juga berlebihan karena tidak akan ada musik mengagetkan yang terdengar tapi cukup berhasil membuat saya kaget bahkan terasa cukup menyeramkan. Ya, tidak hanya mengagetkan tapi juga menyeramkan. Semua itu berkat pergerakan kamera yang bagus dan make-up mengesankan yang berhasil menciptakan suatu sosok menyeramkan tanpa terkesan berlebihan dan menggelikan. 

Tetap menjaga kesederhanaan dan mengedepankan aspek realistis adalah kunci kesuksesan Afflicted untuk tetap terasa menyeramkan. Ditambah sedikit selipan misteri yang terus menimbulkan pertanyaan, tensi film ini terjaga dengan cukup baik. Sayangnya klimaks yang dihadirkan agak mengecewakan tanpa adanya hook yang memikat. Bagian ending pun kurang menggigit tanpa adanya unsur emosional yang sebenarnya berpotensi dimiliki oleh film ini mengingat ceritanya yang bukan sekedar tempelan dibalik segala horornya. Akting yang diluar dugaan lumayan bagus khususnya dari Derek Lee juga makin membuat film ini terasa mengesankan. Memang penutupnya membuat film ini gagal menjadi sebuah tontonan yang masuk kategori luar biasa, tapi setidaknya Afflicted sudah tampil begitu menghibur, bahkan jauh lebih baik, lebih kreatif, lebih seram, dan pastinya lebih nyata dibanding banyak found footage horor yang muncul belakangan termasuk sekuel-sekuel Paranormal Activity yang dua film terakhirnya benar-benar buruk. Jangan lewatkan juga sebuah adegan di sela-sela credit scene yang cukup menghibur dan memberikan penjelasan akan nasib salah satu karakter utama film ini.


Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE FAULT IN OUR STARS (2014)

2 komentar
Bagaimana strategi paling klise untuk membuat sebuah film tearjerker? Tentu saja dengan membuat karakter utamanya sakit parah bahkan sekarat, lalu tempatkan orang yang ia sayangi entah itu pacar atau keluarga di sekitarnya. Ingin lebih klise lagi maka buatlah penyakit yang diderita sang karakter utama adalah kanker. Kisah "cengeng" tentang seorang tokoh yang sekarat akibat kanker memang sudah terlalu banyak dieksploitasi khususnya oleh perfilman Hollywood dan Korea Selatan. Dengan forumla yang itu-itu saja serta plot yang sudah bisa ditebak akan berjalan seperti apa dari awal sampai akhir, yang dipedulikan oleh film semacam itu adalah bagaimana membuat penontonnya meneteskan air mata...sebanyak mungkin. Tapi toh seburuk apapun film dengan cerita semacam itu akan menjadi guilty pleasure jika sanggup membuat penonton menangis sejadi-jadinya. Tapi bukan berarti semua film yang mengangkat kanker terasa klise, karena ada segelintir film yang mengambil pendekatan berbeda. Salah satu yang paling baru adalah 50/50 dimana film itu memiih untuk "mentertawakan" nasib tragis karakternya. The Fault in Our Stars yang diangkat dari nove berjudul sama karya John Green ini jujur saja cukup menjanjikan mengingat naskahnya ditulis oleh duet Michael H. Webber dan Scott Neustandter yang juga menulis (500) Days of Summer dan The Spectacular Now, dua film yang berbasis cerita klise tapi dikembangkan dengan kreatif.

Hazel Grace (Shailene Woodley) adalah gadis berusia 16 tahun yang menderita kanker paru-paru stadium empat. Bagi Hazel sendiri kematian sudah bukan sesuatu yang begitu ia takuti lagi mengingat saat usia 13 tahun dia sudah nyaris mengalami hal itu. Tapi sang ibu yang merasa bahwa Hazel mengalami depresi dan butuh lebih banyak teman di dekatnya menyuruh Hazel untuk menghadiri sebuah support group para penderita kanker. Demi menenangkan sang ibu, mau tidak mau Hazel pun terpaksa mendatangi forum tersebut. Disanalah ia bertemu dengan Augustus "Gus" Waters (Ansel Elgort) seorang pemuda yang sempat menderita Osteosarcoma. Meski kanker Gus kini sudah tidak lagi kambuh, efek dari penyakit tersebut membuat kaki kanannya harus diamputasi. Tidak butuh waktu lama bagi keduanya untuk menjadi akrab dan perlahan jatuh cinta. Bagi Hazel sendiri, kehadiran Gus tidak hanya memberikan banyak bantuan bagi dirinya tapi memunculkan kembali rasa senang dan tawa yang sempat cukup lama sulit untuk ia dapatkan. Sampai disini bukankah plot-nya terdengar klise? Bahkan apa yang terjadi pada akhirnya pun pasti sudah bisa ditebak sedari awal meski kemunculan twist menjelang akhir memberikan efek yang berbeda meski punya inti yang sebenarnya tidak jauh berbeda. Tapi seperti yang sudah saya duga, berkat adaptasi naskah dari duet Webber dan Neustandter, The Fault in Our Stars tidak hanya menjadi sebuah drama tearjerker yang cengeng. Film ini lebih dari itu.

2 komentar :

Comment Page:

TOP 20 MOVIES OF THE FIRST HALF OF 2014

Tidak ada komentar
Tanpa terasa tahun 2014 sudah berjalan setengahnya. Selama enam bulan ini, ada lebih dari 110 film yang saya tonton dimana sekitar 80% diantaranya merupakan film yang dirilis pada tahun ini. Ada yang sesuai ekspektasi, ada yang diluar dugaan mengecewakan sampai yang diluar dugaan berada jauh diatas ekspektasi saya. Pada postingan kali ini saya akan menuliskan 20 film yang menurut saya adalah yang terbaik dalam separuh jalan tahun 2014. Tapi sebenarnya mengatakan bahwa kedua puluhnya adalah film terbaik rasanya kurang tepat karena ini adalah pilihan yang sangat subjektif dan sangat sulit. Yang pasti, daftar ini akan banyak berubah di awal tahun depan saat saya merilis daftar film terbaik 2014...dan ya ada film-film Indonesia dalam daftar ini. Berikut ini adalah daftarnya yang saya susun berdasarkan alfabet.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

CAHAYA DARI TIMUR: BETA MALUKU (2014)

1 komentar
Kerusuhan yang pecah di Maluku pada akhir 90-an hingga awal 2000-an merupakan salah satu sejarah kelam negeri ini. Dalam beberapa tahun, ribuan orang telah menjadi korban jiwa dari konfik yang dipicu oleh perselisihan antara umat Islam dan Kristen di Maluku. Angga Dwimas Sasongko pun akhirnya mengembangkan film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku (CDTBM) berdasarkan kisah nyata tersebut yang dipadukan dengan perjuangan tim sepakbola Maluku saat bertanding di Piala Medco tahun 2006, sebuah kejuaraan bertingkat nasional yang melibatkan para pemain sepak bola U-15 di seluruh Indonesia. Tentu saja film-film bertemakan sepak bola sudah bukan lagi barang baru dalam dunia perfilman Indonesia. Sebelum ini ada dua film Garuda di Dadaku yang mengangkat sepak bola dalam level anak-anak, kemudian ada Tendangan dari Langit dengan sepak bola "kampung"-nya hingga Hari Ini Pasti Menang yang mengangkat kisah timnas Indonesia di Piala Dunia 2014 sampai konspirasi-konspirasi di dalamnya. Semua film-film yang saya sebutkan diatas punya ciri khas masing-masing meski sama-sama mengangkat sepak bola sebagai sajian utamanya. Begitupun dengan CDTBM yang di balik kisah perjuangan tim sepakbolanya terdapat drama tentang konflik kemanusiaan dan perbedaan khususnya yang ada di Maluku.

Sosok Sani Tawainella (Chicco Jericho) adalah yang memegang peranan sentral dalam film ini. Sani adalah pria asal Tulehu yang dari dulu punya mimpi menjadi pemain sepak bola profesional. Tapi karena kegagalan dalam sebuah seleksi PSSI, dia pun terpaksa mengubur impiannya tersebut. Sekarang Sani bekerja sebagai seorang tukang ojek untuk menghidupi istri dan anaknya. Tentu saja uang yang ia dapat sebagai tukang ojek tidaklah seberapa, dan hal itu membuat kehidupan Sani bersama keluarganya terasa berat. Seolah belum cukup, pecahlah kerusuhan di Maluku yang menewaskan banyak orang tersebut. Di tengah masa penuh kekacauan tersebut Sani prihatin melihat banyak anak-anak kecil yang berlarian dengan semangat saat mendengar tiang listrik dipukul hanya untuk melihat kerusuhan terjadi. Tidak bisa membiarkan hal tersebut, Sani akhinya berinisatif untuk mengumpulkan anak-anak yang ada dan melatih mereka bermain sepak bola tiap sore guna menjauhkan mereka semua dari kerusuhan yang pecah. Ya, hanya itu saja pada awalnya yang memotivasi Sani melatih mereka. Tanpa ia duga, ternyata semua itu menjadi benih menuju hal yang lebih besar lagi, menjadi sebuah harapan untuk menyatukan rakyat Maluku yang selama ini terpecah belah akibat kerusuhan yang terjadi. Sedangkan bagi Sani, ia pun dilanda dilema saat harus memilih antara tim sepak bola yang ia latih dengan keluarga yang selama ini tidak pernah bisa ia cukupi kebutuhan sehari-harinya.

1 komentar :

Comment Page: