TALAK 3 (2016)

28 komentar
Jika bukan karena talenta-talenta di dalamnya, jujur "Talak 3" tampak kurang menjanjikan akibat trailer berisi lelucon-lelucon "receh" acak. Kesannya, film ini hanya akan tersusun atas humor demi humor tanpa mempedulikan bobot penceritaan. Tapi keberadaan duet Hanung Bramantyo dan Ismael Basbeth pada kursi penyutradaraan mencuatkan daya tarik. Saya menyukai Hanung saat memasuki "mode santai", dimana ia bisa memberi hiburan menyenangkan sembari menyentil beberapa isu kehidupan. Penasaran pula bagaimana hasilnya bila Ismail Basbeth yang selama ini identik dengan "film festival" mengemas tontonan ringan seperti ini. Ditambah lagi Vino G. Bastian, Laudya Cynthia Bella dan Reza Rahadian dalam jajaran cast meyakinkan saya bahwa film ini tidak semurah trailer-nya.

Bagas (Vino G. Bastian) dan Risa (Laudya Cynthia Bella) adalah sepasang suami istri yang sering terlibat pertengkaran hebat, hingga keputusan bercerai pun diambil. Namun sebuah proyek bernilai milyaran rupiah mengharuskan keduanya kembali bersama. Bisa ditebak, kebersamaan itu mengembalikan benih cinta di antara mereka. Bagus dan Risa pun memutuskan untuk rujuk. Masalahnya, karena tak mampu menahan emosi, Bagas menjatuhkan talak 3 pada sang istri. Berdasarkan aturan Islam, hal itu berarti mereka tidak boleh rujuk sebelum melalui Muhalil (pria lain menikahi pihak istri sebelum kemudian bercerai). Guna mengakali peraturan tersebut, dimulailah pencarian calon suami untuk Risa. Pilihan berujung pada Bimo (Reza Rahadian), teman Risa sedari kecil sekaligus rekan kerja yang telah lama setia mendampingi Bagas. 
"Talak 3" bagai dibagi menjadi dua babak. Babak pertama didominasi komedi, sedangkan paruh kedua berfokus pada drama-romansa serius. Pilihan ini tepat, karena Hanung dan Ismail tak perlu direpotkan oleh permasalahan inkonsistensi tone akibat humor serta drama datang silih berganti. Selain itu, menyuguhkan kesenangan sebelum menampar lewat konflik dramatis terbukti jadi ramuan efektif supaya dampak emosional konfliknya bisa lebih dirasakan oleh penonton. Bayangkan setelah melalui momen penuh kebahagiaan mendadak anda diberikan problema pelik nan dilematis, pasti terasa jauh lebih menyakitkan dibanding apabila telah terbiasa oleh banyak masalah sedari awal. Poin minusnya, dua fase "Talak 3" bagai dua film berbeda saat absurditas komedi bersanding dengan drama realis.

Komedinya memang luar biasa absurd. Ini bukan satir menggelitik layaknya "Hijab", ini parade kekonyolan dari karakter bertingkah polah aneh tak jarang bodoh, mengingatkan  pada karya Hanung lainnya, yaitu "Jomblo". Tidak mengejutkan mengingat nama-nama seperti Cak Lontong dan Dodit Mulyanto hadir di sini. Sejatinya tipikal komedi begitu bukan selera saya, dimana tidak terlalu sering saya tertawa lepas. Sebagai dampak lain "membagi" film ke dalam dua babak, paruh pertama "Talak 3" terlalu memaksakan diri menjadikan setiap momen sebagai komedi tanpa mempedulikan timing, tanpa jeda, tanpa ruang bagi saya bernafas sejenak. Namun pace cepat, totalitas pemain ketika melakoni adegan komedik, serta tingginya semangat bersenang-senang dalam bertutur, mampu menjaga stabilitas film. Berbagai keunikan tokohnya (penulisan karakternya kreatif!) menjadikan kemunculan mereka memorable
Justru pesona "Talak 3" hadir tatkala konflik serius mulai mengambil sentral cerita. Terbukti seusai diberondong kekonyolan, dampak emosional drama lebih mudah merasuk. Tercatat beberapa kali filmnya berhasil membuat saya tersenyum sekaligus terenyuh oleh sisi bittersweet romansa. Trio Vino, Bella dan Reza memegang kunci atas keberhasilan tersebut. Vino dan Bella tak hanya total ber-komedi lewat antusiasme akting tinggi, tapi kala dituntut melakoni porsi drama, keduanya menjalin chemistry kuat. Dalam adegan pertengkaran, teriakan Vino, juga tangisan Bella memberikan nyawa. Namun sungguh Reza Rahadian-lah suguhan akting terbaik di sini. Setelah karakternya lebih banyak pasif di paruh pertama, paruh kedua jadi lahan baginya memamerkan ledakan emosi yang sanggup membuat saya tercekat. Adegan favorit adalah disaat pertikaian Bimo, Bagas dan Risa mencapai puncaknya. Saat itu saya terdiam, ikut merasakan hancurnya perasaan mereka bertiga.

Warna seorang Hanung Bramantyo tentu lebih kuat dari Ismail Basbeth, dan itu bukan hal buruk, karena Hanung tahu formula tepat untuk menyajikan hiburan yang dapat diterima semua orang. Tapi bukan berarti kehadiran Ismail tak terasa. Beberapa isi frame adegan, seperti penggunaan cermin atau landscape alam menyuguhkan keindahan puitis ala-arthouse cinema, yang seperti kita tahu kerap menghiasi karya-karyanya. Secara keseluruhan, film ini memang murni hiburan, dimana beberapa kritik semisal tentang korupsi serta penyelewengan aturan tidak sampai menohok. Berkaca dari situ, "Talak 3" sudah berhasil mencapai tujuan sebagai hiburan menyenangkan bermodalkan gempuran komedi sekaligus drama romantika emosional berkat jajaran cast memikat. Salam cinta!

28 komentar :

Comment Page:

THE FINEST HOURS (2016)

Tidak ada komentar
"The Finest Hours" menuturkan kisah nyata tentang misi penyelamatan bersejarah para penjaga pantai terhadap awak kapal SS Pendleton pada 18 Februari 1952. Dianggap salah satu misi penyelamatan paling spektakuler karena hanya bermodalkan satu life boat kecil, empat orang kru penjaga pantai mampu menerobos badai raksasa dan menyelamatkan 33 awak SS Pendleton. Poin utama dari kisah tersebut adalah keberanian regu penyelamat yang tidak ragu mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan lebih banyak manusia. Sebagai sebuah film, wajib hukumnya bagi "The Finest Hours" membuat perasaan penonton tergerak menyaksikan perjuangan Bernard Webber (Chris Pine) beserta kru-nya. Mungkin cheesy, tapi saya tidak menyangka film ini bakal menjadi 117 menit membosankan.

Guna menghadirkan ketegangan serta pergolakan emosi, naskah film yang mengadaptasi buku berjudul sama karya Michael J. Tougias dan Casey Sherman sesungguhnya masih mengikuti pakem standar. Narasi awal dipecah menjadi dua, seputar kehidupan Bernard Webber dan terjadinya kecelakaan pada SS Pendleton dengan fokus terbesar diberikan pada Ray Sybert (Casey Affleck). Webber dikisahkan menjalin asmara dengan Miriam (Holliday Grainger) dimana keduanya berniat segera melangsungkan pernikahan. Hubungan ini diharapkan mampu memunculkan kepedulian penonton pada Webber tatkala ia mempertaruhkan nyawa di tengah laut. Sedangkan perjalanan menembus ombak ganas dan kehancuran SS Pendleton dibuat guna membangun ketegangan.
Seharusnya film ini belajar dari bagaimana Michael Bay menghantarkan "Armageddon". Tentu saja cheesy, tapi tidak bisa dipungkiri Bay mampu menyuguhkan ketegangan juga sisi patriotisme menggetarkan (baca: berlebihan). Craig Gillespie selaku sutradara terkesan clueless dalam menangani sequence berhiaskan CGI masif. Gillespie hanya berusaha menggambarkan ombak seganas mungkin, gemuruh sekeras mungkin, juga momen sekacau mungkin dalam tiap frame. Beberapa adegan memang breathtaking, seperti saat SS Pendleton terbelah menjadi dua, tapi sisanya, saya tidak tahu apa yang tengah terjadi. Semua terlampau kacau dan penuh. Belum lagi editing super cepat untuk adegan berisi sesuatu berkecepatan tinggi (ex: rantai lepas, kapal bocor) makin menyulitkan saya mencerna film ini.

Gillespie terlalu ingin menjadikan "The Finest Hours" realistis, sehingga disusunlah pengadeganan bercahaya minim dan guyuran air dimana-mana. Seperti karakternya, saya kesulitan melihat satu kejadian di layar. Tanpa tahu apa yang sesungguhnya terjadi, maka mustahil merasa terlibat dengan kisahnya. Kegagalan meghadirkan dinamika emosi masih ditambah oleh minimnya kreativitas bernarasi Gillespie. Jalannya alur sangat repetitif, dimana kita diajak melihat perjuangan Webber dan Sybert secara bergantian, sambil sesekali menyelipkan Miriam yang mengkhawatirkan sang kekasih. Begitu seterusnya dengan tiap sequence didominasi kekosongan tanpa rasa. 
Ketiga karakter utamanya juga gagal memberi alasan kenapa penonton harus peduli pada mereka. Chris Pine bukan aktor bermodalkan kharisma diatas rata-rata, sehingga saat disini ia lebih banyak menghabiskan waktu berdiri mengemudikan kapal, tokoh Webber pun tak memberi kesan sedikitpun. Holliday Grainger telah berusaha menyuntikkan emosi pada sosok Miriam, tapi menjadi percuma karena saya tidak merasakan kekhawatiran serupa teruntuk Webber. Tersisa Casey Affleck untuk mengatrol intensitas. Dia tidak buruk, hanya saja, seperti yang kita tahu Casey bukanlah leading man untuk tipikal film seperti ini. Gaya akting serta karakter Sybert yang ia perankan cenderung pasif, gagal bersumbangsih memberi nyawa pada dinamika alur.

Harus diakui kemasan visual "The Finest Hours" cukup memikat dan mampu sedikit menyelamatkan film ini, apalagi bila anda menyaksikannya di layar yang lebih lebar (Starium, SphereX, IMAX). Namun sebagai kisah perjuangan penuh keberanian, saya tidak merasa dilibatkan lebih jauh, sehingga pergolakan emosi pun tak mampu dihadirkan. Ditambah pengemasan yang berantakan pula repetitif, "The Finest Hours" is a very boring two hours. And no, this isn't fine at all.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

AIR TERJUN BUKIT PERAWAN (2016)

1 komentar
Memang benar niatan untuk menciptakan film bagus layak diapresiasi, termasuk ketika para pembuatnya mampu menggagas suatu konsep menarik. Tapi akan menjadi percuma apabila pada tataran eksekusi hasilnya buruk. Sekali lagi layak diapresiasi, tapi tidak lantas mengangkat derajat filmnya. Karena realisasi konsep sangat bergantung pada kemampuan penulis naskah dan sutradara. Penulis naskah harus mampu mengembangkan ide dasar, sedangkan sutradara bertugas menarasikan lembar-lembar naskah ke dalam bentuk visual. Tanpa kualitas memadahi dari kedua belah pihak, premis sepintar apapun boleh jadi hancur lebur. Hal demikian terjadi pada "Air Terjun Bukit Perawan" yang merupakan adaptasi novel berjudul sama karya Rudiyant.

Judulnya memang "catchy" dan berpotensi menimbulkan pemikiran bahwa film ini tak lebih dari sekedar horror pengumbar sensualitas tanpa kengerian. Memang benar banyak wanita berbapakaian seksi di tengah hutan. Ada adegan mereka mandi di bawah guyuran air terjun pula. Bahkan seorang gadis kampung ternyata punya baju menerawang dan bikini berwarna orange cerah di sini. Tapi itu sekedar pemanis dengan taraf wajar. Tidak haram pula hukumnya mengeksploitasi keseksian tubuh dalam film. Kisahnya sendiri mengikuti formula standar tentang muda-mudi berparas cantik nan rupawan yang berniat camping di sebuah hutan. Hutan itu terletak di suatu bukit bernama "bukit perawan". Disebut demikian karena tidak ada orang berani menginjakkan kaki di tempat yang konon angker tersebut. 
Si gadis kampung berbaju menerawang dan bikini orange
"Air Terjun Bukit Perawan" sejatinya bukanlah horror, jadi tidak akan ada kemunculan hantu (well, sort of). Surprisingly, alur berjalan lambat dengan fokus awal mencoba lebih banyak bermain di ranah drama tentang hubungan karakter Tina -si gadis desa berbikini orange- dengan orang tuanya. Sebelum akhirnya misteri tentang sosok Tina muncul dan hadirlah twist mengejutkan. Sungguh, saya tertipu (in a good way) oleh twist-nya. Dari segi plot-line pada paruh awal, film ini sukses mempermainkan ekspektasi. Cara yang dipakai untuk membelokkan alur pun tidak begitu dipaksakan berkat permainan timeline juga beberapa red herring. 

Tapi sisi positifnya berakhir pada tataran niat dan konsep. Niatnya bagus, berusaha mengemas thriller berisi drama dan teka-teki. Konsep yang saya cukup yakin bermula dari gagasan "ayo kembangkan cerita dari twist ini" meski tidak original namun cukup menarik. Sayang sutradara dan penulis naskah tidak mampu menarasikan cerita penuh misteri dan lompatan alur. Naskahnya didominasi dialog menggelikan, sehingga tatkala plot masih "merangkak", tidak tercipta daya tarik. Padahal bagian itu berfungsi membangun kepedulian penonton pada tokohnya. Malah menjelang akhir penulisannya makin parah saat (entah sengaja atau tidak) banyak muncul kalimat menggelikan, contohnya yang melibatkan "angkot". Bila disengaja, memang lucu, tapi tidak selaras dengan tone. Bila tidak disengaja, bagaimana mungkin adegan serius cenderung kelam bisa menghadirkan tawa? Jajaran aktor juga sama sekali tidak membantu akibat penghantaran datar mereka.
Si gadis kampung kali ini tanpa bikini
Masih berkutat pada dialog, Theresia Hwang sang penulis naskah seperti kebingungan dalam menggali sebuah topik pembicaraan. Hasilnya, tidak hanya sekali dua kali penonton diperdengarkan pada pengulangan dialog. Daripada menegaskan suatu ide, pengulangan itu berujung repetisi dangkal. Masalah pengulangan ini juga terjadi pada penyutradaraan Luri G. Wara. Film ini banyak memakai flashback dengan footage sama persis berulang kali. Bahkan editing-nya pun buruk. Sebuah flashback dalam fungsinya selaku "jawaban" hanya perlu memunculkan kembali momen penting secara sekilas. Tapi disini, kita diberikan satu scene penuh, seolah sebagai upaya menambah durasi supaya memenuhi batas minimal feature film untuk pemutaran di bioskop. 

Saya kira pada awalnya Luri G. Wara memang sengaja memulai dengan lambat, supaya penonton bisa memahami karakter beserta dialog yang mereka ucapkan, meski akhirnya kekurangan di naskah jadi penghalang. Tapi seiring berjalannya waktu, pace lambat ini juga seperti usaha mengakali durasi akibat minimnya isi cerita. Karena sungguh, bila dituturkan dalam cepat, "Air Terjun Bukit Perawan" bisa berakhir sebagai short film -which is much better. Pergerakan alur terlalu dragging, sehingga intensitas ketegangan serta daya kejut dari twist serta merta luntur. Saat pertama kejutan hadir, saya tersenyum, senang merasa ditipu. Tapi kemudian filmnya berputar-putar, menolak secara gamblang membongkar rahasia yang sesungguhnya sudah diketahui penonton beberapa menit lalu. Ketika semua terbongkar sudah terlambat. Antusiasme saya sudah menurun drastis.

Terdapat keinginan untuk membuat "Air Terjun Bukit Perawan" sebagai thriller murni, bukan kedok di balik eksploitasi keseksian tubuh aktrisnya. Sungguh saya menghargai itu. Tapi alangkah lebih baik untuk tidak memaksakan diri berusaha terlalu kuat menjadikan filmnya cerdas jika akhirnya berakhir bodoh. Kebodohan yang disengaja dan disadari itu tidak masalah, justru berpotensi menghadirkan hiburan menyenangkan. Kesenangan itu sama sekali tidak saya dapat saat menyaksikan "Air Terjun Bukit Perawan". Padahal dengan karakter gadis desa berbaju menerawang, berbikini orange dan tak pernah lupa memakai maskara atau dialog "hantu naik angkot", film ini bisa menjadi guilty pleasure. Oh, dan hati-hati, ternyata trailer-nya spoiler luar biasa, membongkar semua kejutan alurnya.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

1 komentar :

Comment Page:

SURAT DARI PRAHA (2016): LANTUNAN CINTA MASA LALU

14 komentar


" Di sana tempat lahir beta, Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua, Sampai akhir menutup mata "

"Surat dari Praha" sempat menyisipkan lagu "Tanah Air Beta" dalam salah satu adegannya, memunculkan ironi ketika para putera bangsa dengan rasa cinta begitu besar terhadap Indonesia justru tak mendapat perlindungan dari tanah air mereka dan harus menyingsing masa tua di negeri orang. Hal itu sebagai dampak terjadinya gejolak politik tatkala kepemimpinan Soekarno lengser, digantikan oleh rezim orde baru Soeharto. Beberapa mahasiswa yang menyatakan diri anti terhadap orde baru pun kehilangan kewarganegaraan mereka, dicap sebagai komunis serta pengkhianat bangsa. Alhasil, mereka tak bisa kembali pulang ke tanah air. Penciptaan "Surat dari Praha" sendiri didasari oleh empat lagu ciptaan Glenn Fredly yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa visual film.

Demi memenuhi wasiat sang ibu, Sulastri (Widayawati), Larasati (Julie Estelle) terpaksa harus pergi ke Praha guna mengantarkan sebuah kotak dan sepucuk surat. Setibanya di alamat tujuan, bertemulah Larasati dengan Jaya (Tio Pakusadewo) yang ternyata adalah mantan kekasih Sulastri. Jaya sendiri terpaksa harus tinggal di Praha, karena keputusannya menentang Soeharto pada tahun 1965. Awalnya, Larasati hanya berniat meminta tanda tangan sebagai bukti penerimaan kotak dan surat tersebut, tapi penolakan dari Jaya serta beberapa kejadian tak terduga memaksanya tinggal lebih lama di Praha. Berawal dari situ, Larasati perlahan mempelajari masa lalu antara Jaya dan Sulastri lewat lagu-lagu juga surat hasil tulisan Jaya setelah puluhan tahun menghilang. 

Menengok beberapa filmografi terakhir Angga Dwimas Sasongko, dapat ditarik kesimpulan bahwa sutradara satu ini punya kepekaan lebih dalam menarik esensi suatu kisah. "Cahaya dari Timur: Beta Maluku" penuh semangat perjuangan, sedangkan "Filosofi Kopi" dituturkan sebagai bromance hangat. Teruntuk "Surat dari Praha", transformasi bahasa lagu milik Glenn Fredly menjadi sinematik adalah kuncinya. Angga berhasil mengemas film ini layaknya suatu ballad yang berjalan lambat, tidak megah, namun kuat secara emosi. Mengalun indah, tanpa sadar saya telah dibuat jatuh cinta hingga menitikkan air mata hanya oleh momen-momen sederhana. Lagu bukan semata-mata pemanis, melainkan kerangka penting pembangun keseluruhan film. 
Sensitifitas Angga terlihat pula pada penghantaran emosi suatu adegan. Sekali lagi, "Surat dari Praha" adalah balada, bukan orkestrasi megah berisi banyak "ledakan" rasa. Selain berjalan lambat, seringkali sunyi dan minim letupan. Tapi Angga tahu bahwa kekuatan intensitas emosi bukan sekedar ditentukan oleh besar-kecilnya ekspresi, melainkan turut dipengaruhi oleh timing dan atmosfer. Beberapa kali saya dibuat tercekat oleh momen "kecil" yang amat menusuk. Bagian terbaik adalah ketika Jaya mengetahui cinta sejatinya telah tiada, lalu memeluk anjingnya, Bagong sambil berujar lirih, "Gong, Sulastri seda". Sisi visual pun turut menguatkan atmosfer, semisal kesendirian karakter Jaya dimunculkan dengan banyaknya ia duduk dalam ruangan bercahaya minim. 

Naskah karya M. Irfan Ramli juga membawa semangat serupa. Tidak ada inovasi dalam alurnya. Dialognya pun tak pernah berusaha keras menjadi puitis. Namun kemampuannya mengeksplorasi karakter lewat hal-hal subtil sungguh luar biasa. Melalui rangkaian kalimatnya, penonton telah mampu mempelajari seluk beluk mendalam karakter Larasati, Jaya dan Sulastri. Sehingga tidak perlu memasukkan selipan flashback atau adegan on-screen guna menggali pribadi serta hubungan antara mereka. Tentu membutuhkan konsentrasi lebih bagi penonton supaya tidak ada fakta terlewat, atau lebih tepatnya jangan sampai terlewat. Karena salah satu poin penting sekaligus paling emosional dalam hubungan Larasati-Sulastri dipaparkan hanya lewat sepetik kalimat tanpa dramatisasi berlebih. 
Di antara kesederhanaan pula kesubtilan film, tentu dibutuhkan akting mumpuni dimana seorang aktor menyatu jiwa dan raga dengan karakternya. Tio Pakusadewo exactly did that. Bukan sekedar mimicking, tapi benar-benar merasakan apa yang Jaya rasakan. Sehingga sang aktor mampu memunculkan emosi secara nyata di mata penonton tanpa membutuhkan letupan atau gerak-gerak besar. Julie Estelle pun tidak kewalahan harus bersanding dengan Tio Pakusadewo. Dikala muncul pertengkaran antara Larasati dan Jaya, Julie menjadi "lawan sepadan", membuat pertukaran kalimat bukan sekedar teriakan kosong. Chemistry kuat di antara mereka juga memberi kehangatan tatkala Jaya dan Laras mengesampingkan amarah dan egoisme masa lalu untuk saling menerima satu sama lain. Sedangkan Widyawati dan Rio Dewanto mampu memanfaatkan porsi minim masing-masing, memberi nyawa dalam tiap kemunculan.

Film ini bukannya tanpa kelemahan. Saya cukup terganggu oleh product placement-nya, meski terlihat Angga sudah sebisa mungkin membuat kemunculan beberapa merk terlihat natural. Tidak sampai tercipta suasana awkward karena itu, tapi kuantitasnya terlampau banyak. Kekurangan kedua adalah akhir yang agak terburu-buru, seolah dihantarkan hanya demi memenuhi "kewajiban" untuk memiliki satu konflik lagi sebelum konklusi. Well, setidaknya scene terakhir masih terasa menyentuh, dan dua kekurangan ini tetap tidak mampu mengurangi rasa cinta saya terhadap "Surat dari Praha". 

Cinta sejati. Entah terhadap negeri atau kepada satu orang setia melingkupi kehidupan karakternya. Dua rasa cinta itu nyatanya menjadi sumber kebahagiaan sekaligus kegetiran yang coba dipendam, dilupakan sebagai masa lalu. Bagaimana karakternya menghadapi masa lalu kelam itu dan memaafkan segala hal termasuk kondisi dan diri sendiri menjadi fokus utama penceritaan. Naskahnya juga mampu membawakan tema (agak) politis secara ringan tanpa kehilangan kekuatan. Ditemani iringan lagu yang tak hanya terdengar indah, namun bersatu padu mencipta keselarasan, "Surat dari Praha" bagai balada yang mengalun perlahan menyentuh rasa, memunculkan haru dan cinta dengan begitu indah. 


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

14 komentar :

Comment Page:

AMERICAN GRAFFITI (1973)

2 komentar
Pasca Perang Dunia II, lahirlah satu generasi baru yang dikenal dengan sebutan "Baby Boom". Saat itu perang telah berakhir, angka kelahiran meningkat, begitu pula tingkat perekonomian. Masyarakat dunia (khususnya Amerika) tengah menatap harapan baru penuh optimisme tinggi teruntuk kehidupan lebih baik setelah cukup lama berkupang dalam tragisnya peperangan. Istilah "American Dream" bukan lagi mimpi di siang bolong saat luasnya lapangan kerja berujung pada tingginya kesejahteraan masyarakat. Sedangkan bagi remaja, kondisi ini memuaskan rasa haus mereka akan kebebasan, selaras dengan berbagai tren kultural kala itu seperti cruising -menyetir mobil di jalan tanpa arah tujuan pasti- juga rock 'n roll yang mulai merangsek ke puncak kejayaan.

"American Graffiti" sebagai hasil penyutradaraan kedua George Lucas (his only non-science fiction) adalah cerminan bagaimana rupa budaya remaja pada awal 60-an. Ber-setting di Modesto, California -kota tempat Lucas menghabiskan masa remaja- film ini mengisahkan empat orang remaja: Curt (Richard Dreyfuss), Steve (Ron Howard), John (Paul Le Mat) dan Terry (Charles Martin Smith) kala mereka menghabiskan malam berhadapan dengan berbagai life-changing event. Steve dan Curt berharap malam itu jadi malam indah, karena keesokan pagi keduanya hendak pergi guna berkuliah di luar kota. Namun Curt sendiri masih ragu, apakah ia siap meninggalkan Modesto. Baginya, "untuk apa meninggalkan kehidupan dan kawan hanya untuk mencari kehidupan serta kawan baru".
Lucas merangkai alurnya dalam kepingan-kepingan vignette, melompat dari satu event ke event lain yang dialami oleh karakter berbeda. Curt berjalan menyusuri sudut kota untuk mencari dua hal: jawaban apakah ia harus pergi dan seorang wanita berambut pirang pengendara mobil T-Bird yang telah memikat hatinya pada perjumpaan pertama. Steve mesti terlibat konflik dengan kekasihnya, Laurie (Cindy Williams) akibat keputusannya untuk berkuliah di kota lain. John sang juara drag race di Modestu justru harus "terjebak" berkeliling kota bersama seorang gadis di bawah umur bernama Carol (Mackenzie Phillips). Sedangkan Terry tengah kegirangan kala Steve meminjamkan Chevrolet Impala tahun 1958 miliknya, dan memanfaatkan itu untuk merebut hati Debbie (Candy Clark).

Meski naskahnya memang ditulis berdasarkan masa remajanya sendiri, saya tak pernah menyangka Lucas punya sensibilitas sekuat yang ia tunjukkan dalam caranya bertutur disini. Lucas menangkap dengan sempurna esensi coming-of-age berisi cinta, kegilaan, serta kontemplasi akan tujuan hidup dan dunia. Terdapat kehangatan tatkala film ini tak berisikan good versus evil atau hitam dan putih, karena rangkaian konflik sesungguhnya didasari oleh kepolosan karakternya sebagai seorang remaja. Sesederhana itu. Bahkan meski bertajuk "life changing event", pengalaman karakternya "hanyalah" momen-momen remeh yang erat kaitannya dengan cinta. Karena sesungguhnya kejadian kecil namun berkesan justru acapkali merubah hidup atau cara pandang seseorang, khususnya saat berada dalam fase pencarian jati diri bernama "remaja".

Kehangatan dan keintiman menjadi kunci keberhasilan "American Graffiti" dalam mencuri hati dan membangun mood. Penonton tidak pernah diajak berpindah dari Modesto. Bahkan lokasinya pun jauh dari variatif (mobil, jalan raya, aula sekolah, restoran drive-in). Namun dari kesan monoton itu, tercipta rasa familiar yang serupa dengan perasaan kita kala menatap kampung halaman. Kentara sekali memori berisikan rasa sayang Lucas terhadap Modesto beserta segala isinya, dan rasa itu mampu ia tularkan. Saya terikat dengan alurnya karena itu, merasa betah meski hanya diajak berkeliling. Bagi penonton yang bukan berasal dari generasi baby boom atau tidak mengalami berbagai aspek kulturalnya pun bakal tetap merasa dekat dengan kisahnya, karena pengalaman karakternya tak lain adalah pengalaman setiap orang ketika menginjak usia remaja penuh gejolak masa muda.
Kekuatan mood tadi turut dibantu pula oleh deretan soundtrack-nya. Perasaan romantis sampai hingar bingar penuh semangat mampu diwakili oleh lagu-lagunya. Sehingga tanpa keberadaan scoring sekalipun, (bujet habis untuk membayar hak penggunaan lagu) filmnya tak terasa kosong. Bahkan bukan hal mustahil jika banyak penonton tidak menyadari ketiadaan music score dalam film ini. Dari banyak nomor musik, tentu "Smoke Gets In Your Eyes" yang mengalun saat Steve dan Laurie berdansa menjadi favorit saya. Adegan berisi pertengkaran sekaligus retrospeksi hubungan pasangan kekasih ini pun jadi momen paling emosional dalam "American Graffiti". Sukar dipercaya adegan romantis tersebut dibuat oleh orang yang sama dengan pencipta romansa hambar antara Anakin dan Padme pada trilogi prekuel "Star Wars". Selain pembangun mood, soundtrack berguna sebagai cerminan rock 'n roll sebagai wajah budaya populer masa itu (selain mobil).

Aktor-aktor yang pada masa perilisan film ini belum banyak dikenal nyatanya sanggup memberikan penampilan memikat, membaur sebagai karakter masing-masing dalam kesederhanaan, selaras dengan filmnya sendiri. Jalinan interaksi diantara mereka pun mengesankan. Saya tidak keberatan jika sepanjang film hanya melihat John dan Carol saling bertengkar di dalam mobil. Menarik pula mengamati bagaimana para aktor "tanpa nama" ini telah menyiratkan pesonanya sedari dulu, semisal Harrison Ford sebagai sosok pria cool empat tahun sebelum era Han Solo.  Tentu penulisan dialog pada naskahnya turut ambil bagian dalam penciptaan interaksi penuh nyawa itu. Dialognya "renyah", cukup sering pula memancing tawa, dengan line "your car's uglier than me" sebagai yang terbaik. Akhir kata, jika anda ingin melihat bagaimana karya George Lucas sebelum ia menjual jiwanya pada kuasa uang dan kehilangan kepekaan rasa, tontonlah "American Graffiti". It's sweet, it's charming, it's real.

2 komentar :

Comment Page:

TRUMBO (2015)

Tidak ada komentar
Pada era 1940 hingga 1950-an, muncul gerakan "Hollywood blacklist" untuk menghalangi para pekerja industri seni di Hollywood yang ditengarai sebagai simpatisan atau anggota partai komunis mendapat pekerjaan. Semenjak praktek tersebut diterapkan secara sistematis pada 25 November 1947, ratusann orang kehilangan pekerjaan. Banyak dari mereka jatuh miskin, depresi, bahkan memutuskan bunuh diri karena itu. Salah satu nama besar sekaligus berpengaruh besar saat akhirnya blacklist itu dicabut adalah Dalton Trumbo, seorang penulis naskah yang turut tergabung dalam "The Hollywood Ten" -10 orang yang di-blacklist akibat menolak memberi jawaban ketika hearing akan keterlibatan mereka akan komunisme dilakukan.

Dalton Trumbo (Bryan Cranston) dikenal sebagai salah satu penulis naskah terbaik Hollywood pada masanya. Namun keterlibatannya dalam partai komunis kerap memberikan citra buruk, karena saat itu publik Amerika tengah gencar melakukan investigasi terhadap mata-mata Soviet yang konon disusupkan kedalam industri perfilman Hollywood. Trumbo pun harus menghadapi berbagai kesulitan hidup ketika ia dan sembilan orang lain ditetapkan bersalah dan harus mendekam selama setahun di penjara. Tapi akibat masuk sebagai daftar hitam, Trumbo tetap kesulitan mendapat pekerjaan. Uniknya, pada masa inilah Trumbo memenangkan dua Oscar ketika diam-diam ia menulis "Roman Holiday" (naskah terbaik) dan "The Brave One" (cerita terbaik). 
Sebagai film mengenai salah satu penulis naskah paling berpengaruh, "Trumbo" kurang berhasil menjabarkan alasan mengapa subjeknya layak mendapat sebutan itu. Lupakan fakta jika kita sudah menonton karya-karya Trumbo macam "Roman Holiday" -yang memang bagus. Sudah menjadi tugas biopic untuk memberi pemahaman esensial akan sosok yang diangkat dengan anggapan bahwa penonton sama sekali tidak mengenalnya. Film ini tak pernah menggarisbawahi kelebihan Trumbo sebagai penulis naskah. Penulisan dialognya kah? Karakterisasinya? Atau cara bernarasi? Kecuali pernyataan di awal bahwa "Trumbo tak hanya membuat happy ending, ia benar-benar mempercayainya", film ini tidak memberi pemaparan lain, hanya sebatas trivia bahwa Trumbo membuat ini dan itu.

Naskah garapan John McNamara berusaha menggugat praktek pelarangan berkarya/bekerja hanya karena political view seseorang. Itu bagus, tapi disaat McNamara menjadikan Trumbo sepenuhnya pahlawan pejuang hak asasi manusia, terjadilah simplifikasi. Melarang para simpatisan komunis berkarya adalah tindakan keliru, tapi bukan berarti mereka sepenuhnya "bersih". Ada hal lebih kompleks lain, semisal fakta tentang Trumbo sebagai pendukung tirani Kim Il-Sung, dan lain-lain. Untungnya McNamara tidak sampai menjadikan Trumbo sosok sempurna, dimana dalam beberapa kesempatan, keserakahan dan behavior-nya saat bekerja -mengurung diri dalam kamar mandi sampai menolak meluangkan waktu demi ulang tahun sang puteri- kerap memunculkan konflik internal keluarga.
Penampilan Bryan Cranston membantu terciptanya dimensi lebih pada sang titular character. Hampir selalu ditemani rokoknya, Cranston berlakon bak penuh kepercayaan diri bahwa ia mampu memerankan Dalton Trumbo tanpa celah. Ketika tiba dalam fase sulit kehidupannya pun, Cranston nampak begitu kacau (in a positive way). Sedangkan Helen Mirren sebagai Hedda Hopper tidak kesulitan menjadi "nenek sihir" kejam nan congkak bermodal kekuatan besar miliknya sebagai pengontrol industri.  

Jay Roach selaku sutradara bertutur dengan pace cepat sehingga alur berjalan dinamis, terhindar dari kesan membosankan akibat berlama-lama pada momen tertentu. Namun, disisi lain pace tersebut membuat "Trumbo" punya penyakit ala biopic kebanyakan, yakni lompatan kasar antar tiap fase penceritaan. Roach bagai hanya memenuhi kewajiban untuk menyelipkan suatu kejadian tanpa memberi jalinan kuat antara satu dan lainnya. Sisi dramatik pun turut terkena dampak, ambil contoh tatkala Trumbo dan keluarga menyaksikan kemenangan "Roman Holiday" dan "The Brave One" di ajang Oscar. Momentum (seharusnya) uplifting itu berakhir sambil lalu, datar, tanpa memberi cengkeraman berarti pada penonton. "Trumbo" memang menyenangkan, tapi minim gejolak emosi, penuh simplifikasi, juga tanpa selebrasi untuk dunia penulisan naskah yang memegang peranan penting pada alur.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

MACBETH (2015)

5 komentar
Our fate is a mystery lies beneath the future. Ketidaktahuan terhadap apa yang telah menanti kita di masa mendatang seringkali berujung rasa cemas. Kita cemas apabila kelak menemukan kesuraman di masa depan. Tapi apakah dengan mengetahui garis nasib itu ketenangan akan menghampiri? Apakah jika jawaban atas misteri masa depan dapat kita ketahui "sebelum waktunya" -dan ternyata berisi keberhasilan-  hidup serasa lebih ringan? Tanyakan itu pada Macbeth (Michael Fassbender), titular character dari film hasil adaptasi tragedi karya William Shakespeare -ditulis oleh sang penyair antara tahun 1599 hingga 1606- ini. Sejatinya, Macbeth tak pernah memendam ambisi besar untuk berkuasa, sama seperti ketiadaan hasrat menyibak tabir nasibnya. Dia "hanya" prajurit gagah berani yang memimpin pasukan Kerajaan Skotlandia dalam perang sipil. 

Namun ketika perang berhasil dimenangkan, datanglah tiga penyihir menyampaikan ramalam bahwa Macbeth akan diangkat menjadi "Thane of Cawdor" bahkan kelak seorang raja. Meski awalnya kurang percaya, ramalan itu mulai terbukti kebenarannya tatkala Raja Duncan (David Thewlis) menunjuk Macbeth sebagai "Thane of Cawdor", karena pemegang gelar sebelumnya dianggap telah berkhianat. Disaat Lady Macbeth (Marion Cotillard) mendengar ramalan tersebut, ia berusaha meyakinkan sang suami untuk "memenuhi" ramalan lewat rencana pembunuhan terhadap Raja Duncan. Sang raja pun tewas, dan ditunjuklah Macbeth sebagai Raja baru Skotlandia. Alih-alih mendapat ketenangan, ia justru dikuasai rasa takut karena teringat ramalan itu turut menyebutkan putera dari Banquo (Paddy Considine), kelak akan menggantikannya sebagai raja. 
Sebagai tragedi, "Macbeth" juga merupakan studi terhadap kegilaan manusia hasil dari ambisi berlebihan. Pengetahuan akan masa depan justru membawa Macbeth jatuh dari kstaria menjadi raja paranoid yang berkuasa dalam tirani. Dihantui rasa bersalah atas tiap nyawa yang telah ia renggut, Macbeth justru semakin banyak melakukan pembunuhan karena takut posisinya dikudeta. Sisi tragedi sesungguhnya bukan datang dari banyaknya kematian atau kejatuhan Macbeth sebagai raja, tapi bagaimana sosok perkasa itu menjadi gila. Selain sering melihat hantu dari mereka yang ia bunuh, Macbeth juga kerap bicara sendiri, bahkan dalam suatu perjamuan. Melihat "Macbeth", menarik rasanya mendapati kisah berusia lebih dari empat abad ini masih relevan mewakili sisi keserakahan manusia zaman sekarang. Tidak hanya bentuk kuatnya observasi Shakespeare, tapi juga bukti bahwa nature manusia tak pernah berubah.

Naskah film ini setia terhadap sumbernya, yang berarti dialog-dialog berisi bahasa sastra lama nan puitis khas Shakespeare tetap dipertahankan. "Come, you spirits that tend on mortal thoughts, unsex me here, And fill me from the crown to the toe top-full of direst cruelty!", begitu ucap Lady Macbeth kala berdoa pada "roh jahat" supaya diberi tuntunan guna memuluskan langkah sang suami menjadi raja. Kalimat di atas indah meski sulit untuk dicerna. Sesunguhnya bukan masalah besar, karena cara bertutur Justin Kurzel cukup kuat menjelaskan suatu momen meski tidak dilakukan secara gamblang dan tetap membutuhkan konsentrasi lebih dari penonton. Andai kesulitan memahami dialog/monolognya, nikmati saja "Macbeth" lewat sisi estetisnya, karena estetika karya seni tidak melulu harus dinikmati (hanya) memakai otak, tapi juga "rasa", yang mana tidak menuntut pemahaman fakta. Cukup rasakan.
Kurzel pun menyesuaikan caranya mengemas adegan dengan rangkaian kalimat puitis milik Shakespeare. Berbekal sinematografi dari Adam Arkapaw, Kurzel mengemas hampir semua adegan menjadi keindahan, bahkan dalam momen tatkala semerbak "aroma" kematian pula kengerian tercium sekalipun. Hal tersebut dapat kita temui pada opening tatkala Macbeth dan Lady Macbeth menguburkan putera mereka, peperangan di awal banyak mengandung "poetic slow-motion" yang berbeda dari gerak lambat stylish ala-Zack Snyder, hingga pertempuran klimaks berisi dominasi warna jingga. "Macbeth" mengingatkan saya pada "Valhalla Rising" karya Nicolas Winding Refn, dimana kebrutalan juga kematian terhampar bak puisi. Tidak hanya indah, atmosfer -khususnya kesan haunting- mampu diperkuat oleh visualnya, selaras dengan kehadiran unsur mistis dalam narasi.

Bahasa yang terdengar "asing" memang memberi jarak antara penonton dengan kandungan emosi, tapi para cast mampu menyuguhkan performa kuat, sehingga "pembacaan puisi" mereka bukan sekedar eksploitasi keindahan kata, tapi terdengar alamiah. Michael Fassbender paling bersinar tatkala Macbeth terjerumus makin jauh kedalam jurang rasa bersalah dan ketakutan. Fassbender menggeram, menggetarkan tubuhnya, seolah memang tengah diselimuti rasa takut luar biasa. Paling penting, sang aktor mampu merepresentasikan transformasi Macbeth, karena perubahan dari "terhormat" menuju "menyedihkan" adalah sisi esensial tokohnya. Sedangkan Cotillard meyakinkan, bak iblis penghasut, begitu mudah menguasai pikiran suaminya. Cotillard juga halus menghantarkan perubahan dalam diri Lady Macbeth. Berbeda dari sang suami, kejatuhannya bukan berujung pada tindakan psychotic, melainkan rundungan duka mendalam.

"Macbeth" adalah kisah tentang bagaimana iblis meracuni pikiran manusia. Namun iblis disini merupa berbagai macam bentuk, bisa sebagai para penyihir misterius, arwah-arwah penasaran atau seorang istri yang menghasut suaminya. Tapi film ini memperlihatkan bahwa iblis menjadi paling mengerikan tatkala ia berasal dari hasrat, yang sejatinya merupakan naluri alamiah milik kita, manusia. Jadi apa sesungguhnya iblis itu tak lain adalah diri kita sendiri? Selama hampir dua jam durasi, "Macbeth" tidak pernah sedikitpun melepaskan cengkeramannya, entah lewat keindahan visual, akting memukau, maupun teror mencekam dari kebrutalan serta tragedi miliknya.

5 komentar :

Comment Page:

THE DANISH GIRL (2015)

13 komentar
"The Danish Girl" menjadi contoh hambarnya suatu kisah karena sang pencerita gagal meng-capture esensi sesungguhnya dari kisah tersebut. Film adaptasi dari novel berjudul sama karya David Ebershoff ini mengisahkan kehidupan Einar Wegener (Eddie Redmayne), seorang pelukis asal Denmark yang lebih banyak dikenal sebagai salah satu orang pertama yang menjalani operasi pergantian kelamin. Pada tahun 1930, Einar menjalani operasi tersebut dan merubah namanya menjadi Lili Elbe. Sampai sekarang, nama Lili kerap dijadikan simbol bagi perjuangan kaum transgender, dimana fakta tersebut cukup memberi bukti teramat pentingnya seorang Lili. Maka sudah jadi keharusan bagi film ini untuk menonjolkan bahwa ia layak menjadi ikon, menarik simpati penonton, namun tetap membuat sosoknya manusiawi -tidak memuja secara berlebih.

Naskah garapan Lucinda Coxon membagi film ini kedalam dua "babak". Pertama berpusat pada hubungan Einar dengan istrinya, Gerda (Alicia Vikander) yang juga seorang pelukis. Sedangkan babak kedua menyoroti konflik tatkala Einar tidak lagi mampu menahan kehadiran Lili dalam jiwanya. Keputusan tepat, artinya penonton punya kesempatan lebih mengenal tidak hanya Einar/Lili tapi juga Gerda. Menjadi tidak tepat disaat pengemasan Tom Hooper selaku sutradara justru menjauhkan "The Danish Girl" sebagai film tentang "perjuangan Lili Elbe". Hooper lebih memilih -dan lebih piawai- memfokuskan filmnya sebagai kisah cinta antara Einar dengan Gerda. Karenanya, paruh pertama "The Danish Girl" pun begitu mengesankan.
Di tangan Hooper, pasangan Einar-Gerda begitu mudah dicintai. Saya terpikat pada mereka, tersenyum lebar mengamati interaksi penuh kebahagiaan karena romansa Einar dan Gerda tidaklah kaku. Gerda dengan kharismanya nampak superior di hadapan para pria, lalu bergerak penuh energi memaksa Einar yang lebih feminin untuk memakai pakaian wanita untuk menjadi model lukisannya. Keduanya saling mengisi, menciptakan pertalian manis sehingga saya pun takkan rela melihat romantika ini berakhir. Disinilah kekeliruan arah pada ceritanya dimulai. Alih-alih membangun simpati pada Einar/Lili karena jati dirinya tak bisa dipahami, penonton akan lebih mementingkan kisah cintanya, atau dalam kata lain "memihak" pada Gerda.

Penonton digiring menuju perspektif bahwa Gerda adalah korban dari keegoisan Einar. Ketika film memasuki paruh kedua, sebagai puncak perjuangan Einar/Lili, saya justru lebih mengharapkan yang terbaik untuk Gerda. Satu-satunya jalan harapan itu terpenuhi adalah Einar kembali menjadi Einar, membuang sosok Lili. Disaat cerita tentang sosok penting perjuangan para transgender justru membuat penontonnya berharap ia tidak melakoni perubahan tersebut, artinya narasi gagal menyampaikan esensi. Hooper sendiri bagai tidak memiliki ikatan rasa dengan tokoh Lili, oleh sebab itu terjadi kekacauan di babak kedua. 

Demi menguatkan dilema karakter, dibuatlah kondisi dimana mereka sering berubah sikap. Gerda terjebak dalam pilihan apakah ia mesti mendukung perubahan sang suami atau tidak, dan bolehkah ia berpaling pada laki-laki lain. Sedankan Einar mempertanyakan kemantapan hatinya berubah identitas jika itu berujung pada melukai sang istri. Hooper tidak menyuntikkan emosi pada konflik dilematis tersebut, sehingga berbagai perubahan sikap bagaikan hanya suatu formula textbook yang harus diikuti daripada proses emosi natural karakter. Karenanya, tiap pergantian terjadi begitu cepat sampai pada taraf mendadak tanpa ada gradasi. Alhasil, menjadi mustahil untuk saya bisa merasakan jalinan emosi serupa dengan karakternya.
Alicia Vikander bersama Eddie Redmayne sukses menjalin kekokohan chemistry sekaligus mempersembahkan pertunjukkan akting kelas wahid secara individu. Alicia menghidupkan dua sisi: Gerda yang lively dan punya kekuatan, juga Gerda yang lemah di tengah kebimbangan. Dua sisi berlawanan itu ia perankan penuh totalitas, membuat saya jatuh cinta sampai akhirnya menaruh belas kasih pada tokohnya. Sedangkan Redmayne sendiri cukup terbantu dengan tampilan fisik yang pada dasarnya feminin. Memaksimalkan potensi tersebut, Redmayne meresapi tiap sisi, melebur menjadi satu dengan karakter peranannya. Seperti pada "Theory of Everything" gestur alamiah tetap jadi kekuatan utama Redmayne. Disini gerakannya feminin tanpa harus dibuat-buat.

Berbagai ekurangan di atas patut disayangkan, karena sejatinya "The Danish Girl" mampu menguatkan kesan bahwa wanita adalah makhluk indah. Pada beberapa kesempatan, kita melihat kekaguman besar Einar terhadap tiap sisi wanita, mulai dari pakaian yang dikenakan, olesan make-up di wajah, hingga gerakan-gerakan cantik nan gemulai milik mereka. Perpaduan antara sinematografi, production design dan tata kostum berhasil mengesankan hal tersebut. Keindahan visual film ini pun akhirnya menjadi tidak tanpa alasan. Kita "disadarkan" betapa indah seorang wanita, yang semestinya cukup menjadi modal awal supaya penonton lebih memahami pula bersimpati pada Einar. "The Danish Girl" adalah film indah dengan paruh pertama mengikat, namun semakin dalam konfliknya dieksplorasi, semakin jelas bahwa ini hanya film berisi karakter transgender, bukan film mengenai transgender. Saya ikut merasakan gejolak emosi dan kesedihan, tapi bukan karena alasan yang tepat.

13 komentar :

Comment Page:

KETIKA MAS GAGAH PERGI (2016)

38 komentar
Pertama saya tegaskan dulu, bahwa saya bukan anti-film Islam. Lagipula dari nama pun sudah kelihatan saya pemeluk Islam, walau harus diakui tidak bisa disebut "alim" pula. Tapi alangkah bencinya saya kepada film-film yang menggurui. Definisi menggurui tidak sebatas dalam lingkup agama, tapi juga moral, budi pekerti, sopan santun dan lain sebagainya. Secara personal, saya berpendapat bahwa menggurui jika sampai pada taraf memaksa adalah contoh penyakit akut dalam penerapan agama di negeri ini. Bukan maksud bicara agama, (tahu apa saya?) melainkan sekedar menyuarakan keresahan. Karena jika anda ingin mengajak orang tidak taat agama menuju "jalan lurus", tuntun mereka, jangan malah ditarik paksa seolah perbuatan mereka itu sampah! Film berkonten ceramah berlebihan pun sama. Suatu geliat meresahkan yang tak hanya berbahaya bagi industri perfilman tapi juga sosial masyarakat.

Dua minggu lalu saya menonton "Tausiyah Cinta". Filmnya menggurui, dan berujung pada pemberian rating 0,5 (angka terburuk sepanjang sejarah blog ini). Tapi saya menganggap itu film "polos". Para pembuatnya ingin menyuguhkan sajian religi, dan menyadari formula paling mujarab untuk mengundang pangsa pasarnya. Ada harapan (semu) supaya penonton mendapat hidayah begitu menonton filmnya. Tapi "Ketika Mas Gagah Pergi" berada pada tingkatan berbeda untuk urusan ceramah menggurui. Jika diibaratkan, "Tausiyah Cinta" bak seorang ustadz yang tiap hari mendatangi saya, berceramah lewat tutur kata sopan walau menggurui. Sedangkan "Ketika Mas Gagah Pergi" adalah ustadz yang menggedor pintu rumah saya tiap pagi, memaksa masuk, lalu berteriak "Cepetan tobat hei kunyuk! Dasar pendosa biadab!" 

"Ketika Mas Gagah Pergi" diangkat dari novel berjudul sama karya Helvy Tiana Rosa berusungkan embel-embel "FROM THE BESTSELLING BOOK IN THE LAST 20 YEARS". Entah maksudnya novel itu mendapat penjualan terbanyak sepanjang 20 tahun terakhir atau telah mendapat status "Bestselling" selama 20 tahun saya tidak tahu. Mas Gagah (Hamas Syahid Izzuddin -this guy again???) adalah seorang kakak yang sempurna di mata adiknya, Gita (Aquino Umar). Karena namanya "Gagah", tentu ia punya wajah gagah pula, dan itu memberi modal baginya berprofesi sebagai model. Wajar jika Gagah digilai banyak wanita. Bahkan di kampus ia sering dikerubuti mahasiswi, meminta Twitter-nya di-follow (sungguh, ini terjadi). Tidak hanya rupawan, Gagah pun baik hati, orangnya easy going dan sangat menyayangi sang adik. Semakin sempurna ketika Gagah tidak melulu nongkrong dengan anak gaul di kampus, tapi juga rajin solat berjamaah bersama para rohis. 
Melihat karakteristik Gagah di atas, bukankah ia sempurna? Rupawan, baik hati, mudah bergaul, rajin solat pula. Dari titik inilah transformasi Gagah menjadi saya pertanyakan maksudnya. Suatu hari Gagah harus pergi ke Ternate selama dua bulan untuk proyek pengerjaan skripsi. Ketika pulang, ia pun berubah. Gagah selalu mengenakan baju muslim, menumbuhkan jenggot yang lebih mirip bulu "itu", selalu mendengarkan nasyid, tidak lagi dekat dengan sang adik, dan bergaul secara eksklusif bersama para rohis. Hanya para fanatik yang menyebut perubahan Gagah positif. Di samping itu ada kisah tentang Yudi (Masaji Wijayanto) yang rutin berkhotbah sambil berteriak-teriak di angkutan umum. Dia melakukan itu didasari alasan bahwa penyebaran agama harus meluas, di tempat umum. Akhirnya terpicu konflik dengan sang ayah (Mathias Muchus), karena Yudi memilih menyebarkan agama di luar dulu sebelum di lingkup sekitarnya, dan menolak membantu krisis perusahaan keluarga.

Seperti ini jadinya jika pesan-pesan mulia dalam Islam ditranslasikan secara dangkal. Lagi-lagi saya bukan ahli agama, tapi saya yakin bahwa ungkapan "dahulukan yang membutuhkan", "sebarkan Islam secara luas", atau "jangan tergoda nafsu duniawi" bukan begini seharusnya. Memang kita harus membantu mereka yang butuh, tapi jika orang terdekat justru terlantar dan tersakiti apa gunanya? Film ini beralasan bahwa itu merupakan cobaan dari Allah. Hei! Tidak adakah ajakan bertobat lain yang lebih merangkul? Pada satu adegan, Gagah bersedia memenuhi permintaan sang adik untuk kembali menghabiskan waktu bersama asal ia mau memakai rok dan berjilbab. Jika kamu merasa itu hal benar, sadarkan mereka Bung, bukan beri ancaman! 

Seharusnya hidayah membuatnya lebih sabar, tapi setelah kepulangannya, Gagah justru lebih mudah marah. Bahkan ketika dipalak preman dan berujung satu perkelahian, Gagah menantang ketiga preman untuk bangkit, lanjut berkelahi meski mereka sudah minta maaf. Sedangkan Yudi, kenapa ia langsung teriak-teriak masalah Islam di bus umum? Apa semua penumpang beragama Islam? Ada apa dengan orang-orang "alim" dalam film ini? Kenapa sebegitu mudahnya mereka tersulut emosi dan tak peduli pada mereka yang berbeda pendapat? Mana bentuk saling menghargai demi harmoni yang harusnya jadi esensi? 
Mempunyai judul "Ketika Mas Gagah Pergi", kita justru tidak diberi tahu kisah saat ia pergi. Tiba-tiba ia sudah pulang dan berubah. Kenapa bukan "Ketika Mas Gagah Pulang" saja kalau begitu? Bagaimana penonton bisa memahami transformasi Gagah jika tahu apa yang terjadi -kecuali ia jatuh dari tebing- pun tidak? Bayangkan ini: Seorang pria dengan social skill baik, ramah dan terbuka, tiba-tiba berubah menjadi introvert, ketus, dan bergaul hanya dengan "sesamanya". Saya rasa itu bukan hidayah dan Kiai itu bukanlah pemuka agama. Gagah sudah terjebak dalam cult dengan pemimpin berkedok Kiai. "Ketika Mas Gagah Pergi" bak film buatan para cult yang menganggap ajaran mereka itu kebenaran hakiki, dan mereka yang tidak bersedia mengikutinya adalah manusia rendah.

Satu-satunya penghalang saya untuk memberi nilai nol adalah akting beberapa pemainnya. Mathias Muchus, Wulan Guritno dan Epy Kusunandar menghadirkan performa kuat. Ketiganya menyuntikkan rasa dalam tiap kemunculannya, meski tidak didukung oleh naskah mumpuni. Tapi disaat mereka bertiga menghilang dari layar, filmnya kembali mudah menyulut amarah. Hamas Syahid tampil lebih baik dibanding dalam "Tausiyah Cinta", tapi itu lebih dikarenakan tidak ada adegan berisi luapan emosi besar. Coba jika Hamas diminta menangis lagi disini, entah seperti apa jadinya. 

Ya, saya sempat berniat memberi angka nol untuk "Ketika Mas Gagah Pergi", lebih buruk dari "Tausiyah Cinta" bahkan "Hantu Cantik Kok Ngompol?" Selama ini saya berpatokan bahwa suatu film tidak layak mendapat rating nol, karena angka itu artinya nihil, tidak eksis. Dan suatu film yang telah ditayangkan artinya tak perlu dipertanyakan eksistensinya. Tapi "Ketika Mas Gagah Pergi" sudah mengangkat suatu isu sosial penting, lalu mengambil sudut pandang "berbahaya" terhadapnya. Kenapa ormas pemuja kekerasan berkedok agama atau para fanatik ignorance tak pernah berkurang jumlahnya? Jawabannya karena perspektif minim toleransi seperti milik film ini. Tidak ada rasa cinta kasih, hanya kesombongan lantang berbunyi "Kepercayaanku paling benar!"


*Yang berharap review banjir satir/lawakan kayak "Tausiyah Cinta" maapin ya, film ini udah menyulut marah luar biasa*

Ticket Powered by: Bookmyshow ID

38 komentar :

Comment Page:

MY 10 FAVORITE MOMENTS FROM "SUICIDE SQUAD" OFFICIAL TRAILER

10 komentar
Membahas trailer bukan sesuatu yang pernah saya lakukan, but I really love the new "Suicide Squad" trailer! Ketika Comic-con trailer-nya rilis bulan Juli lalu, segala keraguan-konsep, Jared Leto, etc.- mendadak hilang berganti optimisme. Diiringi lagu "I Started A Joke", saya pun bersorak, tanpa sadar menontonnya puluhan kali. Selang setengah tahun kemudian, disaat "Batman V Superman V Wonder Woman V Lex Luthor V Doomsday" makin mengkhawatirkan, datanglah trailer kedua "Suicide Squad". Dulu saya sempat berandai-andai, jika suatu hari membuat film, salah satu lagu yang sangat ingin saya gunakan adalah "Bohemian Rhapsody" milik Queen. And BAM! Muncul trailer ini yang makin memuncakkan antisipasi saya akan filmnya. It's one of my favorite trailer of all time! Berbalut antusiasme dan euforia tinggi, saya pun menyusun 10 momen favorit dari trailer tersebut. Berikut daftarnya:
THE INTRODUCTION
Suicide Squad terdiri dari para supervillain dengan keunikan masing-masing. Perkenalan ini -meski tidak semua anggota disebut- jadi tease menarik ditambah tone menggelitik
WHAT WAS THAT VOICE???
Oh God, isn't Margot Robbie looks cute...ah, I mean crazy? Dalam dua trailer Harley Quinn selalu menjadi pencuri perhatian. Menarik ketika editing membuat potongan lagu "Bohemian Rhapsody" (surprisingly) cocok mengiringi momen komedik
WE WILL NOT BANG BANG BANG!
Penggunaan bagian "No! We will not let you go!" kedalam action sequence jadi sempurna berkat sound mixing yang mumpuni.
MAMA MIA JOKER!
Masih ada yang meragukan kapasitas Leto sebagai Joker? Eat shit! Sosoknya mengerikan disini.
BEELZEBUB
Beelzebub adalah nama lain untuk setan di Injil, alangkah sesuai melihat Enchantress yang kental sisi mistis muncul bersamaan dengan penyebutan Beelzebub di lirik.
JOKER'S LAUGH
Selain tata artistik memukau pada shot ini, dengarkan interpretasi Leto atas tawa Joker. Masih meragukannya? Eat shit again!
JUST A SIP
Leto dan Robbie membagi fans menjadi dua kubu, tapi Jay Courtney sebagai Captain Boomerang-lah yang menghadirkan universal consensus: Meragukan. Trailer ini jelas meruntuhkan keraguan itu. Boomerang potensial sebagai comic relief.
ANOTHER HARLEY'S BANG BANG
Really? You need to ask WHY??? 
JOKER DIVES IN
It looks cool, dan berlanjut pada momen...
CRAZY COUPLE
Pertanyaan "seperti apa hubungan Joker dan Harley" sedikit di-tease pada adegan ini. Dan sinematografi-nya begitu indah.

5 Agustus akan terasa sangat lama karena ini. Saya fans MCU dan menyimpan keraguan besar akan DCU, tapi jika ada film yang mampu membangkitkan kepercayaan orang akan DC, mungkin "Suicide Squad" adalah film itu.

10 komentar :

Comment Page: