IN AMERICA (2002)

Tidak ada komentar
Di tangan sutradara lain, In America bisa menjadi tearjerker yang mengeksploitasi kesulitan hidup serta duka yang merundung karakternya. Tapi di bawah Jim Sheridan yang mengutamakan kesederhanaan dibalik sentuhan personal, filmnya mampu terasa sentimentil tanpa harus berusaha terlalu keras untuk jadi mengharukan. Padahal semua modal untuk melakukan itu sudah ada. Ceritanya menyoroti kehidupan satu keluarga asal Irlandia yang pindah ke Amerika menggunakan tourist visa melalui Kanada. Kehidupan baru yang harus mereka jalani tidaklah mudah. Keterbatasan uang membuat mereka harus rela tinggal di apartemen kumuh yang diisi pecandu narkoba hingga transvestit. Usaha untuk mencari uang pun tidak berjalan lancar. Sang ayah, Johnny Sullivan (Paddy Considine) adalah seorang aktor yang akrab dengan kegagalan kala audisi. Sedangkan status sebagai imigran gelap membuat sang ibu, Sarah Sullivan (Samantha Morton) tidak bisa bekerja sebagai guru dan memilih menjadi pelayan di sebuah cafe. 

Tapi lingkungan yang kumuh, adaptasi berat akan cuaca di New York, atau krisis keuangan bukan masalah terberat keluarga ini. Adalah duka dan trauma pasca kematian putera mereka, Frankie akibat tumor otak saat masih berusia lima tahun yang menjadi faktor paling berat. Begitu jelas bahwa mereka belum bisa bangkit dari kesedihan. Bahkan alasan utama kegagalan Johnny di tiap audisi adalah ketiadaan emosi. Dia mampu bicara dalam berbagai macam aksen, tapi tidak saat diminta memunculkan emosi apapun. Datar. Johnny bagaikan sudah mati rasa. Kita sebagai penonton dibuat memahami itu. Apalagi ada perasaan bersalah turut hadir daam hatinya. Saat tengah bermain dengan kedua puterinya, Christy (Sarah Bolger) dan Ariel (Emma Bolger) pun tanpa disadari ia mencari Frankie. Sarah pun sama. Saat bercinta dengan Johnny, yang ia lihat di mata sang suami adalah mata mendiang puteranya itu.
Saya pun menyadari alasan mereka pindah bukan untuk mengejar "American dream" seperti yang banyak diimpikan para pendatang. Mereka ingin lari dari masa lalu, memulai semuanya kembali di tempat baru. Karena itu bukan menjadi masalah besar saat apartemen kumuh harus menjadi hunian. Tapi pada awalnya, In America lebih banyak menyoroti usaha keluarga Sullivan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Disinilah bagian terbaik film ini menurut saya. Semuanya berat, tapi jauh dari kesan depresif. Sebaliknya, Jim Sheridan justru mengemasnya cukup menggelitik. Mengajak penonton melihat berbagai kesuitan yang dialami protagonisnya, tapi dengan semangat optimisme tinggi mengajak kita mentertawakan berbagai kondisi tersebut. Contohnya saat Johnny dengan susah payah membawa pendingin ruangan berukuran besar tanpa menyadari stekernya tidak sesuai. Dia marah, berteriak bahkan menendang perabotan. Tapi kita tidak tersentak, begitu pula kedua puterinya. Justru rasa geli yang muncul. 

Kemudian filmnya bergerak menuju konflik utama yang lebih dramatis, lebih sentimentil. Konflik internal akibat kematian Frankie membuat perselisihan antara Johnny dan Sarah semakin besar. In America makin terasa formulaic saat karakter Mateo (Djimon Hounsou) masuk dalam inti cerita. Sedari awal memang filmnya telah memberi tease bahwa Mateo menyembunyikan sesuatu. Sosok awalnya digambarkan begitu mengerikan. Tinggal sendirian di kamar gelap, sering berteriak, meneteskan darahnya di atas kanvas, belum lagi iringan musik yang mistis, Mateo tak ubahnya seorang pemuja setan yang misterius. Tapi layaknya twist dalam ribuan family drama diluar sana, pada kenyataannya Mateo jauh dari semua kesan itu. Sebaliknya, ia adalah pria baik hati, penyayang dan murah senyum. Ini bukan spoiler. Kecuali anda merupakan penonton yang amat tidak peka, maka jati diri sesungguhnya dari Mateo sudah bisa diraba sejak jauh sebelumnya.
Mateo juga memendam kesedihan mendalam yang erat kaitannya dengan kematian. Maka dari itu saat sosoknya hadir dalam inti cerita, In America semakin kental bergerak dari observasi kehidupan imigran menjadi drama melankolis saat pihak-pihak yang "terluka" saling membantu. Semua karakternya tersesat, dan pertemuan satu sama lain akhirnya menuntun pada kebahagiaan, menghilangkan kabut pekat bernama "duka" yang telah lama menghantui. Tentu saja bakal ada ending mengharukan sebagai usaha film ini untuk menggerakkan emosi penonton. 

Klise, tapi berkat pengemasan Jim Sheridan, In America tidak menjadi overly dramatic tearjerker yang memuakkan. Ada usaha nyata membuat penonton tersentuh, tapi tidak berlebihan karena semua itu memang bagian dari cerita. Jim Sheridan membiarkan bebagai momen paling emosionalnya terjadi secara off-screen. Kita dibawa untuk melihat dampak yang terjadi, mengamati bagaimana karakter-karakternya menjalani hidup setelahnya. In America memang kehilangan daya tariknya saat mulai mengesampingkan observasi menggelitik mengenai adaptasi para imigran, tapi sebagai drama penuh kesedihan yang melankolis, filmnya hadir secara elegan dan terasa personal. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

BAJRANGI BHAIJAAN (2015)

1 komentar
Masa dimana perfilman Bollywood identik dengan adegan musikal yang meriah sekaligus random memang masih jauh dari kata usai. Tapi kini ada satu "keahlian" terbaru mereka yang terbukti banyak menghadirkan box office hit dalam beberapa tahun terakhir. Sajian drama-komedi penuh kisah inspiratif cenderung tearjerker yang tidak pernah peduli meski dihadirkan secara berlebihan. Tapi masyarakat umum memang suka dengan tontonan semacam itu. Buktinya jika ada sebuah link atau video yang beredar di sosial media dengan kandungan judul "kisah inspiratif mengharukan", hitungan pengunjungnya bisa mencapai jutaan. Entah pada akhirnya mereka sungguh terinspirasi untuk melakukan tindakan nyata atau hanya menikmati tetesan air mata itu masalah belakangan. Karena itulah film-film seperti 3 Idiots dan PK bisa menuai kesuksesan besar. 

Bajrangi Bhaijaan adalah satu lagi film serupa yang meraih sukses. Hingga saat ini, film besutan sutradara Kabir Khan ini menjadi film berpenghasilan terbanyak kedua sepanjang masa di India ($95 juta), hanya kalah dari PK ($110 juta). Cara Bajrangi Bhaijaan (Brother Bajrangi jika diartikan dalam Bahasa Inggris) untuk menyajikan kisah inspiratif adalah dengan memberikan sekat pemisah yang harus ditembus oleh karakter-karakternya untuk bisa mencapai tujuan. Mereka yang harus mendobrak batasan-batasan itu adalah Pawan a.k.a Bajrangi (Saman Khan) dan Shahida (Harshaali Malhotra). Kita lebih dulu berkenalan dengan Shahida, seorang gadis berusia tujuh tahun asal Pakistan yang masih belum bisa bicara. Shahida adalah tipikal gadis kecil manis yang sanggup meraih cinta penonton hanya dengan senyumnya. Karena itu saat ia terpisah dari sang ibu dan tertinggal di India, saya pun mengharapkan hal serupa dengan keluarganya: "semoga ia bertemu dengan orang baik".
Harapan itu terkabul, saat Shahida bertemu dengan pria India bernama Pawan. Dia adalah pria baik yang bahkan tidak berlebihan jika disebut "terlalu sempurna". Berwajah tampan, berbadan kekar, seorang Brahmana (kasta tertinggi dalam Hindu), dan yang paling penting, ia selalu berbuat jujur. Kejujurannya terlihat dari hal terkecil sekalipun, seperti saat ia ngotot mengembalikan uang kembalian berjumlah sedikit kepada Rasika (Kareena Kapoor). Gambaran kebaikan karakter yang berlebihan? Tentu saja, tapi sekali lagi hal itu memang unsur wajib dalam menyuguhkan kisah inspiratif yang diminati orang banyak. Usaha Pawan untuk mengantar Shahida pulang tentu saja langsung terbentur halangan komunikasi, karena sang gadis tak bisa bicara. Tapi bukan itu saja "tembok" yang harus dilewati. Ada dua negara yang terpisahkan perbatasan yang dijaga ketat, serta fakta bahwa Shahida beragama Islam, sedangkan Pawan adalah Hindu dengan kasta Brahmana. Bagi pemeluk Hindu taat seperti Pawan, perbedaan kasta apalagi agama adalah masalah besar yang membuat interaksi mereka dibatasi, seperti urusan makan dan tempat tinggal.

Paruh pertama Bajrangi Bhaijaan diisi oleh drama menarik tentang berbagai perbedaan di atas. Saya selalu menyukai film yang berani menghadirkan pemikiran kritis berkaitan dengan agama atau adat. Bukan berarti kisahnya harus menyalahkan semua itu, tapi mengajak penonton untuk berpikir lebih dalam tentangnya. Pawan dihadapkan pada konflik dilematis saat ketaatannya pada agama justru menghalangi dia untuk berbuat baik. Pada akhirnya kisah perbedaan agama tidak dihadirkan sampai pada tingkata kontroversial. Tidak pula sampai membuat saya ikut berada dalam situasi dilematis. Tapi saya berhasil dibuat memahami kegundahan hati Pawan. Terasa ringan apalagi dengan komedi menggelitik selaku kritik yang telah menjadi senjata ampuh dalam berbagai sajian Bollywood bertema serupa. Ringan, tapi bukan sekedar latar hampa, khususnya saat bersinggungan dengan konflik antara India dengan Pakistan. Semua konflik itu memang ada disana, dan Bajrangi Bhaijaan seolah menjadi nyanyian harapan tentang perdamaian dari para pembuatnya.
Memasuki paruh kedua tepatnya seusai intermission, barulah filmnya menjadi total fairy tale. Drama sederhana berubah menjadi perjalanan "besar" kala Pawan nekat menyeberangi perbatasan untuk mengantar Shahida. Kejujuran yang ditampilkan Pawan semakin berlebihan. Karakternya semakin "putih" seiring dengan berbagai insiden overly dramatic yang makin banyak terjadi. Bajrangi Bhaijaan tidak lagi berusaha menutup-nutupi identitasnya sebagai film pengusung berbagai pesan moral, seperti pesan perdamaian dan kejujuran. Kesan too-good-to-be-true begitu kental, membuat dunia serta karakternya bagai berasal dari negeri dongeng. Beberapa kali ada paksaan supaya penonton percaya bahwa "kejujuran adalah harga mati yang akan membawa kebaikan". Sesekali terasa menggurui, tapi berhasil ditutupi oleh keberhasilan Kabir Khan membangun film ini sebagai feel good movie yang manis, hangat sekaligus menyenangkan.

Karena kesan feel good yang berhasil dibawa itu pula, meski penuh pesan moral saya tidak pernah merasa muak. Saya bisa merasakan ketulusan Samir Khan untuk memanjatkan harapannya akan perdamaian serta dunia yang lebih baik lewat filmnya. Alhasil daripada sebagai ceramah, Bajringi Bhaijaan lebih kuat kearah selebrasi terhadap kebahagiaan persatuan. Rasa "menggurui" hanya karena naskah yang memang klise dan mengambil jalan mudah untuk menghantarkan poin-poinnya. Tentu saja ini adalah tontonan corny penuh momen uplifting, adegan musikal dengan musik catchy plus setting meriah, sampai beberapa bagian absurd kala sosok Pawan berubah menjadi badass action hero. Jujur saja semua ke-corny-an itu menjadi suntikkan hiburan dosis tinggi yang membuat Bajringi Bhaijaan jadi hiburan menyenangkan (I love all the songs in this movie!) Drama emosional pun tidak dilupakan, karena meski saya merasa dramanya berlebihan, adegan akhir di perbatasan sampai pada ending sanggup memunculkan haru. 

1 komentar :

Comment Page:

SPL II: A TIME FOR CONSEQUENCES (2015)

2 komentar
Pada era saat ini, tidak bisa dipungkiri The Raid (dan sekuelnya) mulai menjadi tolak ukur kualitas film aksi. Koreografi baku hantam memukau dan kadar kekerasan tinggi ditangkap oleh kamera secara mendetail tanpa berusaha melakukan cut cepat sebagai trik manipulasi. Film aksi old school yang melambungkan nama-nama seperti Bruce Willis, Sylvester Stallone hingga Jason Statham perlahan mulai ditinggalkan. Sejatinya merupakan keputusan tepat untuk tidak lagi asal membuang selongsong peluru dalam sajian action. Lihat bagaimana John Wick bisa mengundang decak kagum. Tapi bicara masalah "meniru" The Raid, mungkin SPL II: A Time for Consequences ini adalah "pelopor". Tampak jelas, bagaimana sutradara Cheang Pou-soi ingin menjadi Gareth Evans dalam usahanya memancing adreanline penonton. 

Bukan bermaksud membandingkan, tapi termasuk beberapa aspek di atas, semua DNA baik dari The Raid maupun Berandal bisa ditemukan disini Filmnya punya dua protagonis: seorang undercover cop dan penjaga penjara. Alurnya memiliki unsur tentang instansi korup. Scoring yang dipakai kental nuansa gabungan musik elektro dan orkestra klasik. Terdapat adegan kerusuhan dalam penjara. Klimaksnya menghadirkan perkelahian antara dua protagonis melawan (hanya) satu musuh. Jangan lupakan juga fakta bahwa film ini dibintangi oleh Tony Jaa yang "setipe" dengan Iko Uwais. Tapi bukan berarti SPL II adalah copycat. Cheang Pou-soi hanya mengambil template-nya, menyaring apa saja yang menjadi formula kesuksesan, kemudian merangkum semua dengan caranya sendiri. Akhirnya di tengah gemuruh action blockbuster dari Hollywood yang dipenuhi CGI dan ledakan, film ini begitu menonjol.

Walaupun memakai embel-embel "II" dalam judulnya, SPL II: A Time for Consequences sejatinya hanyalah sequel "in-name-only" dari SPL: Sha Po Lang yang rilis tahun 2005 dan dibintangi oleh Donnie Yen serta Sammo Hung. Jalan ceritanya sama sekali berbeda dengan karakter yang berbeda pula. Wu Jing dan Simon Yam memang kembali, tapi memerankan karakter lain. Dengan dua setting lokasi, yakni Thailand dan Hong Kong, fokus pun sempat terbagi kepada dua karakter. 
Chatchai (Tony Jaa) adalah penjaga penjara di Thailand. Dia adalah pria baik yang berada di tengah kondisi buruk. Sa (Unda Kunteera Yhordchanng) puterinya yang masih tujuh tahun menderita leukimia dan kesulitan mencari pendonor yang tepat. Bukan drama yang sangat kuat memang, apalagi dengan kuantitas momen emosional terbatas (baca: dibatasi) mengingat Tony Jaa sendiri bukanlah sosok yang piawai dalam hal itu. Tapi untuk sekedar membuat kisahnya tidak kosong dan memberi story arc bagi protagonisnya, itu sudah cukup, termasuk membuat saya bersimpati pada "pengampunan dosa" untuk seorang tokoh di paruh akhir. Kondisi serupa hadir di tempatnya bekerja saat Chatchai mendapati sang sipir, Ko Chun (Zhang Jin) melakukan berbagai aktivitas ilegal dibantu oleh karyawan-karyawan lain. Chatchai is a good man in bad situations, and sometimes, those situations forced him to did a bad things too.

Dari Hong Kong, ada seorang polisi bernama Kit (Wu Jing) yang tengah berada dalam misi penyamaran dalam sebuah kelompok kriminal yang dicurigai terlibat dalam penyelundupan organ tubuh manusia. Berawal dari usahanya meraih kepercayaan mereka, Kit pun terjerumus menjadi pecandu narkoba. Kit was a good man, before bad situations forced him to gone bad. Dari kedua karakter utama ini bisa dilihat walau SPL II punya cerita yang jauh berbeda dari pendahulunya, esensi yang diusung masihlah serupa. Sha Po Lang sendiri berasal dari tiga kata yang diambil dari astrologi Cina, yang masing-masing merepresentasikan bintang yang dapat menjadi baik maupun buruk tergantung pada situasinya. Begitulah kondisi Kit dan Chatchai disini. 
Malang bagi Kit, saat misinya telah mendekati akhir, sebuah kesalahan membuat penyamarannya terbongkar. Akibatnya, Kit dijebak, dan dijebloskan kedalam penjara di Thailand. Ya, sudah pasti itu adalah penjara tempat Chatchai bekerja, dan aktivitas ilegal yang dilakukan oleh sang sipir juga berkaitan dengan Mr. Hung (Louis Koo), bos dari organisasi kriminal penyelundup organ tempat Kit menyamar. Nantinya akan semakin banyak link antara berbagai konflik di Thailand dan Hong Kong. Cara film ini mengaitkan semua itu tidaklah halus. Ibarat dua tali terpisah, naskah tulisan Jill Leung dan Huang Ying tidak menyambungnya dengan simpul, tapi mengikatnya secara paksa dengan perekat. Tapi cara merekatkan kedua tali itu tidak buruk. Perekat ditempatkan di posisi yang tepat, lalu dipasang secara perlahan dan cukup rapih. 

Kemudian apa lagi yang bisa dikomentari dari film macam SPL II: A Time for Consequences? Tidak banyak, karena sajian utamanya sudah pasti action tingkat tinggi. Tapi itu saja sudah cukup. Seperti yang telah saya singgung, Cheang Pou-soi berusaha menjadi Gareth Evans, dan cukup 50% presentase keberhasilan dari usaha tersebut untuk bisa memberikan film aksi memikat. Mengkombinasikan kekerasan melalui suara tulang retak saat tubuh menghujam tanah atau terkena pukulan hingga sayatan pisau diiringi cipratan darah dengan keindahan koreografi bela diri adalah kepuasan terbesar menyaksikan film ini. Klimaksnya jadi kulminasi saat trio Tony Jaa-Wu Jing-Zhang Jin mengerahkan segala kemampuan mereka dalam sebuah baku hantam yang membuat saya bersorak. Jika harus dibandingkan, intensitasnya memang tidak setting epic threesome showdown Iko Uwais-Dony Alamsyah-Yayan Ruhian, but being the second best is more than enough in this case. Genre film aksi butuh lebih banyak lagi film seperti ini untuk kelangsungan hidupnya.

2 komentar :

Comment Page:

THE INTERN (2015)

3 komentar
Saat seseorang memasuki usia senja dan akhirnya penisun dari pekerjaan yang telah digeluti selama puluhan tahun, maka terjadilah post power syndrome. Ketidak siapan mental seseorang menghadapi fakta bahwa "kekuasaan" dan kesibukan yang telah terbiasa ia miliki mendadak hilang tidak jarang membawa mereka kepada perasaan hampa bahkan depresi. Inilah bagian dimana The Intern terasa realistis. Seusai pensiun dari pekerjaan yang telah ia jalani selama 40 tahun di sebuah perusahaan buku telepon, Ben Whittaker (Robert DeNiro) menghabiskan harinya dengan rutinitas penuh repetisi. Tapi semua kegiatan itu tidak pernah menambal kekosongan hidupnya, apalagi setelah sang istri meninggal dunia, Ben hidup dalam kesendirian. Sampai akhirnya ia menemukan lowongan magang untuk lansia di perusahaan fashion e-commerce milik Jules Ostin (Anne Hathaway).

Lingkungan kerja bukanlah tempat paling ramah. Pertemanan akan terjalin, tapi rasa saling iri pastinya jamak terjadi. Hampir tidak mungkin seseorang bakal mendapat cinta yang sama dari seluruh rekan kerjanya hanya karena selalu bersikap ramah dan rajin dalam bekerja. Bukan tidak mungkin hal itu justru menyulut rasa tidak suka karena dianggap sedang "cari muka". Inilah bagian dimana The Intern tidak terasa realistis. Ben mendapat tugas membantu pekerjaan Jules, tapi sang bos awalnya justru merasa terganggu dengan kehadirannya. Seringlah Ben menghabiskan hari di kantor tanpa melakukan apapun. Bagaimana caranya menyikapi itu? Dengan membantu pekerjaan teman-teman lain dan pantang menyerah untuk mendapat atensi dari Jules. Ben selalu menebar senyum dan bersedia membantu siapapun, dan itu membuatnya disukai seluruh karyawan.
The Intern dimulai sebagai drama realis tentang kehidupan seorang lansia, lalu perlahan berubah menjadi heartwarming dramedy yang lebih mementingkan rasa manis dan hangat daripada kedekatan dengan keseharian. Tapi apakah itu menjadi masalah? Seringkali naskah yang ditulis oleh Nancy Meyers (juga sebagai sutradara) terlalu menyederahanakan suatu konflik. Dunia yang dibangun oleh film ini patut didefinisikan sebagai beautiful world, dimana masalah begitu minim, dan sekalinya hadir dapat diselesaikan hanya dengan suatu perbuatan baik. Kehidupan nyata tidak sesederhana dan semenyenangkan itu. Memang ada cerita mengenai post-power syndrome, kematian dan perceraian, tapi masih dalam taraf ringan. Namun itu bukan masalah, toh pada dasarnya tujuan utama film ini adalah menghadirkan kehangatan hasil dari bersenang-senang. Pemilihan komedi sebagai cara bertutur turut mendukung hal itu. Bahkan saat salah satu momen terlucunya (usaha menghapus e-mail dari laptop ibu Jules) makin menjauhkan The Intern sebagai drama realis, saya tidak keberatan. 
Saya pun tidak keberatan kala sosok Ben Whitaker dihadirkan begitu sempurna. Dia tulus ikhlas membantu semua orang khususnya Jules. Disaat ia mendapat hal yang kurang baik pun, ia tetap tersenyum. Ben tidak pernah terjatuh dalam jurang kesedihan, karena ia selalu berusaha terus maju dan lagi-lagi selalu tak segan menolong. Terlalu sempurna, tapi pesona Robert DeNiro sulit untuk ditolak. DeNiro adalah aktor yang diberkahi ciri khas kuat pada ekspresi. Mata dan senyumannya adalah modal untuk membentuk kekuatan karakter. Ada dua jenis karakter yang mendukung cirinya itu: seorang penjahat dingin dan licik layaknya di Goodfellas, atau pria tua yang ramah nan menyenangkan. The Intern menampilkan DeNiro sebagai jenis yang kedua. Sang aktor mampu membuat saya mudah menyukai dan mendukung karakternya. Ben Whitaker adalah sosok pria yang membuat siapapun ingin dan betah untuk menghabiskan waktu bersama, meski hanya sekedar untuk duduk dan berkeluh kesah. Dia juga lucu. Contohnya saat "mereka ulang" adegan ikonik "you talkin' to me?" dari Taxi Driver-nya Martin Scorsese.

Nancy Meyers ingin mengajak penontonnya tersenyum lewat film ini, baik melalui komedi maupun pameran kebaikan dari Ben. Tujuan itu berhasil. The Intern adalah feel-good movie yang mampu membuat saya tersenyum selama hampir dua jam durasinya. Memang di satu sisi, dunia yang dibangun Nancy Meyers kadang terlalu "cerah" lewat dunia kerja yang penuh harmoni, Ben yang super baik, atau Jules Ostin yang kembali membuat Anne Hathaway tampil begitu cantik lewat penampilan fashionable layaknya The Devil Wears Prada dulu. Tapi disisi lain, konflik dasarnya dekat dengan dunia nyata. Karakter dengan post-power syndrome hingga rumah tangga yang bermasalah karena ketimpangan status dunia kerja antara istri dan suami adalah gambaran kenyataan."The Intern" is about not to "let it go", which isn't the wisest decision in life. But that's fine, as long as we're happy, and this movie made me happy and smile all the way through it. 

3 komentar :

Comment Page:

BLACK MASS (2015)

Tidak ada komentar
Kapan terakhir kali Johnny Depp menyajikan penampilan yang mengesankan? Bagi saya itu terjadi saat ia memerankan sosok magia John Dillinger dalam Public Enemies enam tahun lalu. Mengingat status Depp sebagai salah satu bintang terbesar Hollywood saat ini, enam tahun adalah waktu yang lama. Apalagi semenjak itu sudah 10 film ia bintangi (tidak termasuk voice acting dan cameo). Dalam Black Mass, Depp akan memerankan lagi tokoh kriminal nyata, yakni James "Whitey" Bulger. Dengan peran serupa, apakah sang aktor mampu mengembalikan reputasinya yang makin menurun lewat sebuah akting mumpuni? Jawabannya "ya". Bahkan perannya sebagai Whitey Bulger merupakan salah satu akting terbaik sepanjang karir Depp. Setiap kemunculannya di layar seolah memberikan gravitasi yang menyedot saya kedalam kengerian gelap. Tatapannya tajam, bicaranya menyiratkan kekejaman, bahkan tawanya intimidatif. 

Impresi tersebut langsung terasa sejak kemunculan pertamanya di sebuah bar. Padahal saat itu Whitey hanya duduk mengomentari cara makan salah seorang anak buahnya. Whitey saat itu masihlah seorang gangster kecil, pemimpin dari gang Irlandia-Amerika bernama Winter Hill. Dari segala materi promoi film sampai adegan pembuka yang memperlihatkan interogasi terhadap Kevin Weeks (Jesse Plemons), salah satu anak buah Whitey, kita tahu bahwa ia tidak akan berakhir hanya sebagai kriminal kelas teri. Depp berhasil membuat saya percaya bahwa Whitey memang punya kapasitas untuk menjadi lebih besar lagi, bahkan yang terbesar di Boston. Tapi hal itu terhalang oleh keberadaan Angiulo bersaudara yang memiliki koneksi kuat dengan keluarga mafia Italia. Disaat bersamaan, seorang anggota FBI sekaligus teman masa kecil Whitey, John Connolly (Joel Edgerton) dibebani tugas untuk mencari bukti penangkapan Angiulo bersaudara. Diawali oleh kepentingan yang serupa itulah teripta unholly alliance antara kriminal dengan anggota FBI.
Saya peringatkan, Black Mass bukanlah film kriminal yang eksplosif. Jika anda familiar dengan karya-karya sutradara Scott Cooper sebelumnya (Crazy Heart & Out of the Furnace), maka anda tahu akan seperti apa film ini: sebuah slow-burning movie yang lebih banyak membangun atmosfer melalui ambience kelam daripada adegan aksi. Cooper kali ini berusaha membangun rasa horror yang bersumber dari kriminalitas. Boston pada masa dimana Whitey mulai berkuasa digambarkan sebagai kota yang jauh dari kata aman. James "Whitey" Bulger bagaikan iblis yang mengontrol kota dengan segala tipu dayanya serta tidak ragu menghabisi siapapun yang dianggap menghalangi. Tidak perlulah mereka yang ketahuan berkhianat atau merugikan bisnisnya secara langsung. Sebagai contoh saat Whitey tanpa ragu membunuh anak tiri Flemmi (Rory Cochrane) Deborah (Juno Temple) hanya karena ia baru saja ditangkap polisi akibat tindakan prostitusi. 

Untuk memperkuat atmosfer itu, dikemaslah Black Mass secara raw. Tidak glamor dan tidak gemerlap. Mereka para gangster (termasuk Whitey) bukan pria-pria flamboyan yang selalu mengenakan jas dan menggunakan senapan mesin stylish untuk melawan musuh. Mereka semua nampak seperti orang kelas menengah biasa, dan saat harus menghabisi seseorang, berbagai cara yang lebih "kasar" digunakan. Darah pun banyak ditumpahkan oleh Scott Cooper disini. Black Mass dengan segala isinya bukan film yang "sulit" untuk ditonton, tapi sulit membayangkan jika harus bertahan hidup di Boston kala itu. Singkatnya, Scott Cooper telah berhasil membangun dunia "keras" dalam filmnya. Tapi bagaimana dengan kualitas narasi?

Dalam sebuah slow-burning movie, intensitas dihadirkan dalam bentuk rambatan perlahan yang secara tidak sadar sudah mencengkeram penonton dengan kuat. Begitu pula pendalaman karakter yang membuat kita makin mengenal mereka karena eksplorasi yang teliti dan bertahap. Tapi tidak seperti dunia yang dibangun, narasi Black Mass tidak sekuat itu. Alurnya berjalan lambat tanpa pernah benar-benar memberikan cengkeraman. Satu-satunya sumber intensitas hanya berasal dari Johnny Depp, yang terkadang sanggup memberikan "distraksi" sehingga kedangkalan cerita mampu tertutupi. Tapi mengesampingkan kehadiran Depp, alurnya terasa kosong. Film ini sempat terasa stagnan, mengalun lambat tapi bagai tidak bergerak kemanapun. Begitu membosankan, sampai saat Whitey mulai "mengembangkan" tindak kriminalnya, intensitas yang hilang perlahan kembali. 
Eksplorasi karakter pun tidak berjalan baik yang menyebabkan dinamika emosi juga sama-sama hampa. Padahal tiap karakter di film ini punya potensi masing-masing dalam arc-nya untuk menjadi emosional. Black Mass dipenuhi tragedi, bahkan terbentuknya sosok Whitey yang lebih kejam pun dipantik oleh banyaknya kejadian memilukan dalam hidupnya. Kehilangan orang-orang tercinta dalam waktu berdekatan membuatnya berubah dari seorang kriminal berbahaya menjadi layaknya psikopat haus darah. Dalam suatu voice-over disebutkan bahwa tragedi itu merubah total sosok Whitey. Tapi apa yang nampak di layar tidaklah jauh berubah kecuali sang kriminal lebih sering membunuh orang secara langsung. Ini bukan salah Depp, karena lagi-lagi pembawaannya tanpa cela. Kesalahan ada pada naskah yang tidak memberikan gradasi pada transformasi karakternya. 

Rasa simpati juga tidak saya rasakan. Memang beberapa kali kita meihat keseharian Whitey di rumah yang penuh dengan kasih sayang baik pada sang ibu maupun putera tunggalnya. Tapi itu hadir sekilas dan tidak lebih dari sekedar pengisi. Belum cukup kuat untuk menarik simpati apalagi memberikan kompleksitas lebih pada sang tokoh. Beberapa karakter pendukung pun tersia-siakan potensinya. Contohnya Billy, adik Whitey yang diperankan oleh Benedict Cumberbatch. Dia punya kapasitas untuk mengimbangi Depp, dan memberikan interaksi keluarga yang lebih menarik diantara kedua karakter. 

Selama sekitar dua jam Black Mass menyuguhkan gambaran serta atmosfer Boston yang kelam dengan kuat plus salah satu performa terbaik Johnny Depp yang patut dirayakan. Konsep filmnya yang ingin menghadirkan horror lewat drama daripada kekerasan (meski darah banyak tumpah) jelas menarik. Tapi itu tidak berhasil. Black Mass is a slow-burning movie that never lights up its flame

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MONSTER HUNT (2015)

2 komentar
Here's the highest-grossing film in China of all time. Dengan mengumpulkan total pendapatan $384.7 juta, Monster Hunt berhasil menumbangkan raksasa-raksasa blockbuster dari Hollywood macam Furious 7, Avengers: Age of Ultron hingga Jurassic World. Film garapan sutradara Raman Hui ini memang punya formula sempurna untuk melakukan itu. Cerita ringan penuh adegan aksi dan komedi yang kental, serta tentunya polesan CGI yang mendominasi adalah jawabannya. Tapi faktor utama yang membuat penonton China menyerbu film ini adalah karena Monster Hunt merupakan produk dalam negeri. Saat anda mendengar sebuah film negeri sendiri yang mampu menyuguhkan tontonan ala-Hollywood, pastilah rasa penasaran bakal memuncak. Tapi apakah film ini merupakan usaha yang berhasil dan memang layak mencetak angka pendapatan sebesar itu?

Sebelum anda berharap film ini punya kualitas CGI tinggi yang membuat para monsternya serealistis mungkin seperti Jurassic World misalkan, hilangkan dulu ekspektasi tersebut. Para pembuatnya tahu, keterbatasan dana merupakan halangan terbesar untuk menciptakan efek visual realis. Karena itu visualnya sengaja dibuat cartoonish sebuat saja seperti Alice in Wonderland-nya Tim Burton, hanya lebih kasar. Itu keputusan tepat, karena Monster Hunt akhirnya sanggup memberikan hiburan visual penuh warna yang imajinatif. Para monster tidak terlihat menyatu dengan dunia nyata, tapi itu bukan masalah. Karena goal utama dari film ini adalah menyajikan hiburan menyenangkan, tidak peduli meski kesan silly nampak jelas dari sana. Well, Monster Hunt memang sebuah junk food yang makin menyamakan rasa film ini dengan blockbuster dari Hollywood.
Film dibuka oleh narasi tentang legenda para monster yang telah diusir oleh para manusia sehingga harus tinggal di suatu tempat tersembunyi. Monster yang nekat memasuki wilayah manusia akan diburu oleh para Monster Hunter. Hingga suatu hari terjadi perang saudara untuk menggulingkan raja monster. Perang itu membuat banyak monster harus melarikan diri dari kejaran pasukan raja baru, termasuk ratu dari raja lama. Saat itu sang ratu tengah dalam kondisi mengandung, dan otomatis bayi dalam kandungannya ikut menjadi sasaran. Kemudian kita akan bertemu dengan Song Tianyin (Jing Boran), pemuda yang bekerja sebagai tukang jahit sekaligus koki di restoran milik keluarganya. Dengan keseharian seperti itu, wajarlah jika sang nenek (Elaine Jin) menganggap Tianyin sebagai pecundang. Apalagi sang ayah yang dulu membuang Tianyin dikenal sebagai pemburu monster hebat. 


Kita mendapat karakter utama seorang pecundang, dan di lain pihak ada bayi monster yang sedang membutuhkan perlindungan. Formula klasik dari zero-to-hero langsung terasa. Akan berjalan seperti apa dan kearah mana hubungan antara manusia dan monster terbaca jelas. Monster Hunt memang klise, entah caranya membangun hubungan antar-karakter dan eksplorasi individual, penyajian romansa, hingga cara yang ditempuh untuk memancing emosi penonton. Tidak ada kompleksitas dimana terdapat garis batas tebal antara hitam dan putih. Segalanya familiar. Bahkan karakter Tianyin yang digambarkan berkaki pincang dan beberapa monster dengan desain mirip naga jelas mengingatkan pada How to Train Your Dragon. Tidak mengejutkan sebenarnya, mengingat Raman Hui memang banyak berkontribusi dalam film-film DreamWorks termasuk sebagai co-director dalam Shrek the Third.

Tapi apakah klise merupakan hal buruk? Untuk kasus Monster Hunt ini jelas bukan, malah sebaliknya menjadi salah satu kekuatan. Film ini tidak berambisi besar untuk menjadi sajian epic yang cerdas. Menyadari adanya keterbatasan dana, maka secara sengaja CGI untuk para naganya dikemas komikal. Sadar dengan tampilan seperti itu akan sulit bagi penonton menganggap serius filmnya, maka dibuatlah cerita ringan dipenuhi lelucon konyol. Demi hiburan seringan dan selucu mungkin, sangat sulit menemukan satu karakter yang tidak berakhir melakukan tindakan konyol, seperti Huo Xiaolan (Bai Baihe) dan Luo Gang (Jiang Wu) yang awalnya digambarkan sebagai pemburu monster dengan tatapan mata dingin, sebelum akhirnya menjadi konyol pula. Komedinya yang absurd juga efektif memancing tawa. It's funny because it's weird
Sosok bayi monster yang imut dengan tingkah laku menggemaskan memang bintang utama film ini. Sudah bisa dibayangkan keuntungan besar dari merchandise yang didapatkan berkat sosoknya. Tapi diantara karakter manusia, Bai Baihe adalah bintangnya. Karakter Xiaolan melewati tiga fase. Dari pemburu monster yang keras, perlahan menjadi konyol berkat berbagai comic relief, hingga memunculkan sisi manis saat mulai terlibat romansa dengan Tianyin. Baihe sempurna dalam tiga fase tersebut, khususnya saat harus melakoni adegan komedi. Ekspresi dan gesturnya tepat sasaran, membuat Xiaolan tidak hanya lucu, tapi juga likeable. Bersama Jing Boran, ia menjalin love/hate relationship yang menarik. Terasa hidup karena kepribadian mereka bertentangan. Semakin unik karena keduanya bagai bertukar "peran gender". Tianyin lebih berperasaan dengan hobi menjahit dan memasak, sedangkan Xiaolan keras, dingin dan jago bela diri. Keabsurdan komedi Monster Hunt makin tampak saat Tianyin harus mengandung si bayi monster dalam perutnya.

Tidak ada kedalaman emosi pula eksplorasi karakter mendalam. Beberapa karakternya berubah sikap tanpa ada gradasi yang jelas dan perwatakan kuat. Tapi disaat saya tidak pernah ikut merasakan emosi mereka atau terikat oleh ceritanya, Monster Hunt tetap berhasil membuat saya menyukai semua itu. Hanya sekedar menawarkan kesenangan, tapi tidak ada yang salah dengan sebuah kesenangan yang kosong bukan? Jadi kembali pada pertanyaan diawal, "apakah film ini merupakan usaha yang berhasil dan memang layak mencetak angka pendapatan sebesar itu?" Jawabannya "ya". 


2 komentar :

Comment Page:

RED ARMY (2014)

1 komentar
Olahraga dengan semangat fair play yang diusung tidak jarang menjadi media propaganda kuat serta sasaran empuk politisasi. Contoh paling dekat silahkan tengok nasib sepak bola Indonesia beberapa tahun terakhir. Tapi apa yang dipaparkan oleh Gabe Polsky dalam dokumenternya ini ada pada tingkatan berbeda dari sekedar urusan "cari muka". Uni Soviet medio 1970 hingga akhir 1980 dikenal lewat kejayaan tim hockey-nya yang dianggap sebagai tim terbaik sepanjang masa. Tapi seperti yang nampak pada opening montage film ini, hockey bagi Soviet kala itu bukan sekedar permainan/olahraga di atas lapangan es. Lebih dari itu, hockey adalah jalur propaganda pemerintah Soviet di masa perang dingin untuk menunjukkan bahwa sistem milik mereka adalah yang terbaik. Bagi mereka, ini lebih dari pertandingan dua tim. Ini adalah peperangan antara komunisme melawan kapitalisme (baca: Amerika Serikat). 

Disajikan lewat sudut pandang Slava Fetisov, kapten sekaligus salah satu legenda hockey Soviet (bahkan dunia), Red Army langsung menampar penonton yang masih berpikir bahwa "sport's just a game". Sedari kecil anak-anak sudah bermimpi menjadi atlet hockey profesional yang kelak akan membela tim nasional. Klub kebanggaan masyarakat Soviet adalah CSKA Moscow yang dikenal dengan julukan "Red Army". Tiap tahunnya anak-anak rela berada di antrian panjang untuk menjalani tes masuk. Dapat diterima di Red Army (lalu tim nasional) bukan sekedar mendatangkan kesenangan biasa, tapi seperti yang dituturkan Fetisov, memunculkan kebanggaan serta patriotisme dalam hati mereka. Mereka akan melakukan apapun termasuk latihan berat untuk bisa diterima, sama seperti pemerintah Soviet yang tidak segan melakukan apapun demi membawa tim hockey mereka merajai dunia.
Sebagai tolak ukur kehebatan sistem Soviet, tidak heran hockey dianggap sebagai segalanya. Bahkan lirik sebuah lagu yang dinyanyikan oleh paduan suara sebelum turnamen menyatakan "Real men play hockey, cowards don't play hockey", seolah mengarahkan persepsi bahwa machoisme pria Soviet diukur dengan partisipasi mereka dalam olahraga itu. Pada kenyataannya latihan intens memang sudah menanti para atlet. Demi mendapatkan hasil maksimal, Stalin turut menginstruksikan pihak militer turut mengawasi jalannya pelatihan. Sedangkan para pemain yang bergabung dengan Red Army sendiri secara otomatis telah terdaftar sebagai anggota militer Soviet. Bahkan disaat tim tengah bertanding di luar negeri, akan selalu ada anggota KGB yang melakukan pengawasan ketat selama 24 jam termasuk menahan pasport para pemain begitu selesai berurusan dengan pihak imigrasi (pada masa itu rakyat Soviet dilarang meninggalkan negaranya). 

Gambaran yang sejatinya sudah cukup ekstrim di atas hanyalah puncak gunung es dari segala fakta mengejutkan tentang obsesi Soviet dalam bidang hockey. Ibarat panggung pertunjukkan, Red Army tidak hanya dibungkus oleh satu tirai. Namun ada banyak tirai berikutnya yang satu per satu dibuka untuk menyibak kejutan demi kejutan yang tersimpan. Saya tidak sedang membicarakan kejutan dalam bentuk plot layaknya film-film penuh twist, namun kejutandari rasa tidak percaya akan suatu obsesi yang berujung pada proteksi berlebih dari Uni Soviet terhadap para atletnya. Hal itu membuat penyampaian kisahnya berjalan dinamis. Selalu ada hal baru yang diungkap dengan kemasan pace cepat namun tidak pernah terburu-buru. 

Aspek editing memikat yang mengkombinasikan footage wawancara terhadap para legenda hockey Soviet dan jurnalis, footage pertandingan, serta beberapa potongan animasi juga turut berperan besar menciptakan dinamika yang kuat. Bukan hanya pengisi, tapi layaknya dokumenter modern yang tidak hanya bermodalkan penuturan interviewee, footage tersebut berperan sebagai alat bantu bertutur sekaligus hiburan visual. Melihat tim Soviet bermain dengan indah (in a way that reminds me of Barcelona's tiki-taka in football) akan membuat siapapun berdecak kagum, bahkan untuk orang yang "buta" akan hockey seperti saya.
Red Army bicara tentang perang dingin, propaganda komunisme, tentang persahabatan, juga pastinya tentang kebebasan dan kemanusiaan. Tidak bisa dipungkiri semua itu adalah pokok bahasan serius, tapi Gabe Polsky nyatanya tidak ragu untuk mengemas dokumenter ini dengan lebih playful. Disaat cerita mulai dihantarkan pada fase awal, daripada suasana kelam, kita justru disuguhi upbeat music yang menstimulus hadirnya suasana jenaka sebagai pengiring narasi. Berikutnya, Polsky tetap setia menghadirkan polesan-polesan kecil menggelitik seperti lambang Soviet yang bergerak lincah diantara lirik lagu seolah tengah mengiringi lagu anak-anak, hingga saat beberapa kali kameranya diam menyoroti ekspresi Slava Fetisov yang seolah menggoda audience akan segera hadirnya suatu momen tak terduga. Polsky membuktikan bahwa materi serius cenderung kontroversial tidak harus selalu disajikan secara gloomy. Dia Berbagai sistem Soviet terlihat aneh (bahkan konyol), jadi kenapa tidak disajikan secara aneh pula lewat sentuhan oddball (black) comedy? Mungkin begitu pikirnya. 

Film ini penuh kritik khususnya kepada sistem Soviet serta pendekatan otoriter yang dilakukan Viktor Tikhonov kala melatih tim Soviet. Tapi berkaitan dengan sistem komunisme dan pelatihan keras cenderung tidak manusiawi itu, Polsky masih sempat menggiring penonton pada pemikiran dilematis. Apakah semua itu sepenuhnya patut disalahkan? Karena pada akhirnya tidak bisa dipungkiri para pemain Soviet memang berdiri diantara jajaran atlet hockey terbaik sepanjang masa karena gemblengan yang didapat. Bahkan saat bermain bersama di NHL (National Hockey League) mereka sanggup meraih gelar juara. Kita pun turut melihat keruntuhan Uni Soviet, dan kembalinya Fetisov dan kawan-kawan ke Russia yang baru saja merdeka. Lalu apa yang mereka lihat? Perubahan sistem. Bahkan boleh dibilang degradasi mental saat banyak kriminalitas terjadi dan paham kapitalis yang mulai merangsek masuk dalam tiap sendi sosial masyarakat. Jadi apakah segalanya menuju kearah lebih baik atau lebih buruk? Tidak ada jawaban pasti. Red Army bersikap layaknya ideologi itu sendiri, yakni sebuah konsep yang teramat subjektif untuk bisa ditentukan benar dan salahnya. Gabe Polsky paham benar akan itu dan mengambil keputusan tepat.

1 komentar :

Comment Page:

FANTASTIC FOUR (2015)

6 komentar
Selain untuk memenuhi syarat supaya hak tidak kembali ke tangan Marvel, versi teranyar Fantastic Four ini direncanakan bakal mengawali franchise baru yang kelak (harapannya) bakal di-crossover dengan X-Men. Tapi tidak usah membahas dulu seperti apa hasil akhirnya. Karena mungkin hingga beberapa dekade ke depan film ini akan selalu diingat lewat kisah perseteruan dibalik layar antara sutradara Josh Trank dengan 20th Century Fox. Saya tidak akan membahas detail perseteruan tersebut. Cukup googling dan semua hal baik yang sifatnya fakta ataupun rumor ada di sana. Tapi bisa saya pastikan konflik dibalik layar itu jauh lebih menarik daripada keseluruhan filmnya sendiri. Melihat apa yang dihasilkan Trank lewat Chronicle, bisa ditebak kisah kuartet superhero ini pun bakal mengambil pendekatan yang lebih realistis dengan tone gelap, jauh berbeda dengan dua versi Fantastic Four sebelumnya.

Kesan itu pula yang sudah dibangun sedari awal saat kita melihat dua sahabat, Reed Richards (Miles Teller) dan Ben Grimm (Jamie Bell) tumbuh bersama dan mencurahkan seluruh isi pikiran mereka guna menciptakan sebuah teleporter. Segala stereotype klise kental terasa: Mulai dari Reed yang sedari kecil berpenamilan polos memakai kaca mata serta pakaian kelewat rapih, hingga olok-olok yang ia dapat  dari guru dan teman sekolah karena cita-citanya untuk menemukan teleporter yang dianggap konyol. Tapi diluar itu, apa yang terlihat adalah sebuah awal menjanjikan. Persahabatan sederhana yang cukup hangat dan potensi besar berupa interaksi menarik antara Reed si nerd dengan Ben yang lebih playful tapi menunjukkan kehangatan seorang sahabat. 
Banyak kritikan menghampiri film ini karena start lambat dan baru memperlihatkan transformasi keempatnya (lima ditambah Victor von Doom) saat film mencapai durasi 45 menit, dari total keseluruhan 100 menit. Artinya hampir separuh durasi dihabiskan untuk drama pengenalan karakter. Bahkan kita baru diberi kesempatan menonton aksi Fantastic Four bersama-sama sebagai tim pada 20 menit terakhir. Pada paruh awal, atmosfer film ini lebih mirip sci-fi macam Interstellar dengan segala tetek bengek scientific-wannabe berisikan para ilmuwan bekerja di lab daripada film superhero penuh adegan aksi fantastis. Juga benar bahwa reboot ini punya rasa yang begitu "melenceng" jika dibanding komiknya yang merupakan gabungan sci-fi plus fantasi dengan tone ringan. Komik Fantastic Four dengan segala unsur cheesy-nya memang tidak pernah ditujukan sebagai kisah superhero serius, melainkan petualangan menyenangkan tanpa terbatas nalar. 

Tapi apakah pendekatan gritty dan realistis dari Josh Trank merupakan kesalahan? Sesungguhnya tidak. Justru saya cukup menikmati saat film ini masih bermain-main di ranah sci-fi. Trank berhasil membangun daya tarik hasil pemaparan scientific mumbo jumbo. Absolutely meaningless, but still fun indeed. Memang naskahnya banyak berisi dialog menggelikan seperti sebuah overshadowing terhadap karakter Doctor Doom yang diucapkan Sue Storm (Kate Mara). Usaha berlebihan naskahnya untuk terdengar cerdas juga sering berujung konyol misal saat Susan menjelaskan alasan ia menyukai musik pada Reed lewat definisi ilmiah rumit. Sentuhan drama pun terasa kosong, tapi sampai pada titik ini Trank masih mampu mengemas tontonan yang well-made, sederhana, juga memiliki pace yang meski cukup lambat namun tertata rapih. Hingga sewaktu kecelakaan yang memberikan kekuatan super itu terjadi, Trank masih mampu menghibur saya. Khususnya dengan atmosfer body-horror ala film-film David Cronenberg. 

Kemudian bencana itu hadir. Alurnya melompat satu tahun kedepan, dan kita mendapati Sue dan Johnny berlatih di bawah naungan pihak militer, sedangkan Ben a.k.a The Thing telah digunakan sebagai senjata perang. Reed sendiri masih tidak diketahui keberadaannya. Lompatan waktu itu memberikan jurang yang menghalangi pengembangan karakter termasuk interaksi mereka satu sama lain. Mulai dari sini akhirnya Fantastic Four mendadak berganti suasana menjadi sebuah film superhero daripada sci-fi murni. Ironisnya, saat itulah filmnya semakin mengalami degradasi kualitas. Dinamika yang tadinya tertata menjadi terburu-buru, seolah ingin menebus kesabaran penonton dengan rangkaian alur cepat namun asal tabrak. Saya tidak tahu harus menyalahkan Trank atau pihak studio yang kabarnya mengambil alih fase editing demi menciptakan versi mereka sendiri. Tapi yang jelas Fantastic Four langsung berubah dari film superhero yang berpotensi groundbreaking menjadi kekacauan luar biasa.
Harapan terakhir berada pada klimaks yang (hampir) selalu menjadi momen terbaik film superhero. Akhirnya Reed, Ben, Sue dan Johnny bersatu untuk mengalahkan Doom...lewat sebuah action sequence 15 menit yang hanya menampilkan sedikit aksi. Daripada klimaks, rangkaian adegan ini lebih mirip second act. Semuanya berlalu begitu cepat tanpa ada satupun momen mengesankan. Kemudian lagi-lagi karakter Doctor Doom disia-siakan. Saya kecewa melihat Reed dan Sue tidak memiliki chemistry sebagai love interest. Mengecewakan pula disaat Ben dan Johnny yang harusnya menghadirkan love/hate relationship hasil dari saling melempar ejekan satu sama lain justru tampak seperti dua orang asing. Tapi lebih mengenaskan saat untuk kedua kalinya salah satu villain terbaik milik Marvel berakhir sebagai omong kosong. Tidak hanya desain buruk yang mengingatkan pada John Connor di Terminator Genisys, kita pun baru melihatnya beraksi saat klimaks, dan tidak butuh waktu lama atau usaha keras untuk mengalahkannya. Salah satu villain paling kompleks, paling jenius, dan berbahaya di Marvel Universe mendapat screen time super minim, mudah dikalahkan dan terlihat sangat bodoh. 

Fantastic Four identik dengan suasana menyenangkan, empat karakter utama yang punya interaksi menarik dan ikatan kekeluargaan kuat, serta memorable villain. Pada akhirnya tidak ada satu pun dari ketiga hal tersebut yang berhasil dicapai oleh reboot ini. Lagi-lagi saya tidak mempermasalahkan suasana kelam dan realistis, tapi bagaimana bisa menghadirkan kesenangan tanpa adanya keseruan aksi yang memikat? Bagaimana mungkin anda bisa membuat film tentang "keluarga" superhero tanpa memberikan ikatan sedikitpun diantara mereka dan hanya memberikan waktu bagi mereka untuk bersama tidak sampai 30 menit? Film ini ditutup dengan sedikit harapan saat keempatnya saling mengobrol santai. Bahkan Johnny mulai melontarkan ejekan mengenai penampilan Ben sebagai The Thing. Sebuah ending yang memuaskan? Tidak. Karena apa yang keempatnya bicarakan merupakan salah satu pembicaraan terkonyol untuk menentukan nama tim superhero. This reboot (especially the second-half) feels like an extended trailer of a promising superhero movie.

6 komentar :

Comment Page:

MAZE RUNNER: THE SCORCH TRIALS (2015)

Tidak ada komentar
Apa yang membuat The Maze Runner mampu bertahan di tengah film adaptasi novel young adult yang mulai berguguran? Meski kekuatan cerita dan karakternya belum mencapai level yang sama dengan The Hunger Game, franchise ini punya keunggulan lain dalam bentuk setting dunianya. Setidaknya hal itulah yang nampak pada film pertama. Bermodalkan labirin berliku penuh monster, sutradara Wes Ball sukses memberikan sajian aksi unik nan memikat. Dari segi cerita pun banyak misteri dengan potensi besar untuk ditelusuri. Film pertama berakhir saat Thomas (Dylan O'Brien) dan teman-temannya berhasil lolos dari "Glade". Walau demikian, beberapa serpihan masa lalu Thomas serta organisasi W.C.K.D masih menyimpan banyak misteri. The Scorch Trials langsung melanjutkan ending film pertama saat Thomas dan teman-temannya diselamatkan oleh sebuah helikopter yang membawa mereka menuju suatu markas.

Mereka disambut oleh Janson (Aidan Gillen), pimpinan dari markas tersebut. Tidak perlu sampai filmnya memberikan jawaban pun mudah ditebak bahwa Janson dan anak buahnya bukanlah para "penolong" seperti yang Thomas harapkan. Walau begitu, disana mereka menemukan banyak anak-anak lain yang juga sempat dikurung dalam labirin milik W.C.K.D. Mayoritas dari anak-anak tersebut merasa antusias saat beberapa waktu sekali, Janson memanggil beberapa dari mereka untuk dibawa ke suatu tempat yang katanya bagaikan surga dengan tanah subur dan ladang pertanian. Tapi sekali lagi ada yang mencurigakan dari Janson. Rasa curiga itulah yang dirasakan Thomas, terlebih lagi saat suatu malam, Aris (Jacob Lofland), orang yang sudah paling lama berada di markas tersebut membawanya melihat sebuah pemandangan mengerikan tentang nasib anak-anak yang dibawa pergi. 
Meski memberikan sentuhan unik pada aksinya, jelas tidak mungkin memberikan jenis rintangan serupa dengan labirin film pertamanya. Disitulah tantangan terbesar The Scorch Trials. Meninggalkan setting labirin sempit berisikan monster bernama Griever, sekuel ini dibawa ke lingkup yang lebih besar: sebuah hamparan tanah tandus (Scorch). Tapi pada era dimana padang tandus sudah dijadikan arena kejar-kejaran gila oleh George Miller dalam Mad Max: Fury Road, apa yang ditawarkan oleh Wes Ball dalam film ini? Nyatanya tidak banyak, juga tidak spesial. 

Aura dystopian masih dibangun dengan baik oleh setting-nya, seperti saat reruntuhan gedung pencakar langit saling tumpang tindih, memberikan kesan kehancuran masif yang efektif. Tapi arena yang cukup menjanjikan untuk pemberian skala lebih besar itu justru tersia-siakan. Sekali lagi sesungguhnya sudah merupakan keputusan tepat membuat sekuel ini kental dengan nuansa survival horror dengan kehadiran zombie, banyaknya penggunaan suasana gelap, juga beberapa scare jump dalam dosis kecil. Tapi dalam durasi yang lebih panjang (di atas 130 menit) dan skala lebih besar, The Scorch Trials lebih banyak diisi oleh kekosongan. Disaat adegan aksi mengambil alih, Wes Ball sebenarnya sanggup mengemasnya sebagai sajian yang menyenangkan, bahkan beberapa diantaranya cukup menegangkan. Tapi saya sudah berulang kali melihat semua itu. Melihat sekelompok orang saling bertukar tembakan dan ledakan, atau berusaha lari dari kejaran zombie. Kesenangan film pertamanya masih ada, tapi tidak dengan inovasinya.
Cerita yang ditawarkan cukup menarik. Karena meski telah bebas dari kurungan, beberapa karakternya masih terkekang dalam "penjara" mereka masing-masing. Diawal film, Newt (Thomas Brodie-Sangster) menolak ajakan Thomas untuk kabur dari markas milik Janson, dengan alasan sudah lama mereka tidak merasakan tidur di tempat nyaman dan menyantap makanan enak. Tapi penelusuran akan aspek-aspek menarik macam itu akhirnya terpinggirkan oleh perjalanan panjang mereka melintasi Scorch. Eksplorasi karakter makin terpinggirkan, disaat sesungguhnya The Scorch Trials lebih membutuhkan itu. Alhasil beberapa sisi drama kurang berkesan, seperti saat Teresa (Kaya Scodelario) mengambil keputusan mengejutkan sebelum klimaks. Memang efektif sebagai twist, tapi kurang memberikan emotional impact yang harusnya turut hadir. 

Ibaratkan ada seorang penampil yang belum berpengalaman dalam suatu pementasan. Berikan dia sebuah panggung kecil berisikan beberapa barang untuk dieksplorasi, dan tidak butuh waktu lama baginya untuk berhasil menguasai panggung tersebut. Penonton pun akan terhibur melihat aksinya yang eksploratif dan bisa jadi variatif. Tapi kemudian berikan panggung yang jauh lebih besar dengan jumlah properti yang sama, maka bisa dipastikan ia bakal kesulitan. Alhasil penonton akan lebih sering melihat kekosongan yang tidak jarang menjemukan, pula aksi-aksi repetitif. Begitulah yang terjadi dengan Wes Ball saat menggarap Maze Runner: The Scorch Trials

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MAGIC MIKE XXL (2015)

Tidak ada komentar
Pada Magic Mike tiga tahun lalu karakter Mike Lane (Channing Tatum) diceritakan memiliki impian besar untuk menjalani bisnisnya sendiri. Tapi karena faktor ekonomi yang tidak memadahi ia pun terpaksa berprofesi sebagai penari striptease. Pada akhirnya ia memilih keluar dan memulai kehidupan baru bersama wanita yang ia cintai. Lompat ke tahun 2015, sekuelnya yang berjudul Magic Mike XXL dirilis tanpa kehadiran sutradara Steven Soderbergh dan aktor Matthew McConaughey yang layak diganjar nominasi Oscar lewat perannya sebagai pemilik klub rakus nan licik bernama Dallas. Tentu saja tidak mungkin membuat sekuel Magic Mike tanpa kehadiran sosok Mike sendiri. Jadi bagaimana dia bisa kembali terjun ke dunia striptease setelah memilih mengejar impian dan wanita pujaannya?

Kita berjumpa lagi dengan Mike sedari shot pertama yang menampilkan ia duduk diam dengan tatapan kosong. Ada kesepian dan kekosongan nampak di matanya. Kini Mike telah memiliki bisnisnya sendiri yang bergerak di bidang furnitur. Tapi usahanya itu belum menemui keberhasilan, dimana ia hanya memiliki satu karyawan yang itu pun belum bisa ia bayar asuransinya. Hingga suatu hari ia mendapat telepon dari rekannya di klub striptease dulu, Tarzan (Kevin Nash) yang mengabarkan bahwa Dallas telah "pergi". Berasumsi mantan bosnya itu sudah meninggal, Mike pun mendatangi hotel tempat rekan-rekannya menginap untuk mendapati fakta bahwa "pergi" yang dimaksud bukan meningal, tapi pergi menelantarkan para anak buahnya itu untuk menerima tawaran pertunjukkan di luar negeri bersama Adam (Alex Pettyfer), protagonis dalam film pertama.

Baik McConaughey maupun Pettyfer sama sekali tidak muncul disini, bahkan tidak sebagai cameo. Nasib mereka hanya kita dengar lewat cerita teman-teman Mike yang itu pun tidak memberikan kepastian. Begitu pula dengan Cody Horn sebagai Brooke yang dikisahkan menolak lamaran Mike tanpa alasan pasti. Begitulah treatment yang dilakukan Reid Carolin dalam menulis naskah film ini (ia juga penulis naskah film pertama). Semua aspek dari film pertama yang tidak bisa diterapkan dalam Magic Mike XXL dibuang untuk dilupakan begitu saja. Tidak hanya keberadaan tiga karakter di atas, tapi juga semua perjalanan yang telah ditempuh oleh Mike. Siapa sebenarnya Mike Lane? Apa yang ia inginkan? Saya kembali dibuat menanyakan dua hal yang sejatinya telah berhasil dijawab oleh Magic Mike. Sebuah faktor buruk untuk aspek pengembangan karakter tentunya.
Sepanjang film Mike terus mendorong teman-temannya supaya menjadi diri mereka sendiri dan tidak menyerah mengejar impian. Karakternya berperan sebagai sosok pemersatu, bahkan tidak berlebihan jika disebut preacher karena memang berulang kali memberikan "khotbah" pada teman-temannya, termasuk saat Richie (Joe Manganiello) ingin menanggalkan konsep pemadam kebakaran yang sudah melekat padanya, tapi bukan hal yang ia sukai. Bagaimana dengan Mike sendiri? Sejak film pertama ia terus bicara ingin mengejar impiannya, dan ia pun melakukan itu. Kemudian disaat usahanya berada dalam kesulitan, dia menyadari ada kerinduan terhadap dunia striptease. Magic Mike XXL punya cerita tentang acceptance. Karakter-karakternya dihadapkan pada konflik batin untuk menerima identitas diri meski harus membuat mereka meninggalkan zona nyaman. 

Begitu pula dengan Mike. Tanpa sadar, hatinya berkata bahwa kehidupan stripper adalah jati dirinya. Konflik itu tidak akan menjadi masalah jika film ini berdiri sendiri, tapi faktanya ini adalah sekuel, yang membuat film pertamanya seolah menjadi peruma. Tapi mungkinkah naskah Reid Carolin hanya ingin menunjukkan kerinduan Mike akan masa lalunya? Mungkin saja, tapi apa yang dipaparkan sutradara Gregory Jacobs di layar jelas menunjukkan lebih dari sekedar kerinduan. Mike merasa hidupnya kosong tanpa striptease. Dan jelas keseluruhan filmnya bertutur tentang keberanian menjadi diri sendiri. Apakah Carolin dan Jacobs masih boleh berharap saya menerima bahwa Mike hanya rindu akan kawan-kawannya? Jelas tidak. 
Tapi satu hal yang membuat saya bisa memaafkan kesalahan tersebut adalah karena Magic Mike XXL memang memposisikan dirinya murni sebagai drama-komedi ringan. Bukan lagi eksplorasi terhadap hal-hal sensitif macam film pertama, sekuel ini tidak ragu menghadirkan komedi yang lebih kental dan gamblang. Salah satu contoh terbaik adalah saat Richie diberikan tantangan membuat seorang kasir wanita tersenyum melihat tariannya. Kita tidak akan melihat adegan konyol semacam itu pada film pertama. Tapi apakah lucu? Sangat. Atau lihat saat Tobias (Gabrie Iglesias) ikut menutup mata "menyelaraskan energi" dengan teman-temannya saat menyetir. Bodoh? Pasti. Tidak realistis? Sangat. Namun begitulah Magic Mike XXL yang bukan hanya meninggalakan progres cerita film pertama, tapi juga subtle comedy serta drama realistis. Tapi berkat komedi yang lebih banyak hit daripada miss, saya pun masih terhibur.

Berfokus pada hiburan semata tanpa esensi mendalam, begitulah film ini. Selain komedi, adegan tarian striptease jelas menjadi daya jual utama. Tarian degan set serta koreografi sensual yang memukau ada banyak disini, terlalu banyak malah. Bukan kekeliruan memasukkan banyak tarian, karena tema film ini memang striptease. Tapi disaat momentum yang digunakan selalu serupa (datang-bertemu kerumunan-menari-pergi), kesan repetitif pun tercipta. Meninjau adegan klimaksnya pun, striptease yang ada tidak lagi sesegar film pertama. Demi memberikan kesegaran, maka dibuatlah tiap karakternya menemukan jati diri mereka masing-masing dan merubah aksi panggung. Tapi lagi-lagi tidak esensial, karena toh pada ujungnya mereka hanya akan merobek baju lalu memberikan gerakan-gerakan menggoda. Lagipula selain milik Mike, aksi panggung semua karakter tidak semenarik sebelumnya. Tidak ada keterkejutan melihat Tarzan bergelantungan atau penis raksasa milik Richie. Hanya sekedar "aneh" dan "berbeda" tanpa ada efek lebih.

Tanpa McConaughey, beban Channing Tatum membawa film ini semakin besar. Dia sendiri tidak mendapat banyak bantuan, karena karakter pendukung lain tidak diberi porsi yang cukup untuk melakukan itu. Bahkan Amber Heard sebagai Zoe hanya tersia-sia sebagai love interest yang tidak perlu meski karakternya berpotensi memberikan daya tarik kuat. Untungnya Tatum berhasil. Channing Tatum sekarang memang bukan lagi ia yang lama, yang hanya bisa menari di Step-Up. Dia sudah mampu mengusung beban berat sebagai penyokong utama suatu film. Kemampuan menarinya masih memikat, dan itu pula yang dieksplorasi oleh Gregory Jacobs. Setiap tarian Tatum diberikan koreografi terbaik dan pengambilan gambarnya pun berusaha keras memberi kesan"betapa kerennya sang aktor mampu melakukan semua tarian itu sendiri". Disaat harus melakoni adegan komedi pun ia punya timing sempurna, dan setelah dua film Jump Street saya tidak lagi meragukan kapasitas sang aktor untuk menangani sebuah lelucon. Jelas kini Channing Tatum telah berkembang menjadi salah satu aktor paling komplit di Hollywood. Sayangnya Magic Mike XXL tidak sekomplit itu.

Tidak ada komentar :

Comment Page: