SICARIO (2015)

4 komentar
Premis Sicario berkisah tentang usaha CIA menelusuri kartel narkoba di Meksiko. Terdengar seperti plot sebuah aksi kelas-b. Tapi mengingat keberadaan Denis Villeneuve sebagai sutradara, bisa dipastikan film ini tidak akan berakhir sebagai tontonan ala-kadarnya. Villeneuve memang tengah berada di puncak kejayaan. Tiga film terakhirnya (Incendies, Prisoners, Enemy) adalah critical acclaim, dan kini ia pun telah resmi ditunjuk sebagai sutradara bagi sekuel Blade Runner. Pertanyaannya, apakah Sicario dengan premis yang sekilas sudah usang itu bakal memperpanjang catatan emas Villeneuve? Saya tegaskan dulu, jika Sicario bukanlah sajian full throttle action yang melaju kencang, car chase mendebarkan, atau rangkaian dentuman dan desing peluru. Ini adalah thriller yang lebih banyak meneror pikiran anda, lalu meninggalkan kesan tidak nyaman.

Sicario adalah film yang disturbing. Kesan itu disalurkan secara gamblang (visual penonton) maupun subtil (imajinasi penonton). Opening-nya memberi contoh pemakaian cara pertama, saat tim SWAT FBI yang dipimpin oleh Kate Macer (Emily Blunt) melakukan penyergapan terhadap markas gembong pengedar narkoba. Penyergapan itu berujung penemuan mengerikan, saat mereka mendapati puluhan mayat dalam kondisi mengenaskan tersembunyi di balik tembok rumah. Villenueve ingin membuat penonton ikut merasa mual seperti Kate dan rekan-rekannya dengan cara memperlihatkan kumpulan mayat mengerikan itu secara detail. Entah dengan menggerakkan kamera secara lambat, atau penggunaan close-up statis tepat di depan mayat-mayat itu. Berkat dukungan sinematografi dari Roger Deakins, ada keindahan yang aneh menyelinap dibalik pemandangan horror tersebut. Rasa tidak nyaman pun langsung menyergap.
Kate adalah sosok idealis. Memberantas kejahatan hingga ke akar sesuai dengan prosedur yang berlaku adalah prinsipnya. Berbekal itu serta pengalamannya di lapangan, tidak mengherankan saat penasehat Departemen Keamanan, Matt Graver (Josh Brolin) merekrut Kate untuk bergabung dalam sebuah tim elit bentukannya. Tujuan dibentuknya tim tersebut adalah meringkus kartel narkoba dari Meksiko yang ditengarai turut bertanggung jawab atas ditemukannya mayat-mayat tadi. Misi semacam itu pastilah tidak akan ditolak oleh Kate. Tapi ia tidak tahu bahwa misi yang akan dijalani tidaklah "sesederhana" melakukan penyerbuan biasa. Hal itu sama seperti Sicario yang jauh lebih kompleks dari sekedar sajian kriminal tentang pertempuran antara polisi dengan penjahat. 

Seperti suguhan kriminal pada umumnya, ada konspirasi serta para penegak hukum yang korup, namun fokus utamanya bukan itu. Bukanlah gambaran investigasi prosedural yang digali oleh naskah tulisan Taylor Sheridan, melainkan rasa ketidakberdayaan. Apa yang bisa dilakukan seekor domba di tengah sarang serigala? Meski itu domba terkuat sekalipun, tidak banyak yang bisa ia lakukan. Jika tidak terbunuh pun, ia tetap akan terluka dan hanya bisa berlari dipenuhi kebingungan serta ketakutan. Kate adalah domba tersebut. Kota Juarez, Meksiko tempat misi berlangsung beserta orang-orang di dalamnya (termasuk tim milik Matt sendiri) adalah para serigala. Kate merupakan domba terkuat. Kita melihat bagaimana ketangkasannya di lapangan dan keteguhan dalam menegakkan prinsip keadiannya. Tapi sepanjang misi ia tidak mampu berbuat apapun. Dia banyak terluka baik fisik atau mental, dan akrab dengan penderitaan. Kate bagai tersesat kehilangan arah. Ini adalah tipikal film dimana penonton tidak kuasa menahan rasa iba pada karakter utamanya. Setidaknya itu perasaan saya menyaksikan bagaimana secara perlahan tapi pasti Kate mulai dilucuti kekuatannya. Kerapuhannya meningkat, dan akhirnya berpuncak pada ending. 

Emily Blunt menawarkan sisi dualitas yang memukau. Kita diajak melihat transformasi meyakinkan dari Blunt pada karakter Kate. Di paruh awal, seperti yang pernah ia munculkan di Edge of Tomorrow, Blunt menjadi seorang penegak hukum yang penuh kepercayaan diri dan kekuatan. Tapi seiring berjaannya waktu, ia makin goyah, dan semangat membara di matanya perlahan menjadi makin padam, makin rapuh. Sebagai "lawan tanding", ada Benicio del Toro sebagai Alejandro yang begitu intimidatif dalam tiap kemunculannya, bahkan tanpa harus melakukan banyak hal. Keberadaannya saja telah mampu menghadirkan kengerian yang membuat saya terpaku.
Sicario merupakan drama tragis yang menelanjangi kejamnya dunia. Tapi justru kekejaman itulah yang menjadikan kisahnya jujur. Dunia nyata tempat kita tinggal bukanlah tempat yang adil dimana kebaikan selalu mengalahkan kejahatan. Bukanlah sebuah tempat dimana akhir bahagia telah menanti diujung penderitaan. Tidak bisa dipungkiri, ini bukanlah surga bagi pemegang idealisme keadilan macam Kate. Semua ini diperlihatkan begitu nyata oleh Denis Villeneuve lewat instansi korup, kekerasan substansial yang sesekali hadir, sampai landscape Juarez yang begitu gersang, sesak dan berbahaya. Suara desingan peluru seolah menjadi hal biasa. Bahkan saat matahari terbenam, suara-suara itu beserta kilauan lampu mobil polisi bagaikan kembang api yang dinyalakan sebagai bentuk selebrasi terhadap vandalisme dan kekerasan. Berbagai pemandangan itu ditangkap oleh kamera Roger Deakins dengan sempurna. Semuanya kelam, bahkan banyak adegan yang hanya menampakkan siluet. Tapi lagi-lagi dibalik kegelapan itu ada keindahan. It was really strange, how all of these dark feeling and imagery could be such a beautiful sight.

Meski diawali adegan pembuka yang cukup menghentak, secara keseluruhan film ini adalah slow-burning thriller. Ketegangan lebih banyak dibangun melalui isi pikiran penonton, mencengkeram perlahan, hingga tanpa sadar membuat otak kita memvisualisasikan horror mencekam. Namun yang paling mengerikan justru bukanlah adegan penuh mayat atau darah, melainkan betapa ganasnya dunia tempat kita tinggal. Banyak bermain dengan suasana daripada aksi dinamis, scoring atmosferik garapan Johann Johannsson turut menjadi penguat. Musiknya bukanlah diisi dentuman perkusi bombastis layaknya Hans Zimmer, tapi ambience bernada rendah yang bagaikan mengundang kabut berwarna hitam pekat di sekeliling kita. Sicario bagai diselimuti kabut, yang di dalamnya terdapat sesosok monster mengerikan siap menerkam kita. Tapi alih-alih langsung menyerang, monster itu justru mempermainkan kita dulu lewat raungan pelan atau langkah kaki setapak demi setapak. Dipenuhi ketidakberdayaan dan ketidaktahuan, rasa takut dalam diri kita pun makin besar. Begitulah cara Denis Villeneuve menebar ketegangan dalam Sicario. And yes, Denis Villeneuve maintain his winning streak with this movie.

4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Suka sama analoginya! Kate domba terkuat di antara serigala. Tapi emang film ini met expectation banget.
Insecure bgt nontonnya, apalagi pas masuk Juarez atau pas lewat tunnel. zzz.

Great review!

Rasyidharry mengatakan...

Tapi entah berapa banyak penonton "ketipu" ngira ini film action haha

Anonim mengatakan...

wow ruar biasa ini film, sperti biasa awesome applause buat villeneuve, sutradara yg langka, cinematografi kelas wahid.. sy taruh nomor satu film favorit sy spanjang masa hahaha...

ray mengatakan...

roger deakins layak dan pantas dpt oscar, dfilm2 sebelumnya pun sgt pantas sperti the man who wasn't there hingga di film no country for old man, tp ada apa dgn juri oscar?, walaupun akhirnya dia mndptnkannya lwat blade runner 2049