THE DOUBLE (2013)

Tidak ada komentar
Setelah menjalani debutnya sebagai sutradara lewat drama coming-of-age berbalut romansa berjudul Submarine, kali ini komedian Richard Ayoade giliran mengadaptasi novel berjudul The Double karya Fyodor Dostoyevsky. Cukup aneh memang melihat seorang Ayoade mengangkat sebuah kisah yang kental unsur thriller-nya. Tapi toh The Double tetap mengandung banyak unsur kesukaan sang sutradara seperti karakter utama seorang pria anti-sosial dan tentu saja sedikit selipan komedi meski kali ini komedinya terasa jauh lebih gelap. Tentu saja untuk memerankan pria penuh sisi awkward Jesse Eisenber merupakan salah satu aktor terbaik untuk peran itu. Sebagai aktris utama ada Mia Wasikowska yang akhir-akhir ini pilihan filmya semakin bagus dan mulai membuktikan kapasitas aktingnya. Sama seperti Enemy (review) milik Dennis Villeneuve yang juga diangkat dari novel lain berjudul The Double, film ini pun akan bertutur tentang doppleganger. Karakter utamanya adalah Simon James (Jesse Eisenberg), seorang pemuda yang hidup sendirian di sebuah apartmene kecil nan gelap dan selalu menghabiskan hari-harinya dengan pulang-pergi ke kantor dengan kereta api.

Simon adalah pria yang kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Tidak hanya karena kemampuan sosialnya yang rendah, tapi juga karena orang-orang tersebut tidak pernah menganggap dirinya. Satu-satunya hal yang menjadi hiburan bagi Simon hanya Hannah (Mia Wasikowska). Hannah merupakan salah satu rekan kerja sekaligus tetangga Simon yang sudah lama ia sukai. Setiap hari Simon selalu memperhatikan Hannah mulai sejak berada di dalam kereta, di kantor, bahkan sampai saat keduanya sudah ada di apartemen masing-masing. Tiap malam Simon selalu menikmati hobinya mengintip Hannah dengan teleksop. Suatu hari sebuah hal mengejutkan menimpa Simon disaat muncul seorang karyawan baru bernama James Simon yang punya wajah sama dengannya (diperankan juga oleh Jesse Eisenberg). Tapi walaupun wajah keduanya sama, kepribadian dan nasib mereka amat sangat berbeda. Jika Simon seolah selalu bernasib sial dan tidak pernah mendapatkan respon yang menyenangkan dari orang lain, maka James seolah selalu beruntung dan begitu disukai oleh orang-orang di sekitarnya bahkan dianggap jenius. Siapakah James sebenarnya?

Tidak ada komentar :

Comment Page:

HEAVEN IS FOR REAL (2014)

Tidak ada komentar
Surga merupakan sebuah konsep yang tidak mudah dijelaskan dan diterima oleh banyak orang bahkan oleh para pemeluk agama yang dalam ajarannya meyakini keberadaan surga sekalipun. Seperti apa bentuknya? Ada apa saja disana? Tapi mungkin pertanyaan paling mendasar adalah "apa surga benar-benar ada?" Pada akhirnya surga memang masih menjadi suatu konsep yang abstrak dijelaskan secara nalar. Lalu apa jadinya jika ada orang yang mengaku pernah "mampir" ke surga? Pasti banyak yang akan menyebutnya gila atau sekedar cari perhatian. Tapi apa jadinya jika yang mengaku pernah ke surga adalah seorang anak kecil berusia 4 tahun yang tentunya masih amat polos? Hal itulah yang terjadi dalam Heaven is For Real garapan sutradara Randall Wallace ini. Kisahnya diangkat dari buku berjudul sama tulisan Pastur Todd Burpo dan penulis Lynn Vincent. Buku itu sendiri ditulis berdasarkan kisah nyata yang dialami oleh Todd Burpo disaat suatu hari puteranya yang masih berusia 4 tahun, Colton mengalami near-death experience saat tengah dioperasi dan begitu sadaar ia mengaku sempat berada di surga bahkan duduk di pangkuan Yesus. 

Tentu saja pada awalnya tidak mudah bagi Todd dan istrinya, Sonja untuk percaya pada cerita puternya yang bagaikan sebuah dongeng imajinasi dari isi pikiran anak-anak tersebut. Tapi kemudian saat Colton mulai bercerita tentang hal-hal yang seharusnya tidak ia ketahui seperti apa yang dilakukan orang tuanya saat ia sedang menjalani operasi, Todd mulai memikirkan cerita anaknya tersebut. Bahkan kepercayaan Todd mulai digoncang saat Colton mulai bertutur tentang hal-hal lain yang ia lihat di surga. Ironis memang, bagi Todd yang selama ini selalu berkhotbah di Gereja, cerita sang anak tentang surga ia rasa mustahil, tapi disisi lain Colton terasa amat jujur saat bercerita. Hal itulah yang membuat Todd mulai sering membahas kisah "kunjungan" Colton ke surga dalam tiap khotbahnya, suatu hal yang tidak terlalu disukai oleh para jemaat dan pengurus gereja. Bagi mereka cerita tentang surga itu terlalu mengada-ada dan hanyalah dongeng semata yang tidak pantas untuk diceritakan dalam sebuah khotbah. Dilema yang dialami Todd pun semakin berat saat disatu sisi ia harus berusaha memperbaiki kondisi finansial keluarganya tapi disisi lain kisah yang ia ceritakan itu mulai membuat jemaat-jemaatnya tidak lagi menyukai Todd.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE FIFTH ELEMENT (1997)

Tidak ada komentar
Semua orang pasti setuju bahwa era keemasan Luc Besson terjadi pada tahun 90-an. Pada masa inilah ia banyak melahirkan film-film klasik yang juga meraih kesuksesan besar di Box Office, mulai dari Nikita, Leon: The Professional sampai The Fifth Element. Judul yang disebut terakhir merupakan salah satu film tersukses dari Besson. Film ini sempat menjadi film Prancis dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa (lebih dari $263 juta) sebelum dikalahkan oleh The Intouchables (review) pada tahun 2011 dan merupakan film Luc Besson dengan pendapatan tertinggi sebelum dilewati Lucy (review) tahun ini. Ide cerita dari The Fifth Element sendiri sudah mulai ditulis oleh Luc Besson pada tahun 1975, tepatnya 22 tahun sebelum filmnya dirilis saat ia baru berumur 16 tahun. Film ini sendiri merupakan film Prancis termahal dan terbesar di zamannya. Hal itu tidak hanya karena bujetnya yang mencapai $90 juta tapi juga karena keberadaan nama-nama besar yang tengah berada dalam puncak popularitas seperti Bruce Willis, Gary Oldman dan Chris Tucker. Lewat film ini jugalah Milla Jovovich mulai mendaki puncak popularitasnya. 

The Fifth Element berkisah tentang keberadaan empat batu yang merupakan perlambang empat elemen (air, api, angin, tanah). Keempat batu tersebut merupakan sebuah senjata yang disimpan oleh ras alien bernama Mondoshawans di Bumi untuk menghancurkan sosok jahat yang akan bangkit setiap 5.000 tahun. Selain keempat batu tersebut ada elemen kelima yang bakal menyatukan kekuatan keempatnya, dan elemen kelima itu berwujud manusia. Pada tahun 2263, sosok jahat itu pun bangkit dalam wujud planet raksasa yang siap menghancurkan Bumi. Untuk mendapatkan kelima elemen tersebut, ia memanfaatkan seorang industrialis bernama Zorg (Gary Oldman) yang meyewa ras alien Mangalores untuk merebutnya dari Mondoshawans. Tapi elemen kelima yang ternyata berwujud seorang gadis bernama Leeloo (Milla Jovovich) berhasil kabur dan secara tidak sengaja bertemu dengan Korben Dallas (Bruce Willis), seorang mantan anggota militer yang kini bekerja sebagai supir taksi. Mereka berdua pun berakhir saling membantu untuk mencegah kehancuran dunia.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE UNKNOWN KNOWN (2013)

Tidak ada komentar
Errol Morris merupakan salah satu sutradara dokumenter terbaik saat ini. Film-filmnya seperti Gates of Heaven, The Thin Blue Line, Tabloid (review), sampai The Fog of War yang memenangkan Best Documentari Feature pada Oscar tahun 2004 merupakan bukti-bukti kehandalan Morris untuk mengemas berbagai fakta mencengangkan ke permukaan. Dalam judul-judul diatas kita akan melihat bahwa Errol Morris tidak hanya seseorang yang handal bercerita dan mengemas fakta tapi juga hebat dalam "memancing" narasumbernya untuk bertutur dengan sejujurnya hingga terungkap fakta demi fakta mengejutkan dari mulut mereka. Maka akan sangat menarik untuk dilihat bagaimana Morris berusaha menggali berbagai fakta dar Donald Rumsfeld di film ini. Sebelum menonton saya tidak tahu siapa itu Donald Rumsfeld yang ternyata pernah menjabat dua kali sebagai menteri pertahanan Amerika Serikat. Yang pertama pada tahun 1975-1977 pada era pemerintahan Gerald Ford dan yang kedua pada 2001-2006 yang tidak lain adalah era George W. Bush dimana pada masa jabatan kali inilah Rumsfeld sering mendapat sorotan atas berbagai keputusannya.

Menonton dokumenter yang kita hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak tahu tentang narasumber yang dibahas mungkin bakal memancing penonton untuk mencari tahu lebih dulu supaya sama sekali tidak buta. Bahkan banyak dari mereka yang sampai mencari tahu tentang kasusnya hingga ke aspek paling detail sebelum menonton. Saya sendiri memilih jalan yang berbeda. Saya hanya akan mencari tahu hal paling umum tentang ceritanya, semisal di film ini saya hanya coba mencari tahu siapa itu Donald Rumsfeld, dan setelah tahu ia adalah mantan menteri pertahanan pencarian saya berhenti. Biarkan Errol Morris dan The Unknown Known miliknya yang bercerita. Disinilah kita bisa menguji apakah sebuah dokumenter sanggup membuat penonton awam mengerti akan subjek yang dibahas atau tidak. Lagipula pada Tabloid, Errol Morris terbukti sanggup melakukan hal itu. Film ini sendiri akan memperlihatkan penggalian fakta oleh Morris terhadap Donald Rumsfeld yang banyak dianggap publik sering melakukan hal-hal kontroversial khususnya dalam menyikapi pecahnya perang di Irak dan Afghanistan. Banyak yang menganggapnya sebagai seorang warmonger. Tentu saja Rumsfeld tidak akan begitu saja mengakui bahwa ia adalah warmonger dan akan mengelak bahwa semua itu adalah untuk menjaga keamanan dan stabilitas Amerika bahkan dunia. Dari situlah awal keterpurukan The Unknown Known dimulai.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

COHERENCE (2013)

7 komentar
Selalu menyenangkan melihat sebuah indie low budget berkualitas tinggi yang mengusung genre "fantastis" khususnya science-fiction. Kenapa? Karena kita akan melihat bagaimana cerita-cerita unik, cerdas dan bebas (baca: bukan sekedar untuk hiburan) dieksekusi dengan serba minimalis. Dari situ tercipta kesegaran tersendiri saat melihat film sci-fi yang biasanya identik dengan bujet raksasa dan efek CGI canggih dihadirkan dengan apa adanya, tanpa segala kemewahan tersebut hingga akhirnya lebih banyak berfokus pada kualitas cerita serta akting para pemainnya. Hal itu jugalah yang terjadi pada Coherence, sebuah debut penyutradaraan dari James Ward Byrkit yang sebelumnya lebih dikenal sebagai penulis naskah film animasi Rango dan art department dari franchise Pirates of the Caribbean. Kesederhanaan dari film ini sudah nampak hanya dari proses pembuatannya yang dilakukan tanpa naskah sehingga para aktor harus berimprovisasi dengan dialog mereka masing-masing dan hanya mendapatkan catatan tiap harinya tentang apa yang harus mereka lakukan tanpa tahu akan dibawa kemana cerita film ini. Terasa seperti film-film mumblecore drama bukan?

Kesan mumblecore tersebut langsung terasa semenjak filmnya dimulai. Pembicaraan tentang hal-hal random terjadi antara masing-masing karakter di sebuah acara makan malam. Bedanya, penataan cahaya yang sedikit remang dan beberapa tease tentang akan lewatnya sebuah komet yang bakal mengakibatkan terganggunya jaringan komunikasi dan listrik memberikan kesan bahwa setelah pembukaan yang penuh canda tawa dan obrolan santai ala mumblecore ini akan ada kejadian yang menegangkan. Ketegangan pun dimulai setelah lampu rumah tiba-tiba padam dan para peserta makan malam menyadari bahwa seluruh rumah di daerah itupun mengalami hal yang sama, kecuali satu rumah yang terang benderang tidak jauh dari situ. Berangkatnya beberapa orang menuju rumah itu untuk meminjam telepon lah yang akhirnya bakal berujung pada ketegangan demi ketegangan dan misteri rumit yang menyinggung hal-hal berbau fisika kuantum. Akan ada komet, teori rumit, kotak misterius, dan mungkin jika melihat posternya beberapa dari anda akan sadar bahwa ada kisah tentang doppelganger disini. 

7 komentar :

Comment Page:

APOLLO 13 (1995)

Tidak ada komentar
Pada 20 Juli 1969, terjadilah lompatan besar dalam sejarah umat manusia disaat Neill Armstrong menjadi manusia pertama yang melangkahkan kakinya di Bulan. Semenjak keberhasilan pesawat Apollo 11 mendarat di Bulan, berbagai misi untuk kembali kesana pun dilakukan entah itu dengan mengirim pesawat berawak manusia ataupun yang tanpa awak bahkan sampai saat ini. Salah satu misi pendaratan di Bulan dengan awak manusia adalah Apollo 13 yang dilakukan pada 11 April 1970. Tapi celakanya, terjadilah kecelakaan dalam misi tersebut dimana tabung oksigen meledak pada hari kedua yang membuat pendaratan di Bulan harus dibatalkan. Alih-alih mendarat, para kru Apollo 13 harus berjuang untuk bisa kembali lagi ke Bumi dalam kondisi pesawat yang rusak parah. Kejadian inilah yang menjadi dasar kisah dari buku Lost Moon buatan Jim Lovell dan Jeffrey Kluger yang tidak lain adalah dua kru dari Apollo 13. Buku ini jugalah yang diadaptasi oleh Ron Howard menjadi film buatannya ini. Apollo 13 sendiri adalah film yang sukses besar dengan meraih pendapatan sekitar $355 juta serta sembilan nominasi Oscar termasuk kemenangan di kategori Best Film Editing dan Best Sound.

Film ini akan menceritakan secara lengkap dan detail apa saja yang terjadi pada misi Apollo 13. Disini Ron Howard menggabungkan aspek suspense yang menegangkan dibalut dengan teknis mendetail pada saat para kru harus menghadapi berbagai masalah di dalam pesawat dengan drama menyentuh saat para keluarga astronot khususnya Marillyn (Kathleen Quinlan), istri dari Jim Lovell (Tom Hanks) beserta para keluarganya harus menjalani hari demi hari penuh kecemasan dan ketidakpastian. Yang paling diandalkan oleh film ini tentu saja ketegangan yang dibangun pada saat penonton menyaksikan bagaimana tiga kru Apollo 13 dibantu oleh semua tenaga NASA yang ada di Bumi harus menyelesaikan satu demi satu permasalahan untuk bisa membawa pesawat tersebut mendarat kembali dengan selamat. Segala ketegangan itu bahkan sudah dibangun sejak sebelum misi dimulai dengan cara memberikan berbagai tease bahwa misi ini tidak akan berjalan lancar. Ron Howard berhasil membuat para penonton baik yang sudah tahu maupun yang belum perihal kecelakaan Apollo 13 untuk menunggu dengan cemas akan terjadi kecelakaan dalam misi tersebut. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BORGMAN (2013)

1 komentar
Film kedelapan dari sutradara asal Belanda Alex van Warmerdam ini juga merupakan perwakilan Belanda untuk ajang Oscar tahun 2014 ini meski pada akhirnya gagal mendapat nominasi Best Foreign Language Film. Seperti judulnya, Borgman akan bercerita tentang sosok pria misterius bernama Camiel Borgman (Jan Bijvoet). Diawal film kita akan melihat Camiel Borgman sebagai sosok pria tua penuh jenggot yang nampak seperti seorang gelandangan. Camiel tinggal di bawah tanah sendirian dimana beberapa orang temannya juga tinggal di bawah tanah tidak jauh dari Camiel. Saat itulah terlihat tiga orang termasuk seorang pendeta yang membawa beberapa senjata yang kemudian digunakan untuk memburu Camiel, meski pada akhirnya ia berhasil melarikan diri setelah memperingatkan teman-temannya. Setelah itu, dia mulai mendatangi rumah demi rumah untuk menumpang mandi meski selalu mendapat penolakan. Sampai akhirnya ia sampai di rumah milik orang kaya bernama Richard (Jeroen Perceval). Tapi lagi-lagi Camiel tidak mendapat sambutan yang hangat, apalagi setelah ia mengaku mengenal istri Richard, Marina (Hadewych Minis) yang membuat Richard memukulinya habis-habisan.

Tapi Marina nyatanya tidak tega melihat kondisi Camiel, apalagi setelah mendapat perlakuan kasar dari sang suami. Hal itulah yang mendorongnya untuk memberikan tempat tinggal sementara dan merawat Camiel secara diam-diam. Semakin lama Camiel tinggal di rumah itu, semakin muncul perasaan aneh dan terikat dalam diri Marina, apalagi setelah Richard sering memperlakukan dirinya dengan kasar. Camiel sendiri nampaknya memiliki agenda tersembunyi yang ia rencanakan. Borgman yang diawal nampak akan menjadi sebuah komedi hitam tentang seorang gelandangan yang tinggal di rumah mewah milik keluarga kaya berubah menjadi thriller misterius yang penuh kesan sureal plus sentuhan religius. Ya, film ini memang membuat saya terhenyak disaat semuanya perlahan bergerak makin jauh dari apa yang saya kira dan semakin lama semakin rumit untuk dipecahkan. Film ini tidak hanya sureal akibat berbagai momen aneh seperti Camiel yang tiba-tiba duduk dalam kondisi telanjang diatas Marina yang sedang tidur, tapi juga penuh teka-teki. Film ini pun tidak hanya penuh teka-teki, karena segala pertanyaan itu akan dibiarkan tidak memiliki jawaban oleh Alex van Wamerdam hingga akhir, atau setidaknya tanpa jawaban yang gamblang meski secara tersirat jawaban itu ada.

1 komentar :

Comment Page:

A MILLION WAYS TO DIE IN THE WEST (2014)

1 komentar
Saya menikmati Ted (review) yang merupakan debut penyutradaraan Seth MacFarlane, tapi tidak sampai begitu mencintainya apalagi tidak sabar menantikan sekuelnya yang akan rilis tahun depan. Meski menjadi komedi berating R dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa, bagi saya Ted masih banyak miss dalam penghantaran komedinya. Singkat kata, bagi saya film itu terasa overrated, dan karena itulah saya tidak terlalu antusias menantikan film penyutradaraan kedua MacFarlane yang berjudul nyeleneh ini. Dengan banyak nama besar mulai dari Charlize Theron, Liam Neeson, Amanda Seyfried, Neil Patrick Harris, Giovanni Ribsi sampai MacFarlane sendiri, A Million Ways to Die in The West akan membawa dunia western masa lalu yang gersang dan penuh kekerasan serta kematian kedalam sajian komedi gila dan penuh hal jorok ala MacFarlane. Mungkin ensemble cast dan mengemas kerasnya western menjadi komedi adalah daya tarik tersendiri bagi film ini, tapi seperti yang sudah saya bilang, ekspektasi terhadap film ini tidaklah terlalu besar mengingat Ted yang juga tidak terasa spesial di mata saya.

Ber-setting pada tahun 1882 di Arizona, film ini bercerita tentang Albert Stark (Seth MacFarlane), seorang peternak domba yang terkenal pengecut. Karena sifatnya itulah Albert harus kehiangan kekasih yang amat ia cintai, Louise (Amanda Seyfried). Louise sendiri akhirnya malah berpacaran dengan seorang penjual obat penumbuh kumis yang sukses, Foy (Neil Patrick Harris). Ditengah segala keputusasaan dan kesedihan yang ia alami, Albert bertemu dengan seorang gadis misterius bernama Anna (Charlize Theron) yang ia selamatkan dalam sebuah perkelahian di bar. Albert dan Anna pun mulai menjadi teman dekat dimana Anna mulai membantu Albert dalam banyak hal mulai dari usaha untuk melupakan Louise sampai mengajari Albert bagaimana caranya menggunakan pistol. Tapi ada satu hal yang tidak Albert ketahui tentang Anna, yaitu bahwa dia merupakan istri dari Clinch Leatherwood (Liam Neeson) yang tidak lain adalah pembunuh paling ditakuti sekaligus penembak tercepat di kawasan western.

1 komentar :

Comment Page:

LE WEEK-END (2014)

Tidak ada komentar
Dalam kolaborasi keempatnya (tiga film, satu serial televisi) sutradara Roger Michell dan penulis naskah Hanif Kureishi kembali mengangkat kisah tentang karakter lansia seperti yang pernah mereka lakukan di Venus delapan tahun lalu. Ceritanya sendiri telah dikembangkan oleh keduanya selama tujuh tahun, dimulai saat mereka melakukan perjalanan ke Bukit Montmartre yang terletak di sebelah Utara kota Paris. Le Week-End sendiri terasa seperti versi lansia dari trilogi "Before" milik Richard Linklater karena sepanjang film fokusnya hanya berada pada seputaran obrolan serta konflik (yang juga hadir dalam obrolan) antara kedua karakter utamanya ditambah dengan setting sebuah kota yang indah. Kedua karakter utamanya adalah Nick (Jim Broadbent) dan Meg (Lindsay Duncan) yang tengah merayakan ulang tahun pernikahan yang ke-30. Tentu saja anniversary dari pernikahan yang telah berlangsung lama itu harus spesial, dan hal itu jugalah yang ada di benak Nick. Dia berencana mengajak istrinya ke Paris yang tidak lain adalah tempat dimana mereka melakukan bulan madu. Untuk menambah kesan nostlgia, Nick pun menyewa hotel yang sama dengan yang mereka gunakan dahulu.

Tapi ternyata rencana tersebut tidak berjalan sesuai rencana disaat hotel yang dipesan Nick sudah tidak sama lagi bentuknya dengan masa bulan madunya dulu, dan hal itu membuat Meg begitu kecewa. Apa yang terjadi berikutnya adalah kedua pasangan ingin "berimprovisasi" dalam perjalanan mereka di Paris, mendatangi banyak tempat dan menginap di hotel mahal. Namun pada kenyataannya, kekecewaan karena hotel itu bukanlah permasalahan terakhir dan terbesar yang mereka hadapi. Pernikahan mereka yang telah berlangsung 30 tahun lamanya akan benar-benar mendapat ujian berat yang ironisnya terjadi pada hari anniversary keduanya. Dengan alur yang berjalan lambat dan mayoritas berisi dialog antara Nick dan Meg, maka wajar saja jika ekspektasi saya akan Le Week-End adalah film ini menjadi "versi lansia" dari trilogi "Before". Tentu saja bukan berarti membandingkan kedua film itu, tapi lebih kepada bagaimana saya berharap film ini akan punya rangkaian dialog yang menarik untuk disimak, bisa terasa romantis dan menyentuh tanpa perlu dramatisasi berlebihan, serta mengeksplorasi manis dan pahitnya hubungan cinta para orang-orang tua. Harapan yang akhirnya gagal terpenuhi.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE MONKEY KING (2014)

3 komentar
Kisah Journey to the West yang menampilkan sosok Sun Wukong sang raja kera sebagai sosok sentralnya memang tidak pernah kehilangan daya tarik meski sudah berulang kali diangkat ke dalam medium apapun. Untuk film sendiri, salah satu yang paling baru adalah Journey to the West: Conquering the Demons (review) milik Stephen Chow yang bagi saya merupakan salah satu film paling menghibur tahun ini. Tapi ada satu lagi proyek yang mengangkat Sun Wukong sebagai karakter sentralnya, dan proyek ini bisa dibilang adalah proyek besar yang sudah cukup lama dinantikan. Disutradarai oleh Cheang Pou-soi, The Monkey King adalah film besar dengan bujet mencapai $82 juta dan dibintangi oleh nama-nama tenar seperti Donnie Yen, Chow Yun-fat, Aaron Kwok, Joe Chen, Peter Ho hingga Gigi Leung. Film ini pun sukses besar dengan meraih pendapatan lebih dari $175 juta. Nama Donnie Yen sebagai Sun Wukong memang sudah menarik banyak perhatian penonton bahkan jauh sebelum filmnya dirilis. Jadi apakah film yang lebih besar ini juga lebih baik dari milik Stephen Chow?

Sama seperti film Stephen Chow, The Monkey King juga tidak akan mengisahkan perjalanan Sun Wukong dan bikso Tong mengambil kitab suci ke Barat, melainkan menyoroti kejadian yang terjadi jauh sebelum itu, tepatnya sejak sebelum sang raja kera lahir ke dunia. Pada saat itu, peperangan besar antara dewa yang dipimpin Jade Emperor (Chow Yun-fat) dengan para siluman yang dipimpin oleh Raja Siluman Kerbau (Aaron Kwok) sedang terjadi. Dalam peperangan besar itu, pihak siluman berhasil dikalahkan dan kerajaan langit pun disegel supaya para siluman tidak lagi bisa masuk. Namun disaat yang bersamaan, kristal dari kerajaan langit jatuh ke Bumi, dan di dalamnya terdapat seekor kera yang tak lain adalah Sun Wukong. Terlahir dari kristal surga, Wukong pun memiliki kekuatan yang jauh diatas rata-rata siluman kera lainnya. Meski punya kepribadian yang nakal dan seenaknya sendiri, sesungguhnya Wukong adalah sosok yang terlahir baik dan penuh kepedulian. Hal itulah yang disadari oleh para dewa yang akhirnya memutuskan melatih Wukong. Tapi disisi lain Raja Siluman Kerbau yang mengetahui keberadaan Wukong mulai menyusun rencana untuk memanfaatkan kekuatannya guna mengambil alih kerajaan langit.
Tentu saja melihat bujet sebesar itu dan kehadiran Donnie Yen yang saya harapkan adalah sebuah tontonan penuh adegan aksi yang menghibur serta dibumbui banyak efek CGI yang baik. Usaha untuk melakukan itu sudah terlihat semenjak opening yang dibuka dengan pertempuran besar antara dewa dan siluman. Tapi justru pada adegan pembuka itu jugalah saya langsung dibuat kecewa oleh film ini. Adegan peperangan di awal itu sudha dipenuhi oleh polesan CGI dimana-mana yang ternyata luar biasa buruk. Untuk ukuran film dengan bujet mendekati $100 juta, efek CGI dalam film ini hanyalah sekelas serial televisi kolosal. Jika anda sering menonton serial-serial kolosal di televisi entah itu produksi India ataupun Cina, maka The Monkey King punya kualitas CGI yang tidak jauh beda. Tentunya lebih baik tapi tidak terasa jauh, apalagi melihat bujet besar film ini. Semuanya terjadi karena penggunaannya yang terlalu banyak. Seolah kalap melihat tumpukan uang, para pembuat efek visual film ini memoles hampir semua setting dan efeknya dengan komputer. Bandingkan dengan film Stephen Chow yang meski tidak punya bujet besar tapi menyadari keterbatasn itu sehingga penggunaan CGI dilakukan seperlunya dan efektif. Tidak hanya adegan pembuka, karena sampai akhir efek komputernya selalu berlebihan dan buruk. 
Efek CGI yang buruk itu makin diperparah dengan pengemasan Cheang Pou-soi terhadap adegan aksi yang begitu berantakan. Adegan aksinya seolah asal tabrak, asal hantam dan asal hancur-hancuran. Bukannya menghibur dan terasa seru, rentetan adegan aksinya justru melelahkan dan membuat sakit mata. Kehadiran Donnie Yen pun terasa sia-sia disaat sang aktor tidak banyak mendapat porsi untuk memamerkan keahliannya berkelahi. Memang Donnie Yen berakting bagus sebagai Sun Wukong lewat gesturnya yang meyakinkan sebagai seekor kera, tapi yang saya harapkan dari menonton film yang mempunyai Donnie Yen didalamnya adalah rentetan adegan aksi yang terkoreografi dengan rapih. Dengan hancurnya efek CGI serta kemasan adegan aksi, praktis The Monkey King tidak punya banyak hal untuk dibanggakan. Pada dasarnya film seperti ini akan teraa style over substance dimana adegan aksi dan CGI-nya mengesankan disaat naskah dan ceritanya kurang bagus.Tapi yang terjadi justru kedua aspek tersebut sama-sama buruk. Disaat naskahnya dipinggirkan, aspek style-nya justru hancur-hancuran. 

Alur ceritanya sendiri berjalan seperti sebuah video game yang bergerak dari satu check point ke check point berikutnya tanpa ada eksplorasi berarti dalam setiap tahap. Masing-masing karakternya pun kurang digali, bahkan akting bagus Donnie Yen tidak bisa membuat Sun Wukong menjadi karakter yang simpatik. Banyak karakter yang hadir jadi terasa tidak bermakna dan sekedar numpang lewat meski pada dasarnya punya potensi besar. Hal tersebut juga makin diperparah dengan subplot yang tidak berhasil meningkatkan tensi film. Padahal subplot yang ada cukup berpoteni juga membuat film ini punya cerita yang lebih kuat. Kisah percintaan Sun Wukong apabila digarap dengan baik bia menciptakan klimaks yang emosional dan sedikit sentuhan tragedi. Tapi pada akhirnya setiap kisah hanya dituturkan sesaat, untuk kemudian dilupakan setelah mencapai konklusi. Saya menunggu The Monkey King berharap film ini akan menjadi salah satu hiburan paling menyenangkan tahun ini. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, film ini merupakan tontonan paling mengecewakan tahun ini. Hampir tidak ada aspek positif yang bisa dinikmati kecuali akting Donnie Yen. Desain para karakternya cukup bagus tapi juga tidak terasa spesial. The Monkey King membuktikan bahwa ambisi besar itu boleh saja asal kita tahu seberapa batasan kita dan tidak asal melakukan sesuatu diluar batasan yang ada. 

3 komentar :

Comment Page:

ONLY LOVERS LEFT ALIVE (2013)

2 komentar
Jim Jarmusch. sutradara indie yang identik dengan film-film ber-setting malam hari dan bertempo lambat dengan banyak still shot serta adegan diam membuat sebuah film vampir. Meski berbalut drama percintaan, tentu saja Only Lovers Left Alive bukanlah versi indie dari Twilight, apalagi melihat nama-nama besar yang terlibat mulai dari Tom Hiddlestone, Tilda Swinton, Mia Wasikowska, John Hurt hingga Anton Yelchin. Dengan naskah yang ditulis sendiri oleh Jim Jarmusch, Only Lovers Left Alive akan berpusat pada dua karakternya, Adam (Tom Hiddlestone) dan istrinya, Eve (Tilda Swinton). Mereka berdua sama-sama adalah vampir yang sudah hidup selama ratusan tahun. Adam selama ini tanpa diketahui oleh orang-orang telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan dunia musik dan sains lewat karya-karyanya. Walaupun begitu kini Adam hidup menyendiri di sebuah rumah tua sambil tetap berkarya menciptakan lagu-lagu pemakaman dan tidak ingin diketahui keberadaannya oleh orang lain meskipun itu adalah fans dari musiknya sendiri. Dengan tendensi bunuh diri, Adam menjalani hari-harinya dengan suasana yang gloomy dan selalu terobsesi dengan kematian serta mengeluh tentang kondisi dunia modern dimana dia menyebut manusia sebagai "zombie".

Untuk memenuhi kebutuhannya akan darah, Adam mendatangi rumah sakit untuk membelinya dari Dr. Watson (Jeffrey Wright) dengan kedok sebagai seorang dokter. Disisi lain, Eve selama beberapa tahun terakhir tinggal di Tangier, Maroko dan selalu berkomunikasi lewat telepon dengan sang suami. Eve sendiri mendapat suplai darah dari Christopher Marlowe (John Hurt), seorang vampir yang juga merupakan seorang penulis besar. Eve yang merasa khawatir dengan tendensi bunuh diri Adam akhirnya menuju Detroit dan kembali bersama dengan sang suami. Mereka berdua pun mulai menjalani hari-hari yang tenang dan romantis berdua, sebelum akhirnya datang Ava (Mia Wasikowska) yang tidak lain adalah adik Eve. Berbeda denagn sang kakak, Ava adalah vampir dengan sosok gadis remaja yang doyan bersenang-senang dan membuat ulah, sesuatu yang membuat Adam begitu membencinya. Begitulah kurang lebih sinopsis dari film ini. Jika anda mengira saya sengaja tidak menuliskan bagian horror atau action demi menghindari spoiler anda salah, karena memang "hanya" seperti itulah konten dari film ini. Jika anda mengharapkan sebuah film vampir konvensional bersiaplah kecewa karena Only Lovers Left Alive sejatinya merupakan drama realis tentang kritikan terhadap dunia modern dengan mayoritas diisi obrolan bertempo lambat.
Konten vampir yang ada tak ubahnya sebagai jalan bagi Jim Jarmusch untuk banyak memakai atmosfer gelap dan setting "mobil di malam hari" yang merupakan hal favoritnya. Selain itu, sosok vampir yang hidup hingga ratusan tahun juga menjadi alat bagi sang sutradara untuk menyelipkan bannyak referensi tentang musik, sains dan literatur dari masa lalu dan memberikan twist dalam aspek-aspek tersebut. Aspek vampir memang dipakai oleh Jarmuch bukan sebagai penarik bagi penonton tapi supaya dia bisa mendapatkan kebebasan lebih luas dalam mengemas filmnya. Jarmusch jadi bisa "seenaknya" memasukkan berbagai macam tema dan referensi tanpa perlu khawatir filmnya meninggalkan lubang dan tidak masuk akal. Semuanya berkat sosok vampir yang punya kemampuan diatas manusia pada umumnya dan rentang hidup yang jauh lebih panjang. Jarmusch nampak ingin memperlihatkan bagaimana jadinya jika vampir benar-benar hidup diantara manusia. Dengan pendekatan yang realistis, hal itu berhasil dilakukan dimana efeknya saya sebagai penonton berhasil ikut memahami apa saja yang ada dalam isi kepala seorang vampir di dunia nyata dan segala problema sehari-hari mereka.
Filmnya berjalan dengan tempo yang lambat tanpa ada percikan konflik yang berarti. Konflik yang hadir pun terasa seperti konflik dalam keseharian manusia biasa seperti kehadiran anggota keluarga yang menyebalkan sampai kejengahan pada dunia modern yang seringkali dikritik oleh film ini lewat sosok Adam. Alurnya berjalan datar dimana tensi cukup naik hanya saat kehadiran sosok Ava-nya Mia Wasikowska yang annoying dan banyak bertingkah. Selebihnya semua terasa dingin dan pucat seperti para vampir yang ada. Bisa saja semua itu membuat film ini membosankan, apalagi mayoritas diisi dengan dialog yang kontennya pun sering terasa seperti sebuah ensiklopedi tentang musik, sains dan literatur masa lalu. Tapi berkat akting bagus dari Tom Hiddlestone dan Tilda Swinton, penghantaran dialog yang sering terasa berat itu jadi tidak terasa kaku dan membosankan. Obrolan antara keduanya mengalir dengan hangat dan menarik untuk disimak. Bahkan film ini masik sempat menghadirkan sentuhan komedi yang lucu dimana mayoritas hadir lewat ekspresi datar Tom Hiddlestone dan segala keluhan yang muncul dari mulutnya. Mia Wasikowska pun mencuri perhatian meski muncul tidak terlalu lama dengan segala tingkah menyebalkan yang membuat saya ingin bekerja sama dengan Adam untuk menampar gadis yang satu ini.

Only Lovers Left Alive dengan alur datar, tempo lambat dan atmosfer dingin dan gelapnya (tapi tidak kelam) memang kadangkala terasa membosankan, sesuatu yang menghalangi film ini untuk jadi lebih berkesan bagi saya. Tapi momen yang terasa membosankan itu tidaklah terlalu banyak, tidak seberapa dibandingkan keasyikan yang saya dapatkan melihat interaksi antar vampir yang hidup dalam dunia nyata ini. Meski vsecara teknis dikemas sebagai film yang gelap, tapi nyatanya Only Lovers Left Alive punya momen-momen yang cukup lucu dan kadang aneh seperti adik yang menyebalkan atau es krim darah O negatif kesukaan Adam. Terasa semakin unik mengingat fakta bahwa film ini membawa kiah vampir yang biasanya identik dengan dunia fantasi kedalam sebuah dunia yang realistis dengan konflik sehari-hari yang bisa juga muncul dalam kehidupan para "zombie" seperti kita

2 komentar :

Comment Page:

FRANK (2014)

Tidak ada komentar
Menyebut Frank sebagai film yang aneh mungkin terkesan terlalu "standar", tapi memang begitulah film ini. Disaat kamu punya seorang aktor dengan nama besar plus wajah komersil yang sudah dikenal di penjuru dunia tentu saja hal terakhir yang akan kamu lakukan adalah menyembunyikan wajahnya sepanjang film. Sebagai contoh kita bisa lihat film Judge Dredd yang dibintangi Sylvester Stallone dimana sang sutradara lebih memilih mengorbankan helm ikonis sang hakim dariada wajah sang aktor utama. Maka saat ada yang melakukan sebalinya dengan mudah keputusan itu akan disebut aneh, tidak biasa atau mungkin gila. Tapi memang hal itulah yang dilakukan Lenny Abrahamson dalam film terbarunya ini. Wajah Michael Fassbender tentu saja merupakan "barang jualan" yang begitu berharga, tapi di film ini selama mayoritas kemunculannya sang aktor akan mengenakan sebuah topeng berwujud kepala manusia kartun berukuran besar. Saat itulah ia bertransofrmasi menjadi sosok Frank yang terinpirasi dari Frank Sidebottom, comic persona dari komedian sekaligus musisi Chris Sievery. 

Film ini dibuka lewat perkenalan kita dengan Jon (Domhnall Gleeson), seorang pemuda yang begitu ingin menjadi musisi sekaligus penulis lagu besar. Setiap hari selalu ia isi dengan menulis lirik dan membuat komposisi lagu. Tapi seberapa keraspun ia mencoba, Jon selalu gagal menciptakan lagu bagus seperti yang ia inginkan. Sampai suatu hari kesempatan untuk menjadi musisi besar datang disaat Jon mendapat tawaran untuk menjadi keyboradist sementara dari band eksentrik bernama "Soronprfbs". Tidak hanya punya nama dan musik yang aneh, Soronprfbs juga diisi oleh para personel yang eksentrik. Tapi yang paling aneh tentu saja sang frontman, Frank dengan topeng kepala besar dan segala tingkah laku uniknya. Pada akhirnya Jon tidak hanya menjadi seorang additional panggung biasa tapi turut terlibat dalam proses penggarapan album dari Soronprfbs di sebuah kabin di tengah hutan. Mulai dari situlah Jon harus berhadapan dengan banyak hal mulai dari proses eksentrik yang dilakukan Frank, ketidak akurannya dengan Clara (Maggie Gyllenhaal), sampai ambisinya yang tidak pernah padam untuk menjadi musisi besar.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

VERTIGO (1958)

Tidak ada komentar
Satu lagi film Alfred Hitchcock yang sering masuk daftar fim terbaik sepanjang masa. Diangkat dari novel D'entre les morts karya Boileau-Narcejac, Vertigo merupakan film yang memuncaki daftar "Top 10 Mystery" versi American Film Institute mengalahkan film-film Hitchcock lainnya seperti Rear Window (review) dan Dial M for Murder (review). Bahkan pada tahun 2012 lalu film ini memuncaki daftar polling Sight & Sound sebagai film terbaik sepanjang masa. Filmnya sendiri bercerita tentang John "Scottie" Ferguson (James Stewart), seorang detektif yang memilih pensiun dari kepolisian akibat sebuah kecelakaan yang terjadi dalam sebuah pengejaran. Kecelakaan tersebut mengakibatkan tewasnya seorang polisi dan menciptakan trauma dalam diri John. Sejak saat itu ia takut akan ketinggian dan bakal merasakan pusing yang luar biasa jika berada di tempat tinggi. Tapi masa pensiun John tidak terlalu lama disaat salah seorang teman lamanya, Gavin Elster (Tom Helmore) meminta bantuannya untuk menjadi seorang private detective. Pekerjaan yang harus John lakukan adalah menguntit istri Gavin, Madeleine (Kim Novak).

Alasan Gavin meminta hal tersebut adalah karena kecurigaan yang muncul bahwa Madeleine telah dirasuki oleh arwah penasaran dan membuatnya sering berubah kepribadian bahkan berjalan-jalan sendiri tak tentu arah. Anda tidak salah baca tentang kata "arwah penasaran" tersebut. Kali ini Hitchcock memang mencoba memasukkan sedikit unsur horror dalam filmnya. Bukan saja pada selipan misteri tentang kerasukan, tapi juga pada pembangunan atmosfer dalam beberapa adegannya. Sebagai contoh adalah adegan saat John dan Madeleine sedang berada di tengah hutan dan tiba-tiba Madeleine menghilang. Beberapa momen lain seperti setting kuburan, Madeleine yang mendadak trance, sampai dream sequence dari John memang mendapat sentuhan ala film horror. Tapi itu bukan berarti Hitchcock memasukkan aspek horror melainkan karena ia tahu bagaimana cara mengemas adegan hingga menciptakan atmofer yang sesuai. Bukti bahwa Alfred Hitchcock memang seorang jenius dan julukannya sebagai master of suspense memang amat layak. Hal itu juga makin membuat Vertigo terasa sebagai sebuah tontonan yang inovatif, setidaknya pada era saat film ini pertama dirilis.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

PALO ALTO (2013)

Tidak ada komentar
Sebeum bicara tentang Palo Alto, ijinkan saya sedikit membahas tentang Coppola family tree. Keluarga Coppola seolah tidak pernah kehabisan bakat dalam dunia perfilman. Generasi pertama punya Carmine Coppola dan Anton Coppola yang sama-sama seorang komposer. Carmine adalah penggubah scoring The Godfather, The Godfather Part II dan Apocalypse Now sedangkan Anton membuat musik The Godfather Part III dan Dracula. Sedangkan generasi kedua punya Francis Ford Coppola yang legendaris itu sekaligus sutradara dari film-film yang saya sebutkan diatas. Istrinya, Eleanor Coppola adalah sutradara dokumenter. Ada juga Talia Shire yang menjadi aktris dan terkenal lewat perannya sebagai Connie di The Godfather serta Adrian di Rocky. Generasi ketiga punya Nicolas Cage, sutradara Sofia Coppola (Lost in Translation), dan aktor/komedian Jason Schwartzman sebagai yang paling dikenal. Belum lagi nama-nama lain yang punya karir lebih kecil dan tidak saya sebutkan. Pada generasi keempat, nama Gia Coppola adalah yang pertama muncul ke dunia perfilman lewat Palo Alto yang merupakan debut penyutradaraannya.

Film ini diangkat dari koleksi cerita pendek karya James Franco yang kemudian dibukukan dengan judul sama seperti filmnya. Nama "Palo Alto" sendiri diambil oleh James Franco dari nama kota asalnya yang terletak di California. Filmnya sendiri bercerita tentang kehidupan beberapa orang remaja SMU yang tengah menjalani kehidupan liar masa muda yang dipenuhi alkohol, ganja dan pastinya seks. Ada Teddy (Jack Kilmer) dan Fred (Nat Wolff) yang bersahabat dan selalu berpesta dan melakukan berbagai hal gila berdua meski nampaknya Teddy hanya "terbawa" oleh Fred yang memang lebih liar. Disisi lain Teddy juga diam-diam tengah menyukai seorang gadis bernama April (Emma Roberts). Sedangkan April secara tersirat juga memperlihatkan bahwa ia pun menyukai Teddy tapi karena tidak ada "pergerakan" dari Teddy, April pun memilih diam. April justru perlahan mulai menjalin kedekatan dengan Mr. B (James Franco), pelatih tim sepak bola tempatnya bermain yang tentu saja berusia jauh lebih tua daripada April. Para remaja ini pun masing-masing mulai menghadapi berbagai permasalahan yang harus mereka lalui untuk mencapai kedewasaan dan mendapatkan kebahagiaan.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

CHEF (2014)

Tidak ada komentar
Jon Favreau adalah satu dari beberapa nama sutradara yang karirnya semakin mengkilap pasca menyutradarai film superhero Marvel. Lebih dari itu, Favreu juga menjadi yang pertama dalam hal itu karena dialah yang menyutradarai Iron Man, film pertama dari Marvel Cinematic Universe (MCU). Disusul dengan Iron Man 2 yang meski tidak sebaik film pertamanya tapi berhasil meraup pendapatan yang lebih banyak. Nama Jon Favreau pun banyak dikaitkan dengan film-film berbujet besar sampai akhirnya ia menyutradarai Cowboys & Aliens yang gagal total di pasaran dan mendapat respon yang kurang memuaskan dari para kritikus meski tidak bisa dibilang buruk. Namanya pun sempat menghilang beberapa saat sebelum "tiba-tiba" kembali dengan sebuah komedi berbujet kecil berjudul Chef ini. Dengan naskah yang ditulis sendiri oleh Favreau, Chef pun turut diisi oleh jajaran cast gemerlap seperti Favreau sendiri, Sofia Vergara, Dustin Hoffman, sampai dua nama yang merupakan alumnus dua film Iron Man yakni Robert Downey Jr. dan Scarlett Johansson yang masing-masing menjadi pemeran pendukung.

Carl Casper (Jon Favreau) adalah seorang chef ternama yang kini bekerja untuk sebuah restoran besar milik Riva (Dustin Hoffman) di Los Angeles. Suatu hari datanglah seorang food blogger sekaligus kritikus makanan ternama di Los Angeles, Ramsey Michel (Oliver Platt) ke restoran tersebut. Carl dan para asistennya pun mulai bekerja membuat menu baru yang spesial sebelum akhirnya Riva melakukan interupsi mendadak dan menyuruh Carl supaya tetap membuat menu standar seperti biasa. Hasilnya masakan yang ia buat pun dicela dan mendapat review buruk dari Ramsey. Bahkan tidak butuh lama, review tersebut tersebar luas lewat twitter. Carl dan Ramsey pun mulai terlibat perseteruan di twitter yang akhirnya berujung pada Carl kehilangan pekerjaannya. Disisi lain Carl pun sedang mempunyai masalah lain yang lebih personal, yaitu menjalin hubungan dengan sang putera, Percy (Emjay Anthony) yang selama ini sering terlupakan akibat kesibukan Carl.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE GOOD, THE BAD AND THE UGLY (1966)

11 komentar
Sergio Leone akan selalu dikenang lewat film-film Spaghetti Western seperti layaknya George Romero dikenang lewat film-film zombie. Bagaimana tidak? Sepanjang karirnya, Leone telah menyutradarai enam film ber-genre tersebut (satu diantaranya berstatus co-director) termasuk yang paling sukses tentu saja dollars trilogy miliknya yang menampilkan Clint Eastwood sebagai The Man with No Name. Tidak hanya sukses secara finansial, trilogi tersebut juga mendapat respon sangat baik dari kiritikus dan ketiganya selalu masuk dalam daftar film western terbaik sepanjang masa. Ketiga film itupun turut melambungkan nama Leone dan Client Eastwood. The Good, the Bad and the Ugly sendiri merupakan penutup dari trilogi tersebut sekaligus bisa dibilang yang paling sukses. Pendapatan yang mencapai $25 juta, banyak memuncaki daftar film-film terbaik sepanjang masa sampai sosok ketiga karakter utamanya yang ikonik dan memberi banyak inspirasi pada film-film lain termasuk The Good, the Bad and the Weird (review) milik Kim Jee-woon adalah bukti-buktinya. 

Seperti judulnya, film ini akan berfokus pada tiga karakter sentralnya, yaitu The Good/Blondie (Clint Eastwood, The Bad/Angel Eyes (Lee Van Cleef) dan The Ugly/Tuco (Eli Wallach). Blondie adalah seorang bounty hunter dimana salah satu buronannya adalah Tuco. Keduanya pun sempat bekerja sama untuk mendapat uang dimana Blondie akan pura-pura menangkap Tuco untuk mendapat uang imbalan, lalu saat Tuco hendak dieksekusi, Blondie akan membebaskannya. Tapi dalam sebuah kesempatan Blondie meninggalkan Tuco sendirian di padang pasir, membuat Tuco mulai berambisi untuk membalas dendam. Sedangkan Angel Eyes merupakan salah satu prajurit Confederate sekaligus pembunuh bayaran kejam yang selalu menuntakan misi yang diberikan padanya. Mereka bertiga yang awalnya berada pada jalannya masing-masing mulai mempunyai misi yang sama disaat ketiganya mengetahui keberadaan sebuah emas dalam jumlah besar yang terkubur di sebuah pemakaman.

11 komentar :

Comment Page:

MOOD INDIGO (2013)

Tidak ada komentar
Michel Gondry adalah sutradara yang terkenal dengan gaya visualnya yang unik hingga membuat narasi filmnya menjadi terasa imajinatif, surreal dan penuh dengan fantasi dimana-mana. Karya terbaiknya dan juga salah satu film favorit saya sepanjang masa tentu saja adalah Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Film itu juga merupakan kolaborasi keduanya dengan penulis naskah Charlie Kaufman yang juga punya style sureal dalam penulisan naskahnya. Karir Gondry benar-benar melambung setelah kesuksesan tersebut sebelum akhirnya membuat The Green Hornet yang dicela kritikus dan tidak terlalu sukses di pasaran meski punya bujet besar. Saya sendiri membenci film itu karena Seth Rogen yang menyebalkan dan talenta serta style Gondry disia-siakan demi sebuah komedi superhero yang sama sekali tidak lucu. Maka dari itu Mood Indigo yang menandai kembalinya Gondry ke style aslinya juga menjadi pertaruhan untuk mengembalikan nama baiknya. Turut dibintangi oleh si lovable Audrey Tautou (Amelie), film yang naskahnya ditulis oleh Luc Bossi dan Gondy ini diangkat dari novel karya Boris Vian yang berjudul Froth on the Daydream.

Kisahnya adalah tentang Colin (Romain Duris), seorang pemuda yang kaya raya tanpa harus bekerja. Hidupnya diisi dengan kemudahan dan kebahagiaan bersama sang juru masak Nicolas (Omar Sy). Suatu hari saat tengah makan siang bersama salah seorang sahabatnya, Chick (Gad Elmaleh), Colin yang selama ini merasa hidupnya lengkap akhirnya menyadari bahwa ada yang kurang. Kekurangan itu adalah ketidak adanya cinta dalam hidupnya. Semenjak itu Colin pun bertekad untuk bisa jatuh cinta dan menemukan pendamping hidupnya. Akhirnya pada sebuah pesta Colin bertemu dengan Chloe (Audrey Tautou) dan tidak butuh waktu lama bagi mereka berdua untuk saling mencintai. Singkat cerita mereka berdua akhirnya menikah dan melakukan bulan madu. Tapi disanalah babak baru kehidupan Colin dimulai saat Chloe menderita sebuah penyakit parah akibat sebuah bunga water lily yang masuk ke dalam paru-parunya. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

LIFE ITSELF (2014)

Tidak ada komentar
Film karya sutradara Steve James (Hoop Dreams) dan diproduseri Martin Scorsese dan Steven Zaillian (Gangs of New York, Moneyball) ini adalah dokumenter yang dibuat berdasarkan memoir berjudul sama milik Roger Ebert. Jika anda belum mengenal siapa itu Roger Ebert, dia adalah seorang kritikus film yang meninggal pada tahun 2013 lalu. Bisa dibilang Ebert merupakan kritikus film paling terkenal dan paling berpengaruh yang pernah ada. Bersama Gene Siskel, dia membuat kritik film menjadi sesuatu yang penting dan dipandang saat keduanya memandu acara review film Sneak Reviews (1975-1982) dan At the Movies  (1986-1999). Kolaborasi keduanya berakhir pada tahun 1999 saat Gene Siskel terlebih dahulu meninggal dunia karena tumor otak. Roger Ebert juga merupakan kritikus film pertama yang memenangkan penghargaan Pulitzer pada tahun 1975, penghargaan yang juga turut berpengaruh membuat profesi kritikus film menjadi sesuatu yang lebih penting dan dipandang. Ebert pun menjadi kritikus pertama yang mendapat bintang pada Hollywood Walk of Fame pada tahun 2005 lalu. Melalui Life Itself inilah Steve James mengajak penontonnya untuk mengarungi berbagai momen kehidupan Ebert termasuk bulan-bulan terakhir dalam hidupnya.

Lewat  berbagai footage, foto-foto, dan tentunya wawancara dengan Roger Ebert sendiri dan orang-orang terdekat dalam hidup sang kritikus khususnya sang istri Chaz Ebert yang selalu setia menemani dan merawat sang suami hingga kematian memisahkan keduanya. Life Itself akan membawa kita melihat masa demi masa dalam kehidupan Roger Ebert mulai dari saat ia masih muda dan baru mengawali karir dengan bekerja di Chicago Sun-Times, lalu saat namanya mulai dikenal secara luas berkat acara televisi yang ia pandu bersama Gene Siskel, kisah cintanya yang berujung dengan pernikahan dengan Chaz Hammelsmith pada tahun 1992 saat ia sudah berusia 50 tahun, masa-masa perjuangannya melawan kanker thyroid dan salivary gland yang membuatnya harus kehilangan kemampuan berbicara serta makan dan minum saat rahang bawahnya diangkat pada tahun 2002, sampai masa-masa terakhir hidupnya yang walaupun banyak diisi dengan bolak-balik rumah sakit untuk operasi tapi Ebert tidak pernah kehilangan semangat juang serta rasa cintanya terhadap film. Hal itu terbukti dengan keaktifannya untuk tetap menulis di blog bahkan hingga dua hari menjelang kematiannya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE IMMIGRANT (2013)

Tidak ada komentar
Judul film ini mungkin terdengar kurang menarik, begitu juga posternya yang mengesankan sebuah drama/romansa yang sepertinya bakal terasa berat untuk ditonton. Tapi kehadiran tiga nama besar yang sudah akrab dengan nominasi Oscar yakni Marion Cotillard, Joaquin Phoenix dan Jeremmy Renner nyatanya mampu membuat saya tertarik untuk menonton The Immigrant. Film kelima dari sutradara James Gray (sekaligus kolaborasi keempatnya secara berturut-turut dengan Joaquin Phoenix) ini pertama kali diputar pada Cannes Film Festival tahun 2013 yang lalu dimana film ini juga mendapat nominasi Palme d'Or sebelum akhirnya dirilis secara luas pada tahun ini. Seperti judulnya, film yang ber-setting pada tahun 1921 ini berkisah tentang dua wanita imigran asal Polandia, Ewa (Marion Cotillard) dan Magda (Angela Sarafyan) yang baru saja tiba di Pulau Ellis, New York dengan tujuan menemui paman dan bibi mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, meninggalkan Polandia yang belum pulih pasca peperangan besar. Tapi belum apa-apa mereka sudah menemui kesulitan saat Magda terpaksa "ditahan" akibat penyakit yang ia derita dan harus tinggal di pulau itu untuk mendapat perawatan. Bahkan kemungkinan besar ia akan dideportasi.

Nasib yang sama juga menimpa Ewa saat pihak imigrasi menolaknya akibat sebuah insiden di kapal yang membuat Ewa dinilai "tidak bermoral". Saat itulah ia bertemu dengan Bruno (Joaquin Phoenix) yang pada akhirnya bersedia membayar sejumlah uang untuk menolong Ewa. Bruno pun membawa Ewa pulang dan memberinya sebuah pekerjaan sebagai penari panggung. Tapi Ewa sendiri membutuhkan uang dalam jumlah besar untuk mengeluarkan adiknya dari Pulau Ellis, dan karena kebutuhan itulah ia terpaksa menerima pekerjaan sebagai seorang pelacur. Bagi Bruno sendiri, bukan hal yang mudah membiarkan Ewa melakukan pekerjaan tersebut karena diam-diam ia juga mencintai Ewa. Hubungan sekaligus konflik yang rumit antara keduanya pun terus berlanjut. Bahkan semuanya semakin bertambah rumit disaat keponakan Bruno, Emil (Jeremy Renner) yang dikenal sebagai "Orlando the Magician" kembali pulang dan mulai tertarik pada Ewa.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

VISITOR Q (2001)

2 komentar
Takashi Miike menelurkan karya-karya terbaik sekaligus tergila dan paling kontroversial pada era 90-an sampai awal 2000-an. Pada masa itulah dia membuat film-film seperti Audition (review), Gozu (review), Ichi the Killer sampai Visitor Q yang rutin menghiasi daftar film paling disturbing versi manapun. Visitor Q sendiri adalah satu dari enam film straight-to-video yang tergabung dalam "Love Cinema Series" yang menggabungkan enam sineas indie dimana masing-masing dari mereka harus membuat sebuah film dengan bujet super minim serta aspek teknis yang amat sederhana. Dari keenam film tersebut, film Miike ini adalah yang terakhir sekaligus yang paling populer, karena selain nama besar sang sutradara film ini juga terkenal akibat adegan-adegan disturbing yang banyak bertebaran di dalamnya. Dalam film ini juga kita akan melihat aktor Kenichi Endo yang sekarang lebih kita kenal lewat perannya sebagai Goto di The Raid 2: Berandal. Jadi apakah Visitor Q memang segila yang saya dengar atau justru mengecewakan seperti Audition?

Pertanyaan tersebut langsung terjawab disaat Miike sudah membuka filmnya dengan adegan incest dimana Kiyoshi Yamazaki (Kenichi Endo) berhubungan seks dengan puterinya yang bekerja sebagai pelacur, Miki Yamazaki (Fujiko). Yang lebih gila lagi ada banyak kamera yang sengaja dinyalakan untuk mereka hubungan seks tersebut. Kita juga akan diajak melihat anggota keluarga Yamazaki lainnya. Takuya Yamazaki (Jun Muto) sang putera selalu memukuli ibunya, Keiko Yamazaki (Shungicu Uchida) disaat ada hal kecil yang tidak ia suka semisal sang ibu salah membeli sikat gigi. Keiko sendiri hanya pasrah menerima perlakuan kasar anaknya. Tapi meski bertingkah kasar, di luar rumah Takuya adalah korban bullying oleh teman-temannya. Sedangkan Keiko lebih sering mengurung diri di kamar sambil menikmati suntikan heroin. Keluarga Yamazaki jelas sebuah keluarga disfungsional yang gila namun menganggap semuanya normal. Sampai suatu hari seorang pria tidak dikenal (Kazushi Watanabe) yang sempat dua kali memukul kepala Kiyoshi dengan batu menginap di rumah keluarga Yamazaki dan mulai membuat "kekacauan".

2 komentar :

Comment Page:

LUCY (2014)

Tidak ada komentar
Luc Besson mungkin tidak pernah membuat film yang cerdas tapi sebagai sebuah hiburan, karya-karyanya yang mayoritas ber-genre action hampir selalu menjadi tontonan yang menyenangkan. Satu hal yang menarik dari film-film sutradara asal Prancis ini adalah karena ia sering menjadikan sosok wanita sebagai pemeran utama film aksinya. Bahkan dari serangkaian film aksi miliknya, lebih banyak wanita yang menjadi pemain utama daripada pria. Hal yang sama kembali ia lakukan dalam film terbarunya Lucy dimana kali ini Luc Besson menggaet Scarlett Johansson sebagai aktris utama. Tentu saja keberadaan ScarJo yang namanya tengah melambung jadi daya tarik yang luar biasa besar, apalagi karena Besson juga mendeskripsikan Lucy sebagai film superhero. Banyak orang termasuk saya yang berharap bahwa ini bakal jadi "pemanasan" sebelum Scarlett Johansson benar-benar mendapatkan film solo Black Widow. Kehadiran nama-nama besar lainnya seperti Morgan Freeman sampai aktor besar Korea Selatan Choi Min-sik semakin menambah daya tarik film ini. Konsepnya pun menarik, yaitu "disaat rata-rata manusia hanya mampu memakai 10% otaknya, apa yang terjadi jika seseorang bisa menggunakan 100% kemampuan otaknya?" 

Lucy (Scarlett Johansson) hanyalah seorang wanita muda yang sedang berkuliah di Taiwan, sampai suatu hari ia dijebak oleh pacar barunya untuk mengantar sebuah koper misterius kepada seseorang bernama Mr. Jang (Choi Min-sik). Alih-alih hanya mengantarkan koper seperti yang dijanjikan, Lucy malah diculik oleh Mr. Jang beserta anak buahnya dan digunakan sebagai alat menyelundupkan isi dari koper itu yang ternyata adalah narkoba jenis baru bernama CPH4. Penyelundupan dilakukan dengan cara menaruh bungkusan narkoba dalam jumlah besar ke dalam perut Lucy beserta tiga orang lainnya. Tapi akibat sebuah insiden, bungkusan narkoba dalam perut Lucy pun pecah dan mulai bercampur di dalam tubuhnya. Hal itu membuat kemampuan penggunaan otak Lucy perlahan mulai meningkat, bahkan nantinya bisa mencapai 100% dan seperti yang sempat dikemukakan oleh seorang ilmuwan ahli neurologi bernama Profesor Norman (Morgan Freeman) tidak ada yang tahu akan sejauh apa kemampuan seorang manusia jika bisa menggunakan 100% kemampuan otaknya. Lucy yang tadinya hanya seorang wanita biasa kini berubah layaknya superhero dengan kemampuan fisik bahkan kinetis yang diatas rata-rata.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE ZERO THEOREM (2013)

Tidak ada komentar
Terry Gilliam adalah seorang sutradara yang terkenal akan film-filmnya yang begitu imajinatif. Mungkin tidak semua film Gilliam mendapat respon positif dari kritikus, tapi jelas style miliknya yang penuh dengan keunikan visual telah mendapatkan begitu banyak penggemar. Gilliam sering menghadirkan satir sosial dalam filmnya, lalu membungkus satir tersebut kedalam sebuah sajian penuh fantasi liar dengan setting yang seringkali terletak di sebuah dystopian future. Setelah lima tahun lalu membuat The Imaginarium of Doctor Parnassus yang menjadi salah satu film terakhir Heath Ledger, Gilliam kembali dengan The Zero Theorem yang naskahnya ditulis oleh seorang debutan bernama Pat Rushin. Hanya dengan bermodal gaya unik Terry Gilliam saja film ini sudah menarik perhatian, belum lagi ditambah kehadiran nama-nama besar seperti Christoph Waltz sebagai aktor utama sampai Matt Damon dan Tilda Swinton sebagai pemeran pendukung. Sebuah pertanyaan mendasar namun esensial sekaligus sulit dijawab menjadi ide dasar The Zero Theorem, yaitu "Apa makna kehidupan?"

Qohen Leth (Christoph Waltz) adalah seorang programer yang hidup sendirian di sebuah gereja tua yang tidak lagi terpakai. Qohen sendiri merupakan seorang antisocial yang tidak pernah bergaul dengan baik bersama orang-orang disekitarnya. Diluar pekerjaannya, keseharian Qohen ia habiskan untuk menunggu  panggilan telepon. Sebuah panggilan telepon yang ia harapankan bakal memberi jawaban tentang pertanyaannya akan makna kehidupan yang ia jalani. Untuk itulah ia meminta kepada pemilik perusahaan yang disebut Management (Matt Damon) supaya diperbolehkan bekerja dirumah agar setiap saat bisa siap untuk mengangkat telepon. Qohen akhirnya mendapat izin bekerja dirumah, meski tugas yang ia dapat amatlah berat. Qohen harus memecahkan sebuah rumus matematika yang disebut "Zero Theorem". Qohen pun akhirnya menghabiskan waktu berbulan-bulan berusaha memecahkan rumus tersebut sambil terus menunggu panggilan telepon yang tidak kunjung datang. Pada saat itulah seorang wanita misterius bernama Bainsley (Melanie Thierry) memasuki kehidupan Qohen.

Tidak ada komentar :

Comment Page: