A MONSTER CALLS (2016)

15 komentar
Dalam film adaptasi novel berjudul sama karya Patrick Ness  yang juga menulis naskahnya  ini, Liam Neeson (menyuarakan karakter monster) mendeskripsikan sang protagonis Conor O'Malley (Lewis MacDougall) sebagai "too old to be a kid, too young to be a man". Fakta ini saja telah mendiferensiasi "A Monster Calls" dengan film lain tentang persahabatan magical yang bermunculan tahun ini seperti "Pete's Dragon" dan "The BFG". Berusia 12 tahun, Conor jelas terlalu muda untuk mengurus kesehariannya (menyiapkan sarapan, membersihkan rumah) sendiri tatkala ibunya (Felicity Jones) harus terbaring lemah akibat kanker. Namun ia pun terlampau tua untuk dianggap normal memiliki teman imajiner berupa monster pohon raksasa.

Permasalahan Conor bukan sebatas penyakit sang ibu saja. Di sekolah, ia menjadi korban bully dari Harry (James Melville) yang sering memukulinya sepulang sekolah. Conor juga berselisih dengan neneknya (Sigourney Weaver) berkaitan dengan pengobatan bagi sang ibu di mana sang nenek ingin puterinya mendapat perawatan intensif, yang berarti Conor harus tinggal bersamanya. Di tengah kondisi tersebut, tiap malam pukul 12:07, Conor kerap mendapat mimpi buruk tentang sebuah bencana destruktif. Hingga suatu malam di jam yang sama, pohon yew di dekat rumahnya berubah menjadi monster, mendatangi Conor dan berkata akan menceritakan tiga buah kisah.
Cerita pendewasaan satu tokoh bocah berbalut fantasi telah banyak beredar, tapi jarang yang dipaparkan secara dewasa, di mana coming-of-age dimaknai sebagai proses penerimaan kenyataan tak peduli seberapa pahit serta memahami bahwa dunia bukan hanya hitam dan putih. Karakter utamanya tidak menjalani hingar bingar petualangan magis, melainkan dijejali tiga kisah ambigu (gamblang untuk penonton dewasa)  pangeran dan ibu tirinya yang seorang penyihir, perselisihan pendeta dengan tabib, bocah yang meminta bantuan monster supaya dapat "terlihat" oleh orang-orang di sekitarnya. 

This movie is pretty dark and confusing for children, but for adult, teenagers or even preteens, it's a meaningful one. Dengarlah saat sang monster mengkritisi pria religius namun tanpa iman. Anak-anak mungkin melewatkan pesan tersebut, tapi para orang tua bakal mengangguk, menerima bahwa begitulah realita dunia. Tatkala Conor akhirnya menceritakan kisah keempat berupa realisasi atas mimpi buruknya, di situlah Patrick Ness menikam kita dengan kenyataan pahit soal kematian. Air mata penonton tidak dieksploitasi namun tetap akan mengucur ketika sutradara J.A. Bayona ("The Orphanage" & "The Impossible") menyuguhkan momen acceptance protagonisnya secara lembut, mulus memadukan manisnya kasih sayang bersama pahitnya perpisahan.
Sentuhan fantasi bukan semata-mata pemanis baik di ranah penulisan naskah maupun penyutradaraan. Nyata atau tidak sang monster takkan menciptakan perdebatan panjang, tapi Ness mampu menjelaskan asal usulnya lewat cara subtil. Monster itu tidak hanya makhluk imajiner tanpa dasar, melainkan manifestasi dari tiap sisi kehidupan Conor seperti hubungan keluarga sampai kegemarannya menggambar. Sedangkan visi imajinatif Bayona sempurna memvisualisasikan isi pikiran penuh imaji estetis milik Conor. Highlight pastinya terletak pada penggambaran cerita sang monster yang didominasi warna warni cat air, namun sinematografi garapan Oscar Faura membuat setting "dunia nyata" juga memikat mata, entah mencekamnya percikan api saat sang monster murka atau bird view guna menangkap pemandangan luluh lantahnya permukaan tanah di klimaks.

Penampilan Lewis MacDougall memudahkan Conor mencuri simpati penonton. Dia introvert pula memiliki fisik lemah, tapi bukan pecundang. Dalam tiap tutur serta perilaku Lewis tersirat kekuatan yang didorong kuatnya cinta. Sigourney Weaver paling bersinar ketika mengekspresikan rasa tanpa tutur kata, terutama respon heartbreaking kala mendapati rumahnya hancur berantakan. Teruntuk Felicity Jones, meski menghabiskan mayoritas durasi terbaring dalam kondisi lemah, senyum simpul penuh kasih sayang menambah kehangatan serta sisi emosional "A Monster Calls", salah satu film terbaik tahun ini yang wajib anda tonton bila ingin mengetahui atau mengajarkan bagaimana sebenar-benarnya pendewasaan itu.

15 komentar :

Comment Page:
Zulfikar Knight mengatakan...

Apakah ini calon Oscar?

Unknown mengatakan...

makasih bang, untuk reviewnya. sangat membantu

Ulik mengatakan...

Gak nnton ACDS cjr... ?

Surya AS mengatakan...

Bang coba review dong film the memories of matsuko tahun 2006 😄 dijamin baguss

Rasyidharry mengatakan...

Sayangnya nggak. Bahkan kategori VFX aja susah

Rasyidharry mengatakan...

Welcome :)

Rasyidharry mengatakan...

Niatnya sih nonton, waktunya belum pas. Moga besok sempet sekalian Blair Witch

Rasyidharry mengatakan...

Duh film-film baru aja masih numpuk ini haha

Satria wibawa mengatakan...

Sempat baca sih di internet kalau felicity jones diramalkan dapet nominasi best supporting actress di oscar dari film ini

Unknown mengatakan...

wah wajib nonton ni..tapi kok di bioskop sini belum ada ya..

Rasyidharry mengatakan...

Ada kok peluangnya, kalau film ini overall review-nya bagus banget pas rilis luas peluangnya bakal tambah

Rasyidharry mengatakan...

Baru midnight malming kemarin, mungkin rilis rabu ini atau 2 minggu lagi

Ulik mengatakan...

Ditunggu review-nya

Unknown mengatakan...

Baru sempat nonton kemaren..
suka dgn 3 kisah yg diceritakan itu benar-benar pelajaran berharga tuk pendewasaan diri..

Unknown mengatakan...

Baru sempat Nonton dan What The Hell Bagus Banget, Endingnya Bikin Sesenggukan Nangis,,, Sayang Gak Dilirik Oscar