AMOUR FOU (2014)

1 komentar
Aspek kultural pada film period drama membuat mannerism wajib diperhatikan. Karakternya penuh sopan santun, hasrat dipendam, tingkah laku dijaga sebaik mungkin. Mayoritas kisahnya bertemakan tentang cinta dengan tutur bahasa puitis. Realita pada masa itu menganggap bahwa sopan santun akan membuat seseorang lebih terhormat, lebih cerdas, dan menandakan strata sosial tinggi. Golongan aristokrat mencari hiburan lewat pertunjukkan piano atau menari waltz. Semua halnya begitu tertata, tidak boleh ada hal menyimpang sedikitpun. Secara personal sulit bagi saya menyukai period drama. Saya merasa terkekang, tidak sabar dengan segala kesopanan tersebut. Amour Fou garapan sutradara Jessica Hausner sekilas tidak jauh beda. Tapi film ini sesungguhnya berusaha mentertawakan kepalsuan budaya mannerism tersebut.
Karakter-karakternya termasuk Henriette Vogel (Birte Schnoink) bersikap persis seperti penggambaran di atas. Dari luar mereka adalah orang-orang kaya, cerdas, terhormat, dan memiliki segala kebaikan, sesuai dengan tujuan dari penerapan kultur tersebut. Tapi apakah segala tampak luar itu merupakan kenyataan? Ataukah sekedar kepalsuan belaka? Para kaum borjuis di beberapa kesempatan nampak duduk bersama membicarakan dampak dari revolusi Prancis yang baru terjadi. Saat itu tengah diwacanakan penarikan pajak bagi semua kalangan. Ada kecemasan tersirat bahwa revolusi tersebut bakal membawa kebebasan tak terkontrol yang mengancam mereka. Tapi Jessica Hausner tidak mengemas pembicaraan itu dengan tone politikal serius. Argumen yang dilontarkan dangkal, namun mereka mengungkapkannya secara serius. Akhirnya pembicaraan itu terkesan menggelikan. Kita diajak mentertawakan mereka.

Comedy of manners, begitulah film semacam ini disebut. Komedi satir yang ditujukan sebagai kritik terhadap mannerism. Hal itu nampak jelas pada karakterisasi Heinrich von Kleist (Christian Friedel), seorang penulis puisi yang memandang hidup secara begitu negatif. Dia merasa hidupnya tak berharga, selalu bernasib buruk, dan terobsesi akan kematian. Tapi Heinrich tidak ingin mati sendirian. Bagai seorang fanatik akan romansa-tragedi, Heinrich ingin mati bersama orang yang dia cintai (juga mencintai dirinya). Karena itu ia terus memaksa Marie (Sandra Huller) untuk bersedia bunuh diri bersamanya. Bagi Heinrich, jika Marie memang mencintainya, maka ia akan bersedia membahagiakan Heinrich, dimana sumber kebahagiaan Heinrich adalah mati bersama Marie. Tentu sang wanita menolak. Dikarenakan prinsip "jika cinta ditolak maka cinta itu akan mati seketika", Heinrich pun berpaling pada Henriette yang telah memiliki suami dan anak. Awalnya Henriette juga menolak, tapi setelah divonis umurnya takkan lama akibat tumor, ia mulai tertarik pada sang penulis puisi.
Karakter yang muncul termasuk Heinrich dan Henriette terkesan one-dimensional. Jarang memunculkan letupan emosi, dan motivasi perbuatan mereka hanya "itu-itu" saja. Tapi kesan itu memang sengaja dimunculkan. Jika karakternya nampak bodoh, itu karena Jessica Hausner ingin membuat penonton mentertawakan mereka. Heinrich hanya ingin mati, dan ia secara bergantian memohon pada Henriette dan Marie. Jika salah satu menolak, ia berpindah ke yang lain sambil berkata "kamulah segalanya", begitu seterusnya. Heinrich bukan playboy. Dia hanya bodoh, penuh ketidakpastian. Inkonsistensi bukan hanya milik Heinrich seorang. Henriette sama saja. Dia seolah ingin mati karena memang divonis hidupnya tak lama lagi. Tapi jika ada kabar bahwa penyakitnya tidak parah, keputusannya ikut berubah. Kondisi kesehatan Henriette pun tidak jelas. Dokter tak pernah yakin apa ia memang sakit atau hanya nervous disorder. Amour Fou memang penuh ketidakpastian, sesuai dengan situasi Jerman saat itu sebagai dampak revolusi Prancis.

Alur berjalan lambat dengan karakter yang terasa lifeless. Lagi-lagi ini kesengajaan Jessica Hausner untuk memperkuat sindirannya. Karakternya penuh kepalsuan, dengan tokoh utama yang selalu ingin mati. Tidak heran jika suasana tidak hidup. Hal itu didukung oleh sinematografi dan art direction-nya. Penonton bagai sedang melihat lukisan masa renaisans milik Johannes Vermeer misalkan. Kameranya statis, tidak pernah bergerak menangkap setting penuh dinding berwarna terang, lantai dengan berbagai macam ornamen, juga barang-barang "penghias" seperti lukisan, lilin atau piano. Saya seperti diajak memasuki museum, memandangi satu per satu lukisan yang tergantung di dinding. 
Karakternya pun tidak banyak bergerak. Mayoritas hanya duduk atau berdiri sambil sesekali melakukan gestur kecil. Gerakan paling besar hanya terjadi saat adegan menari waltz. Visualnya indah, ditambah dengan penggunaan framing di beberapa adegan. Tapi bukan style over substance yang nampak. Semua makhluk hidup termasuk manusia di dalam lukisan jelas tak bernyawa. Orang-orang dalam film ini terasa seperti itu di tengah topeng kepalsuan yang dikenakan. Dalam suatu adegan, Henriette berkata bahwa ia merasa seperti boneka panggung yang digerakkan orang lain. Kalimat tersebut menunjukkan tidak adanya kebebasan dalam hidup Henriette. Sebab itu ia tidak merasa hidup dan tergoda oleh ajakan Heinrich untuk mati bersamanya. 

Bagi penonton seperti saya yang tak pernah cocok dengan budaya mannerism, film ini terasa menyenangkan. Tapi patut ditekankan bahwa Amour Fou adalah satir, sebuah comedy of manners yang menghadirkan kelucuan secara subtil. Melewatkan ketersiratannya akan membuat film ini nampak hanya seperti drama lambat nan kosong minim emosi dengan karakter bodoh yang mengesalkan karena inkonsistensi tindakan serta obsesinya terhadap kematian. Amour Fou menyajikan kritik menggelitik terhadap pemujaan sopan santun yang hanya mementingkan tampak luar namun justru mengekang batin di dalam. Bahkan disaat tragedi muncul, film ini tetap punya cara untuk menyajikan kelucuan. Saya jatuh cinta pada visualnya.. I love it very much!

1 komentar :

Comment Page:

FAR FROM THE MADDING CROWD (2015)

Tidak ada komentar
Saat ini feminisme tengah menjadi pergerakan yang begitu kuat dan masif. Entah laki-laki maupun perempuan sama-sama menyuarakan kejengahan mereka atas penindasan dan minimnya kesetaraan hak yang dimiliki kaum hawa. Diantara mereka ada yang bersikap sosialis, namun tidak jarang pula yang radikal. Para radikal banyak mengambil tindakan ekstrim dalam mengutarakan suara mereka. Bahkan terjadi kasus dimana seorang feminis menggugurkan kandungannya setelah tahu sang calon bayi berkelamin laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai predator seksual dan membuat mereka merasa jijik untuk sekedar jatuh cinta apalagi berhubungan seks. Jatuh cinta pada laki-laki layaknya masuk dalam perangkap, bukti kelemahan. Tapi benarkah kesendirian merupakan pilihan terbaik bila ingin menjadi pribadi yang kuat?

Far from the Madding Crowd merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karangan Thomas Hardy. Novel tersebut diterbitkn tahun 1874. Kita tahu pasti bagaimana posisi perempuan di masa itu. Emansipasi masih jauh dari angan-angan, dan pernikahan akan membuat mereka tidak lebih dari sekedar properti milik sang suami. Tapi dari masa itu hadirlah kisah tentang Bathsheba Everdene (Carey Mulligan) ini. Adegan pembukanya sudah menuturkan secara jelas seperti apa sosok karakter utamanya. Bathsheba berujar bahwa kehidupan keras tanpa orang tua telah membuatnya mandiri, bahkan terlalu mandiri bagi sebagian orang. Bathsheba tidak segan berkuda sendirian di tengah hutan, atau bekerja keras di ladang. Dia ingin bebas, dan merasa pernikahan bukan jalan yang tepat baginya. Maka saat seorang peternak domba bernama Gabriel Oak (Mattias Schoenaerts) datang melamar, Bathsheba menolak meski tidak pula menyangkal perasaan cinta.

Kita tidak tahu pasti perasaan masing-masing. Gabriel boleh berkata selamanya akan tetap mencintai Bathsheba dan menjanjikan beberapa hal materil pula. Tapi tidak ada jaminan itu perasaan tulus. Begitu pula dan Bathsheba yang penolakannya dipenuhi ketidakpastian. Apakah ia memang tidak mencintai Gabriel? Atau semata-mata karena rasa takut kebebasannya terkekang oleh pernikahan? Karena itu baik simpati, iba, atau perasaan apapun belum saya rasakan. Filmnya memang masih ingin berjalan mempertunjukkan banyak hal, seperti perputaran roda nasib yang menimpa keduanya secara bersamaan. Warisan sang paman berupa sebuah peternakan membuat Bathsheba menjadi orang kaya. Sebaliknya, sebuah kecelakaan tragis membuat Gabriel kehilangan seluruh dombanya. Sutradara Thomas Vinterberg menyajikan adegan tersebut lewat visual yang memadukan keindahan bersama horor dan kesedihan. Memang rasa kontradiktif yang ironis. Sama ironisnya dengan perbedaan nasib dua tokoh utama.
Gabriel memilih pergi berkelana tanpa uang dan tempat tinggal. Hingga suatu malam ia menemui sebuah peternakan yang mengalami kebakaran. Gabriel menolong orang-orang memadamkan kebakaran sebelum api melahap habis semua benda. Secara mengejutkan, pemilik peternakan itu adalah Bathsheba yang akhirnya menawari Gabriel pekerjaan disana. Dari poin inilah penonton mulai diarahkan untuk bersimpati pada Gabriel. Dia tidak punya pilihan selain menerima tawaran pekerjaan tersebut walau hatinya pastilah kalut harus menjadi bawahan dari wanita yang pernah menolak lamarannya. Gabriel masih mencintai Bathsheba tapi menyadari tidak dalam posisi yang cocok untuk berharap. Dia hanya berusaha terus menyokong perempuan yang ia cintai supaya mampu melalui berbagai rintangan. Bahkan ketika secara berurutan datang dua pria lain yang secara notabene jauh lebih kaya dan terpandang, Gabriel tetap menemani Bathsheba tanpa sekalipun memaksakan cintanya.

Far from the Madding Crowd adalah kisah tentang mereka yang merasa patah hati sambil disaat bersamaan menyoroti Bathsheba sebagai wanita tangguh yang ingin bebas. Sebagai kisah patah hati, film ini berhasil membuat saya menaruh simpati pada karakter yang tersiksa karena hal tersebut. Saat seorang bangsawan bernama William Boldwood (Michael Sheen) mulai menunjukkan cintanya pada Batsheba saya memihak Gabriel. Tapi begitu datang pria ketiga yang secara otomatis turut menyakiti perasaan Boldwood, saya pun mengasihani dia. Tendensi membuat penonton memihak pada mereka yang tersakiti terbukti ampun mempermainkan dinamika emosi. Sayang, bicara masalah emosi, Thomas Vinterberg terlalu terburu-buru dalam menghantarkan klimaksnya. Padahal terdapat potensi pergolakan emosiona luar biasa pada momen tersebut. Kesan terburu-buru menjadikan impact secara emosional tidak mencapai puncak seperti seharusnya.
Terdapat aspek menarik pada penggambaran pria dan wanita dalam film ini. Ketiga pria sebagai love interest Bathsheba dieksploitasi kelemahannya. Pria yang biasanya dominan justru mampu dibuat tunduk karena cintanya. Ada yang rela berkorban, ada yang terus berjuang, ada pula yang tak pernah bisa melupakan cinta masa lalunya. Bahkan Sersan Frank Troy (Tom Sturridge) yang digambarkan semena-mena pun akan menjadi lemah saat dihadapkan pada Fanny Robin (Juno Temple) yang begitu ia cintai. Sedangkan sisi wanita diwakili Bathsheba. Dia tangguh, mampu memimpin sebuah peternakan besar, dan membuat pria tunduk padanya. Setelah kukuh tidak ingin menikah di awal, Bathsheba memang sempat dibutakan oleh cinta yang membuat nyaris kehilangan segalanya. Tapi apakah ia menjadi apatis? Tidak. Karena ia sadar kesalahan bukan terdapat pada cinta, tapi pada "kebutaannya" sendiri. Carey Mulligan piawai menampilkan dua sisi karakternya. Terpancar ketangguhan dalam tiap ketegasan tindakan, namun ada pula kerapuhan akibat dilema rasa. 

Far from the Madding Crowd menjadi kisah klasik yang masih tetap relevan dan patut ditengok karena pemaparannya akan interaksi seorang wanita mandiri dengan cinta terhadap pria. Film ini berbasis pada kisah yang dibuat serta ber-setting pada masa dimana wanita belum punya posisi sekuat sekarang. Kenapa kisah yang hadir pada era semacam itu punya pernyataan yang jauh lebih baik tentang isu gender daripada sekarang yang seharusnya sudah lebih "terbuka"? Karena ceritanya tulus, bukan semata-mata "latah" supaya nampak sebagai seorang "pejuang kemerdekaan".

Pada konklusinya, Bathsheba sang wanita tangguh pun menyadari bahwa cinta tidaklah destruktif. Dia tetap mampu berjalan maju sebagai sosok yang kuat meski akhirnya "mengalah" akan perasaannya. Karena ia sadar akan kebutuhannya terhadap sosok pendukung. Menjadi tangguh bukan berarti tidak membutuhkan orang lain, sama dengan menjadi wanita kuat yang bukan berarti tidak membutuhkan pria dalam hidupnya. Berbalut sinematografi indah dari Charlotte Bruus Christensen yang penuh landscape tanah lapang hijau serta percampuran orange dan ungu di langit senja, film ini menawarkan romansa membuai sembari diselipi eksplorasi peran gender memikat. "Far from the Madding Crowd" will break and melt your heart at the same time.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE FINAL GIRLS (2015)

2 komentar
Setelah mimpi buruk buruk memuakkan bernama Paranormal Activity: The Ghost Dimension, saya merasa butuh penyegaran. Pilihan pun jatuh pada meta slasher comedy garapan sutradara Todd Strauss-Schulson ini. Sajian meta-horor sendiri sudah bukan hal baru saat ini. The Cabin in the Woods telah memberikan standar tinggi. Bahkan untuk slasher sendiri sudah ada Scream. Seperti karya Wes Craven tersebut, The Final Girls bermain-main dengan "aturan" yang dimiliki slasher movie seperti "mereka yang berhubungan seks akan mati" serta kehadiran "Final Girl", seorang protagonis wanita yang di akhir film mampu bertahan hidup guna menghabisi nyawa sang pembunuh. Bedanya dengan dua contoh judul yang saya sebut di atas adalah, film ini banyak memasukkan unsur komedi. Rasanya seperti menonton campuran antara Scream dengan Scary Movie (the good one).

Film dibuka dengan cuplikan trailer film slasher 80-an berjudul Camp Bloodbath. Kita akan segera menyadari bahwa film tersebut memberikan referensi kepada Friday the 13th lewat pembunuh bertopeng dengan senjata parang besar layaknya Jason serta berkumandangnya scoring ikonik karya Harry Manfredini (it's "kikiki mamama" not "chichichi chachacha" okay?) Film yang berkembang sebagai cult classic itu turut membesarkan nama Amanda Cartwright (Malin Akerman) yang berperan sebagai Nancy disana. Namun Amanda membenci hal tersebut, karena status scream queen tak pernah bisa ia lepaskan dan membuatnya sering dipandang sebelah mata sebagai aktris. Hidup bersama sang puteri, Max (Taissa Farmiga), Amanda pun mulai mengalami kesulitan ekonomi. Hingga suatu malam mobil yang dikendarai mereka berdua mengalami kecelakaan. Amanda tewas, dan meninggalkan Max sendiri dalam kesedihan.

Tiga tahun berselang, Max terpaksa harus menghadiri pemutaran Camp Bloodbath tepat di hari peringatan meninggalnya sang ibu karena paksaan Duncan (Thomas Middleditch). Tentu tidak mudah bagi Max harus menyaksikan wajah mendiang sang ibu di layar. Apalagi peran Amanda di film tersebut mengharuskannya berhubungan seks sebelum tewas dibunuh oleh Billy Murphy, sang pembunu bertopeng. Di tengah pemutaran terjadi kebakaran. Max dan teman-temannya berusaha lari melewati layar bioskop, dan dari situlah awal kejadian aneh dimulai. Dari situlah The Final Girls tancap gas sebagai sajian meta-spoof-slasher-comedy. Sebelum menonton saya tidak mengetahui detail alurnya, sehingga saya tidak menduga bakal diberikan kejutan "ajaib" oleh Todd Strauss-Schulson. Sebuah momen WTF yang membuat saya memunculkan senyum lebar karena terpukau, sekaligus terikat oleh filmnya.
Naskah yang ditulis M.A. Fortin dan Joshua John Miller tidaklah cerdas. Disamping "transisi gila" tadi, keseluruhan idenya jauh dari original. Filmnya masih bermain di ranah meta lewat aturan slasher dengan memberikan olok-olok terhadapnya. Bahkan aturan main yang diterapkan pun beberapa kali tidak konsisten serta dipaksakan. Diawal nampak dunia film dalam film yang dipakai layaknya loop yang terus berputar. Tapi kemudian berubah menjadi satu timeline lurus. Contoh lain adalah penggunaan flashback sebagai cara untuk kabur dari Billy yang terasa out of nowhere. Dengan cara itu filmnya mencoba tampil absurd, tapi disaat bersamaan justru mengurangi kecerdasan aspek meta-nya. Namun setting yang digunakan memang seperti mimpi indah bagi penonton khususnya penggemar slasher. Perasaan saya sama seperti Duncan yang bagai berada di alam mimpi indah meski berada di tengah kengerian horor.
Komedi yang disajikan pun turut menjadi penyegar di tengah sedikit cacat pada kisah "daur ulangnya." Kritisi pada film slasher lewat olok-oloknya berhasil membuat saya tertawa, khususnya berkat karakter Tina (Angela Trimbur), si gadis bodoh yang hanya memikirkan seks, seks dan seks. Memang over-the-top sekaligus tolol, tapi masih dalam taraf menyenangkan. Tidak seperti kebanyakan parodi horor dewasa ini macam sekuel-sekuel Scary Movie atau A Haunted House yang hanya sekedar bodoh tanpa kelucuan. Tapi sesungguhnya kelucuan ini sudah bisa diprediksi. Satu aspek mengejutkan yang dimiliki film ini adalah kehadiran drama hangat lewat perpaduan kisah ibu-anak dengan cerita keberanian seseorang untuk merubah takdir hidupnya.

Meski berstatus meta sekalipun, saya tidak mengira The Final Girls bakal memiliki banyak heartfelt moment. Ternyata twist terbesar film ini bukan terletak pada ceritanya melainkan pada bagaimana karakternya disajikan. Saat hampir semua slasher tidak pernah memanusiakan sosok remaja protagonisnya, film ini memberikan karakter yang akan membuat penonton peduli pada mereka. Max, Nancy, bahkan seorang Vicki (Nina Dobrev) sekalipun terasa berarti di mata saya. Beberapa adegan kematian bukan sekedar body count, tapi meninggakan kesan. Terasa abstrak saat sebuah slasher nyaris membuat penontonnya terharu, tapi begitulah yang terjadi pada saya. Pada adegan menjelang klimaks saat terjadi dialog antara Nancy dan Max, Strauss-Schulson berhasil memunculkan nuansa kasih sayang yang hangat. Saya tersentuh melihat tatapan haru Malin Akerman pada adegan itu. 

Cukup disayangkan saat alih-alih R, film ini justru memiliki rating PG-13, yang berarti kesadisan, darah, dan seks benar-benar diminimalisir. Termasuk kekurangan, karena bagaimana mungkin meta terhadap slasher yang identik dengan "bloods and boobs" bisa maksimal tanpa kedua hal itu? The Final Girls juga bukanlah meta yang cerdas saat para penulis naskahnya nampak menemui kebuntuan ide serta kreatifitas untuk mengembangkan kisahnya. Tapi secara keseluruhan, ini tetaplah sajian menyenangkan berkat komedi efektif serta (unexpectedly) heartfelt drama berisikan karakter-karakter yang terasa berarti. Wanita yang seringkali hanya jadi objek seksual dalam slasher diangkat derajatnya oleh film ini. 

Pada masa dimana jumlah film sudah tak terhitung lagi seperti sekarang, originalitas secara total memang sulit didapat. Namun disaat bersamaan hal itu bukan lagi syarat utama, karena cukup dengan memberikan sedikit twist pada ide paling usang sekalipun, film berkualitas akan mampu tersaji. The Final Girls menyembuhkan frustrasi dan amarah yang saya alami gara-gara Paranormal Activity sore tadi.

2 komentar :

Comment Page:

PARANORMAL ACTIVITY: THE GHOST DIMENSION (2015)

6 komentar
Beberapa hari lalu saat menonton 99 Homes, trailer Paranormal Activity: The Ghost Dimension menjadi salah satu yang diputar. Respon mayoritas penonon di dalam ruangan bioskop lebih dari sekedar positif. Mereka antusias, khususnya beberapa remaja perempuan (sekitar 7-8 orang) di depan saya. Ada yang sepanjang trailer menjerit tiap kali muncul scare jump, ada yang bertepuk tangan begitu trailer usai, ada yang ribut mengajak temannya untuk menonton film itu, bahkan ada yang beranjak dari tempat duduk sambil mengacungkan kedua jempol tangannya tinggi-tinggi. Apa yang membuat mereka begitu antusias? Pengemasan trailernya memang bertempo tinggi. Bukan hanya scare jump, beberapa adegan menyiratkan misteri menarik seperti saat Kristi dari dalam video mampu menyadari keberadaan dua orang yang tengah menonton rekaman dirinya. 

The Ghost Dimension dipromosikan sebagai installment terakhir untuk franchise ini. Menjanjikan jawaban atas banyak pertanyaan dalam lima film sebelumnya yang sejatinya mampu dijawab hanya lewat 2 film saja. Tagline di posternya pun berbunyi "for the first time you will see the activity". Konyol memang, karena bukankah dari film pertama kita sudah diperlihatkan aktifitas diluar kewajaran (paranormal)? Hingga akhirnya terungkap bahwa "activity" yang dimaksud, yang baru akan kita lihat untuk pertama kalinya adalah aktivitas Toby, iblis yang telah menjadi "kawan" bagi Kristi dan Katie sedari mereka kecil. Ingat bayangan hitam mirip cairan di trailer-nya? Itulah Toby. Film ini akhirnya menjawab sosok sesungguhnya dari Toby: bayangan hitam. atau cairan hitam? Entahlah. Visualisasi yang dipilih terlalu buruk hingga saya malas menerka-nerka bentuk apa itu.

Tentu saja cerita yang diberikan oleh The Ghost Dimension masih sama dengan installment sebelumnya. Sebuah keluarga baru saja pindah ke sebuah rumah, dan disitulah mereka mendapat teror makhluk gaib. Siapa saja dan bagaimana karakterisasi anggota keluarga tersebut tidaklah penting. Saya tidak mengenal apalagi peduli pada mereka. Well, tidak semuanya, karena Skyler yang diperankan Olivia Taylor Dudley berhasil mencuri perhatian. Bukan karena akting, tapi perannya sebagai eye candy yang efektif. Skyler memang hanya berperan sebagai pemanis mata. Dia diceritakan sebagai ahli feng shui, lalu apa? Apakah ia mempertunjukkan keahliannya itu? Tentu tidak. Sutradara Gregory Plotkin hanya ingin mengeksploitasi "ukuran besar" sang aktris yang tak kuasa ditutupi oleh pakaian tipis nan sempit. She's the best part of this movie. Boobs everyone, boobs.
Bagaimana dengan horornya? The Ghost Dimension turut berpartisipasi dalam pembodohan banyak penonton mainstream saat ini. Membuat mereka tanpa sadar keliru menyamakan arti "kaget" sebagai "takut". Sering saya bertanya pada seseorang apakah film horor "A" mengerikan, yang ia jawab dengan "iya, serem, ngagetin sih penampakan hantunya". Eksploitasi yang dilakukan oleh Plotkin tidak hanya terhadap boobs tapi juga scare jump. Bedanya jika kemunculan boobs Olivia Taylor Dudley seringkali unpredictable dan efektif, scare jump-nya sangat bisa ditebak. Efektifitas pun berkurang karena sekeras apapun dentuman musiknya saya sudah tahu kapan akan coba dibuat kaget. Semakin parah saat pada mayoritas bagian, tidak terlihat jelas apa yang muncul kecuali bayangan berkecepatan tinggi dan pergerakan kamera shaky. Bahkan video amatir detik-detik bencana di YouTube saja pergerakannya lebih halus. 

Tapi sesungguhnya terdapat poin positif dalam scare jump film ini. Dibandingkan seluruh installment sebelumnya, The Ghost Dimension bergerak jauh lebih cepat dan lebih berisik. Tidak perlu menunggu setengah jam untuk dentuman signifikan. Adegan statik tanpa terjadi apapun yang kesunyiannya mengalahkan film-film arthouse pun porsinya berkurang. Lebih banyak aksi. Mungkin sang kreator sekaligus produser Oren Peli sudah menyerah menggali filosofi "di tengah kesunyian ada sesuatu yang lebih bermakna jika kamu melihat lebih dalam". Atau mungkin bujet yang lebih besar ($10 juta, dua kali bujet film sebelumnya) memungkinkan ia menampilkan banyak hal seperti CGI Toby. Tapi yang manapun, progresi lebih itu mampu membuat saya terjaga dari rasa kantuk. Menonton film ini terasa seperti hadir dalam perkuliahan membosankan bersama seorang teman yang tiap menit setia mengingatkan saya untuk tetap terjaga. Bukan kelas yang menyenangkan, tapi saya akhirnya tidak tertidur.
Melalui The Ghost Dimension pula franchise Paranormal Activity berusaha mendobrak batasan found footage horror. Esensi sub-genre satu ini adalah membuat apa yang tersaji di layar nampak senyata mungkin (selain penghematan biaya). Film ini dengan berani mendobrak esensi tersebut. Karena dengan kemunculan Toby yang full CGI, kesan nyata pun sama sekali tidak saya rasakan. Disaat film-film sebelumnya masih mengandalkan practical effect seperti selimut yang tiba-tiba berdiri, The Ghost Dimension ingin menyaingi Mama dengan menghadirkan sosok hantu lewat CGI. Oren Peli mungkin sosok paling hebat di dunia horor saat ini. Setelah film pertama menunjukkan bagaimana mengemas found footage yang benar, dalam artian terkesan nyata meski sederhana, maka film terakhirnya berhasil memberi contoh bagaimana membuat found footage yang keliru. Bukankah hebat disaat sebuah franchise mampu memberikan dua standar yang begitu bertolak belakang?

Saya tidak pernah mempermasalahkan penulisan naskah maupun karakteriasi dalam film horor, karena tujuan utamanya bukanlah itu. Apalagi jika filmnya memang sadar diri dan sengaja menjadi bodoh. Tapi khusus untuk film ini, naskahnya yang ditulis berkelompok oleh empat orang sudah melampaui batas kebodohan. Ditambah lagi menutup mata dan tidak ingin mengakui kebodohannya. Tindakan tiap karakter bukan hanya bodoh tapi sering berkontradiksi antara momen satu dengan lainnya. Mike diawal nampak begitu antusias dan meyakini kehadiran hantu di dalam rumah, sedangkan Ryan mencoba berpikir lebih "positif". Tapi beberapa menit kemudian yang terjadi sebaliknya. Hal sama terjadi saat Skyler coba membawa Emily berpikiran lebih rasional, padahal sebelumnya Skyler menjadi karakter yang paling percaya terhadap hal gaib. Atau lihat sewaktu Skyler dan Mike kembali ke rumah untuk mengambil beberapa barang setelah sebelumnya "mengungsi" ke hotel. Ketika hendak pergi dan sudah tepat di depan pintu, mereka mendengar suara aneh. Daripada keluar, mereka justru menutup pintu dan mengecek ke dalam. Bukankah sebelumnya mereka sudah begitu ketakutan? 

Kembali ke cerita awal tentang sekumpulan remaja perempuan yang antusias melihat trailer film ini, saya yakin mereka pulang dengan penuh kepuasan begitu usai menonton. Saat menonton 99 Homes pun, fokus mereka lebih tertuju pada kegantengan Andrew Garfield daripada kekuatan drama yang tersaji. Bagi golongan penonton seperti itu, Paranormal Activity: The Ghost Dimension kemungkinan besar bakal memuaskan. Tidak peduli apakah mereka mampu merangkai berbagai jalinan jawaban terhadap berbagai pertanyaan mengenai alur Paranormal Activity yang dipaparkan film ini atau tidak. Untuk mereka yang menjadikan kegiatan menonton sebagai pengisi waktu luang disela jeda kuliah film ini akan memuaskan. Untuk mereka yang menonton horor hanya supaya bisa berpegangan tangan dengan pacar film ini akan memuaskan. Untuk mereka yang menyamakan definisi "kaget" dan "takut", film ini akan memuaskan. Seusai film, banyak penonton menghela nafas dengan senyuman tanda lega karena teror selama 88 menit itu telah berakhir. Saya pun memberikan respon serupa. Karena akhirnya siksaan mengerikan 88 menit sudah berakhir. Lebih dari itu, franchise yang diulur perjalanannya selama delapan tahun ini sudah selesai. Semoga.

(Maafkan beberapa sarkasme di tulisan ini. Saya masih muak dengan filmya)

6 komentar :

Comment Page:

YAKUZA APOCALYPSE (2015)

Tidak ada komentar
Setiap sutradara hebat selalu punya ciri yang mencirikan film mereka. Namun bukan hal aneh jika pada satu titik karirnya, sang sutradara mencoba gaya lain, entah karena tuntutan ekonomi atau memang ingin mencoba hal baru. Bukan hal aneh pula saat sang sutradara di kemudian hari memilih kembali ke akarnya. Hal serupa tengah dialami Takashi Miike. As the Gods Will merupakan pertanda kesiapan Miike bertahta kembali sebagai sutradara gila nomor satu Jepang. Gelar yang dalam beberapa tahun terakhir mulai direbut oleh Sion Sono saat Miike tengah sibuk "mencari makan". Yakuza Apocalypse menghadirkan semua aspek yang menjadi ciri sekaligus kesukaan sang sutradara. Kisah Yakuza, unsur kekerasan, sampai jalinan plot absurd ada disana. Apakah lewat film ini Takashi Miike telah kembali ke akarnya sebagai "orang sinting"?

Adegan pembukanya menjanjikan, saat memperlihatkan Kamiura (Lily Franky) membantai puluhan Yakuza dengan hanya bersenjatakan sebuah pedang. Kamiura menebas satu per satu musuhnya, menciptakan pertumpahan darah yang akan membuat penggemar Miike manapun tersenyum girang. Kamiura seolah tak bisa mati disaat berondongan peluru pun tak sanggup menghentikan amukannya. Memang Kamiura tidak bisa dibunuh dengan cara biasa, karena sejatinya sang bos Yakuza ini adalah vampir. Dia pun ditakuti Yakuza lain karena dianggap tak bisa mati. Masyarakat menyukai sosoknya yang setia menjaga kota dan memegang prinsip "tidak boleh melukai warga sipil." Pemandangan aneh pun tercipta tatkala di sepanjang jalan orang-orang tampak begitu mengagumi sosoknya. Bahkan disaat seorang bocah disentuh wajahnya oleh Kamiura, sang ibu tersenyum bangga.

Salah seorang pengagumnya adalah Akira Kageyama (Hayato Ichihara) yang memutuskan bergabung dengan kelompok Kamiura. Meski dikenal sebagai Yakuza yang tangguh dan setiap pada sang bos, Akira sering mendapat olok-olok teman-temannya sesama Yakuza karena kondisi kulit sensitifnya membuat Akira tidak bisa ditato. Akira sendiri berpendapat bahwa tato bukanlah hal esensial bagi seorang Yakuza. Melalui sosok Akira, Miike tampak berniat mengkritisi obsesi banyak orang (tidak hanya Yakuza) terhadap pencirian yang dangkal. Daripada mendalami esensi, mereka lebih mengutamakan tampak luar. Yakuza pun terlihat seperti geng "anak gaul", yang hanya memperbolehkan anak-anak berpakaian mahal sebagai anggota. Sebenarnya banyak hal yang coba dikritisi oleh Miike lewat film ini, tapi kita akan membahas itu nanti.
Yakuza Apocalypse mulai masuk ke ranah yang lebih gila saat sebuah organisasi kriminal luar negeri datang untuk memburu Kamiura. Di dalamnya ada banyak sosok aneh, seperti Kyoken, seorang pembunuh dengan penampilan layaknya otaku yang diperankan Yayan Ruhian, (Kyoken punya arti Mad Dog), sesosok kappa, dan sesosok pria misterius ahli beladiri yang mengenakan kostum kodok. Karakter-karakter aneh tersebut berbaur dengan plot yang semakin lama juga berjalan makin liar. Pasca ikut berubah menjadi vampir, Akira lepas kontrol dan menyebabkan banyak warga sipil ikut berubah. Mereka tidak hanya menjadi vampir, tapi juga Yakuza, lengkap dengan perubahan sikap dan kemunculan tato di badan. Berubahnya warga sipil menjadi Yakuza membuat Yakuza asli kehilangan sumber penghasilan. Salah seorang petinggi (Reiko Takashima) bahkan berinisatif menanam tanaman yang akan tumbuh menjadi warga sipil. Terdengar gila? Masih banyak keanehan diluar nalar lain yang ditumpahkan Miike, dan semakin "kacau" seiring berjalannya durasi.

Semua itu terdengar seperti mimpi indah bagi tiap penggemar Miike yang telah merindukan kembalinya gaya sang sutradara. Tapi Miike sendiri justru seperti lupa cara menyajikan kegilaan yang membesarkan namanya. Salah satu karya Miike yang menjadi favorit saya adalah Gozu. Alurnya pun berkisah tentang Yakuza dengan sentuhan surealisme kental yang rumit sekaligus disturbing. Dalam Yakuza Apocalypse, Miike tampak berusaha keras kembali ke gayanya yang lama. Tapi sepertinya bertahun-tahun menggarapan film "waras" telah membuat kegilaannya memudar. Setelah opening berdarah-darah, praktis filmnya mengendur. Kita tidak akan melihat gore, tidak pula keanehan apapun. Hingga separuh jalan, filmnya serupa dengan sajian Yakuza kelas dua dari para sutradara medioker. Beberapa kali Miike menyelipkan simbolisme dan momen sureal sebagai jalannya menyajikan kritik, tapi itu tidak cukup menahan atensi saya. Sebagian besar bagian terasa membosankan. Sangat membosankan.
Padahal kunci keberhasilan film penuh surealisme adalah bagaimana membuat penonton tetap bersemangat menerima kejanggalan alur sebagai kunci menyusun puzzle yang disebarkan secara acak. Miike gagal melakukan itu. Akhirnya saat kegilaan mencapai puncak, saya tidak tertarik lagi untuk coba memahami alurnya. Setelah disuguhi banyak hal normal tidak menarik, kegilaan menjelang akhir pun terasa begitu terlambat. Saya tidak peduli meski Miike memasukkan kritik sosial tentang eksploitasi rakyat jelata oleh penguasa, permainan moral tentang sisi kebaikan dan kejahatan, atau siapa sebenarnya si manusia kodok itu. Apa ada hubungannya dengan tato bergambar Jiraiya menunggangi kodok (lukisan folklore terkenal dari Jepang) yang ada di punggung Akira? Sekali lagi saya sudah tidak peduli.

Kehadiran Yayan Ruhian pun tak banyak membantu. Diluar kehebatannya di ranah adegan aksi, Yayan jelas bukan aktor watak hebat. Karena itu butuh sutradara yang memang jeli mengemas tiap gerakan yang ia hadirkan. Atau bahkan berikan kebebasan bagi Yayan menjadi penata koreografi adegan aksi. Miike adalah sutradara dengan kemampuan menghadirkan shock value, bukan pengadeganan rumit yang menarik, salah satu hal penting dimiliki sutradara untuk mengeksploitasi kelebihan sang aktor. Lewat film ini, Takashi Miike telah menyia-nyiakan potensi seorang Yayan Ruhian.

Andai saja Miike sudah tancap gas sedari awal mungkin Yakuza Apocalypse bakal menjadi kesenangan luar biasa bagi saya. Apakah sang sutradara sudah kehilangan instingnya guna meramu sajian absurd penuh kegilaan menyenangkan? Saya harap tidak, tapi dalam film ini, Takashi Miike nampak berusaha terlalu keras menjadi dirinya yang lama untuk mengulangi kejayaan masa lalu. Yakuza Apocalypse berakhir hanya sebagai film aneh penuh kebodohan yang gagal menggaet atensi saya supaya tetap tertarik mengikuti keanehan ceritanya. Untuk menerimanya sebagai sajian hiburan bodoh pun saya sama sekali tidak terhibur karena diluar kegilaan menjelang akhir, mayoritas yang hadir hanya kekosongan tanpa hal signifikan apapun. Terlalu aneh bagi penonton mainstream, tapi terlalu normal bagi pencari kesintingan seorang Takashi Miike.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

DRAGON BALL Z: RESURRECTION "F" (2015)

3 komentar
Freeza merupakan salah satu kalau bukan villain terbaik yang dimiliki Dragon Ball. Sebelum kemunculan tokoh-tokoh seperti Cell atau Majin Boo, dia mendapat gelar yang terkuat di alam semesta. Sosoknya yang memiliki empat wujud perubahan pun begitu ikonik. Belum lagi fakta bahwa Freeza banyak berperan dalam kejadian-kejadian penting di rentetan narasi Dragon Ball, contohnya: kehancuran Planet Vegeta, membunuh Bardock (ayah Goku), membunuh Kuririn, dan pastinya perubahan pertama Goku menjadi manusia saiya super. Maka tidak mengherankan jika Akira Toriyama memilih untuk menghidupkannya kembali pada film terbaru ini. Merupakan kelanjutan dari Battle of Gods, Resurrection "F" memang masih bertindak sebagai nostalgia dan tribute daripada murni sajian baru, sehingga mengembalikan Freeza adalah keputusan tepat.

Jadi bagaimana Freeza yang telah mati di tangan Trunks dan mendapat siksaan berupa dikelilingi oleh boneka lucu serta para peri di neraka dapat kembali? Tentu saja menggunakan Dragon Ball. Sorbet yang sepeninggal Freeza mengambil alih tampuk kekuasaan merasa kewalahan menghadapi berbagai pemberontakan di planet kekuasaan mereka. Akhirnya ia pun memutuskan untuk mengumpulkan Dragon Ball di Bumi. Secara kebetulan, Dragon Ball tengah dicari oleh Pilaf, Mai dan Shu. Begitu kembali hidup, tujuan utama Freeza hanya satu, yakni membalas dendam pada Goku. Untuk itulah ia mulai berlatih selama beberapa bulan demi meningkatkan kekuatannya. Hal ini tak pernah dilakukan karena Freeza terlahir sebagai petarung jenius yang tidak membutuhkan latihan untuk menjadi kuat. Disaat bersamaan, Goku dan Vegeta tengah berlatih bersama Whis, guru sekaligus pelayan bagi Beerus sang dewa penghancur yang pertama muncul di Battle of Gods.

Beberapa poin plotnya menunjukkan kesederhanaan, cenderung kearah escapism penuh penggampangan. Sebut saja cara Freeza bisa kembali, dan bagaimana ia memperoleh kekuatan hingga dapat mengimbangi Goku yang telah mencapai level legendary super saiyan. Tapi begitulah Resurrection "F". Para penggemar seperti saya akan kembali ke masa kecil. Maksudnya adalah kita dibuat menerima segala penjelasan plot meski terkesan menggampangkan. Karena anak-anak memang cenderung lebih mudah menerima pemaparan sederhana macam itu. Film lain mungkin bakal mengganggu, tapi saya mengenal Dragon Ball. Begitulah cara Akira Toriyama menuturkan kisahnya, dan saya sama sekali tidak keberatan. Begitu pula saat Toriyama menawarkan jalan keluar instan lain macam perputaran waktu yang mengingatkan pada Superman mengitari Bumi untuk mengembalikan waktu. Tidak masalah pula saat alurnya setipis kertas dan lebih menitikberatkan pada pertarungan demi pertarungan.

Bagi penonton non-penggemar, mungkin film ini terasa repetitif dan membosankan. Tapi untuk fans lama, tiap pertarungan yang hadir menyimpan nostalgia. Sebelum Goku dan Vegeta tiba di medan pertempuran, kita disuguhi para z fighter lain terlebih dulu. Piccolo dan Gohan seperti biasa muncul, tapi kehadiran Tenshinhan, Kuririn (dengan kepala botaknya), bahkan Mutenroshi memberikan kegirangan penuh kenangan. Mereka pun diberi spotlight moment guna memamerkan jurus ikonik masing-masing. Tiap jurus membawa saya terlempar lagi ke masa lalu saat komik Dragon Ball menjadi bacaan tiap hari bahkan sewaktu makan. Fans mana yang tidak tersenyum lebar menyaksikan Mutenroshi bertranformasi menjadi sosok berbadan kekar lagi? Sosok Mutenroshi berbadan kekar itulah yang menandai kemunculan pertama kamehameha. Komedinya pun lebih bisa diapresiasi oleh penggemar daripada penonton awam. Saya tertawa saat Tenshinhan berkata bahwa ia meninggalkan Yamucha karena pertarungan ini terlalu berbahaya bagi dia. 
Lebih dari itu, Tadayoshi Yamamuro selaku sutradara turut berhasil melakukan building tension. Kedatangan Freeza yang dihadapi oleh para z fighter dengan penuh keraguan sebelum akhirnya mereka harus berjibaku melawan ribuan musuh sanggup memberi kesan ancaman. Ada ketegangan saat filmnya berhasill menyiratkan akan terjadinya peperangan epic yang mempertaruhkan nasib Bumi. Saya pun ikut dibuat cemas menantikan kepulangan Goku dan Vegeta sebagai harapan terakhir untuk mengalahkan Freeza. Sayangnya, setelah pembangunan tensi kuat itu, saya kecewa dengan bagaimana klimaksnya dihantarkan. Pertempuran antara Goku versi legendary super saiyan melawan Golden Freeza jelas menghibur, tapi bukan sajian epic seperti yang disiratkan. 

Jika biasanya Dragon Ball identik dengan momen kebangkitan protagonisnya yang bertransformasi menjadi sosok super kuat (biasanya versi upgrade dari super saiyan), kali ini hal itu tidak hadir. Goku sudah berubah sedari awal pertarungan, membuat versi super saiyan baru itu tidak memberi efek lebih. Konklusinya semakin anti-klimaks dengan penggunaan aspek "perputaran waktu". Sebagai penggemar Vegeta saya kembali kecewa karena sang antihero sekaligus rival Goku ini lagi-lagi tidak diberi porsi adil untuk bersinar. Saya pun hanya dibuat berharap melihat kombinasi Goku-Vegeta (fusion mungkin?) Tapi sebagai nostalgia, film ini telah memberikan kesenangan. Jika Battle of Gods bagai pesta kepulangan kawan lama, maka Resurrection "F" adalah obrolan mengenang masa lalu bersama sang kawan. Dua momen yang sebenarnya bisa dilakukan bersamaan, tapi tetap menyenangkan.

3 komentar :

Comment Page:

99 HOMES (2015)

1 komentar
Masing-masing dari kita pasti memegang suatu bentuk moralitas. Dari situ seseorang dapat memilah antara benar dan salah. Kebenaran berada dalam lingkaran moral, sedang kesalahan berarti menyimpang dari moral. Justifikasi pun lebih mudah dilakukan karena adanya "kiblat" sebagai pegangan. Namun tatanan moralitas sebagai keabsolutan hanya dapat kita terapkan dengan mudah pada situasi penuh kesempurnaan. Sebaliknya, sewaktu konflik pelik mulai merangsek masuk, sisi absolut berganti dengan ambiguitas. Memabca premis 99 Homes, sekilas akan mudah menilai bahwa perbuatan sang tokoh utama menyalahi moral, apapun alasannya. Tapi Ramin Bahrani selaku sutradara mampu menyeret penonton untuk memikirkan ulang penilaian tersebut.

Dennis Nash (Andrew Garfield) merupakan ayah tungga dari seorang putera. Dia pun tinggal bersama sang ibu, Lynn Nash (Laura Dern). Tidak diceritakan siapa dan ada dimana ibu dari anak Dennis, karena hal itu bukan topik esensial. Masa lalu tiap karakternya memang tidak penting untuk diketahui. Karakter-karakter dalam film ini bertindak untuk masa kini sambil memimpikan masa depan yang masih nampak buram lewat semangat American Dream. Untuk saat ini, Dennis adalah pengangguran, setelah pekerjaan konstruksi bangunan yang ia lakukan dihentikan akibat sang pemilik modal tidak mampu memenuhi syarat pembangunan. Di tengah pemasukan yang nihil, Dennis masih harus menghadapi ancaman pengusiran dari rumahnya karena terlambat membayar sewa tanah. 

Proses di pengadian terbukti tidak banyak memberi bantuan. Hingga akhirnya momen yang ditakutkan tiba saat seorang pengusaha real estate bernama Rick Carver (Michael Shannon) datang bersama polisi untuk mengusir Dennis dan keluarganya. Kita melihat betapa dinginnya Rick dan polisi melakukan pengusiran. Apapun alasannya, mereka hanya ingin Dennis beserta keluarganya mengeluarkan seluruh barang dari dalam rumah hanya dalam waktu dua menit. Dennis pun terpaksa membawa ibu dan anaknya tinggal secara sementara di sebuah motel. Banyak dari mereka yang tinggal di motel tersebut juga korban pengusiran yang pada akhirnya menyerah untuk mencari hunian baru dan tingga bertahun-tahun disana. 
What will you do? Jika anda berada di kondisi serupa, apa yang akan anda lakukan. Jawaban normatif tentu saja tidak jauh dari "terus bersabar" atau "bekerja sekeras mungkin". Pada awalnya Dennis pun berpikir demikian. Tapi bayangan akan masa depan suram, berakhir tinggal selamanya di motel, serta kegagalan memenuhi kebutuhan keluarga tercinta pastilah menghantuinya. Kemudian datanglah malaikat penyelamat yang menjanjikan pekerjaan dengan uang menggiurkan. Malaikat tersebut tak lain adalah Rick Carver. Orang yang telah mengusir Dennis. Filmnya pun bergerak membawa kita menuju sisi gelap. Dennis mulai melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor. Bahkan ia yang dulunya korban pengusiran mulai menjadi sang pengusir. Pertanyaan benar/salah pun dibuat berputar di kepala saya. 

Semakin jauh berjalan, semakin kuat pula film ini membuat saya melupakan suatu moralitas. Apakah tindakan Dennis patut dibenarkan? 99 Homes berhasil menunjukkan dua sisi berlawanan untuk penonton pahami dengan seksama. Pertama adalah sisi dari mereka yang terusir. Kita akan bersimpati tatkala melihat mereka diusir secara paksa, seolah tanpa dianggap sebagai manusia dari rumah yang telah dihuni sekian lama. Bahkan tidak jarang pengusiran tersebut merupakan hasil dari kecurangan penuh korupsi. Sedangkan disisi satunya, kita pun memahami alasan Dennis melakukan semua itu. Dia berada pada kondisi terhimpit, terjatuh pada jurang terdalam yang tanpa adanya keajaiban bakal terasa sulit untuk bangkit. Jika sanggup pun akan makan waktu lama. Dia tidak ingin menunggu lama. Siapa yang rela melihat anak tunggal dan ibu kandungnya menderita dalam waktu lama? 
Namun titik terkuat 99 Homes adalah disaat filmnya tidak hanya berhasil memperlihatkan sisi kelam suatu karakter, namun membuat saya selaku penonton turut masuk dalam sisi gelap saya sendiri. Bukan hanya saya memaklumi tindakan Dennis, namun ada satu titik dimana saya mendukungnya. Bahkan disaat Dennis mulai tersadar (which is predictable) saya cukup menyayangkan pilihannya. Jika anda tidak mampu menjawab secara yakin pertanyaan "apa yang kamu lakukan jika terjebak pada kondisi serupa?" film ini mampu membuat anda secara tidak sadar menemukan jawaban tersebut. Kisahnya menyeret saya kedalam sisi gelap saya sendiri. Apakah artinya saya akan melakukan tindakan serupa dengan Dennis? Cukup besar kemungkinan untuk itu.

Money is not everything, but definitely a powerful thing. Ditambah dengan koneksi kuat, pemiliknya akan seolah tampak tak terkalahkan. Jika jeli melihat ending-nya, anda akan menyadari konklusi film mengarah ke pernyataan tersebut. Rick memiliki kedua hal tersebut. Tapi sosoknya sendiri menarik untuk mendapat observasi lebih jauh. Mudah menganggapnya sosok tak berperasaan. Mereka yang diusir dari rumah merasa Rick seperti itu. Namun Michael Shannon mampu menyuntikkan sisi abu-abu dalam sosok Rick. Dia bukan semata-mata antagonis murni jahat berdarah dingin. Dalam tiap pengusiran, terlihat dari ekspresi dan mata Shannon bahwa itu bukan hal mudah bagi Rick. Tapi ambisi akan uang mampu membuatnya mengesampingkan dilema. 

Mungkinkah ia mempekerjakan Dennis karena terbersit rasa bersalah? Jika ingin memanfaatkan, mengapa hingga akhir Rick tak pernah sekalipun mengkhianati "partnernya" itu? Memang ia serakah, tapi sebuah monolog Shannon mengenai masa lalu karakternya membuat kita paham, bahwa keserakahan itu didorong oleh penderitaan masa lalu. Jadi apakah Rick sepenuhnya kejam? Apakah Dennis bisa dibenarkan? Sejauh mana nilai moralitas dapat berlaku? Seperti apa definisi benar dan salah? 99 Homes begitu kuat menghadirkan ambiguitas segala pertanyaan tersebut, meski pada akhirnya konklusi yang ditawarkan terlalu aman setelah saya dibawa masuk kedalam sisi kegelapan sepanjang film. Atau mungkin saya yang belum keluar dari kegelapan itu? Entahlah. Kebenaran memang terlalu ambigu.

1 komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY: HOTEL (EPISODE 1 - 3)

Tidak ada komentar
Setelah kekecewaan terhadap Freak Show (which is the worst of AHS), saya tidak menggantungkan ekspektasi tinggi kepada musim kelima ini. Ryan Murphy boleh menjanjikan Hotel sebagai game changer, tapi kehilangan Jessica Lange yang merupakan magnet terbesar serial ini jelas patut dikhawatirkan. Sekarang setelah saya menyadari batasan cerita yang ditulus Ryan Murphy dan Brad Falchuk, hanya satu harapan yang saya pasang: batshit crazy! Kegilaan tanpa henti yang membuat saya jatuh cinta pada Asylum (musim kedua) sudah akan cukup memuaskan meski ceritanya kacau sekalipun. 
Berikut adalah ulasan tiap episode dari American Horror Story: Hotel yang akan di-update tiap minggunya:

1 - CHECKING IN
Kita langsung dibawa memasuki Hotel Cortez yang berdiri megah nan elegan dengan ornamen lantai sebagai tribute pada The Shining. Ada Iris (Kathy Bates) sang resepsionis tidak ramah, bartender cross dressing bernama Liz Taylor (Denis O'Hare), Sally (Sarah Paulson) si wanita pucat berambut aneh, dan tentunya Elizabeth a.k.a The Countess (Lady Gaga) yang haus darah. Kita tahu mereka akan menjadikan Hotel Cortez sebagai ladang pembantaian banjir darah. Disisi lain ada Detektif John Lowe (Wes Bentley) yang tengah menangani beberapa kasus pembunuhan misterius. Inilah yang saya tunggu dari AHS: eksploitasi. Freak Show kehilangan semangat bersenang-senang dan Hotel berhasil mengembalikannya. Seorang pria dengan kedua bola mata tercongkel, tangan terpaku ke dinding, dan kemaluan masih menancap di mayat seorang wanita. Pria itu masih hidup namun tidak bisa berteriak karena lidahnya dipotong. Lalu ada sosok The Addiction Demon yang bersenjatakan bor sebagai dildo untuk menyodomi seorang pecandu narkoba. Lady Gaga mungkin tidak punya pesona sekuat Lange, tapi merepresentasikan Hotel yang kental sisi glamor, sensualitas (I love the orgy bloodbath scene) serta adiksi. Sarah Paulson dan Denis O'Hare menjadi scene stealer dengan performa eksentrik keduanya. Ketiadaan Lange dan Paulson bukan sebagai wanita "baik-baik" memberikan kesan asing, seolah ini bukan episode AHS. Ceritanya tentu masih tidak kokoh, tapi selama kegilaan eksploitasi masih setia menghiasi, antusiasme saya terhadap Hotel bakal terjaga. (3.5/5)

2 - CHUTES AND LADDERS
Setelah "kemeriahan" episode perdana, Hotel akhirnya mulai mengeksplorasi ceritanya. Kita dipertontonkan asal usul Hotel Cortez yang dibangun oleh James March (Evan Peters) pada 1925 sebagai tempat penyaluran hobinya membantai orang. Terasa menyegarkan melihat satu lagi regular cast serial ini memainkan sosok berbeda. Evan Peters bukan lagi pemuda yang "terperangkap". Dia bak aristokrat psikopat yang dengan penuh ego serta harga diri melakukan pembunuhan. "Siapa" atau mungkin lebih tepatnya "apa" Elizabeth (Lady Gaga) pun mulai menemukan sisi terang. Tinggal menunggu saja flashback untuk pendalaman karakter di beberapa episode mendatang. Gaga memang tidak sekuat Lange dalam penghantaran dialog, tapi dia adalah every men's wildest imagination yang membawa sisi sensual American Horror Story pada tingkatan tertinggi. Dari sudut pandang cerita, Chutes and Ladders menjanjikan kisah menarik. Sekarang tinggal bagaimana Ryan Murphy dan Brad Falchuk tidak mengacaukan itu dengan hasrat memasukkan hal sebanyak mungkin. Jangan sampai pula Hotel berubah menjadi "iklan layanan masyarakat" mengenai anti-narkoba atau alkohol. Keep the message subtle, and it'll be fine. Pastinya episode ini membuktikan bahwa AHS semakin tasteless lewat gore dan seks-nya. And I love that! (4/5)

3 - MOMMY
Seperti judulnya, episode ini lebih banyak menyoroti drama ibu dan anak. Alex (Chloe Sevigny) masih memendam duka akibat hilangnya Holden. Sekilas flashback memperlihatkan sisi depresif Alex dalam beberapa waktu pasca tragedi tersebut. Maka disaat Scarlet bercerita tentang pertemuannya dengan Holden, Alex pun merasa puterinya itu sengaja ingin menyakiti perasaannya. Sedangkan Iris masih menerima penolakan dari sang putera, Donovan (Matt Bomer). Dramanya tidak akan terasa emosional meski ada performa menyayat hati seorang Kathy Bates. Tapi terdapat poin plus, karena Mommy menjadi turning point dalam dua kisah ibu-anak di atas. Setelah episode ini baik Alex maupun Iris tidak akan terasa sama lagi yang mana menarik dinanti. Episode ini banyak beristirahat setelah kegilaan sebelumnya. Kesenangan mengendur, tapi fungsi utama Mommy adalah memberikan tease sekaligus pondasi bagi konfik-konflik yang akan datang. Dari semua hal baru, kehadiran Ramona Royale (Angela Bassett), mantan kekasih Elizabeth yang berniat membalas dendan kepada sang Countess jadi yang paling menarik. Tidak sabar menanti konfrontasi Lady Gaga dan Angela Bassett. (3/5)

Tidak ada komentar :

Comment Page:

SENDIRI DIANA SENDIRI / FOLLOWING DIANA (2015)

2 komentar
Melalui film pendeknya yang sempat menjalani pemutaran di Toronto International Film Festival 2015 ini, Kamila Andini membuktikan bahwa kisah sederhana yang bahkan di atas kertas terdengar cheesy dapat menjadi cerminan realita mengesankan bila diramu secara tepat. Diana (Raihaanun) sang titular character adalah ibu rumah tangga dengan satu orang putera yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Tampak dari situasi rumah, perabotan, serta pakaian yang ia kenakan bahwa Diana bukanlah orang kaya. Namun ia terlihat cukup bahagia menjalani rutinitas rumah tangga dan merawat sang anak dengan senyum tersungging di bibir. Saya pun langsung percaya bahwa Diana adalah seorang istri yang tak akan keberatan menantikan sang suami, Ari (Tanta Ginting) pulang kerja meski hinga larut malam. 
Sebuah adegan sederhana minim dramatisasi pula emosi tersaji saat Diana menyambut kepulangan Ari. Kesunyian malam hari, senyum simpul di wajah seorang istri menyambut kepulangan sang suami yang memunculkan tatapan lelah karena telah seharian mencari nafkah. Pemandangan ini jelas biasa kita temukan di kehidupan sehari-hari. Tapi kemudian Ari menunjukkan sebuah slide dari laptopnya pada Diana. Isinya amat mengejutkan. Sekilas nampak seperti presentasi kerja biasa, namun berisikan pembagian waktu dan materi untuk Diana dan seorang lagi istri. Ya, Ari yang baru saja pulang tanpa lupa membelikan pianika bagi puteranya itu sedang memaparkan niatannya untuk menikah lagi. Wajar bila Diana terkejut, sedih, marah. Tapi tiada luapan amarah penuh teriakan disana. Tidak ada pula tangisan membanjiri Diana layaknya sinetron-sinetron di layar kaca atau film romansa rasa opera sabun yang sering jadi idola masyarakat. Sunyi. Saya pun hanya diam. Tapi dibalik kediaman itu ada berbagai rasa bergejolak. Saya yakin itu pula yang dirasakan Diana.

Bagaimana Kamila Andini menjadikan Sendiri Diana Sendiri tidak terjerumus ke ranah dramatisasi memuakkan? Semua karena ia memahami, bahwa emosi tak dapat ditakar hanya dengan memperhatikan tampak luar. Justru kediaman yang menyembunyikan gejolak itu jauh lebih mencengkeram. Tanpa harus dipertunjukkan secara gamblang, kita tetap mengetahui bagaimana perasaan Diana, bahkan bersimpati. Terciptalah drama melankoli secara esensi yang tidak dipaparkan secara melankoli. Begitulah sajian berkelas. Pastinya tidak hanya kecermatan Andini yang bermain. Tanpa akting kuat Raihaanun, sutradara sehebat apapun bakal kerepotan untuk sampai pada pencapaian tersebut. 
Sang aktris berhasil menyuguhkan penampilan emosional namun secara subtil. Entah melalui tatapan mata, perubahan raut wajah kecil, hingga business act seperti sebuah cengkeraman yang mampu membuat penonton secara tak sadar terhisap menuju kedalaman emosinya. Hanya sekali tangisan ia ledakkan, yakni saat terjadi pembicaraan dengan Ari mengenai pernikahan keduanya di dalam kamar. Itupun tidak ia munculkan dengan berlebih. Dia "hanya" mengajukan beberapa pertanyaan, yang tiap jawabannya makin menghancurkan hati Diana. Setiap progres kehancuran itulah tangisnya setahap demi setahap mulai pecah. Bukan tangis murahan meminta belas kasih penonton, melainkan murni tangis kesedihan seorang wanita yang tersakiti. 

Di samping itu, saya pun makin yakin bahwa Raihanuun merupakan salah satu aktris negeri ini yang paling mampu bertransformasi menjadi sosok wanita dengan tingkat ekonomi menengah kebawah. Lihat bagaimana ia menaiki tangga untuk membetulkan lampu, bagaimana ia menjemur pakaian, bahkan mengendarai motor. Hal-hal sederhana, tapi begitu sering saya mendapati aktris lain seolah ragu melakukan kegiatan-kegiatan "susah" semacam itu. Contoh lain untuk pernyataan ini coba tengok akting Raihaanun di Lovely Man. Tidak ada sedetikpun waktu anda akan melihat sosok seorang selebriti papan atas dalam peran-perannya.
Untuk makin mendekatkan penonton pada Diana, Andini pun sebanyak mungkin memberikan fokus kamera pada sang karakter. Saat terjadi pembicaraan sengit dengan keluarga Ari misalkan, hanya Diana yang nampak. Kita baru berkesempatan melihat anggota keluarga lain saat pembicaraan telah usai. Berkat itu keintiman antara penonton dengan Diana tercipta. Progresi emosi Raihanuun dapat kita perhatikan secara mendetail. Begitu pula untuk sisi kesendirian Diana. Seperti judulnya, Diana memang sendiri. Secara visual, Andini sering menempatkan karakternya di tengah kesendirian, dimanapun dan kapanpun itu. Secara lebih dalam lagi, Diana makin sendiri dikala kerabat-kerabatnya entah ibu kandung maupun mertua bagai tidak memberikan dukungan. Tentu ada rasa iba, tapi dukungan nyata yang dibutuhkan (atau diharapkan) Diana adalah tentangan terhadap keputusan Ari berpoligami. Itu tidak ia dapatkan. Diana makin sendiri, dan saya pun ikut terhanyut dalam kesendirian yang memikat tersebut.

Sisi religiusitas turut disinggung oleh film ini. Ibu dari Diana kecewa dengan keputusan Ari, tapi menyarankan puterinya untuk bertahan dengan alasan berdosa jika bercerai disaat sang imam kehilangan arah. Orang tua Ari pun serupa. Begitu adzan berkumandang, sang ayah memilih pergi untuk menjalankan solat. Dia menyatakan ketidaksetujuan, tapi tak pernah secara frontal memberikan larangan. Ari juga tergambar sebagai pria yang taat beribadah. Dari hal kecil seperti salam yang tak pernah lupa ia ucapkan, hingga kritikannya kepada cara berpakaian sang istri saat nongkrong bersama teman kantornya. Padahal Diana memakai pakaian yang sopan. Disisi lain, istri kedua Ari adalah wanita berjilbab. Ari tak pernah mengungkapkan alasan pastinya berpoligami. Dia pun menyangkal terjadi masalah dengan sang istri. Mungkinkah ia merasa Diana kurang muslimah? Kamila Andini tidak berusaha menjawab itu secara gamblang, karena film ini pun nampak sebagai pencariannya terhadap kebenaran di samping curahatan serta kritikan. 

Nampak luar, Sendiri Diana Sendiri hanyalah drama realis sederhana yang menonjolkan kekuatan seorang wanita di tengah kondisi paling rapuh sekalipun. Tapi dibalik itu, ada banyak hal tak nampak yang membuat saya begitu mudah jatuh cinta. Saya jatuh cinta pada emosi subtilnya. Saya jatuh cinta pada penampilan Raihaanun yang mampu mengeksplorasi emosi tanpa perlu meluapkan dengan berlebih. Saya jatuh cinta pada kesepian serta kesendirian yang dibangun atmosfernya. Bahkan dialog penutup saat Diana mengiyakan pertanyaan sang putera tentang bersama siapa ayahnya akan tinggal pun membuat saya jatuh cinta. 

2 komentar :

Comment Page: