VICTORIA (2015)

4 komentar
Saya yakin alasan mayoritas orang ingin menonton film garapan Sebastian Schipper ini adalah teknik single take yang digunakan. Tentu ini bukan sepenuhnya terobosan baru, karena "Victoria" adalah film kedelapan yang memakai teknik serupa. Kisahnya sendiri ber-setting di Berlin, dimana seorang gadis bernama Victoria (Laia Costa) tengah berada di sebuah klub malam. Saat berniat meninggalkan tempat tersebut, ia bertemu dengan empat orang pemuda; Sonne (Frederick Lau), Boxer (Franz Rogowski), Blinker (Burak Yigit) dan Fuss (Max Mauff). Keempatnya baru diusir dari klub itu karena tak memiliki uang untuk biaya masuk. Mereka berempat (khususnya Sonne) mulai menggoda Victoria, yang direspon positif oleh sang gadis. Victoria pun bersedia saat diajak berkumpul bersama, meminum bir yang dicuri dari sebuah mini market, lalu menghisap ganja di atap gedung. 

Berlangsung banyak obrolan yang membuat kita semakin mengenal Victoria. Kita tahu ia berasal dari Spanyol, bekerja di sebuah cafe, hingga impiannya menjadi pianis yang harus ia kubur dalam-dalam. Teknik single take-nya mungkin tak terlalu spektakuler jika dibanding beberapa film yang lebih dulu menggunakannya seperti "Russian Ark" atau "Birdman" (Film Inarritu memakai trik yang menjadikannya nampak seperti single take), namun berguna melancarkan aliran kisah. Tanpa kontemplasi ataupun momen emosional, tapi ketiadaan "cut" membuat flow adegan lebih lancar dan saya pun terhanyut karenanya. Akting natural para pemainnya bersesuaian dengan teknik pengambilan gambarnya menciptakan realita dalam layar. Mayoritas dialognya memang berasal dari improvisasi dan itu membantu terciptanya interaksi antar-karakter yang bebas, liar, namun terstruktur dan mengikat.
Lalu terjadilah perubahan 180 derajat dalam alur serta tone film. Dari sajian drama hangat, filmnya bertransformasi menjadi thriller mencekam. Berbagai aspek seperti single take dan akting para pemain pun tetap menjadi kelebihan utama. Rentetan adegannya masih dipenuhi kekacauan gila, hanya saja kegilaan pesta buah pengaruh alkohol digantikan oleh kegilaan penuh ketakutan dan maut. Schipper kembali memperlihatkan kelihaiannya mengarahkan kekacauan yang terstruktur. Gambar yang tanpa putus membuat tak satupun detail momentum termasuk emosi karakternya terlewatkan. Intensitas ketegangan pun mencengkeram kuat pada beberapa adegan. Ada sebuah adegan yang sesungguhnya sudah sering kita saksikan baik dalam film aksi, horor maupun thriller saat mobil yang dikendarai Victoria mendadak mati dan tak bisa ia nyalakan. Tapi karena building momentum yang kuat, adegan sederhana itu jadi amat menegangkan. 
Baik sebagai drama yang talkative maupun thriller, Sebastian Schipper mampu memanfaatkan single continuous take-nya dengan baik, sehingga tak hanya berakhir sebagai gimmick belaka. Namun permasalahan terbesar justru muncul pada naskah, tepatnya mengenai berbagai tindakan yang diambil Victoria. Saya bisa memahami saat ia bersedia diajak berkumpul bersama Sonne dan teman-temannya. Victoria baru tiga bulan di Berlin, masih asing dengan lingkungan, tak memiliki kawan, dan masih berada di bawah pengaruh alkohol serta euforia pesta. Kebersediaannya menjadi masuk akal. Tapi saat film bergerak menuju ranah thriller, hampir tiap keputusan yang ia ambil sulit diterima nalar, terasa dipaksakan sebagai upaya dramatisasi. Tentu ia merasa mendapatkan teman (ypertamanya di Berlin) dan menghabiskan waktu menyenangkan bersama mereka. Ditambah lagi mulai muncul ketertarikan pada Sonne dalam diri Victoria. Namun biar bagaimanapun mereka adalah stranger, tidak mungkin seorang wanita bersedia bahkan terlihat (paling) tenang menanggapi bahaya yang harus ia jalani. 

Mungkin naskahnya berusaha mengeksplorasi aspek dalam diri Victoria yang merasa gagal dalam hidupnya. Diberhentikan dari kelas musik karena dianggap tidak bagus, ia pun merasa mimpinya sebagai pianis telah hancur. Wajar jika orang sepertinya ingin mengambil kesempatan untuk membuktikan dirinya berguna, menjadi tidak wajar saat situasinya seperti dalam film ini. Ataukah hal itu dipengaruhi oleh alasan lain? Bisa jadi, namun apapun alasannya berbagai keputusan Victoria tetap sulit diterima. Menjelang akhir, filmnya coba menghadirkan beberapa adegan emosional yang tak maksimal karena (lagi-lagi) saya merasa Victoria seharusnya tak terlibat sejauh itu. Dia bisa mengambil jalan yang lebih mudah dan aman. Akhirnya sebagus apapun Laia Costa mencurahkan segenap emosinya, saya takkan tersentuh. Sangat disayangkan "Victoria" menjadi kedodoran di "babak kedua" karena terlalu memaksakan diri menjadi tontonan menegangkan nan emosional. Durasi mencapai 138 menit pun terlalu lama sehingga intensitas yang sejatinya telah dibangun dengan baik menjadi kedodoran, tak jarang melelahkan. Still worth watching because of its technical aspect.

4 komentar :

Comment Page:

LOVE & MERCY (2014)

1 komentar
Selalu menyenangkan untuk menikmati suatu hal yang menjauh dari formula standar. Hal tersebut dapat berbentuk film, musik, apapun. Suatu perbedaan telah memberikan poin plus, sebelum akhirnya kita menelisik lebih jauh apakah perbedaan itu berhasil dengan baik atau tidak. "Love & Mercy" karya sutradara Bill Pohland mempunyai pembeda dalam hal struktur cerita yang menjauhkannya dari sajian biopic kebanyakan. Pada umumnya, film biografi bergerak mengikuti pakem "rise and fall" dari tokoh yang diangkat kisah hidupnya. Sedangkan film yang mengangkat kehidupan Brian Wilson, pentolan sekaligus songwriter dari band The Beach Boys ini memakai alur non-linier serta memberi fokus lebih banyak untuk atmosfer daripada sekedar plot. Keputusan ini substansial, karena berjalan selaras dengan sosok Brian Wilson. Dia berani menciptakan perbedaan saat merekam album "Pet Sounds" dan isi kepalanya pun banyak dikacaukan oleh mental illness yang ia derita.

"Love & Mercy" secara bergantian mengisahkan fase kehidupan Brian Wilson saat era "Pet Sounds" (diperankan Paul Dano) dan masa dimana ia harus bergulat dengan penyakit mentalnya (diperankan John Cusack). Pada tahun 1960-an, The Beach Boys mencapai puncak kesuksesan lewat lagu-lagu bahagia bertemakan kultur berselancar, percintaan remaja dan mobil. Tapi pada suatu momen, Brian mendapat panic attack dan mendadak ingin mundur dari tur ke Jepang yang tengah mereka jalani. Brian berniat pulang ke rumah untuk merekam album yang yakini bakal menjadi "the greatest album ever made". Terinspirasi dari album "Rubber Soul" dari The Beatles yang masing-masing lagu saling berkaitan dalam satu tema, Brian pun berniat melakukan hal serupa. Dia tinggalkan nuansa cheerful serta kesederhanaan aransemen yang mencirikan The Beach Boys. Semuanya digantikan oleh tone lagu yang lebih dewasa, lebih kelam, serta penuh eksperimen seperti penggunaan suara anjing hingga bel sepeda. 
Penceritaan pada era ini menjadikan musik sebagai fokus utama seperti seharusnya. Baik album "Pet Sounds" maupun single "Good Vibrations" adalah masterpiece, dan film ini berhasil menunjukkan proses rekaman yang memang menggambarkan "masterpiece in the making." Terdapat rangkaian adegan saat Brian mengarahkan band-nya secara intensif pada sesi rekaman hingga membawa masuk beberapa ekor anjing kedalam studio. Bill Pohland created an excitement through those sequences as Paul Dano walking around the studio like a mad yet genius professor guiding his students. Sang aktor meyakinkan sebagai jenius yang tenggelam dalam keliaran eksplorasi, sekaigus disaat bersamaan makin terpuruk dalam gangguan psikologis. Produk musik akhir bukan menjadi fokusnya, namun bagaimana dinamika yang tercipta dalam proses tersebut, saat inspirasi mengalir deras dari imaji seniman jenius adaah pusatnya. Terdapat konflik antara Brian dengan Mike Love (Jake Abel) yang menganggap "Pet Sounds" akan sulit menuai kesuksesan komersil, dan album tersebut lebih kearah karya personal Brian daripada hasil kolektif The Beach Boys. 

"The opressed artist" dan "idealism versus commercialism" adalah dua tema sentral film ini pada era The Beach Boys. Brian merupakan representasi seorang seniman yang hanya ingin meluapkan isi hati serta keliaran berekspresi dalam karya. Namun justru kedua sisi itu membuatnya acapkali terlibat dalam konfrontasi. Berbagai masalah tercipta, semakin banyak pihak yang menentangnya, menempatkannya dalam keterasingan. Berawal dari situlah kekacauan psikisnya makin menjadi, saat kebebasan mencurahkan karya semakin ditekan. Saya dibuat memahami proses terbentuknya Brian di kemudian hari, tepatnya fase penceritaan kedua film ini. Saat itu Brian tengah mendapat perawatan intensif dibawah pengawasan penuh selama 24 jam dari psikolog bernama Eugene Landy (Paul Giamatti). Brian dijauhkan dari keluarganya, dikurung di dalam rumah, dan Eugene selalu mengawasi apa yang ia makan dan segala detail kesehariannya. Brian tak keberatan karena mengetahui psikisnya tidak baik-baik saja. Saat itulah ia bertemu dengan Melinda Ledbetter (Elizabeth Banks), seorang saleswoman yang kelak menjalin percintaan rumit dengan Brian.
Hubungan keduanya menjadi rumit karena interfensi dari Eugene yang meminta laporan dari Melinda setiap kali ia bertemu dengan Brian. Musik tak lagi menjadi fokus utama, berganti dengan kondisi Brian yang makin parah dan usaha Melinda membebaskan Brian. Kebebasan. Dalam kedua fase penceritaan memang itu yang tak dimiliki Brian. Dia selalu berada di bawah kontrol pihak lain, entah sang ayah, rekan-rekannya, studio rekaman, atau Eugene. Alur pada fase yang kedua ini menampilkan dampak puncak dari semua kontrol tersebut. Tidak kalah dengan Dano, John Cusack pun meyakinkan sebagai Brian. Sosoknya terlihat lifeless, clueless dan helpless, memancing simpati penonton padanya sekaligus Melinda. Karakter Eugene mungkin tak mendapat eksplorasi mendalam, tapi letupan emosi Paul Giamatti dan pembawaannya memudahkan penonton untuk membenci sosoknya, sekaligus menguatkan rasa iba terhadap Brian. 

Penggunaan dua aktor berbeda meski jangka waktu yang dirangkum tak terlalu panjang memiliki alasan. Pohland merasa bahwa physically, Brian mengalami perubahan signifikan pada era 80-an. Masalahnya, terdapat gap diantara dua timeline. Jarak baik pada fokus penceritaan, tampilan fisik aktor, hingga karakterisasi. Secara proses berkembang, memang logis saat Brian versi Dano menjadi versi Cusack, tapi saya tidak merasa ada benang merah selain nama karakter pada kedua timeline. Keduanya seperti berasal dari dua film berbeda mengenai Brian Wilson yang digabung menjadi satu. Bill Pohland kurang berhasil menyatukan kedua masa itu secara halus, sehingga eksperimennya untuk merangkum biopic lewat jalan yang tidak tradisional pun tak sesukses eksperimen Brian dalam "Pet Sounds". Namun dalam hal atmosfer, eksperimen itu berhasil. Atmosfer penciptaan karya musik, hingga mengenai gangguan mental Brian. There's one particular scene near the end, a surreal one that feels a little bit psychedelic. It shows that Bill Pohland is capable of creating a unique and extraordinary movie.


1 komentar :

Comment Page:

JESSICA JONES: SEASON 1 (2015)

15 komentar
Setelah "Daredevil" yang mengesankan dengan gritty tone, pendekatan realistis, serta character development mendalam khususnya pada sosok villain, wajar jika penonton begitu mengantisipasi perilisan "Jessica Jones" oleh Netflix. Digawangi oleh Melissa Rosenberg, serial berisikan 13 episode ini berkisah mengenai sang titular character yang berpofresi sebagai private investigator. Jessica Jones (Krysten Ritter) adalah detektif handal yang membuka biro investigasi bernama "Alias Investigations". Kasus yang ia tangani bervariasi mulai dari perselingkuhan hingga orang hilang. Tapi dibalik kehebatannya melakukan penyelidikan, Jessica memiliki senjata lain berupa kemampuan fisik yang melebihi manusia normal. Kekuatan itu turut membantunya dalam menyelesaikan banyak kasus yang tak jarang berujung pada adu fisik. Tapi Jessica bukan sejak awal menjadi detektif, karena sebelumnya ia menggunakan kekuatan tersebut untuk berperan sebagai superhero


Di sinilah sisi gelap mulai berperan dalam ceritanya. Alasan Jessica berhenti melakukan aksi kepahlawanan adalah karena Post Traumatic Syndrome Disorder (PTSD) yang ia alami pasca konfrontasi dengan penjahat bernama Kilgrave (David Tennant). Kilgrave memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran, dan Jessica sempat jatuh dalam pengaruhnya. Trauma akan berbagai hal buruk yang telah ia lakukan di bawah kendali Kilgrave, Jessica pun meninggalkan kehidupan lamanya, termasuk menghilang dari Trish (Rachael Taylor), seorang pembawa acara talk show radio ternama sekaligus sahabat Jessica sedari kecil. Dalam diri Jessica kita takkan mendapati penggambaran superhero seperti pada umumnya, sebut saja layaknya para anggota Avengers di MCU. Dia memang memiliki kekuatan super, tapi sosoknya rapuh. Tiap hari Jessica hidup dalam ketakutan, bahkan mengalami delusi akibat PTSD-nya. Pekerjaan dan alkohol menjadi pelarian yang ia pilih. 

Bahkan sedari opening sequence pun serial ini sudah mengikat saya. Pencahayaan gelap dengan ungu sebagai warna dominan plus iringan musik jazz buatan Sean Callery, atmosfer noir terasa pekat menyelimuti. Suasana tersebut turut mendominasi  tiap episode, saling mendukung dengan tone kelam yang diusung ceritanya. Depresi, seksualitas, dan kekerasan adalah tiga hal utama pembangun tone. Seksualitas banyak dieksplorasi, dimana pemerkosaan bahkan aborsi sering dijadikan sentral. Dan itu bukan hanya shocking factor, melainkan aspek substansial bagi pengembangan cerita serta karakter, sama halnya dengan sajian kekerasan pula karakter utama yang depresif. Seperti "Daredevil", ambiguitas moral juga hadir. Pada satu titik saya bersimpati pada Jessica tapi di titik berikutnya giliran Kilgrave yang menarik perhatian. Tidak ada kebenaran hakiki, karena masing-masing karakter memiliki motivasi kuat atas perbuatan mereka.
Semenjak episode pertama yang berjudul "AKA Ladies Night", saya sudah jatuh cinta, baik pada eksplorasi tema, penulisan dialog, hingga karakter. Saya mencintai Jessica dengan segala sarkasmenya. Saya peduli padanya, karena seperti yang telah saya ungkapkan, meski kuat secara fisik namun psikisnya rapuh. Bahkan saat pertama kali mendengar kabar bahwa Kilgrave masih hidup, hal pertama yang terlintas di pikiran Jessica adalah lari sejauh mungkin. Saya khawatir padanya, karena percaya bahwa dibalik kekuatan super itu Jessica tidak jauh beda dengan manusia pada umumnya. Krysten Ritter punya segalanya untuk menghidupkan seorang Jessica Jones. Tatapan mata, caranya melontarkan dialog (khususnya pada sarkasme), bahkan emosi terpendam sekalipun. Sebagai karakter, perlahan masa lalu Jessica bakal diungkap lewat beberapa flashback selaku pondasi kokoh, membuat penonton memahami bagaimana ia bisa menjadi Jessica Jones yang sekarang.

Hal sama bisa dialamatkan untuk David Tennant. Kilgrave ada pada level yang sama dengan Wilson Fisk; mengerikan sekaligus kompleks. Pada paruh awal mudah membenci Kligrave yang tak lebih dari penjahat sadis juga pervert. Tapi memasuki episode kedelapan, "AKA WWJD?" terungkap bahwa ia lebih dari itu. Dia jahat, tapi ia pun tak ubahnya korban dari peristiwa masa lalu. Kilgrave adalah pria kesepian yang terobsesi akan seorang wanita, dan karena tak pernah melakoni proper social interaction, cara melampiaskan obsesinya pun keliru. David Tennant merealisasikan kompleksitas karakternya secara nyata, disaat interpretasi yang kurang tepat dari seorang aktor berpotensi membuat Kilgrave jatuh sebagai over the top villain. Dia gila, dia mengerikan, tapi seringkali amarah dan ekspresi kesedihan yang terpancar membuat saya menaruh iba pada karakternya. Kilgrave mampu mengendalikan pikiran, tapi yang sosoknya makin intimidatif adalah, tanpa kekuatan itupun ia telah memiliki kemampuan persuasi yang sulit untuk ditolak. Oh, and he's also charming as hell. Behold girls, this is your new Loki!

Baik Kilgrave maupun Jessica tak lebih dari dua orang yang terluka luar dalam. Ada sisi gelap dalam diri Jessica, Kilgrave pun memiliki sisi terang. Terdapat momen menarik saat keduanya bekerja sama menghentikan sebuah aksi kejahatan. Saya mulai menonton serial ini dengan kebencian terhadap Kilgrave, selalu berharap suatu saat Luke Cage (Mike Colter) akan menghajarnya. Tapi semakin jauh kisah berjalan, saya tak tahu lagi harus memihak pada siapa. Tak hanya Jessica dan Kilgrave, supporting character macam Luke, Trish, Simpson (Will Traval) hingga Malcolm (Eka Darville) punya momen untuk bersinar dan menjadi kepingan penting.
"Jessica Jones" juga sukses dalam membangun intensitas ketegangan serta dinamika emosi. Pada episode-episode awal, rasa takut selalu menggelayuti saya, khawatir akan nasib Jessica yang selalu mendapat teror dari Kilgrave. Siksaan psikis yang ia alami terasa menyakitkan untuk dilihat. Kemudian semakin rumit konflik, makin banyak karakter yang dieksplorasi, makan sering pula terjadi permainan emosi. Saya dibuat sedih, marah, cemas, bahkan bahagia oleh selipan humor dalam dialog. Banyak barter kalimat menggelitik antar-karakter yang sanggup memancing tawa, khususnya saat melibatkan sarkasme Jessica. Melalui serial ini, Marvel membuktikan bahwa perpaduan tone kelam dengan komedi segar tidaklah mustahil. Dengan penuturan yang tepat, tidak pernah terjadi pergantian tone kasar yang mengganggu. 

Tiap episode pun selalu meninggalkan pertanyaan atau cliffhanger sehingga antusiasme penonton untuk mengikuti kisahnya terus terjaga. Sayang intensitas itu tak bertahan hingga akhir. Episode sembilan, "AKA Sin Bin" adalah puncak. Saya tercengang dan menahan nafas pada klimaksnya. Setelah itu, empat episode terakhir sedikit mengalami penurunan karena semua misteri telah terjawab, eksplorasi karakter telah lengkap, konflik utama pun usai. Yang tersisa tinggal konfrontasi terakhir antara Kilgrave dan Jessica, serta pertanyaan "apakah Kilgrave mampu meningkatkan kekuatannya?", yang mana tak terlalu menarik karena kita tahu apapun jawabannya, Jessica akan menjadi pemenang di akhir.

Eksplorasi tema yang berani, konflik penuh misteri dan twist menarik, eksplorasi karakter mendalam, sampai dua hal yang tidak dipunyai versi film MCU pun dimiliki "Jessica Jones", yakni kisah cinta menarik (Jessica-Luke is a sweet love story, while Jessica-Kilgrave is a very twisted love story) dan memorable villain menjadi beberapa poin keberhasilan utama. Adanya beberapa koneksi serta referensi untuk dunia MCU secara lebih luas pun menjadi hiburan tersendiri, termasuk kehadiran salah satu karakter dalam serial "Daredevil". Melissa Rosenberg menghadirkan para wanita kuat dalam kisahnya tanpa segan memberi gambaran mereka sebagai korban keliaran seksual. Karena menjadi korban bukan ukuran kekuatan, tapi bagaimana mereka mampu bangkit untuk melawan adalah kuncinya. Saya menyukai cara Rosenberg mengeksplorasi kekuatan para wanita, dan perjalanan untuk bangkit itu memang mendominasi "Jessica Jones". Sajian terbaik yang pernah diproduksi oleh Marvel sejauh ini. 

15 komentar :

Comment Page:

THE GOOD DINOSAUR (2015)

Tidak ada komentar
"Inside Out" adalah masterpiece dari Pixar. Tidak hanya menandai kebangkitan studio animasi tersebut, tapi juga salah satu karya terbaik mereka. Karena itu "The Good Dinosaur" mengemban misi maha berat, karena dirilis tidak hanya setelah, tapi juga di tahun yang sama (hanya berjarak sekitar lima bulan). Ekspektasi penonton bakal setinggi langit, dan sejarah mencatat seorang Nolan dalam The Dark Knight Trilogy pun tak sanggup membuat suksesor yang menyamai masterpiece-nya. Jadi kurang bijak rasanya membandingkan film ini dengan "Inside Out". Bila dirasa perlu, bandingkanlah dengan keseluruhan karya Pixar lain, which is already a very high standard. "The Good Dinosaur" yang sudah dikembangkan sejak tahun 2009 dan mengalami dua kali pemunduran jadwal rilis ini mempunyai konsep menarik tentang alternate timeline, dimana asteroid yang "seharusnya" melenyapkan populasi dinosaurus hanya terbang melewati Bumi.

Karena zaman yang lebih panjang, para dinosaurus pun "berevolusi". Herbivora bercocok tanam, sedangkan karnivora beternak hewan. Arlo adalah anak bungsu dari tiga bersaudara Apatosaurus. Keluarganya mempunyai ladang yang tiap hari mereka urus bersama. Tapi disaat kedua saudaranya dengan mudah melakukan pekerjaan, Arlo yang lemah dan penakut tak bisa berbuat banyak. Dalam keluarga itu, tanda bahwa mereka telah melakukan hal berguna dalam hidup adalah cap kaki di Silo Jagung. Arlo jadi satu-satunya yang belum mendapatkan itu, dan ketidakmampuannya dalam berbagai bidang membuat kedua orang tuanya khawatir. Tentu kita tahu kemana arah cerita yang ditulis Meg LeFauve ini, termasuk saat Arlo bertemu anak manusia yang kelak ia beri nama Spot. Terdapat permainan peran unik, saat dinosaurus digambarkan sudah lebih maju dan beradab, sedangkan manusia masih seperti hewan liar. 

Permainan peran itu masuk akal secara logika, karena dalam alternate timeline ini, dinosaurus telah lebih lama hidup yang artinya lebih banyak waktu untuk berkembang. Mungkin bakal ada argumen bahwa "manusia secara alamiah lebih berakal". Itu benar, tapi penggambaran Arlo dan Spot merupakan usaha menyamaratakan manusia dengan dinosaurus ataupun makhluk hidup lain. Faktor itu membuktikan kreativitas eksplorasi yang kuat dalam konsep filmnya. Tapi perjalanan alur beserta dinamika emosinya bernasib lain. Petualangan Arlo dan Spot tak lebih dari sajian formulaik dengan fokus perkembangan Arlo mengatasi rasa takutnya. Penonton tahu di akhir ia akan berhasil mengatasi semua ketakutan. Kita juga tahu dua karakter beda spesies itu (bisa diimplementasikan sebagai ras dalam kehidupan antar-manusia) akhirnya dapat saling menyayangi, saling berguna satu sama lain. Terlalu predictable yang membuat momen emosional pun tak berjalan dengan baik.
Kapan dan seperti apa film ini akan berusaha menguras air mata penonton sudah bisa diantisipasi. Eksekusinya tak jauh lebih elegan dari deretan film tearjerker kebanyakan. Kehilangan, kematian, perpisahan, pertemuan kembali menjadi contoh-contoh momentum klise. Kekurangan tersebut juga dilandasi oleh tidak adanya keterikatan antara saya dengan karakternya. Tapi apakah itu artinya "The Good Dinosaur" buruk? Sama sekali tidak. Beberapa kehangatan masih tetap tersaji, begitu pula tawa. Ditinjau secara komedi, film ini justru termasuk sajian paling lucu Pixar dalam beberapa tahun terakhir (adegan "teler" jadi favorit saya). Di samping itu, ada beberapa aspek lain yang coba dieksplorasi selain emosi. Salah satunya visual. Kualitas animasi film ini adalah yang terbaik diantara karya Pixar lain, yang mana telah memiliki tingkatan tinggi. Tak hanya indah, namun tampak nyata. Coba tengok pepohonan, pegunungan, matahari, badai, juga air yang ada. It looks real, all of itDesain Arlo dan Spot yang tetap "kartun" memang bertujuan "mengingatkan" penonton bahwa film ini adalah animasi. 
Masih dari segi teknis, "The Good Dinosaur" tak ubahnya usaha Pixar untuk membuat film western. Landscape pemandangannya mengingatkan pada bagaimana western mengeksploitasi luasnya padang gersang atau pegunungan. Kisahnya pun bertutur mengenai karakter yang melakukan perjalanan demi menemukan rumah, yang mana sering dilakukan karakter dalam genre tersebut. Menyoal karakter, sosok Tyrannosaurus bernama Butch yang menggembala hewan tentu menghadirkan komparasi dengan tokoh-tokoh koboi. Atmosfer turut menghadirkan kesan serupa, dimana banyak momen hening dengan pergerakan lambat yang membuat filmnya bagai tontonan arthouse. Tidak jarang "The Good Dinosaur" hanya menampilkan scenery atau tindakan karakter dalam keheningan tanpa dialog. Tujuannya untuk memberi penonton waktu mengobservasi sekaligus merasakan ambience dari tiap adegan, dan itu cukup berhasil meski riskan membuat penonton merasa ceritanya tak menyuguhkan apapun. Kemudian poin paling mengejutkan yang mencerminkan western adalah kebrutalan. Pixar sudah sering bermain di ranah dewasa, tapi kebanyakan sifatnya implisit, dimana anak tak terlalu mengerti. Sedangkan "The Good Dinosaur" berada pada tingkatan berbeda.

Sebagai contoh, karakter yang jatuh tidak akan terlihat baik-baik saja. Mereka akan terluka, dan karena visual yang mumpuni, luka itu tampak menyakitkan pula. Saya tidak akan menyebutkan kebrutalan lain, tapi ada satu momen yang begitu mengejutkan hingga membuat saya sedikit berteriak. Bagi anda yang ingin membawa anak kecil saya sarankan hati-hati, karena bukan tak mungkin mereka bakal ketakutan, atau bahkan bermimpi buruk sepulang dari bioskop. Mengapa Pixar menghadirkan hal brutal tersebut? Jawabannya adalah untuk menguatkan sisi survival yang menjadi fokus. Arlo adalah sosok lemah, dan alam liar tentu tidak akan bersahabat baginya. Perjalanan di alam liar tak ubahnya mimpi buruk. Kesan brutal justru cocok memberikan pernyataan bahwa petualangan Arlo bukan "jalan-jalan menyenangkan". Beberapa momen pun terasa mengerikan dan itu bersinergi dengan visual realistiknya, menjadikan "The Good Dinosaur" sebagai petualangan dengan alam sebagai musuh yang tersaji secara realistis.

Tidak keliru membuat film animasi yang kurang bersahabat bagi anak-anak. Karena pada masa sekarang, kurang tepat menyebut animasi sebagai tontonan murni untuk anak kecil. Jika ada yang salah, maka itu adalah promosinya yang menyatakan diri sebagai film semua umur. Tapi saya tidak akan memandang buruk film ini karena kekeliruan promosi, termasuk saat filmnya mendapat judul "Dino yang Baik" di Indonesia supaya bisa menggaet lebih banyak penonton anak. Dari sisi keterkaitan film dan industri, targeting audience film ini buruk, salah kaprah, dan bakal menakutkan bagi anak kecil. Tapi saya selalu beranggapan bahwa baik buruknya karya secara estetika tak memandang hal itu. I like "The Good Dinosaur". It's an emotionally flat and the script is also thin, but the dazzling visual, funny jokes and its approach to be realistic are clearly amusing. How about the brutal and scary aspects? I consider most of it as a "black comedy". 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

SKAKMAT (2015)

2 komentar
Tahun ini Ody C Harahap telah menyutradarai "Kapan Kawin?" sedangkan Salman Aristo menulis naskah untuk "Mencari Hilal". Kedua film tersebut layak dimasukkan dalam daftar film Indonesia terbaik 2015. Hal itulah yang membuat kolaborasi mereka dalam "Skakmat" cukup mengundang rasa penasaran. Belum lagi ditambah jajaran pemain yang tengah menjadi "hot property" perfilman tanah air, sebut saja Donny Alamsyah, Tanta Ginting, Hannah Al Rashid, hingga Cecep Arif Rahman. Filmnya sendiri bercerita tentang Jamal (Tanta Ginting), seorang tukang ojek berpenampilan unik (setelan rapih dan poni panjang) yang bermimpi membuka tempat cucian motor tapi selalu terhimpit masalah hutang. Banyak yang menganggap Jamal hanya bisa bicara tapi tak pernah bertindak. Karena itu ia dianggap pecundang baik oleh sang ibu, ataupun ayah dari kekasihnya, Mirna (Andi Anissa Lasyah). 

Sampai datanglah kesempatan bagi Jamal mendapat uang besar dalam waktu yang amat singkat. Kesempatan itu berasal dari pekerjaan yang ditawarkan Ivan (Fadi Iskandar) untuk mengantarkan Dito (Donny Alamsyah) kepada Bos Tanah Tinggi (Cecep Arif Rahman), seorang bos mafia yang bergerak di bisnis heroin. Dito sendiri awalnya adalah kurir Bos Tanah Tinggi, sebelum akhirnya memberontak karena suatu sebab. Meski sempat menolak, iming-iming 100 juta membuat Jamal akhirnya menerima pekerjaan tersebut. Namun baik Jamal dan Dito tak mengetahui bahwa pemilik tempat karaoke, prostitusi, dan bandar judi bernama Mami Tuti (Hannah Al Rashid) yang telah lama dendam pada Dito turut mengincar nyawanya. Jadilah Jamal dan Dito terlibat kejar-kejaran dengan dua gembong mafia tersebut. Kelompok milik Tanah Tinggi berisikan laki-laki sangar, sedangkan anak buah Mami Tuti banyak diisi wanita-wanita gila. 
Sejatinya "Skakmat" memiliki formula "from zero to hero" biasa, atau yang dianalogikan dalam film ini sebagai "pion yang sanggup melangkah sampai ke ujung papan lalu berubah menjadi ster". Nampaknya itu usaha Salman Aristo untuk membuat pesan dalam ceritanya tak terdengar klise. Menilik naskahnya, terdapat banyak lubang yang membuat saya mempertanyakan berbagai motivasi karakternya, seperti "kenapa Ivan harus mempekerjakan Jalal jika ia memang berniat menjual Dito pada Mami Tuti?" dan beberapa hal lain. Saya menyebut "beberapa hal lain" karena memang terdapat plot hole lain yang meninggalkan kejanggalan, tapi pada akhirnya banyak pula yang terlupakan setelah saya memahami bagaimana Ody C Harahap dan Salman Aristo ingin mengemas filmnya. Keanehan bersifat "asal" memang sengaja dihadirkan. Asal gila, asal jalan, asal hajar, dan hal asal lain yang mengingatkan pada semangat absurditas yang diusung banyak film Jepang bertemakan mafia. Hal itu juga nampak dari bagaimana chaotic-nya film ini. Beberapa kekacauan sayangnya berakhir tak terkontrol dan berantakan, seperti perkelahian massal dalam bus misalnya.

"Skakmat" memang diniatkan sebagai sajian aneh seenaknya, for the sake of comedy. Lihat kaki tangan Mami Tuti. Siapa tak tertawa menyaksikan para wanita berpakaian seksi nan "meriah" ala penyanyi dangdut mengendarai motor besar plus brutal dalam berkelahi. Tidak segan mereka menghajar musuh dengan balok kayu, bahkan meski wajah sudah berdarah-darah. Atau tengok klimaks perkelahian antara Dito, Mami Tuti dan Tanah Tinggi yang tiba-tiba dihentikan karena salah satu dari mereka terkena serangan di bagian vital. Absurditas seperti ini tidak jarang hadir dalam perfilman Indonesia. Tapi cara bertutur Ody C Harahap membuatnya tak cuma memancing tawa, namun juga menjauhkannya dari kesan murahan. Itu bisa terjadi karena filmnya well-madeMeski bertutur dengan tidak serius, tiap aspek khususnya action digarap secara sungguh-sungguh. Timing diemparkannya komedi juga diperhatikan seksama. Lagi-lagi walaupun leluconnya asal, kapan dan bagaimana itu dimunculkan tidaklah asal-asalan. Pada mayoritas bagian (tetap ada yang miss), Ody tahu kapan harus serius dan kapan bisa melucu seenaknya. Bahkan pada saat serius pun filmnya (surprisingly) bisa brutal dan berdarah-darah.  
Para pemain pun berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik. Bentuk komedi yang terdapat dalam "Skakmat" berasal dari dua hal, yakni dialog (kebanyakan berkonten "lendir") dan fisik. Jajaran cast utamanya sanggup melakoni adegan komedik sesuai dengan karakter masing-masing. Tanta Ginting sebagai Jamal memang bertindak selaku karakter utama, tapi Donny Alamsyah dan Hannah Al Rashid jadi pencuri perhatian. Dito yang ia diperankan Donny adalah tipikal sosok tangguh tapi bukan berarti tak memberikan tawa. Donny Alamsyah sanggup menggabungkan sisi "tough guy" dengan kebodohan dalam melakoni adegan aksi yang oleh Ody dikemas ala film-film Jackie Chan. Sama halnya dengan Hannah. Dalam tiap kesadisan Mami Tuti, ia berikan pula gelak tawa pada penonton seperti saat tiba-tiba dia kenakan rompi pelampung di tengah pertarungan. Cecep Arif Rahman? Well, selama karakternya tak berdialog, tatapan keji dan kehebatan silatnya selalu mempesona.

"Skakmat" adalah tontonan buddy comedy yang menyenangkan. Saya sangat menyukai klimaksnya yang memenuhi hakikatnya sebagai puncak sebuah film. Baik pengarahan Ody C Harahap maupun performa para aktor membuat perkelahian tiga orang (plus satu) tersebut tak henti memberikan hiburan penuh keseruan aksi sekaligus tawa komedi. Terdapat banyak kejanggalan sebagai akibat plot hole dan selera humor aneh serta kekacauan yang dominan mungkin terlalu absurd bagi sebagian orang, tapi bagi yang bisa menerima atau mengerti intensi dari cara bertutur filmnya, "Skakmat" akan berujung pada kesenangan. 

2 komentar :

Comment Page:

THE ASSASSIN (2015)

3 komentar
Inilah film yang membawa Hou Hsiao-Hsien meraih penghargaan "Best Director" pada ajang Cannes Film Festival tahun 2015 ini. Bukan hanya itu, "The Assassin" juga dikirim sebagai perwakilan Taiwan untuk Oscar 2016. Meski mengusung judul yang berarti "pembunuh", filmnya tidak akan berfokus di ranah thriller maupun aksi kebanyakan film wuxia. Hsiao-Hsien memilih pendekatan artsy puitis layaknya Ang Lee dalam "Crouching Tiger, Hidden Dragon". Alur lambat berhiaskan kesunyian yang ditangkap oleh kamera dalam gerakan minim cenderung statis begitu dominan. Karakternya berbicara dengan lirih, dan saat mereka diam, ambience yang berasal dari alam (angin dan serangga) mengambil alih perhatian indera pendengaran penonton. Pembawaan itu menjadikan filmnya segmented, belum lagi ditambah rumitnya alur yang membutuhkan kecermatan lebih serta ketanggapan berpikir untuk mengaitkan satu aspek dengan aspek lain.

"The Assassin" dibuka saat Jiaxin (Fang-Yi Sheu), mantan puteri kerajaan yang kini menjadi biarawati memerintahkan muridnya, Nie Yinniang (Shu Qi) untuk membunuh seorang pejabat korup. Jiaxin sendiri telah merawat Yinniang sejak usianya 10 tahun. Namun dalam misi tersebut, Yinniang gagal karena merasa iba pada anak sang pejabat yang kebetulan ada di lokasi. Sebagai hukuman atas kegagalannya, Yinniang dikirim pulang sekaligus dibebani tugas untuk membunuh Tian Ji'an (Chang Chen), gubernur militer di daerah Weibo sekaligus sepupu Yinniang. Rangkaian adegan itu dikemas menggunakan warna hitam-putih. Sederhana. Hanya terdapat dua jenis warna. Sama seperti plot yang masih simple; seorang pembunuh ditugaskan untuk membunuh yang kemudian coba ia laksanakan meski akhirnya gagal. Setelah itu filmnya berubah dipenuhi bermacam warna terang berbarengan dengan makin kompleks dan beragamnya situasi politik serta pergolakan hati Yinniang.
Karakternya jarang berbicara, tapi sekalinya kalimat mengalir dari mulut mereka, tidak akan mudah bagi penonton untuk membaca arahnya. Entah karena pembawaan puitis penuh metafor atau mengandung nama orang, tempat, hingga kejadian yang belum kita pahami. Hou Hsiao-Hsien yang juga bertindak selaku co-writer tidak "berbaik hati" memberikan pengenalan latar belakang sebelum terjun ke konflik utama. Tengok saat para penasehat Ji'an membicarakan kekisruhan antara Weibo dan pihak kekaisaran, atau saat Yinniang mendengar cerita tentang giok yang diberikan oleh Puteri Jiacheng (Fang-Yi Sheu) kepadanya dan Ji'an sebagai tanda perjodohan mereka dahulu. Pertanyaan mengenai "siapa", "kenapa" dan "bagaimana" serentak muncul mendengar perbincangan tersebut. Jawaban akan diberikan lewat dialog pada adegan-adegan berikut, tapi itu pun secara subtil, hingga butuh konsentrasi untuk mengaitkan poin demi poin.

Mengulangi adegan atau bahkan menonton lebih dari sekali diperlukan untuk bisa memahami keseluruhan detail cerita. Tapi pengulangan menonton membutuhkan aspek pengikat supaya penonton tidak keberatan melakukannya. Sebagai magnet, "The Assassin" punya atmosfer pemberi intensitas dan keindahan sinematografi. Hsiao-Hsien menjadikan kesunyian berbalut ambience alam untuk mengemas tiap situasi senyata mungkin. Setiap momen bukanlah sajian artificial, dimana saya seolah berada di alam yang sama dengan filmnya. Suara serangga, angin, air dan lainnya sama persis dengan yang kita dengarkan saat berada di kesunyian malah hari. Setiap perasaan pun ikut menguat, termasuk ketegangan kala mendapati seorang wanita pembunuh berpakaian hitam berjalan pelan mendekati sang korban. Terkadang scoring garapan Liam Giong yang didominasi perkusi menyeruah masuk menguatkan intensitas.
Keberadaan Mark Lee Ping Bin (In the Mood for Love) sebagai sinematografer tak pelak membuat semua gambar menjadi keindahan artistik yang mengunci pandangan saya ke layar. Tidak ada sudut yang tersia-sia, setiap detail pewarnaannya breathtaking. Begitu juga pemakaian beberapa framing bercampur pergerakan lembut nan minim kameranya yang sempurna menangkap para karakter beradegan. Gambar dalam film ini layaknya keindahan sebuah puisi. Baik adegan indoor maupun outdoor punya pesonanya masing-masing. Anda bisa memilih tiap scene untuk di-print screen menjadi wallpaper di layar laptop anda. 

Punya keindahan sinematografi tak membuat Hsiao-Hsien lupa memanusiakan karakter pula pada penuturan alur. Seperti judulnya, film ini adalah eksplorasi tentang seorang pembunuh. Seorang pembunuh yang harus berhadapan dengan sisi dilematis berupa rasa iba serta kemanusiaan. Keseluruhan karakterisasi filmnya adalah contoh bagaimana "The Assassin" menjadi sajian wuxia yang substansial, karena mewakili delapan "code of wuxia". Alurnya dipenuhi ketidaktahuan dan ambiguitas, sama ambigunya dengan biarawati berbaju putih (warna penyimbol kebaikan) dan pembunuh berbaju hitam (simbol kejahatan) yang pada pemaparannya justru menimbukan pertanyaan "siapa yang baik dan siapa yang jahat?" "The Assassin" merupakan contoh film yang akan berbekas semakin kuat begitu usai dan menggoda penonton supaya kembali lagi. 

3 komentar :

Comment Page:

THE HUNGER GAMES: MOCKINGJAY - PART 2 (2015)

10 komentar
Ingat ketegangan berintensitas tinggi yang mewarnai dua film pertama? It's gone. Ingat kepribadian Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) si jagoan wanita badass yang penuh semangat berapi-api? It's gone. Ingat momen dimana franchise ini dipenuhi karakter unik yang menarik? It's gone. Ingat semua hal yang membuat "The Hunger Games" menjadi salah satu film adaptasi novel young adult terbaik? It's all gone. Ingat kisah cinta segitiga sappy antara Peeta-Katniss-Gale? Unfortunately, it's still there. "Mockingjay - Part 2" bertindak selaku babak penutup salah satu franchise terbesar dekade ini. Menurut aturan tak tertulis, finale harus menjadi "gong", kulminasi dari segala hal yang telah dibagun dari awal. Entah aspek drama maupun aksi seharusnya mencapai puncak pada film ini. Saya belum membaca novel "Mockingjay" yang menurut banyak orang adalah novel terburuk dalam seri "The Hunger Games". Tapi satu hal pasti, keburukan film ini bukan semata-mata karena sumbernya buruk.

Melanjutkan kisah Part 1, Katniss semakin berambisi untuk membunuh Presiden Snow (Donald Sutherland) setelah melihat kondisi Peeta (Josh Hutcherson) yang masih belum pulih dari pengaruhnya. Kini yang harus dilakukan pihak pemberontak adalah mengambil alih District 13 yang banyak berisi simpatisan Snow. Jika itu berhasil, maka tinggal selangkah lagi jalan yang harus ditempuh untuk meruntuhkan kekuasaan Capitol. Dalam durasi mencapai 137 menit memang hanya itu kandungan cerita "Mockingjay - Part 2". Ini yang terjadi saat memaksakan diri memecah satu buku menjadi dua film meski jumlah materi buku tersebut sesungguhnya hanya layak dikemas kedalam satu film saja. Naskah tulisan Peter Craig dan Danny Strong sangat terasa mengais-ngais ceritanya hingga titik terakhir supaya filmnya dapat dipecah menjadi dua. Alhasil terlalu banyak kekosongan hasil filler moment tidak penting. 

Saya cukup menyukai "Mockingjay - Part 1" meski lebih banyak didominasi drama-politik dan tone yang semakin kelam. Memang lambat, tapi sebuah pembangunan pondasi yang memang diperlukan untuk mempersiapkan finale sesungguhnya. Tapi disaat babak penutupnya pun begitu lambat nyaris tanpa semangat, itu merupakan kekeliruan. Harapan akan klimaks yang epic pun harus musnah. Total hanya ada tiga action sequence disini dan untung Francis awrence mampu mengemas ketiganya penuh ketegangan seru. Tiap sequence juga melibatkan kematian karakter yang sanggup memberikan dampak emosional. Those three are really good. Andai klimaksnya punya keseruan serupa, saya akan lebih menyukai filmnya. Tapi Francis Lawrence beserta para penulis naskah terlalu malas untuk melakukan perombakan, hingga akhirnya dihadapkanlah penonton pada momen puncak yang antiklimaks. 
Kisah cinta segitiga masih mendapat porsi besar, bahkan jauh lebih mendominasi dibanding installment sebelumnya. Lagi-lagi saya menangkap ini sebagai usaha menambal kekosongan alur akibat minimnya modal cerita. Tengok berapa banyak adegan Katniss duduk berdua dengan Peeta atau Gale (Liam Hemsworth) hanya untuk terlibat dalam pembicaraan gloomy  di tengah suasana sepi sekaligus membosankan. Semakin parah saat berbagai obroan tersebut menghadirkan kekakuan awkward. Saya tidak heran saat beberapa kali tawa penonton pecah, karena adegannya memang menggelikan. Dan saya tidak menangkap kelucuan itu sebagai bentuk kesengajaan sang sutradara. Those are simply a bad soap opera-esque scenes. Belum lagi siksaan melihat Liam Hemsworth yang seolah mempelajari aktingnya dari buku pedoman "pria keren idaman wanita masa kini". Alih-alih terlihat keren/misterius, Gale bagaikan robot yang bisa bicara.

"The Hunger Games" franchise sempat identik dengan kumpulan tokoh yang menarik. Haymitch (Woody Harrelson) si pemabuk, Effie Trinket (Elizabeth Banks) yang eksentrik, Presiden Snow yang keji, Plutarch (Phillip Seymour Hoffman) yang kharismatik, bahkan karakter minor macam Caesar (Stanley Tucci) pun mencuri perhatian. Belum jika kita membahas Katniss sang protagonis yang tidak hanya mudah dicintai rakyat Panem tapi juga penonton. Semenjak "Mockingjay - Part 1" dibawa ke ranah yang cenderung depresif, praktis daya tarik karakternya ikut terenggut. 
Banks dan Harrelson selalu memberi kekuatan dalam tiap kemunculan, hanya saja porsi yang diberikan terlalu minim pula tak esensial. Meninggalnya Phillip Seymour Hoffman membuat berbagai adegan tak bisa menampilkan Plutrach. Padahal kehadiran Hoffman niscaya mampu meningkatkan "magnet" tiap adegan. Jennifer Lawrence pun memberi performa meyakinkan sebagai Katniss yang bergulat dengan depresi. Hanya saja itu bukan Katniss yang kita semua cintai. Jika bukan karena J-Law, mungkin Katniss bisa terjerumus menjadi "the next Bella Swan". Josh Hutcherson? Saya tidak peduli dengan bocah annoying yang selalu merengek itu. Satu-satunya sosok pemuda likeable disini hanya Finnick (Sam Claflin). I hope Peeta is the one who dies instead of him.

Dalam pemaparan konfliknya, naskah film ini berada di level tak jauh beda dengan pentalogy "Twilight" khususnya di ranah menyoal percintaan. Bahkan "Breaking Dawn - Part 2" sadar klimaksnya lemah dan memberi perombakan supaya lebih memuncak. Sayang sekali, padahal selipan isu politiknya begitu menarik. Kita dibawa pada gambaran nyata mengenai perebutan kekuasaan masa kini disaat siapa yang benar dipertanyakan, peperangan menjadi jalan dan berakibat pada timbulnya korban rakyat sipil. Sisi ambiguitas politis yang menarik, tapi butuh lebih dari itu untuk membuat filmnya menjadi konklusi memuaskan. Sebagai sajian yang berdiri sendiri sejatinya tidak terlalu buruk, tapi kurang tepat jika memandang film ini menggunakan perpsektif semacam itu. Karena biar bagaimanapun, "Mockingjay-Part 2" adalah babak penutup suatu franchise, dan "The Hunger Games" layak mendapat akhir yang jauh lebih baik dari ini. Setidaknya bayi di ending itu sungguhan, bukan CGI atau boneka.

10 komentar :

Comment Page:

THE STANFORD PRISON EXPERIMENT (2015)

5 komentar
Banyak muncul perdebatan mengenai tendensi seseorang untuk berbuat tindak kejahatan. Apakah tindakan tersebut didorong oleh kepribadian asli sang pelaku? Atau semata-mata karena pengaruh situasi yang memungkinkan? Film hasil penyutradaraan Kyle Patrick Alvarez ini diangkat dari sebuah eksperimen nyata yang dilakukan guna menelusuri hal di atas. "Stanford Prison Experiment" yang diadakan pada 14 Agustus 1971 diprakarasi oleh profesor psikologi bernama Philip Zimbardo (Billy Crudup). Seperti namanya, eksperimen ini dilakukan di Universitas Stanford dengan partisipan mahasiswa disana. Rencananya selama 14 hari, partisipan harus menjalani kehidupan penjara dengan bayaran $15 per-hari telah dijanjikan sebagai reward. Setelah melalui wawancara, terkumpul 24 partisipan yang tidak memiliki catatan kriminal dan tanpa gangguan psikologis. Mereka dibagi kedalam dua peran; sipir dan tahanan.

Awalnya semua berjalan lancar sebagaimana kita melihat salah seorang partisipan yang berperan sebagai tahanan, Daniel Culp (Ezra Miller) menanggapi perintah sipir dengan senyuman. Dia tahu ia bukan tahanan sungguhan, begitu pula sipir yang tak lebih dari mahasiswa sama seperti dirinya. Dia merasa semua ini hanyalah eksperimen yang mana terdapat kebebasan untuk pergi kapanpun ia berkehendak. Dalam kontrak pun tertulis dilarangnya penggunaan kekerasan oleh sipir. Wajar bagi Daniel untuk merasa santai. Tapi belum genap sehari, perubahan mulai terjadi. Para sipir khususnya Christopher (that "John Wayne" guard) mulai menanggapi perannya dengan serius. Dia menyuruh, membentak, bahkan memberi banyak hukuman fisik pada tahanan. Sipir diberi kostum layaknya penjaga penjara sungguhan, termasuk properti berupa tongkat kayu dan kaca mata hitam (untuk menghindari kontak mata dan memberi aura pemegang otoritas). Merasa memegang kekuatan, sikap yang ditunjukkan pun makin semena-mena.
Sedangkan para tahanan diperlakukan layaknya bukan manusia. Mereka hanya diberi baju seadanya, dan dipanggil hanya dengan nomor. Identitas mereka dilucuti, masing-masing pun mulai mempertanyakan eksistensi diri. Baik sipir maupun tahanan sudah terinternalisasi dengan peran yang mereka mainkan. Eksperimen berjalan diluar kendali, bahkan mulai menyalahi etika saat Philip menghalangi para tahanan untuk mengundurkan diri. Salah satu aspek yang coba dieksplorasi dalam "The Stanford Prison Experiment" adalah bentuk eksperimen ilmiah yang menyalahi etika. Bahkan sebelum kondisi tak terkontrol, kita melihat para peneliti membagi peran partisipan bukan lewat hasil wawancara melainkan lemparan koin. Sebagai gambaran ekstrim terhadap eksperimen yang tak prosedural, film ini telah berhasil memberi efek kejut. 

Eksplorasi pun semakin dalam ketika Philip yang harusnya berperan sebagai observer mulai terlibat langsung dalam eksperimen. Hal itu didorong oleh kontrol penuh yang ia miliki. Hierarki memang jadi penggerak karakter-karakternya. Bagaimana pemegang kekuatan dapat mengendalikan mereka yang lemah. Kecenderungan manusia untuk melakukan penindasan saat memegang kendali kuat dipaparkan dengan gamblang disini. Hal itu bukan hanya refleksi dari eksperimen ataupun kehidupan penjara semata. Dalam aspek keseharian lain pun kita dapat menjumpai semuanya. Penindasan yang lemah oleh yang kuat, kebersediaan untuk ditindas demi mendapat kepuasan material, kerelaan dihilangkannya hak-hak manusia supaya perut bisa kenyang, bukankah semua itu gambaran masyarakat dalam realita? Atau lebih tepatnya hubungan rakyat jelata dengan pemegang kekuasaan. Sentuhan itu membuat kisahnya sedikit lebih kaya.
Secara penelusuran dinamika psikologis, "The Stanford Prison Experiment" hadir lebih sederhana dibanding potensi kedalaman yang dimiliki sumber inspirasinya. Mudah untuk melihat para sipir sebagai sosok "hitam" dan tahanan adalah sosok "putih". Dari beberapa tokoh sipir yang dominan dalam narasi, semuanya terlihat melakukan penyiksaan murni karena mereka menikmati posisi sebagai pemegang kontrol. Tidak ada cognitive dissonance dimana seorang sipir tak menyetujui tindak kekerasan tapi tetap melakukannya demi kelangsungan eksperimen. Terdapat salah seorang penjaga yang "berbeda", tapi ia bukan berat hati melakukan kekerasan, melainkan sepenuhnya menghindari itu. Porsinya pun tak sebegitu banyak untuk mendapat kajian lebih dalam. Naskah Tim Talbott mengesampingkan aspek tersebut. It's more of a prison exploitation story than a deep exploration of human psychology. Saya pun tidak mendapat kepuasan pada transformasi Philip Zimbardo. Obsesinya tergambar dengan baik, tapi tidak saat di akhir film ia menyadari kekeliruannya. Perubahan terjadi terlampau cepat.

Saya tidak mempermasalahkan film yang bertujuan memberi efek kejut lewat eksploitasi kekerasan dan "dehumanization", but "The Stanford Prison Experiment" should have been more than that. Kisah nyata yang diangkat merupakan momentum penting dalam hubungan antara kemanusiaan dan aspek keilmuwan beserta dinamika psikologis yang mengelilingi mereka, seharusnya sedalam pula sekompleks itulah penelusuran filmnya. Tapi sebagai suguhan thriller, saya tidak memungkiri keberhasilan filmnya membangun intensitas ketegangan sekaligus mempermainkan emosi saya ketika menyaksikan sikap para sipir yang tak memanusiakan tahanan. That's disgusting and shocking. Eksploitasinya memang berhasil memberi dampak emosional, bukan sekedar kegilaan kosong. But the sad thing is when we realized that those kind of abusive behaviors (even much crazier) happens all time in many prisons all over the world (remember Abu Ghraib?).

5 komentar :

Comment Page:

THE VISIT (2015)

2 komentar
It's been more than a decade since M. Night Shyamalan made a descent movie ("The Village" isn't that bad!). Once hailed as one of the most promising director, nama sang sutradara kini tak ubahnya lelucon pasca membuat empat film yang secara konsisten mengalami degradasi kualitas. Sulit rasanya untuk percaya bahwa kehebatan itu masih dimiliki oleh Shyamalan. Lalu datanglah "The Visit", sebuah horor found footage kecil berbujet hanya $5 juta (film Shyamalan paling murah setelah "Praying with Anger"). Biaya murah berarti skala kecil, tanpa nama besar, dan nihil CGI. Memang penuh kesederhanaan, tapi "The Visit" adalah apa yang sudah lama kita nantikan: Shyamalan return to form! Maybe it's not as good as "The Sixth Sense", but definitely his best movie since "Signs". Dia kembali menebar rasa takut, ketegangan, dan pastinya twist ending yang telah menjadi signature-nya. 

Filmnya berkisah tentang dua bersaudara, Rebecca (Olivia DeJonge) dan Tyler (Ed Oxenbould) yang akan mengunjungi kakek dan nenek mereka untuk pertama kali. Keduanya berniat tinggal selama satu minggu sementara sang ibu (Kathryn Hahn) berlibur bersama kekasihnya. Salah satu tujuan kedatangan mereka adalah membuat dokumenter guna mengeratkan kembali hubungan sang ibu dengan orang tuanya yang terpecah semenjak ia kawin lari belasan tahun lalu. John (Peter McRobbie) dan Doris (Deanna Dunagan) pun menyambut hangat kedatangan cucu-cucu mereka. Tapi hanya butuh satu malam bagi Rebecca dan Tyler untuk mendapati keanehan dalam diri kakek dan nenek mereka. Keanehan pertama adalah saat keduanya mendapati sang nenek berjalan sambil muntah-muntah di malam hari. Shyamalan mengemas adegan tersebut dalam balutan atmosfer mencekam plus efek kejut yang mengingatkan pada kemunculan pertama alien dalam "Signs", seolah pertanda sang sutradara telah mendapat sentuhan lamanya lagi.
M. Night Shyamalan tampak menyadari segala keburukan yang menghancurkan karirnya beberapa tahun belakangan. Saat menggarap horor/thriller, ia terlalu berfokus pada konsep tinggi tapi lupa menyuntikkan rasa takut pada penonton. Berbagai twist ending pun bagai parodi atas dirinya sendiri dengan satu-satunya tujuan hanya sebagai efek kejut tanpa memperhatikan koherensi dengan alur. Sedangkan pada genre lain, ia terlalu mementingkan spectacle serta kemegahan CGI (yang bahkan sering tampak murah). Naskah yang lemah cenderung konyol turut diperparah dengan kengototan Shyamalan menyajikan tontonan gritty. Tapi seperti yang saya sebutkan, kali ini dia sudah insyaf. Dengan bujet rendah, mau tak mau ia berfokus pada penghantaran atmosfer serta kekuatan narasi. "The Visit" adalah film yang mengerikan. Suasana mencekam dan kesan disturbing menyengat kuat hasil dari tindak tanduk aneh John dan Doris. . 

Ketegangan yang membuat tangan saya menggenggam erat, atmosfer tak menyenangkan yang menyesakkan, hingga scare jump efektif yang membuat saya berulang kali berteriak kencang. Teknik found footage juga dimanfaatkan dengan baik, dimana beberapa pengunaan kamera statis yang menyorot ruangan terbukti efektif membangun rasa cemas dan efektifitas scare jump. Dalam bertutur, Shyamalan akhirnya kembali memperhatikan detail untuk menebar clue, sehingga twist ending-nya tidak membuat penonton merasa ditipu. Kali ini twist-nya tidak sulit ditebak, tapi hal itu semata-mata karena Shyamalan sudah menebar banyak petunjuk. Bahkan jika tidak menyadari clue tersebut, saat jawaban misteri terungkap anda akan bergumam "oh, pantesan tadi..." Ada usaha memasukkan unsur drama keluarga yang meski tak berujung emosional, sudah cukup memberi pondasi supaya karakternya tidak one-dimensional. Akting Olivia DeJonge dan Ed Oxenbould turut membantu. Chemistry kuat membuat keduanya seperti saudara kandung sungguhan. Ed Oxenbould yang baru 14 tahun diluar dugaan memunculkan akting penuh kedewasaan, membuat tokoh anak tak terasa annoying seperti dalam banyak film horor. 
One of the most surprising aspect in this movie is the comedy. Ya, film ini memberikan beberapa tawa bagi penonton. Semuanya berawal dari kesulitan Shyamalan membangun tone saat editing. Setelah beberapa percobaan, ia putuskan untuk mengkombinasi horor dan komedi. Tidak hanya menggelitik, sentuhan komedi otomatis menjadikan "The Visit" bukan film yang sepenuhnya "serius". Keputusan tepat, karena beberapa aspek film memang konyol, jadi kalau Shyalaman memaksakan filmnya sebagai horor serius, justru kekonyolan unintentional yang muncul. Dengan begini setidaknya penonton lebih permisif jika mendapati kekonyolan, karena toh filmnya memang tidak berusaha terlalu serius. Kredit lebih bagi sang sutradara yang berhasil membuat komedi dan horor saling mengisi. Dalam beberapa bagian, "The Visit" menghadirkan kelucuan sesaat setelah kengerian (pula sebaliknya) tanpa harus merusak tone. It's scary, but also hilarious at the same time.

"The Visit" is also an interesting take about elderly people. Dengan usia yang semakin bertambah, berbagai symptom gangguan psikologis seringkali muncul. Gangguan tersebut (dementia, schizofrenia, etc.) membuat mereka mulai melakukan tindakan-tindakan aneh yang tak jarang membuat orang di sekitar mereka merasa sungkan atau bahkan takut. Teror dalam film ini mengulik aspek tersebut. Deanna Dunagan sebagai Doris sanggup merealisasikan teror tersebut dalam berbagai cara, bahkan lewat senyuman hangat sekalipun. Apakah tindak tanduk aneh John dan Dorris semata-mata karena pengaruh usia tua? Ataukah ada rahasia mengerikan lain? Pertanyaan itu terus mengiringi perjalanan film yang tak pernah surut menghadirkan kesenangan. "The Visit" patut dirayakan sebagai penanda kembalinya M. Night Shyamalan pada performa terbaik. Sudah saatnya ia berfokus membuat horor/thriller berskala kecil yang mengutamakan atmosfer dan narasi seperti ini. Dia ahlinya.

2 komentar :

Comment Page:

AMERICAN HORROR STORY: HOTEL (EPISODE 4 - 7)

2 komentar
Berikut adalah review untuk "American Horror Story: Hotel" episode 4 sampai 7. Untuk ulasan episode 1 sampai 3 dapat dibaca disini.

4 - DEVIL'S NIGHT
Episode spesial Halloween selalu menjadi highlight bagi serial ini. "Devil's Night" pun menawarkan premis yang menjanjikan hal serupa. Setahun sekali tiap malam Halloween, James March mengadakan pesta makan malam yang dihadiri beberapa tamu undangan. Pembeda jamuan ini dari lainnya adalah fakta bahwa tamu undangan March merupakan para pembunuh berantai legendaris Amerika yang telah lama mati. Dengan banyaknya serial killers"hell break loose" adalah apa yang saya harapkan. Sayang, "Devil's Night" berakhir sebagai episode spesial Halloween paling mengecewakan dalam sejarah penayangan AHS. Adegan pembunuhan disajikan terlalu "jinak" dengan darah mengalir seadanya. Narasinya terlalu banyak menghabiskan waktu menceritakan bagaimana mereka bisa sampai mengenal James March. Alhasil potensi para pembunuh tersia-siakan. Hanya Lily Rabe sebagai Aileen Wuornos yang mencuri perhatian meski akting campy-nya tentu tak bisa dibandingkan dengan totalitas Charlize Theron. Dialog turut jadi salah satu kelemahan terbesar episode ini. Penulisan naskahnya menggelikan, juga diperparah oleh eksekusi cheesy. Obrolan John Lowe dan Miss Evers jadi salah satu bukti. Tanpa ada dampak pada keseluruhan narasi kecuali selipan arc milik Alex, "Devil's Night" menjadi episode yang terbuang percuma. (2.5/5)
5 - ROOM SERVICE
Here's a perfect example of how the best and worst thing of "American Horror Story" mixed into one. Hal terburuk terletak pada narasi bertumpuk. Terdapat subplot tentang Iris yang "terlahir kembali", Alex dengan kehidupan baru sebagai vampir, flashback masa lalu Liz Taylor dan kisah pasien Alex, seorang bocah bernama Max. Memaksakan cerita sebanyak itu dalam satu episode berujung pada eksplorasi buru-buru. Perubahan pribadi Iris dan Max terlalu cepat, sulit untuk diterima. Khusus untuk Max, berubah menjadi vampir haus darah seharusnya tidak sampai membuat dia menjadi pembunuh berdarah dingin yang profesional dalam menjalankan aksi. Terdapat pula continuity error saat Donovan yang sebelumnya telah "sadar" kini kembali berusaha memanfaatkan sang ibu. Tapi disaat bersamaan "Room Service" memiliki sisi terbaik khas AHS, yakni kegilaan menghibur. Pembantaian di sekolah yang melibatkan anak-anak sebagai pembunuh, hingga "kegilaan" Iris sanggup memberi senyum kepuasan berkat sajian gory. Kisah Liz pun menjadi background story terbaik di musim kelima sementara ini yang diperkuat oleh penampilan simpatik Denis O'Hare. Episode ini juga memantapkan tone kelam "Hotel", saat akhirnya tidak ada satupun karakter "putih". Semuanya twisted dan bermasalah. Dan jika anda teliti, ada dialog yang berpotensi sebagai foreshadowing tentang identitas "The Ten Commandments Killer". (3.5/5)
6 - ROOM 33
Seks, seks, dan seks. Dengan itu Hotel membuka episode keenamnya. I love that, tapi aspek paling mengejutkan justru saat koneksi antara musim ini dengan "Murder House" semakin gamblang. Adegan pembuka ber-setting tahun 1926 memperlihatkan Elizabeth mendatangi sebuah tempat yang familiar. Bagi sebagian penggemar koneksi ini sudah bisa diprediksi jauh hari, tapi melihatnya menjadi nyata tentu memberi kepuasan lain. Sisi lain sang Countess pun terungkap disini, bukan sekedar vampir berdarah dingin yang menyukai seks liar. Dia sama seperti karakter lain; rapuh dan terluka. Episode ini turut mengukuhkan Denis O'Hare sebagai hal terbaik Hotel. Untuk pertama kalinya ada karakter dalam "American Horror Story" yang menarik simpati sebesar Liz Taylor. Terdapat satu adegan yang (unexpectedly) terasa menyentuh berkaitan dengan karakternya pada episode ini. I'm on her side now. Disisi lain masih ada John dengan kegilaannya yang repetitif dan membosankan, juga Alex yang kini justru coba menghancurkan psikis suaminya itu. Twisted and terrifying story, but lack of depth. Episode memuaskan berhiaskan hati dan menyibak misteri mengerikan di balik kamar nomor 33. (3.5/5)
7 - FLICKER
This is the last episode before mid-season break that closed the first-half of "Hotel" with quality. Episode ini menghabiskan separuh durasi untuk flashback menuju Hollywood tahun 1925. Untuk pertama kalinya kita melihat Countess sebelum bertransformasi menjadi vampir. Tidak hanya memberi eksplorasi lebih dalam pada dia, flashback ini juga mengaitkan berbagai titik plot, karakter, serta membuka tabir misteri Hotel Cortez. Eksekusi flashback-nya pun menawan berkat cerita menarik yang karakter-sentris, pula style ala film Hollywood pra-suara. Saya menyukai tarian antara Countess, Valentino (Finn Witrock) dan Natacha (Alexandra Daddario) yang berujung pada threesome. Elegan, intens, seksi. "Flicker" turut menyelipkan tribute sekaligus observasi pada Hollywood lewat obsesi karakternya menjadi "dewa" yang dipuja banyak orang. Begitu episode ini berakhir, tiap karakter telah memiliki lebih banyak layer, bukan sekedar monster haus darah. Terdapat kekurangan minor seperti penghantaran dialog dan penyaluran emosi Gaga yang tak terlalu kuat, hingga make-up-nya saat makan malam bersama March (those eyebrows!). Tapi saya menyukai bagaimana Gaga sanggup memberi perbedaan pada Countess sebelum dan setelah transformasi. Kekurangan tersebut tak merubah status "Flicker" sebagai salah satu episode terbaik musim ini. Penutup sempurna bagi babak pertama "Hotel". (4/5)

2 komentar :

Comment Page: