TOP 20 OASIS SONGS

6 komentar
Blog film macam apa ini??? Bukannya menulis tentang Oscar atau Sundance tapi malah membuat list musik! Maafkan saya karena tidak bisa menahan diri untuk menulis tentang band yang membawa britpop ke puncak ketenaran ini, but Oasis is my soundtrack of life. Tanpa Oasis saya masih akan menjadi laki-laki pemalu yang sentimentil dengan lagu-lagu Coldplay sepanjang waktu (tanpa bermaksud merendahkan Chris Martin dkk). Tidak berlebihan saat saya menyatakan dengan bangga bahwa Oasis merubah cara saya menjalani hidup. Kejeniusan Noel Gallagher merangkai musik penuh chorus anthemic dan lirik keren plus attitude Liam Gallagher yang merasa dirinya Tuhan beserta perselisihan tanpa akhir keduanya adalah candu yang tak bisa ditolak. In 1995-1997 they were the biggest band in the world. Oasis boleh bubar, Liam Gallagher boleh kehilangan suara "Godlike" miliknya dan mengalami midlife crisis, Noel Gallagher boleh kehilangan sentuhan rock 'n roll dalam lagunya sekarang, tapi karya Oasis selalu abadi...dan saya sangat percaya akan ada reuni suatu hari nanti (mungkin tahun ini???). Berikut ini 20 lagu Oasis favorit saya. MADFERIT!

6 komentar :

Comment Page:

TAKEN 3 (2015)

Tidak ada komentar
Berusia 62 tahun dan masih merupakan salah satu action hero paling badass sekaligus bankable saat ini. Berikan film bergenre action/thriller pada Liam Neeson dan pendapatan setidaknya seratusan juta dollar akan kamu dapat. Neeson bisa menyulap film laga medioker menjadi gunungan uang sekaligus membuat penonton memaafkan buruknya kualitas film tersebut karena pesona sang aktor yang masih begitu tinggi. Bahkan nama-nama seperti Stallone, Schwarzenegger dan Bruce Willis tidak bisa melakukan semua itu di usia senja. Saya tidak heran disaat Luc Besson menjilat ludah sendiri dengan membuat Taken 3 setelah tiga tahun lalu sang produser (juga Liam Neeson) menyatakan franchise ini tidak akan menjadi trilogi. Keuntungan lebih dari $200 juta film keduanya menjadi alasan kuat kenapa film ketiga harus ada, setidaknya bagi pihak studio. Hampir semua penonton termasuk saya tahu film ini tidak akan bagus, tapi tetap saja berbondong-bondong datang ke bioskop dengan satu alasan: Liam Neeson. 

Penggerak utama plot-nya adalah sebuah twist jadi saya tidak akan menuliskan sinopsis film ini. Satu yang pasti bahwa tidak ada yang diculik dalam film ini, well setidaknya penculikan bukanlah fokus utama filmnya. Menggelikan memang disaat film berjudul Taken bukan bertutur tentang penculikan, tapi untungnya Luc Besson selaku penulis naskah mau "repot-repot" memikirkan interpretasi lain dari kata tersebut. Pada akhirnya judul Taken 3 tidak terkesan konyol macam The Hangover III yang sama sekali tidak memunculkan hangover di dalamnya. Tapi tidak perlu menjadi ahlik prediksi handal untuk bisa menebak film ini bakal berakhir buruk, karena sudah banyak kritikus yang menjadikan judul filmnya sebagai bahan ejekan. Kalimat yang jamak dipakai kurang lebih seperti ini: "Nothing is taken except your time and money". Hampir semua review yang ada mengandung kalimat dengan makna kurang lebih seperti itu dan sukses membuat saya menurunkan ekspektasi. Hasilnya? Film ini tetap tidak menjadi sajian yang mengesankan. Tetap buruk, tidak penting, tapi saya tidak menganggapnya sebagai sampah.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

FOXCATCHER (2014)

Tidak ada komentar
Another biographical sport drama from Bennett Miller, another Oscar contender, another surprisingly great dramatic performance by famous comedian. Film ini merupakan adaptasi dari autobiografi milik Mark Schultz yang berjudul Foxcatcher: The True Story  of My Brother's Brother, John du Pont's Madness, and the Quest for Olympic Gold. Dari judul panjang tersebut tentunya kita sudah bisa banyak mengetahui akan bertutur tentang apa Foxcatcher ini. Kisahnya terjadi pada pertengahan 80-an, disaat pegulat sekaligus pemenang medali emas Olimpiade, Mark Schultz (Channing Tatum) tengah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kejuaraan dunia tahun 1987. Selama ini Mark terus berlatih bersama sang kakak, Dave Schultz (Mark Ruffalo) yang juga seorang peraih medali emas Olimpiade. Meski sama-sama berstatus juara Olimpiade, Mark selalu merasa ada di bawah bayang-bayang sang kakak. Karena itu saat datang tawaran dari philantropist sekaligus penggemar gulat bernama John du Pont (Steve Carell) untuk bergabung dengan tim "Foxcatcher" dengan bayaran tinggi serta fasilitas lengkap, Mark langsung menerimanya.

Pada awalnya Foxcatcher tidak nampak berbeda dari berbagai drama olahraga lain yang bertutur tentang impian, kesuksesan hingga kejatuhan. Tanpa perlu mengetahui kisah sesungguhnya terlebih dulu, penonton bisa menebak bahwa Mark akan meraih kesuksesan yang ia dambakan sebelum suatu pukulan telak menghancurkan semuanya. There's something wrong with John du Pont, dan penonton sudah bisa meraba itu sedari pertemuan pertama kali antara ia dengan Mark. Tapi yang menjauhkan film ini dari formula standar biopic Hollywood adalah penggarapan dari Bennett Miller. Dia mengeksplorasi perasaan sepi, depresi dan penderitaan tanpa berusaha mendramatisirnya dengan berlebihan. Sebuah langkah yang berani dari Miller adalah saat ia mengemas filmnya supaya mendukung segala atmosfer kelam itu semaksimal mungkin. Berani, karena dari situ Bennett Miller memilih untuk mengeksploitasi kesunyian (literally). Tentu masih ada sentuhan scoring Rob Simonsen dan West Dylan Thordson, tapi hanya seperlunya saja. Diluar itu, Foxcatcher cukup sering membiarkan kesunyian yang dingin merambat, mengesankan sisi horror nan disturbing terpancar dari sosok John du Pont.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

INTO THE WOODS (2014)

Tidak ada komentar
Bukankah menarik melihat fakta bawa kebanyakan dongeng karya Grimm Brothers menjadikan hutan sebagai sumber ancaman yang begitu menyeramkan? Mungkinkah semua itu sejatinya berada di tempat yang sama? Into the Woods karya Rob Marshall yang merupakan adaptasi pertunjukkan musikal Broadway ini mengusung ide tersebut. Jadi dalam film ini kita akan menemui Cinderella, gadis berkerudung merah, Jack, sampai Rapunzel dimana kisah mereka semua bercampur, saling berhubungan satu sama lain. Penghubung dari beberaa fairy tale tersebut adalah seorang pembuat roti (James Corden) dan istrinya (Emily Blunt). Mereka hidup bahagia dan saling mencintai, tapi tetap saja ketiadaan seorang anak membuat kehidupan mereka terasa tidak lengkap. Sampai suatu hari rumah mereka didatangi seorang penyihir (Mery Streep) yang mengaku telah mengutuk rumah sang pembuat roti sehingga sang istri tidak bisa hamil. Kutukan itu diberikan akibat perbuatan ayah sang pembuat roti yang dulu mencuri benih kacang ajaib milik sang penyihir.

Untuk mencabut kutukan tersebut, sang pembuat roti harus mencari empat benda yang diminta oleh penyihir, yaitu sapi seputih susu, mantel merah darah, rambut kuning layaknya jagung, dan sepatu emas. Keempat benda itu harus didapat di tengah hutan dalam waktu tiga malam. Tentu saja kita tahu bahwa keempat benda tersebut merupakan kepunyaan keempat karakter fairy tale yang saya sebut di atas. Pada waktu bersamaan pula, semua karakter yang ada memasuki hutan dengan membawa tujuan mereka masing-masing. Mereka memasuki hutan sambil menyanyikan lagu Into the Woods yang amat menyenangkan untuk didengar. Opening film ini berhasil mencuri perhatian, membuat saya tersenyum dan duduk manis berkat suasana gembira, lucu dan kesan exciting yang berhasil dibangun. Dengan lagu yang bagus serta pembawaan menarik setiap karakter khususnya gadis berkerudung merah (Lilla Crawford) yang lucu, film ini berhasil dibuka dengan baik. Tapi sayang, seiring berjalannya waktu Into the Woods gagal menjadi sebuah sajian twisted fairy tale yang merupakan potensi besar film ini.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

LAGGIES (2014)

Tidak ada komentar
I love Keira Knightley, I love Chloe Moretz, and Sam Rockwell is a good actor. Posternya lucu, judulnya unik, dan saya amat menyukai karya Lynn Shelton sebelumnya, Your Sister's Sister. Meski Laggies bukanlah mumblecore seperti beberapa film Sheldon sebelumnya, tetap saja saya yakin gaya itu tidak akan sepenuhnya hilang. Berbagai faktor itulah yang membuat saya tertarik akan film ini. Bayangkan Knightley, Rockwell dan Moretz bertukar dialog cerdas yang menggelitik. Disini Keira Knightley berperan sebagai Megan, wanita berusia 28 tahun yang mempunyai pekerjaan tidak penting di kantor sang ayah. Saat ini dia tinggal serumah dengan pacarnya semenjak SMA, Anthony (Mark Webber). Dalam kesehariannya, Megan juga masih sering hang-out bersama tiga sahabatnya sedari SMA. Sampai pada saat menghadiri pesta pernikahan sang sahabat, Megan mendapati dua hal yang amat mengejutkan dirinya. Pertama Anthony melamarnya, dan kedua ia meihat sang ayah tengah berselingkuh. 

Masih dalam keadaan terpukul, Megan yang hendak membeli minuman bertemu dengan seorang gadis SMA, Annika (Chloe Moretz) dan teman-temannya. Berawal dari permintaan Annika pada Megan untuk membelikan minuman, keduanya pun menghabiskan malam bersama, hingga akhirnya berteman dekat. Annika sendiri adalah remaja yang kesepian setelah sang ibu pergi meninggalkannya, dan sang ayah (Sam Rockwell) tidak terlalu dekat dengannya karena kesibukan sebagai pengacara. Megan yang merasa butuh waktu seminggu untuk menenangkan diri pun memilih tinggal sementara waktu bersama Annika dan sang ayah. I like this movie and honestly I wanna love it...but I can't. Formulanya biasa saja dengan plot tentang cinta segitiga dan pencarian makna hidup yang predictable. Tapi dengan arahan Lynn Sheldon, naskah (lumayan) cerdas Andrea Seigel dan akting para pemainnya, Laggies tidak berakhir seperti rom-com cheesy yang sempat populer 4-5 tahun lalu.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

NOSFERATU: A SYMPHONY OF HORROR (1922)

Tidak ada komentar
Inilah film disaat Vampir/Dracula belum banyak digambarkan sebagai sosok bangsawan berpakaian trendi atau pria tampan berkulit pucat pemikat hati wanita. Film Jerman garapan F. W. Murnau ini tidak hanya tercatat sebagai salah satu film pertama yang mengangkat kisah Dracula milik Bam Stoker tapi juga salah satu yang paling influential dalam perkembangan film horror. Naskah tulisan Henrik Galeen memang mengambil banyak aspek dari novel Bam Stoker, tapi karena tidak mendapat hak resmi (yang membuat istri sang novelis mengajukan tuntutan di pengadilan dan berujung pada pemusnahan hampir semua copy film ini) maka dibuatlah beberapa perubahan. Sebagai contoh nama "vampire" diubah jadi "nosferatu", dan "Count Dracula" menjadi "Count Orlok". Dirilis 93 tahun yang lalu, maka jangan heran saat mendapati Nosferatu sebagai sebuah film bisu dan bertutur hanya lewat gambar, musik, serta beberapa cue kalimat yang muncul di sela-sela adegan. Tapi mungkinkah dengan usia yang hampir satu abad film ini masih relevan untuk zaman sekarang?

Thomas Hutter (Gustav von Wangenheim) adalah pegawai real estate yang bekerja untuk Knock (Alexander Granach). Suatu hari Hutter ditugaskan untuk mendatangi seorang klien bernama Count Orlok (Max Schreck) yang tinggal di Transylvania. Dengan penuh semangat karena mendapatkan klien kaya raya, Hutter pun melakukan perjalanan jauh, meninggalkan sang istri Ellen (Greta Schroder) dalam kekhawatiran. Di tengah perjalanan sesungguhnya Hutter sudah diperingatkan untuk tidak menuju kastil Count Orlok karena disana banyak terdapat hal-hal misterius, tapi karena ketidak percayaannya akan hal gaib, Hutter terus melanjutkan perjalanan. Sesampainya disana, ia disambut oleh Count Orlok yang memang tampak misterius. Tapi perasaan takut baru mulai menyeruak dalam diri Hutter saat Count Orlok mulai menunjukkan ketertarikan akan darah. Dari situlah horror sesungguhnya dimulai saat Count Orlok mulai menyebarkan terornya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE ADMIRAL: ROARING CURRENTS (2014)

Tidak ada komentar
Mari melakukan sedikit hitung-hitungan. Estimasi penduduk Korea Selatan pada tahun 2014 berjumlah sekitar 51 juta jiwa, bukan angka yang besar jika dibandingkan 252 juta penduduk Indonesia pada tahun yang sama. Menilik angka tersebut, prestasi yang ditorehkan The Admiral: Roaring Currents jelas luar biasa saat berhasil mengumpulkan lebih dari 17,6 juta penonton (total penghasilan diatas $131 juta). Angka tersebut menjadikan film ini sebagai film terlaris sepanjang masa di Korea Selatan, mengalahkan The Host bahkan Avatar-nya James Cameron. Jika mau dibandingkan tentu saja film terlaris negeri kita yaitu Laskar Pelangi yang "hanya" mengumpulkan sekitar 4,6 juta penonton tidak ada apa-apanya. Cerita yang berasal dari kisah nyata tentang perjuangan heroik Laksamana Korea Selatan pada masa peperangan melawan Jepang, serta nama besar macam Choi Min-sik dan Ryu Seung-ryong memang menjadi dua faktor terbesar dari kesuksesan film ini. Tentu mayoritas penonton berharap mendapat sajian historical yang heroik sekaligus epic.

Pada tahun 1597, Laksamana Yi Sun-yin (Choi Min-sik) dibebaskan dari penjara menyusul semakin gentingnya situasi Korea disaat pasukan Jepang semakin dekat untuk mengepung ibukota. Yi Sun-yin sendiri sempat dipenjara dan mendapat penyiksaan karena dianggap melawan perintah raja. Tapi kondisi saat itu memang menyudutkan pihak Korea. Setelah berbagai kekalahan, pasukan dan persenjataan yang tersisa kini tinggal sedikit. Bahkan angkatan laut yang dipimpin oleh Yi Sun-yin hanya memiliki 12 kapal. Tentu bagaikan misi bunuh diri saat mereka harus berhadapan dengan 330 kapal armada angkatan laut Jepang. Tapi Yi Sun-yin tidak gentar. Bahkan ia tidak menuruti perintah raja yang menyuruh pasukannya untuk mundur. Walau banyak prajurti yang kabur bahkan berusaha membunuh Yi Sun-yin, sang laksamana tetap yakin bahwa ia bisa mengubah rasa takut prajuritnya menjadi keberanian yang akan berujung kemenangan.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE DROP (2014)

2 komentar
The Drop adalah film yang naskahnya ditulis oleh Dennis Lehane dan merupakan adaptasi dari novelnya yang berjudul Animal Rescue. Karya Lehane sendiri khususnya yang telah diadaptasi sebagai film kental dengan unsur kriminal berbalut drama character-driven kuat. Judul-judul seperti Mystic River, Gone Baby Gone sampai Shutter Island menjadi bukti kehebatan Lehane dalam menyajikan berbagai unsur tersebut. Disutradarai oleh Michael R. Roskam (Bullhead, nominator Best Foreign Language Film pada Oscar 2012) film ini diisi oleh beberapa aktor hebat seperti Tom Hardy, Noomi Rapace, hingga James Gandolfini dalam penampilan terakhirnya. Setting-nya adalah Brooklyn, sebuah kota dimana uang "panas" terus mengalir setiap malam. Untuk itu berbagai bar digunakan sebagai tempat penampungan uang, tidak terkecuali "Cousin Marv", sebuah bar yang dulunya jadi kepunyaan Marv (James Gandolfini) sebelum ia jual pada mafia Chechnya. Disitu juga tempat Bob Saginowski (Tom Hardy) yang merupakan sepupu Marv bekerja sebagai bartender.

Film ini berfokus pada dua cerita. Pertama adalah bagaimana Bob dan Marv menghadapi kekacauan yang terjadi setelah bar mereka dirampok oleh dua orang bertopeng. Itu bukan perampokan biasa, karena uang yang diambil adalah milik mafia Chehcnya pemilik bar tersebut. Fokus kedua adalah seputar hubungan yang terjalin antara Bob dan Nadia (Noomi Rapace). Keduanya pertama bertemu saat Bob secara tidak sengaja menemukan seekor anjing terlantar di tempat sampah Nadia. Dari situlah keduanya semakin dekat disaat Nadia membantu Bob bagaimana cara merawat anjing. Konflik terjadi setelah kemunculan Eric Deeds (Matthias Schoenaerts) yang mengaku sebagai pemilik anjing tersebut dan mengancam bakal melaporkan Bob ke polisi jika tidak mengembalikannya. Seiring dengan berjalannya durasi kedua aspek itu saling bertemu dengan karakter Bob serta beberapa twist sebagai jembatan. The Drop sendiri bukanlah sajian kriminal mobster dengan tensi tinggi yang punya banyak baku tembak. Film ini segalanya mulai dari character-driven, story-driven, tapi jelas bukan action-driven.

2 komentar :

Comment Page:

BIRDMAN (2014)

13 komentar
Karir Michael Keaton mencapai puncak setelah menjadi Batman dalam dua film garapan Tim Burton (Batman & Batman Returns). Tapi begitu sang sutradara menolak menggarap film ketiga, Keaton pun tidak melanjutkan perannya sebagai Bruce Wayne. Pasca-Batman, karir Keaton tidak bisa dibilang terpuruk, tapi jelas tidak pernah meyaingi masa jayanya tersebut. Bagi kebanyakan orang pun, Keaton akan selalu lekat sebagai Batman meski peran tersebut sudah ia tinggalkan selama lebih dari 20 tahun. Sedangkan dalam kehidupan pribadinya, Keaton pernah menikah dengan aktris Carlone McWilliams selama delapan tahun sebelum akhirnya bercerai. Pernikahan itu memberikan Keaton seorang anak. Dalam Birdman yang disutradarai oleh Alejandro Gonzales Inarritu, Keaton berperan sebagai Riggan Thomson, seorang aktor yang meraih masa jaya saat memerankan karakter superhero Birdman. Tapi 20 tahun setelah berhenti dari peran tersebut, karirnya meredup. Kehidupan pribadinya pun tidak terlalu mulus. Riggan bercerai dengan sang istri, dan kesulitan membangun hubungan baik dengan puteri tunggalnya, Sam (Emma Stone) yang baru keluar dari panti rehab.

Kemiripan yang ada diantara Keaton dan Riggan bukan sekedar kebetulan. Hal inilah yang menyebabkan Keaton adalah sosok sempurna untuk memerankan Riggan Thomson. Tapi kemirian keduanya tidak hanya sampai disitu. Birdman menceritakan usaha Riggan dalam menulis, menyutradarai, sekaligus menjadi aktor dalam sebuah pementasan teater yang ceritanya bagaikan cerminan hidup serta perasaan Riggan. Lewat pementasan itu juga ia berharap serta punya kesempatan untuk menghidupkan kembali karirnya. Hal yang sama juga terjadi pada Keaton. Birdman adalah cerminan hidupnya, dan lewat film ini sang aktor punya kesempatan kembali berada di puncak. Nominasi Oscar untuk Best Actor (besar kemungkinan bakal ia menangkan) jadi salah satu bukti ia ada di "jalan yang benar". Tapi ceritanya bukan sekedar sebuah meta tanpa makna. Birdman adalah kisah mendalam tentang sosok individu yang terjebak dalam ketakutan terbesarnya. Ketakutan bahwa ia bukan lagi sosok yang dicintai dan tidak lagi dianggap penting eksistensinya. 

13 komentar :

Comment Page:

THE GUEST (2014)

3 komentar
Duet sutradara Adam Wingard dan penulis naskah Simon Barrett sebelumnya telah membuktikan bahwa mereka adalah nama-nama yang patut diperhitungkan dalam genre horror/thriller lewat sebuah film home invasion keren berjudul You're Next (review). Wingard dan Barrett menunjukkan bagaimana kepiawaian mereka dalam membangun ketegangan dan tensi secara begitu stabil sambil sesekali melemparkan kejutan tak terduga pada penonton. Maka disaat keduanya kembali berduet membuat sajian thriller yang tidak jauh-jauh dari tema home invasion dan lagi-lagi mendapat respon amat positif dari kritikus (suatu prestasi yang jarang didapat kompatriot mereka sesama horror/thriller maker) tidak ada alasan untuk melewatkannya. Walaupun membawa unsur home invasion di dalamnya, bukan berarti The Guest adalah pengulangan dari You're Next. Kali ini Wingard dan Berrett melucuti nuansa horror dan gore, menggantinya dengan sentuhan action serta pop style ala 80-an.

Keluarga Peterson masih dirundung duka karena meninggalnya putera sulung merek, Caleb saat tengah bertugas sebagai tentara di Afghanistan. Tapi kejutan mendatangi rumah mereka saat suatu hari tiba seorang pria bernama David (Dan Stevens) yang mengaku sebagai sahabat Caleb di kemiliteran. Pada awalnya David hanya berniat mampir sejenak, tapi tidak butuh waktu lama baginya untuk membuat keluarga Peterson menyukai pribadinya. Sebagai ibu, Laura (Sheila Kelley) adalah yang paling merasa kehilangan Caleb, dan kedatangan David nampaknya bisa mengobati duka tersebut. Sang suami, Spencer (Leland Orser) juga tampak menikmati kehadiran pria dewasa yang bisa diajaknya mengobrol santai sambi minum bir. Luke (Brendan Meyer) sang putera bungsu adalah yang paling menyukai David karena bersedia membantu "mengurus" anak-anak yang mem-bully-nya. Sedangkan Anna (Maika Monroe) nampak mulai menyukai David. Singkat kata, David nampak sebagai pemuda sempurna yang disukai semua orang. Sampai suatu hari Anna menemukan suatu hal mencurigakan perihal identitas sang pria penuh pesona tersebut.
Bicara soal gaya, Adam Wingard memang jagonya. Sentuhan sang sutradara tidak hanya membuat sebuah film horror/thriller terasa menegangkan tapi punya style keren yang akan membuat penonton bersorak dibuatnya. Hal itu kembali ia buktikan lewat film ini. The Guest adalah usaha maksimal Adam Wingard untuk sok keren (in a positive way) dalam tiap kesempatan. Untuk itu ia memilih jalan yang penuh resiko, yakni mengemas filmnya dengan gaya 80-an. Era tersebut memang sebuah era yang memuja kata "keren", bahkan tidak jarang melakukannya secara berlebihan. Masalahnya cukup banyak aspek 80-an yang tidak lagi terasa keren tapi justru berlebihan dan menggelikan sekarang ini. Itulah kenapa langkah yang dipilih Wingard amat beresiko. Hebatnya ia berhasi melakukan itu. Mulai dari musik garapan Steve Moore, eksploitasi coolness factor Dan Stevens, sampai sebuah klimaks dengan setting panggung pesta dansa lengkap dengan lampu warna-warni dan kabut buatan, semuanya 80-an, berpotensi cheesy, tapi berakhir jadi keren lewat arahan sang sutradara. 

Poinnya adalah, Wingard tidak pernah menganggap film ini terlalu serius. Saat menempatkan sebuah adegan yang bisa kelewat lebay, dia memilih sekalian menjadikannya sebagai komedi (dalam dosis minim). Sebagai contoh adalah adegan saat Anna secara tidak sengaja bertatapan dengan David yang baru selesai mandi dalam kondisi topless, memamerkan ototnya. That's cheesy! Tapi karena dari awal Adam Wingard sudah berhasil meyakinkan saya bahwa film ini bukanlah tontonan yang mengedepankan aspek serius, jadilah The Guest sebagai suguhan yang menyenangkan karena itu. Ketegangan memang tidak banyak hadir, tapi semuanya digantikan sempurna oleh kesan "keren" sehingga walaupun film ini dimulai dalam tempo yang sebenarnya lambat, tensinya tidak pernah menurun, tidak pernah membosankan. Tentu saja faktor utama pembuat film ini keren adalah Dan Stevens. Bermodal wajah tampan, badan berotot, minim kata-kata tapi sekalinya berbicara ia intonasikan dengan nada berat, jago berkelahi dan senyuman yang jauh lebih mematikan dari senapan mesin menjadikan David sebagai sosok badass super keren yang aksinya selalu menghibur.
Dan Stevens berhasil melakukan apa yang mungkin sebelum ini hanya bisa dilakukan oleh Ryan Gosling. Kesan retro dan karakterisasi David memang membuat saya teringat pada Drive. Bedanya, The Guest lebih "berisik" dan David lebih sering tersenyum daripda sosok Driver. Toh hasil akhirnya tetap sama, yaitu film keren dengan karakter utama yang keren pula. Tapi sayang, nuansa keren itu tidak sepenuhnya bisa menyembunyikan fakta bahwa cerita film ini biasa saja. Tidak buruk, hanya terlalu "straight". Setelah pembangunan misteri yang menarik tentang identitas David, saya dibuat kecewa saat pada akhirnya penungkapan yang dilakukan oleh naskah Simon Barrett hanya "begitu saja". Tidak ada sesuatu yang mengesankan seperti twist gila atau showdown memukau di klimaks. Faktor kedua memang bukan kesalahan Barrett. Eksekusi klimaks Wingard terasa biasa saja, tapi hal itu juga cukup dipengaruhi oleh konklusi yang sambil lalu dari naskahnya. Saya jelas tahu The Guest bukan film pintar, tapi pengungkapan fakta yang terjadi hanya beberapa menit lewat sebuah percakapan di dalam mobil tanpa ada sentuhan spesial menjadikan ceritanya mengecewakan. 

Saya benar-benar mengharapkan sebuah konklusi yang lebih "wah" sekaligus klimaks yang lebih menegangkan disini, dan ketiadaan dua hal itu membuatnya cukup mengecewakan. Masih mengandung kekerasan, tapi jelas lebih lembut dari mayoritas film Adam Wingard, apalagi jika dibandingkan kegilaan penuh darah milik You're Next. Mengganti gore dengan kesan stylish tingkat maksimal dan melucuti horror untuk diganti dengan action masih berhail membuat filmnya menyenangkan. Meski saya tetap lebih menyukai saat Wingard dan Berrett menggila di horror, pilihan yang mereka lakukan di The Guest jelas sudah berhasil. Sebuah sajian bodoh yang bergerak cepat dengan aura keren berada pada tingkatan tertinggi. Sangat menyenangkan, tapi saya berharap lebih dari dua orang jenius sinting ini. Setidaknya jangan khawatir disaat Ryan Gosling sedang menghilang sementara waktu sebelum film terbarunya rilis 2016 nanti, karena ada Dan Stevens yang berhasil menghadirkan aura tidak jauh berbeda.

3 komentar :

Comment Page:

THE IMITATION GAME (2014)

Tidak ada komentar
Pihak sekutu pada akhirnya memenangkan Perang Dunia II yang berlangsung selama enam tahun. Berbagai cerita heroik tentang perjuangan prajurit yang bertaruh nyawa di tengah medan perang pun banyak bermunculan. Tapi tidak banyak orang tahu bahwa kunci kemenangan pihak sekutu bukan berasal dari garis depan peperangan, melainkan dari sebuah ruangan kecil yang terletak di Bletchley Park, Inggris. Disana, enam orang code breaker bekerja selama kurang lebih 18 jam setiap harinya untuk memecahkan kode rahasia berisikan rencana serangan pihak Jerman yang dikirim lewat sinyal radio umum, jadi hampir semua orang bisa mendengar itu tanpa mengetahui artinya. Kode itu dikirim lewat sebuah alat yang disebut Enigma. Alan Turing (Benedict Cumberbacth) seorang jenius matematika yang kelak juga dikenal sebagai pioneer teknologi komputer adalah orang yang memimpin porses pemecahan kode tersebut. Turing dan lima orang lainnya termasuk wanita bernama Joan Clarke (Keira Knightley) bekerja secara rahasia di bawah perlindungan militer Inggris untuk memecahkan kode paling rumit dan rahasia. 

Ironisnya bagi Turing kode rahasia paling kompleks bukanlah Enigma melainkan manusia beserta interaksi diantara mereka. Sudah sejak lama Alan Turing menjadi seorang jenius yang tidak pandai berinteraksi dan dibenci oleh banyak orang karena hal itu. Dia dianggap ketus dan tidak mempedulikan perasaan orang, suatu hal yang memang tidak pernah bisa dipecahkan oleh Turing. Rahasia, rahasia, rahasia. Kata itu memang berperan besar pada film ini. The Imitation Game adalah kisah rahasia tentang seorang pria yang hidup dalam banyak rahasia. Turing memang menyimpan banyak hal, seperti keterlibatannya dalam kelompok codebreaker tersebut yang tidak pernah dipublikasikan keberadaannya sampai puluhan tahun kemudian, hingga orientasi seksualnya sebagai seorang gay yang pada masa itu masih dianggap sebagai suatu tindakan kriminal (baru pada 2013 atau 49 tahun setelah kematiannya Turing mendapat pengampunan resmi dari Ratu Elizabeth II).

Tidak ada komentar :

Comment Page:

HIJAB (2015)

6 komentar
Hanung Bramantyo kembali menggarap film dengan tema "favoritnya" yakni religi. Tapi tidak seperti film religi lainnya dari Hanung, Hijab merupakan suatu usaha yang berbeda. Film ini adalah usaha sang sutradara untuk memaparkan fenomena yang tengah menjadi trend saat ini dalam sebuah kemasan komedi ringan. Walaupun ringan, berkat kepekaan Hanung film ini tetap berpotensi menimbulkan kontroversi khususnya bagi mereka yang berpola pikir kaku karena kejujurannya bertutur dan menyindir. Film ini punya empat karakter yang menjadi sentral cerita, dimana tiga dari mereka memakai hijab dengan alasan berbeda-beda. Bia (Carissa Putri) adalah seorang desainer yang memakai jilbab karena merasa salah kostum dalam suatu pengajian yang tidak sengaja ia datangi. Di hari pengajian berikutnya, Bia pun datang dengan jilbab dan malah menciptakan kehebohan sehingga dikenal luas sebagai "Gadis Hidayah". Sari (Zaskia Adya Mecca) dulunya seorang pedagang sebelum menikah dengan pria keturunan Arab yang kolot dan memaksanya untuk tinggal di rumah, hidup menuruti syari'at Islam. 

Sedangkan Tata (Tika Bravani) yang dulunya adalah aktifis wanita, memakai jilbab untuk menutupi kebotakan di rambutnya. Diantara keempat sahabat tersebut hanya Anin (Natasha Rizki) yang tidak memakai jilbab dan belum menikah. Layaknya ibu-ibu mudah berduit lainnya, mereka berempat pun selalu mengadakan arisan secara rutin, dimana para suami dan pacar mereka turut hadir disana. Suatu hari keempat wanita tersebut merasa terganggu dengan komentar dari suami Sari yang mengatakan bahwa arisan itu sesungguhnya arisan para suami, karena uang yang dipakai semua berasal dari mereka. Dari situlah tercetus ide diantara para istri untuk memulai usaha berjualan fashion hijab. Awalnya dimulai hanya sebagai sebuah usaha sampingan dengan skala kecil, lama kelamaan usaha itu berkembang semakin besar dengan berdirinya sebuah butik bernama "Meccanism" yang laku keras di pasaran. Tapi kesuksesan di bidang bisnis itu ternyata tidak berbanding lurus dengan kehidupan rumah tangga mereka yang justru memburuk saat kesuksesan butik semakin tinggi.

6 komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY: FREAK SHOW

2 komentar
Bagi saya Freak Show adalah sebuah musim yang paling banyak mengalami naik turun sepanjang empat musim American Horror Story (AHS). Dimulai dengan membawa sebuah premis yang amat menarik, musim keempat ini beberapa kali memenuhi ekspektasi saya sebagai sebuah sajian horror gila, tapi jauh lebih sering terasa mengecewakan. Disinilah "kemalasan" para penulis naskah serial ini yang sejatinya sudah cukup terasa dalam musim-musim sebelumnya mencapai puncak. Dengan mengatas namakan untuk memberi kesan shocking dan sinting, Freak Show benar-benar tidak memeprhatikan pengembangan karakter maupun alur. Alur dalam AHS memang sering berantakan karena ambisi memasukkan sub-plot sebanyak mungkin yang akhirnya sering kurang ter-develop atau mendapatkan konklusi memuaskan. Murder House sebagai musim pembuka memang punya banyak sub-plot, tapi semuanya kembali berujung pada fokus utama sehingga membuatnya tertata rapih. Asylum seolah jadi pertanda peningkatan ambisi serial ini. Tapi dengan penggarapan maksimal musim itu jadi yang terbaik meski banyak konklusi terburu-buru.

Kedua musim pertama itu punya banyak karakter menarik dengan kegilaan unibelievable. Musim ketiga, Coven adalah momen disaat serial ini mengabaikan pengembangan karakter, mulai banyak kehilangan fokus dan lebih ingin menampilkan kegilaan. Tapi semuanya terasa menyenangkan berkat pengemasan layaknya film horror kelas B yang bodoh tapi menyenangkan. Sayangnya Freak Show menjadi titik nadir serial ini. Tentu saja banyak twist edan dan momen shocking yang berhasil, tapi hanya itu. Freak Show tidak pernah berhasil menawarkan cerita yang ataupun karakter yang menarik. Beberapa aspek cerita maupun tokoh sempat mencuri perhatian diawal sebelum mendadak "dibuang" atau diubah. Menciptakan kesan terburu-buru serta inkonsistensi. Twisty sempat jadi villain menarik sebelum akhirnya dibunuh dengan cepat. Pada awalnya Dandy yang menggantikan sang badut pembunuh itu berhasil mencuri perhatian lewat emosi meledak-ledak dan tingkahnya yang kekanak-kanakan. Tapi saat sosoknya dirubah menjadi lebih "gentleman" Dandy jadi terasa membosankan. Hal serupa terjadi hampir di semua aspek.

2 komentar :

Comment Page:

TWO DAYS, ONE NIGHT (2014)

Tidak ada komentar
Pertentangan antara moral menyangkut kepentingan bersama dengan ego menyangkut kepentingan pribadi adalah permasalahan klasik yang masih terjadi hingga kini pada setiap orang. Saya yakin kita semua pernah terjebak dalam dilemma semacam itu, disaat kita harus memilih membantu orang lain atau mendahulukan kebutuhan pribadi dahulu. Tentu saja tema sehari-hari yang sederhana namun menghadirkan konflik batin kompleks ini adalah “makanan empuk” bagi duo sutradara asal Prancis, Luc Dardenne dan Jean-Pierre Dardene (Dardene Brothers). Mereka berdua memang telah dikenal lewat kepiawaiannya mengemas drama realis dengan tema familiar, tempo lambat dan leputan yang begitu minim. Dibintangi oleh Marion Cotillard yang berhasil meraih nominasi Best Actress Oscar kedua berkat aktingnya di film ini, Two Days, One Night bakal menceritakan perjuangan seorang wanita selama dua hari dan satu malam untuk mempertahankan pekerjaannya.

Sandra (Marion Cotillard) adalah seorang buruh pabrik yang baru saja mengambil cuti kerja karena nervous breakdown yang ia alami. Kondisi Sandra akhirnya membaik meski harus rutin meminum anti-depresan untuk menjaga kestabilan emosinya. Tapi pada saat itulah dia menerima kabar mengejutkan. Rekan-rekannya sesama buruh telah mengadakan voting untuk memilih apakah Sandra harus tetap dipertahankan atau tidak. Pemilihan itu dilakukan atas dasar pemikiran bahwa pekerjaan Sandra bisa diambil alih asalkan para karyawan bersedia menambah jam kerja mereka. Selain itu pihak manajemen merasa ragu bahwa Sandra bisa benar-benar pulih dan bekerja secara optimal. Jika 16 buruh itu sepakat memecat Sandra, maka mereka dijanjikan bonus lembur sebesar 1,000 Euro. Mendengar itu, sontak saja Sandra benar-benar dibuat tertekan. Untungnya, sang bos bersedia melakukan voting ulang setelah mendengar kabar bahwa banyak karyawan yang takut memilih mempertahankan Sandra karena intimidasi dari mandor mereka. Atas dorongan suaminya, dia pun akhirnya menghabiskan dua hari selama akhir pecan untuk mendatangi satu per satu rekannya guna membujuk mereka supaya bersedia memilih untuk mempertahankannya.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE THEORY OF EVERYTHING (2014)

1 komentar
Siapa Stephen Hawking? Mayoritas orang bakal menyebut dua jawaban. Pertama, Stephen Hawking adalah seorang ilmuwan yang menderita penyakit langka dan membuatnya lumpuh. Jawaban kedua, Stephen Hawking adalah ilmuwan jenius yang memuja sains sebagai jawaban atas segala hal dan membuatnya tidak percaya akan keberadaan Tuhan. Tentu saja keduanya adalah jawaban yang tepat. Tapi selain itu, apakah orang awam termasuk saya tahu sosoknya secara lebih personal? Banyak yang tidak. Diluar kejeniusan, kepercayaan dan penyakitnya, masih banyak orang belum mengenal sisi personal Stephen Hawking, termasuk kehidupan cintanya. Itu yang coba dilakukan James Marsh lewat The Theory of Everything yang merupakan adaptasi dari memoir berjudul Traveling to Infinity: My Life with Stephen tulisan Jane Wilde Hawking, mantan istri Stephen Hawking. Dengan image-nya yang identik dengan sains atau bahkan God Complex, jelas film ini menjanjikan sudut pandang menarik sebagai usaha memanusiakan sang fisikawan.

Kisahnya dimulai pada 1963 saat Stephen Hawking (Eddie Redmayne) masih mengejar gelar PHD di Cambridge University. Di tengah kesibukannya mempelajari matematika dan fisika untuk menyelesaikan tesis, Stephen bertemu dengan Jane Wilde (Felicity Jones) di sebuah pesta. Meski berasal dari dua “dunia” yang berbeda, (Stephen orang sains/Jane orang sastra. Stephen atheis/Jane penganut Kristen yang taat) tidak sulit bagi keduanya untuk saling jatuh cinta. Tapi malang menimpa Stephen saat ia terjatuh dan mengalami benturan keras di kepala. Dari situlah ia didiagnosa menderita motor neuron disease, sebuah penyakit yang akan membuat seluruh otot dalam tubuhnya tidak berfungsi, meski kemampuan otak tidak akan menurun. Dokter sendiri menyatakan bahwa Stephen tidak akan bertahan hidup lebih dari dua tahun. Dari fakta bahwa otaknya akan tetap berfungsi, Stephen terus melanjutkan penelitiannya guna menemukan theory of everything, sebuah teori yang ia percaya dapat menjelaskan semua aspek di alam semesta. Dia tidak menyerah karena disaat yang sama, Jane menyatakan akan tetap setia menemani Stephen dengan segala kondisi fisiknya.

1 komentar :

Comment Page:

LOVE IS STRANGE (2014)

Tidak ada komentar
Film yang disutradarai oeh Ira Sachs ini bertutur tentang dua hal. Pertama adalah komitmen, dan yang kedua adalah perspektif seseorang akan mereka yang ada di sekitarnya. Perantara untuk menyampaikan kedua hal itu adalah sepasang gay yang telah bersama selama 39 tahun sebelum akhirnya menikah, Ben (John Lithgow) dan George (Alfred Molina). Ben adalah seorang pelukis, sedangkan George mengajar musik di sebuah sekolah Katolik. Tapi setelah hari pernikahan bahagia yang dihadiri oleh keluarga-keluarga tercinta, keduanya langsung menghadapi permasalahan berat. Pernikahan tersebut membuat George dipecat dari pekerjaannya, dan berdampak pada ketidak mampuan mereka untuk membayar biaya apartemen. Mau tidak mau mereka pun harus tinggal terpisah. Ben tinggal bersama keponakannya, Elliot (Darren Burrows) istrinya, Kate (Marisa Tomei) yang merupakan seorang novelis, dan putera remaja mereka, Joey (Charlie Tahan). Sedangkan George tinggal di rumah tetangga mereka, dua orang polisi yang juga pasangan gay.

Perpisahan tersebut nyatanya begitu berat bagi masing-masing, tidak hanya karena harus tinggal terpisah dari orang yang begitu dicintai dan telah bersama selama 39 tahun, tapi juga akibat ketidak cocokkan dengan pemilik rumah yang mereka singgahi. Kate yang sebelumnya terlihat begitu mengagumi Ben dan George karena kekuatan cinta mereka nyatanya terganggu dengan kehadiran Ben yang membuatnya tidak bisa berkonsentrasi menulis. Begitu juga dengan Joey yang harus berbagi kamar dengan sang paman. Sedangkan bagi George, dia merasa tidak betah karena begitu seringnya diadakan pesta di rumah tempat ia tinggal. Dengan rangkaian kisah itulah Love is Strange menjembatani kedua aspek cerita diatas. Cerita tentang komitmen hadir dengan manis. Melihat dua orang yang saling mencintai, bahkan masih terus merindukan satu sama lain setelah 39 tahun bersama jelas terasa romantis. Tidak perlu dilebih-lebihkan. Cukup dengan sentuhan sederhana tentang kerinduan menghabiskan malam berdua di tempat tidur sudah amat manis.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

HONEYMOON (2014)

8 komentar
Tentu saja dengan judul Honeymoon, film ini memiliki karakter utama yang tengah berbulan madu. Mereka adalah Paul (Harry Treadaway) dan Bea (Rose Leslie). Keduanya berbulan madu di sebuah kabin milik keluarga Bea yang terletak di kawasan resort terpencil (yep, another cabin in the wood scenario). Seperti yang sudah bisa ditebak, bulan madu yang awalnya penuh romansa dan kebahagiaan ini perlahan mulai berubah saat pada suatu malam Paul menemukan Bea berdiri di tengah hutan dalam kondisi telanjang. Bea mengaku saat itu ia mungkin berjalan sambil tidur, tapi sosok Bea yang tadinya riang sejak saat itu mulai berubah semakin aneh. “Apa yang terjadi pada Bea?” Seharusnya pertanyaan itu terus berputar di pikiran saya sepanjang film, tapi nyatanya tidak. Kemunculan sekilas suatu cahaya terang seperti lampu sorot di tengah malam pada awal film sudah menjelaskan apa yang akan terjadi.

Sutradara debutan Leigh Janiak mengemas filmnya ini sebagai slow-burning horror. Temponya lambat. Permainan intensitas tidak bergantung pada scare jump melainkan atmosfer yang diperkuat oleh scoring. Kesan seram dan mengganggu dihadirkan lewat segala ketidak beresan yang terjadi pada sosok Bea. Akting dan chemistry kedua pemain utamanya pun kuat. Ditambah dengan penyutradaraan Leigh Janiak yang solid, seharusnya Honeymoon jadi sajian horror memikat yang tidak murahan. Seharusnya film ini adalah angin segar di tengah busuknya sajian horror mainstream tahun 2014 lalu (I’m talking about Hollywood). Tapi “hanya” karena beberapa kekurangan saja, semua itu gagal dan menjadikan film ini sebagai sajian medioker yang membosankan. Kekurangan pertama ada pada aspek misteri. Potensi misteri disini ada pada pertanyaan diatas, yaitu “apa yang terjadi pada Bea?”. Atau jika lebih luas lagi dengan melihat pasagan Will dan Annie, pertanyaannya adalah “hal aneh apa sebenarnya yang terdapat di tengah hutan?"

8 komentar :

Comment Page:

THE SEPTEMBER ISSUE (2009)

Tidak ada komentar

Dalam dunia fashion, bulan September ibaratnya Januari sebagai tahun baru. Bulan itu adalah fresh start, momen dimana style baru ditentukan saat musim mulai berganti. Sebagai sebuah kitab bagi fashion trend, berbagai majalah fashion bakal berlomba menyajikan edisi terbesar dan terbaik mereka saat bulan September, tidak terkecuali Vogue. Film garapan R.J. Cutler ini menyoroti bagaimana pembuatan September Issue milik Vogue tahun 2007 lalu. Tentu saja membicarakan salah satu majalah fashion terbesar ini tidak akan jauh-jauh dari membicarakan sosok Anna Wintour, sang editor yang juga dianggap sebagai salah satu figur paling penting dalam perkembangan dunia mode. Sebagai figur penting, tidak mengherankan jika Anna adalah sosok yang perfeksionis, keras dan jauh dari kata ramah khususnya jika sedang berurusan dengan hal yang berkaitan dengan bagaimana Vogue dikemas. Jika anda pernah menonton The Devil Wears Prada, karakter Miranda yang diperankan Meryl Streep dibuat berdasarkan sosok Anna.

Tentu saja kesan "bos mengerikan" itu bakal berlipat ganda saat Vogue tengah menyiapkan edisi September, yang pada tahun 2007 direncanakan bakal menjadi edisi terbesar yang pernah dibuat Vogue. The September Issue bakal memperlihatkan bagaimana "gilanya" kondisi Vogue saat setiap karyawan dibuat pusing mempersiapkan edisi bulan September, khususnya karena begitu sadisnya Anna dalam melakukan seleksi dalam tiap karya yang ada. Dia tidak segan untuk terang-terangan menolak bahkan mencela sebuah karya walaupun itu merupakan suatu karya yang menjadi favorit anak buahnya sekalipun. Tapi sekesal apapun mereka, adalah hal yang mustahil untuk melawan kewenangan Anna. Kebanyakan dari mereka hanya akan diam, tapi tidak begitu dengan Grace Coddington, mantan model yang kini menjabat sebagai creative director. Dia tidak segan mempertanyakan keputusan Anna. Hubungan unik keduanya pun bakal jadi salah satu sorotan utama film ini. Unik dan menarik, karena sekilas keduanya seperti saling membenci, tapi disaat bersamaan ada respek besar saat mereka sama-sama mengakui kehebatan satu sama lain.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE BOOK OF LIFE (2014)

1 komentar
Masih membawa setting Meksiko berisikan pria-pria macho yang telah ia bawa sejak serial animasi Nickelodeon El Tigre: The Adventures of Manny Rivera, kali ini animator sekaligus sutradara Jorge Gutierrez bakal membawa kita berjalan-jalan menuju dunia penuh warna dalam The Book of Life yang juga diproduseri oleh Guilermo del Toro. Ceritanya sendiri sederhana dengan masih menawarkan kisah kepahlawanan, pencarian jati diri, persahabatan dan percintaan ala Romeo dan Juliet. Judulnya sendiri diambil dari sebuah buku yang menurut kepercayaan umat Kristiani adalah sebuah buku milik Tuhan yang berisikan nama-nama mereka yang beriman dan akan masuk surga. Sedangkan dalam film ini, buku tersebut berisikan segala kisah baik yang nyata maupun fiktif. Salah satu kisah dalam buku tersebut adalah tentang sebuah kota bernama San Angel yang terletak di Meksiko. Di kota tersebut, setiap tahun terdapat hari untuk memperingati arwah mereka yang telah meninggal, bernama Day of the Dead.

Peringatan itu amat penting, karena selama masih terus diingat, mereka yang sudah meninggal akan bisa tinggal di Land of the Remembered yang penuh warna dan suka cita. Tempat itu dipimpin oleh La Muerte. Tapi jika tidak ada lagi yang mengenang mereka, maka arwah akan “jatuh” ke Land of the Forgotten yang suram dan hampa. Disana berkuasalah Xibalba. La Muerte dan Xibalba sendiri adalah sepasang suami istri yang gemar bertaruh. Saat Day of the Dead tiba, keduanya kembali melakukan taruhan saat melihat tiga anak yang saling bersahabat. Tapi dalam persahabatan itu timbul juga benih-benih cinta, saat Manolo dan Joaquin sama-sama mencintai Maria. Meski saling memperebutkan cinta temannya itu, persahabatan keduanya tetap utuh. La Muerte dan Xibalba bertaruh siapakah kelak yang akan menikahi Maria, dimana yang menang taruhan berhak menjadi penguasa Land of the Remembered

1 komentar :

Comment Page:

AMERICAN SNIPER (2014)

7 komentar
Chris Kyle adalah seorang legenda dalam sekaligus pahlawan dalam dunia kemiliteran Amerika Serikat. Mengabdi selama 10 tahun tepatnya dari 1999 hingga 2009, Chris sempat bertugas pada masa perang Irak. Disanalah namanya mulai dikenal sebagai sniper paling mematikan sepanjang sejara Amerika. Selama di medan perang dia telah menghabisi nyawa musuh sebanyak 160 orang, dan itu baru yang tercatat secara resmi. Bahkan konon jika menambahkan jumlah tidak resmi, angkanya bisa mencapai lebih dari 200 orang. Karena itulah ia mendapat julukan The Devil of Ramadi. Rekan-rekannya di militer sendiri memanggil Chris dengan sebutan Legend. Membawa kisah patriotik ditambah pesan anti peperangan dan memasang kata “American” dalam judulnya memang membuat film ini seolah berteriak “minta Oscar”. Tapi dengan track record Clint Eastwood yang tengah menurun, apakah American Sniper memang layak mendapat nominasi Best Picture?

Chris Kyle (Bradley Cooper) dibesarkan dengan ajaran dari sang ayah untuk tidak menjadi domba yang lemah maupun serigala yang gemar memangsan, tapi anjing penjaga yang bersedia dengan berani menolong mereka yang tertindas. Penanaman moral itu ditambah keinginan Chris untuk menjadi “someone” mendorongnya untuk bergabung dengan Navy SEAL. Berbekal bakat alam dan pelatihan sewaktu kecil yang didapat dari berburu bersama sang ayah, Chris pun menjadi seorang penembak jitu paling handal dalam timnya. Dia tidak hanya membuat lawan gentar, tapi juga memberikan rasa aman diantara teman-temannya. Seperti kebanyakan prajurit lainnya, masa paling ditunggu-tunggu adalah saat penugasan usai dan mereka bisa berkumpul kembali dengan keluarga di rumah. Begitu pula dengan Chris yang selalu dinanti kepulangannya oleh sang istri, Taya (Sienna Miller). Tapi pada kenyataannya tidak mudah bagi Chris untuk hidup tenang di rumah. Pikirannya selalu tertuju pada medan perang. Apalagi ia masih belum berhasil menghabisi target yang telah banyak melukai bahkan membunuh rekan-rekannya.

7 komentar :

Comment Page:

20,000 DAYS ON EARTH (2014)

2 komentar
Sebuah dokumenter bagi seorang yang ikonik dan punya ciri khas kuat alangkah baiknya juga dikemas sesuai dengan sosok orang tersebut. Karena itu saat Ian Forsyth dan Jane Pollard membuat dokumenter tentang Nick Cave sang musisi eksentrik asal Australia, adalah keputusan tepat untuk merangkumnya dengan suasana sama dengan apa yang hadir dalam musik garapan Nick Cave bersama band-nya, The Bad Seeds. 20,000 Days on Earth memperlihatkan keseharian Nick Cave saat ia mengunjungi rekan-rekannya, mengenang masa lalu, sampai melakukan proses rekaman untuk album terbaru The Bad Seeds yang berjudul Push the Sky Away (rilis tahun 2013). Disela-sela kegiatan itu Nick Cave yang bertindak juga sebagai narator bakal membacakan rangkaian kalimat yang menggambarkan caranya memandang berbagai aspek dalam kehidupan. Tentu saja narasi itu akan dikemas ala lirik-lirik lagu Nick Cave yang penuh kalimat bersayap berkesan misterius, kelam tapi juga intim disaat bersamaan.

Jadi seperti apa sebuah kemasan dokumenter yang punya aura sama dengan musik Nick Cave? Coba dengarkan beberapa lagunya bersama The Bad Seeds. Kebanyakan berkesan eksperimental, sekilas flat tapi penuh kegilaan tak terduga saat mendengar bagaimana pilihan nada yang diambil Cave saat bernyanyi, lebih mengutamakan feel daripada komposisi familiar sebuah lagu (verse-chorus-verse-dsb), misterius dan kelam tapi jika ditelaah lebih lanjut begitu dalam dan personal. Begitulah 20,000 Days on Earth dikemas. Eksperimental, karena jika sebelum menonton anda tidak tahu siapa itu Nick Cave dan genre pasti dari film ini, bisa saja anda akan mengira ini adalah sajian drama daripada dokumenter. Dalam sebuah interview dalam film ini, Nick bertutur tentang kesukaannya berpura-pura sebagai seorang yang lain (act). Karena itulah dokumenter ini terasa begitu mewakili sosok Nick dan pemikirannya dengan "rasa fiksi" yang digunakan. Karena dari situ, kita seolah melihat Nick tengah berakting dalam suatu drama. Sebagai siapa? Entahlah? Jadi mana Nick Cave yang sesungguhnya? Saya tidak tahu. Misterius. Seperti film ini dan sosoknya.

2 komentar :

Comment Page:

SHAKESPEARE IN LOVE (1998)

Tidak ada komentar
Kisah tragis Romeo and Juliet telah menjadi pakem dasar dalam membuat tragedi percintaan. Tapi dengan umurnya yang telah mencapai lebih dari 450 tahun, butuh effort dan kreatifitas lebih untuk bisa menyajikan kisah itu menjadi sebuah cerita yang tetap segar. Sudah ada usaha modernisasi seperti yang dilakukan Baz Luhrman dalam Romeo + Juliet sampai versi edan dalam Tromeo and Juliet dari studio sinting bernama Troma. Salah satu modifikasi paling dikenal tentunya karya John Madden yang berhasil membawa pulang tujuh piala Oscar termasuk kategori Best Picture. Yang dijadikan fokus dalam Shakespeare in Love adalah proses saat William Skahespeare (Joseph Fiennes) menulis cerita Romeo and Juliet. Pada awalnya Shakespeare tengah mengalami writer's block dan kesulitan menulis naskah komedi terbarunya. Di tengah keputusasaannya itulah ia tidak sengaja bertemu dengan Viola de Lesseps (Gwyneth Paltrow), puteri seorang juragan kaya yang ternyata juga seorang pengagum berat karya-karya Shakespeare. Pada saat itulah Shakespeare merasakan cinta pandangan pertama pada Viola dan terinspirasi untuk menulis naskah romansa, bukannya komedi seperti yang saat itu tengah digemari bahkan oleh ratu Elizabeth I (Judi Dench). Berdasarkan kisah dan pengalaman yang ia alami dalam menjalin percintaan dengan Viola itulah Shakespeare menulis Romeo and Juliet.

Tidak perlu diragukan bahwa ini adalah film yang menyenangkan. Beberapa poin di dalamnya mungkin sulit diterima, seperti bagaimana mungkin orang-orang tidak menyadari penyamaran Viola sebagai laki-laki selama latihan?  Tapi toh saya tidak mempermasalahkan itu karena John Madden memang sengaja membungkus film ini penuh rasa komedi. Sebagai sebuah bentuk proses kreatif saya juga tidak mempermasalahkan berbagai ketidak akuratan sejarah yang muncul. Yang paling kentara tentu saja pondasi ceritanya, karena pada dasarnya Shakespeare bukan orang pertama yang menciptakan kisah Romeo and Juliet, melainkan Arthur Broke pada 1562, beberapa tahun sebelum "kehadiran" Shakespeare. Bahkan jika mau berdebat lebih jauh, banyak juga keraguan tentang apakah benar ia merupakan penulis dari beberapa karyanya. Tapi bagi saya memperdebatkan akurasi sejarah dalam film tidak lebih dari sekedar buang waktu. Sebuah sejarah sendiri tidak selalu bisa dibuktikan 100% kebenarannya. Jadi sangat sah bagi sebuah karya seni melakukan adaptasi dan memodifikasi sebuah peristiwa atau seorang tokoh sejarah. Jadi kesimpulannya, film ini amat menghibur, dan saya menikmatinya. Tapi lain ceritanya jika melihat fakta bahwa ini adalah film yang memenangkan Best Picture, mengalahkan sajian hebat macam Saving Private Ryan dan The Thin Red Line.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

RUROUNI KENSHIN: THE LEGEND ENDS (2014)

4 komentar

Kyoto Inferno (review) merupakan sebuah "jembatan" menyenangkan sebelum klimaks yang begitu dinantikan dalam The Legend Ends. Build-up yang baik membuat saya tidak sabar untuk segera menonton film penutup trilogi Rurouni Kenshin ini. Jika anda merupakan pembaca komiknya, tentu anda sepakat bahwa salah satu momen paling dinantikan dalam Kyoto arc adalah pertarungan klimaks yang melibatkan Shishio melawan empat main hero dalam serial ini. Jadi cukup satu hal yang saya harapkan dari film ketiga ini, yakni pure epicness. Tapi sutradara Keishi Otomo nyatanya tidak langsung membuka filmnya dengan tempo cepat. Kita diajak terlebih dahulu melihat berbagai drama dengan fokus utama pada bagaimana Kenshin (Takeru Satoh) kembali berguru pada, Seijuro Hiko (Masaharu Fukuyama) yang merupakan gurunya dulu. Jujur saja bagian ini terasa kurang menarik dan menjadi awal yang gagal mengangkat tensi film ini. Terlalu banyak dialog filosofis yang tidak memberikan dampak apapun bagi pondasi drama maupun eksplorasi karakternya.

Saya sebenarnya suka pada selipan drama dalam film aksi, karena berpotensi membuatnya tidak hanya berakhir sebagai sebuah tontonan tanpa hati. Tapi sebagai chapter penutup sekaligus klimaks, dosis drama yang diberikan dalam The Legend Ends terlalu banyak, bahkan melebihi porsi adegan aksinya. Seperti yang sudah saya sebutkan dalam review Kyoto Inferno, beberapa karakter sebenarnya sudah bisa dieksplorasi dari film pertama, khususnya Aoshi. Dengan begitu saat memasuki film kedua dan ketiga karakter itu sudah punya pondasi mantap, memberikan celah lebih luas untuk mengeksplorasi hal lainnya. Kekhawatiran saya pun jadi kenyataan saat Aoshi Shinomori (which is one of the best character in Rurouni Kenshin) tetap berakhir sebagai karakter yang kurang menggigit sampai film berakhir. Hal yang sama terjadi juga pada para Juppongatana. "Keharusan" untuk mengeksplorasi Aoshi membuat kelompok villain ikonik ini sama sekali tidak menarik. Padahal mereka bukan hanya sekelompok orang berpakaian aneh tapi juga punya karakterisasi menarik. Bahkan nama-nama seperti Anji, Usui dan Kamatari memberikan pengaruh besar pada pengembangan karakter utama macam Sanosuke, Saito sampai Kaoru.

4 komentar :

Comment Page:

THE GOOD LIE (2014)

Tidak ada komentar
Ada masa dimana Reese Witherspoon berstatus sebagai aktris besar dengan satu Oscar untuk aktris terbaik sekaligus menjadi American Sweetheart yang dicintai semua orang. Tapi memasuki akhir era 2000-an karirnya meredup. Sebagai aktris, film-filmnya lebih banyak dicerca kritikus, kurang berhasil di pasaran dan punya tipe yang sama, yaitu komedi-romantis tentang cinta segitiga. Sosoknya dibalik layar pun tidak jauh beda setelah perceraian dan "amukan" yang rekamannya tersebar luas pada 2013 lalu. Kemudian pada 2014, Witherspoon seolah banting setir mengesampingkan film-film ringan dan berfokus pada film-film "Oscar-worthy". Dia menjadi produser Gone Girl, juga bermain di Wild, Inherent Vice dan The Good Lie. Film yang disebut terakhir adalah karya terbaru Philipper Falardeau (Monsieur Lazhar) dan terinspirasi kisah nyata orang-orang Sudan yang mengungsi ke Amerika.

Pada tahun 1983 terjadi perang sipil antara Sudan Utara dengan Sudan Selatan. Perang tersebut menghancurkan banyak desa dan menewaskan begitu banyak orang, memisahkan anak-anak dengan orang tua mereka. Film ini bercerita tentang sekelompok anak yang demi menyelamatkan diri harus berjalan kaki melewati padang pasir yang luas untuk menuju Ethiopia hingga Kenya. Setelah menempuh ribuan mil dan begitu banyak kematian, mereka tiba di sebuah pengungsian yang ada di Kenya. Disana ribuan pengungsi ditampung, dijanjikan bakal dibawa keluar ke Amerika. Setelah menanti selama 13 tahun, akhirnya Mamere (Arnold Oceng) dan tiga orang lainnya mendapat kesempatan memulai hidup baru yang mereka harap lebih aman dan nyaman di Amerika. Tapi nyatanya kehidupan baru yang didapat tidak semudah itu. Mereka harus menghadapi konflik baru seperti pekerjaan, gegar budaya dan berbagai urusan berbau birokrasi lainnya di Kansas dengan bantuan Carrie (Reese Witherspoon), seorang agen pencari pekerjaan dari sebuah lembaga amal.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

ASSALAMUALAIKUM BEIJING (2014)

Tidak ada komentar
Sesungguhnya saya sudah lelah dengan sajian drama-romansa berbalut sentuhan religi, apalagi yang berembel-embel "diadaptasi dari novel fenomenal". Saya lelah karena kesan menggurui yang terlalu kuat dan dramatisasi percintaan atau konflik agama yang berlebihan. Akhirnya dalam film-film tersebut, kata "agama" dan "cinta" jadi terasa begitu jauh dari jangkauan dan amat sulit untuk diamalkan. Saya mengibaratkan jika manusia adalah pria dan agama/cinta dalam film religi adalah wanita, maka sang pria berasal dari kalangan bawah sedangkan wanitanya adalah sosok yang cantik, kaya raya, baik hati, atau singkatnya high-profile. Sang pria tahu wanita itu adalah dambaan, tapi tentu saja terlalu tinggi untuk sekedar diidamkan. Menurut saya, alangkah lebih mengenanya jika agama dan cinta digambarkan sebagai sesuatu yang low-profile namun bernilai tinggi, sehingga kedua hal itu tidaklah terasa jauh bagi manusia (baca: penonton). Sehingga, pengalaman menonton film cinta berteakan religi tidak lagi terasa seperti menonton fairy tale dari Disney, alias dongeng/mimpi belaka. Jadi alangkah senangnya saat mendapati film garapan Guntur Soeharjanto ini tidak terlalu berlebihan mengemas drama dan religinya seperti yang saya khawatirkan.

Asmara (Revalina S. Temat) tiba-tiba saja membatalkan pernikahannya sehari sebelum dilangsungkan setelah mengetahui bahwa sang calon suami, Dewa (Ibnu Jamil) menghamili wanita lain. Beberapa waktu kemudian, Asmara mendapatkan pekerjaan di Beijing untuk mengisi sebuah rubrik di majalah tentang kehidupan Islam di Cina yang notabene adalah kaum minoritas. Dengan bantuan Sekar (Laudya Cynthia Bella) sang sahabat, Asmara pun mulai menata kehidupan barunya tanpa berpikir banyak tentang jodoh. Tapi takdir justru mempertemukannya dengan seorang pria lokal yang menjadi tour guide bernama Zhongwen (Morgan Oey). Berawal dari pertemuan secara tidak sengaja dalam sebuah bus, keduanya pun semakin rutin menghabiskan waktu bersama di Beijing. Tentu saja cinta perlahan tumbuh diantara mereka, meski harus terhalang oleh perbedaan agama. Rintangan semakin berat saat Asmara tiba-tiba menderita sebuah sindrom pengentalan darah yang berpotensi membuatnya stroke, buta, bahkan bisa menyebabkan kematian. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BILL CUNNINGHAM NEW YORK (2010)

Tidak ada komentar
Di tengah hingar bingar kota New York Bill Cunningham hanya menaiki sebuah sepeda tua yang butut berkeliling kota. Di tengah kemewahan New York, Bill Cunningham hanya tinggal di sebuah apartemen sempit yang lebih banyak berisikan kabinet kerja daripada perabotan. Di antara glamornya masyarakat New York, Bill Cunningham senantiasa memakai jaket biru yang biasa digunakan tukang sampah atau mantel tipis murah yang selalu ia tambal dengan perekat daripada membeli baru saat sobek. Sekilas dia hanyalah pria tua kecil yang tidak akan dianggap oleh warga New York dengan segala gaya hidup kelas atas mereka. Tapi disaat banyak ikon fashion menilai tinggi dirinya, bahkan Anna Wintour sang editor Vogue berkata "we all get dressed for Bill", maka kita tahu Bill Cunningham bukan pria tua biasa. Jadi siapa Bill yang begitu dipuja ini? Dia adalah fotografer New York Times yang berfokus pada kolom fashion. Bedanya, Bill lebih sering memotret di jalan daripada runway.

Setiap pagi Bill akan terjun ke "medan perang", tepatnya di jalanan kota New York. Disana dia akan memotret siapapun itu mulai dari anak muda sampai orang tua, warga biasa hingga selebritis dan sosialita. Seperti apa yang tergambar dari kalimat Anna Wintour diatas, bagi para pejalan kaki New York, difoto oleh Bill adalah kehormatan besar, karena artinya fashion yang ia kenakan bagus. Bill sudah melakukan ini selama puluhan tahun, sehingga wajar saja saat desainer Oscar de la Renta mengatakan bahwa Bill merupakan orang dengan rekaman sejarah fashion New York terlengkap. Bagi Bill yang amat terobsesi dengan fashion, apa yang orang kenakan adalah jati diri mereka dan karena itu nampak lebih bermakna saat tampak di jalan daripada runway. Semua itu ia rangkum dalam kolom On the street. Sedangkan pada malam harinya ia sibuk berkeliling dari satu ke acara ke acara lain untuk (lagi-lagi) mengambil foto dalam tiap even yang ia gunakan untuk kolom Evening Hours.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE MULE (2014)

Tidak ada komentar
Saat sedang menonton film ini, salah seorang teman bertanya, "nonton apaan?" yang saya jawab singkat "The Mule, film Australia". Lalu teman saya kembali bertanya, "tentang apa?' Saya tidak langsung menjawab. Setelah terdiam beberapa detik barulah saya berkata "tentang nungguin orang buat boker selama dua minggu." Sebuah jawaban yang direspon olehnya dengan tawa, bercampur sumpah serapah plus ekspresi jijik. Respon seperti itu jugalah yang terjadi pada saya saat menonton film ini. Mungkin bakal lebih "mudah" jika saya menjawab bahwa film ini bercerita tentang usaha penyelundupan narkoba dari luar negeri yang berhasil diketahui kepolisian federal, tapi itu hanya awalan saja. Karena memang mayoritas durasi film garapan Tony Mahony dan Angus Sampson ini akan diisi proses menunggu dan memaksa karakter utamanya untuk buang air besar. Ray Jenkins (Angus Sampson) baru saja dinobatkan sebagai player of the year dalam klub rugby tempatnya bermain. Dengan gelar seperti itu dalam sebuah klub rugby, mungkin yang terbayang dari Ray adalah sosok pria gahar, kuat dan berbadan kekar. Namun dia amat terbalik dari deskripsi tersebut.

Ray adalah pria yang naif dan cenderung manja, terbukti dari fakta bahwa ia tidak bisa terlepas dari sang ibu. Bahkan untuk sekedar ikut dalam perjalanan tur timnya ke Thailand pun, Ray tidak diijinkan begitu saja. Disisi lain, Ray berteman cukup akrab dengan Gavin (Leigh Whannell) yang punya kepribadian berbanding terbalik dengannya. Gavin yang selalu bersikap baik dengan Ray pun terus membujuknya supaya ikut ke Thailand. Tapi usaha itu bukan sekedar supaya Ray bisa mengikuti tur, karena tujuan utaa Gavin adalah menyelundukpan narkoba sebanyak satu kilogram. Caranya adalah dengan menelan narkoba yang telah dibungkus plastik itu, dan menyimpannya di dalam perut sampai kondisi aman. Tapi karena kegugupan dan kecerobohan Ray penyelundupan itu gagal, dan dia pun ditangkap oleh kepolisian federal. Permasalahannya, dengan narkoba yang ada di dalam perut, polisi tidak punya cukup bukti untuk menangkap Ray. Tapi mereka bisa mengawasi Ray selama satu minggu, dan jika barang bukti bisa hadir dalam jangka waktu tersebut penangkapan bisa dilakukan. Yang terjadi selanjutnya adalah proses menjijikkan dan penuh ketidak nyamanan seperti yang saya tuliskan diatas. 
Premisnya memang terdengar bodoh. Jika tidak dikembangkan dengan benar, The Mule amat berpotensi menjadi sajian komedi-kriminal jorok yang murahan. Untungnya walaupun menjijikkan, berkat naskah yang ditulis Angus Sampson dan Leigh Whannell film ini terasa jauh lebih cerdas dari kedengarannya. Ray Jenkins adalah karakter yang mendapat pengembangan menarik. Apa yang terlihat dalam film ini adalah proses berkembang Ray dari seorang pria lemah yang bergantung pada sang ibu, perlahan menjadi seorang yang lebih kuat karena beberapa faktor. Faktor pertama adalah lingkungan. Ray mulai menjadi sosok yang berani mengutarakan pikirannya karena Gavin. Gavin memperlihatkan bahwa Ray bisa lebih kuat dari seorang anak punk berpenampilan sangar. Bahkan Ray yang merasa dirinya hanyalah pecundang juga bisa menggaet wanita dalam sebuah pesta. Hal itu mendorongnya untuk lebih berani dalam mengambil keputusan. Sedangkan faktor kedua adalah pengalaman ekstrim. Pengalaman yang saya maksud tentu saja saat Ray harus menahan buang air besar selama hampir dua minggu, bahkan memakan kotorannya sendiri. Pengalaman gila tersebut mau tidak mau membuatnya jadi pria yang jauh lebih kuat. Hal itu terbukti dari senyumannya di ending. Itu bukan lagi senyuman pria naif.
Sentuhan komedi hitamnya cukup menghibur dengan beberapa momen WTF di dalamnya termasuk adegan makan kotoran yang jauh lebih menjijikkan daripada Salo. Selain itu, The Mule tidak pernah terasa stagnan apalagi membosankan meski sebagian besar durasi hanya dihabiskan di kamar hotel yang sempit untuk menunggu Ray buang air besar, karena diluar sana hampir semua pihak berusaha mendekati Ray, mulai dari kepolisian, sahabatnya, sampai para kriminal yang mengincar narkoba dalam perutnya. Tony Mahony dan Angus Sampson juga cukup berhasil dalam membangun kesan klaustrofobik disini. Saya berhasil dibuat ikut jijik saat membayangkan suasana kamar hotel yang gelap, sempit, pengap dan penuh bau busuk kotoran dimana-mana. Belum lagi disaat harus melihat perjuangan sekuat tenaga Ray yang begitu tersiksa saat harus menahan buang air besar. Mungkin tidak sampai membuat penonton tercekik karena tone film yang tidak selalu kelam, tapi untuk menghadirkan rasa tidak nyaman, The Mule cukup berhasil. Ada juga rasa penasaran yang hadir saat menunggu hal apa yang akan dilakukan Ray untuk bisa kabur dari tuduhan. 

Naskahnya sempat memasukkan beberapa kritik mulai dari tentang media hingga pihak hukum seperti polisi dan pengacara. Tapi semua itu hanya hadir sambil lalu dan tidak sampai pada tataran eksplorasi mendalam. The Mule adalah tipikal film yang diatas kertas bakal terdengar bodoh, apalagi jika hanya melalui premisnya. Tapi berkat pengembangan cerita yang menarik, komedi yang tidak murahan, serta karakter yang tidak bisa disebut dangkal, film ini pun berakhir lebih cerdas dari yang saya duga. "Lebih cerdas dari dugaan" bukan berarti film ini cerdas secara umum. Pada akhirnya yang ditawarkan memang hanya kegilaan, ketidaknyamanan dan banyak momen menjijikkan yang berjalan cepat hingga menjadi hiburan menarik, tidak lebih.

Tidak ada komentar :

Comment Page: