MONEY MONSTER (2016)

6 komentar
Film bertemakan dunia perekonomian memang masih segmented khususnya akibat penggunaan banyak istilah-istilah asing. Namun dalam beberapa tahun terakhir, keberhasilan beberapa judul macam Margin Call, The Wolf of Wall Street hingga The Big Short meraih predikat "critically acclaimed movie" telah membuka jalan bagi tema serupa untuk menyeruak naik ke permukaan, termasuk Money Monster selaku usaha penyutradaraan keempat Jodie Foster. Sejauh ini mungkin Jodie Foster belum berada di jajaran sutradara teratas, tapi terbukti kemampuannya bertutur cukup solid. Ditambah kehadiran George Clooney dan Julia Roberts sebagai duet pemeran utama, Money Monster pun tampak semakin menggiurkan. 

Judulnya merujuk pada acara televisi tentang seluk beluk ekonomi dengan Lee Gates (George Clooney) sebagai host dan Patty Fenn (Julia Roberts) menjadi sutradaranya. Ketika tengah menjalani proses pengambilan gambar suatu episode mengenai anjloknya saham IBIS akibat glitch pada algoritmanya, mereka dikejutkan oleh kehadiran Kyle Budwell (Jack O'Connell). Kyle menyandera Lee, menodongkan senjata sambil memaksanya memakai rompi yang dipasangi bom. Ternyata Kyle adalah seorang investor yang mengalami kerugian besar dan menyabotase acara itu demi menuntut jawaban dari pihak IBIS. Sayangnya CEO IBIS, Walt Camby (Dominc West) tak bisa dijangkau karena sedang ada di dalam pesawat. Jadilah Lee dibantu Patty memutar otak demi menghindari maut sekaligus mencari kebenaran di balik sama IBIS.
Jangan khawatir anda bakal tersesat di antara terjangan istilah-istilah ekonomi, karena hal itu tidak mendominasi naskah garapan Alan Di Fiore, Jim Kouf dan Jamie Linden. Beberapa situasi serupa sempat muncul namun sedikit meningkatkan fokus sudah cukup guna mendapatkan pemahaman. Sejatinya, Money Monster bukan melulu soal ekonomi, pula satir tentang media sekaligus respon masyarakat terhadapnya. Aspek ini tersebar sepanjang film, dengan bentuk terkuat ketika beberapa kali diperlihatkan bagaimana tiap media meliput penyaderaan Lee Gates  some of them take it as a joke to laugh at. Bahkan akhirnya pasca kehebohan luar biasa, masyarakat tetap kembali menjalani rutinitas, karena begitulah manusia. Sebesar apapun kejadian atau pemberitaan, jika tidak memberi dampak langsung hanya akan berakhir bak hiburan sementara.

Tapi kalau diperhatikan lagi, semua itu  juga konspirasi saham IBIS  tak lebih dari pernak-pernik semata. Buktinya, cobalah lucuti konflik perekonomiannya kemudian ganti dengan isu lain, alur film tetap dapat berjalan. Sebabnya, fokus utama Money Monster memang bukan eksplorasi mendalam bagi Wall Street maupun drama humanis, melainkan suguhan hostage thriller bertempo cepat. Itulah sebabnya di pertengahan durasi, kisahnya agak mengalami kekosongan termasuk dinamika pertentangan antara Lee (si kaya) melawan Kyle (si miskin). Awalnya terasa menarik tatkala saya mampu dibuat mempertanyakan, apakah Kyle sepenuhnya korban yang pantas menyalahkan orang-orang "berada" seperti Lee, ataukah ia sekedar pecundang pencari kambing hitam? Cukup provokatif sebelum filmnya total bermain di ranah thriller, kemudian sedikit mengesampingkan dinamika tersebut. 
Walau cerita tidak sedalam perkiraan, kekurangan itu layak dimaafkan berkat penyutradaraan Jodie Foster. Dia sanggup mempertahankan intensitas semenjak pembukaan hingga 98 menit durasi berjalan meskipun mayoritas film hanya bertempat dalam studio. Foster menggulirkan alur tanpa harus terburu-buru, alhasil intensitas rutin terjaga, begitu pula atensi penonton karena tak perlu terganggu oleh pergerakan adegan yang terlalu cepat. Matt Cheese turut berjasa berkat kecermatan editing-nya. Cheese dapat menghindari penyakit film bertempo tinggi yang demi mengesankan pergerakan alur momen kilat kerap memakai fast cutting (contoh di banyak film aksi generik). Metode itu berpotensi membuat penonton sulit berfokus dan pusing kepala. Adegan demi adegan Money Monster bergerak cepat namun dinamis. 

Melengkapi keunggulan filmnya adalah performa jajaran cast khususnya George Clooney lewat perpaduan sosok (agak) goofy dan childish pada awal film serta kharisma semenjak pertengahan. Walaupun transformasi karakternya dari presenter konyol yang mengalami panic attack saat pertama ditawan oleh Kyle menjadi negosiator handal kurang mendapat jembatan selaku gradasi, pembawaan sang aktor membuat kejanggalan itu termaafkan. Bagi George Clooney, film ini jadi satu lagi contoh bagaimana ia merupakan magnet kuat penggaet atensi seperti apa pun karakter peranannya. Sedangkan untuk Jodie Foster, Money Monster membuktikan kapasitasnya sebagai sutradara solid yang mampu mengemas fast-paced thriller dengan rapih pula menegangkan meski naskahnya tak spesial. 

6 komentar :

Comment Page:

2 BATAS WAKTU: AMANAH ISA AL-MASIH (2016)

5 komentar
Ambisi itu bagus. Banyak mahakarya dunia perfilman lahir didasari ambisi besar pembuatnya  2001: A Space Odyssey, Apocalypse Now, Avatar, atau The Tree of Life  karena tanpa itu hanya akan terjadi stagnansi. Namun demi mewujudkannya dibutuhkan kerja keras, totalitas, kesabaran sekaligus tidak kalah penting adalah mampu mengukur kemampuan diri. James Cameron memutuskan menunggu sekitar satu dekade supaya teknologi dapat berkembang sesuai keinginannya kala membuat Avatar, sedangkan Francis Ford Coppola harus melalui proses pengambilan gambar penuh siksaan selama 16 bulan demi menyelesaikan Apocalypse Now. Proyek ambisius bakal terasa hambar bahkan setengah matang bila eksekusinya asal dan terburu-buru.

Saya bicara soal ambisi karena 2 Batas Waktu: Amanah Isa Al-Masih jelas dilandasi hal tersebut, setidaknya saat memasuki proses penulisan naskah garapan Rudiansyah dan Jimmy S. Johansyah. Diangkat dari kisah nyata, film ini dibuka oleh adegan Tiara (Sandra Olga) mendapat "penglihatan" mengenai kecelakaan sebuah pesawat yang ternyata sungguh terjadi. Kepada sang suami, Andra (Mehdi Zati) ia mengakui kerap mengalami kejadian spiritual macam itu sejak kecil. Di waktu bersamaan seorang Ustadz (M. Ibnu Quraisy) tengah memaparkan pada murid-muridnya tentang proses metafisika ketika manusia dapat melihat masa lalu dan masa depan sampai menembus dimensi lain. 

Antusiasme hadir tatkala filmnya menyinggung kaitan antara "perjalanan spiritual" dengan sains. Walau diisi beberapa akting kaku, tata suara buruk, serta efek visual murahan, menarik ditunggu bagaimana pokok bahasan itu diolah. Hingga kemudian alur berpindah ke masa lalu, menyoroti kehidupan remaja Tiara (Irish Bella)  saya mempertanyakan alasan penggunaan dua aktris berbeda yang jarak usianya hanya enam tahun. Perpindahan setting waktu ini sesungguhnya bertujuan baik, guna menggali karakter sang protagonis supaya penonton mengenal lalu terikat secara emosional. Namun harapan itu kandas akibat dangkalnya Rudiansyah dan Jimmy S. Johansyah mengeksplorasi cerita yang berujung pada hilangnya fokus narasi. 
Alih-alih menambah pemahaman penonton mengenai Tiara, justru kebingungan muncul akibat ketidakjelasan pemaparan karakter. Diceritakan Tiara adalah seorang ibu, tapi kehidupannya tak mencerminkan itu karena nyaris tidak ada interaksi antara ia dengan sang anak. Begitu pula anggota keluarganya, di mana awalnya tersirat Tiara tinggal berdua bersama ayahnya sebelum mendadak muncul ibu beserta adiknya. Mustahil bersimpati apabila eksplorasi kehidupan tokohnya melupakan detail-detail vital tersebut. Akhirnya sewaktu Tiara mengalami life changing moment, tak sedikit pun perasaan saya tergugah. Patut disayangkan mengingat Irish Bella memberi performa lumayan baik termasuk saat harus melakoni adegan emosional. 

Memasuki paruh flashback2 Batas Waktu: Amanah Isa Al-Masih bak kehilangan arah dan bagai terlepas sepenuhnya dari apa yang dibangun pada awal narasi. Kedua penulis seolah malas mengembangkan naskah mereka ketika unsur sains urung kembali disinggung dan alur sepenuhnya berganti menjadi drama yang justru sama sekali gagal melatari pengalaman spiritual Tiara. Jika ujungnya sains sama sekali dilupakan, untuk apa adegan awal dimunculkan? Apa pula peran M. Ibnu Quraisy di sini selain memberi celah supaya alur dapat bergerak menuju flashback? Kemalasan naskah makin kentara saat akhirnya film cenderung menyentuh ranah "mistis" lewat kehadiran sosok-sosok gaib di sekitar Tiara. 
Keberadaan sosok gaib beserta konflik batin kala Tiara harus menyikapi pengalaman spiritual sejatinya potensial memunculkan dinamika psikologis menarik. Apakah Tiara memang mengalami semua itu ataukah ia menderita skizofrenia? Ambiguitas itu bukan saja kurang nampak namun justru dihindari oleh naskahnya yang berusaha keras menegaskan perjalanan Tiara menembus dimensi lain adalah nyata tanpa sedikitpun menuturkan penjelasan. Bukannya saya menolak percaya akan kejadian serupa, tapi sebagai bentuk scriptwriting, itu merupakan contoh kemalasan bertutur. Faktanya, hal itu turut membuat paparan drama sebelum "pertemuan" Tiara dengan Isa Al-Masih jadi tak berguna karena deretan konfliknya sama sekali tidak punya pengaruh. Beda cerita bila aspek psikologis menjadi fokus.

'2 Batas Waktu: Amanah Isa Al-Masih' could be a lot of things from a smart twist on religious genre to a provocative psychological drama. Tapi kelemahan luar biasa pada naskah membuat daya tarik film ini sekedar berujung pada tataran konsep dan potensi ketika penulis naskah kebingungan hendak dibawa ke mana fokus alurnya. Beginilah contoh ambisi besar tanpa eksekusi mumpuni  termasuk rangkaian sequence "dimensi lain" penuh keterbatasan kualitas CGI. This movie bites off more than it can chew. Paling tidak saya sedikit mengapresiasi keunikan premisnya di antara suguhan religi lain. 

NOTE: Saya mendukung pemakaian English subtitle bagi film Indonesia, tapi tolong perhatikan kualitasnya. Hampir dalam tiap line subtitle film ini terjadi kesalahan yang sulit ditolerir ("behave" ditulis "be have", "for God sake" menjadi "for the God shake" dan lain sebagainya).


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

5 komentar :

Comment Page:

PACARKU ANAK KORUPTOR (2016)

21 komentar
Menurut saya modal terpenting seorang sutradara bukanlah pemahaman teknis melainkan visi guna menentukan pengadeganan, perjalanan alur, penyampaian pesan, tone penceritaan dan masih banyak lagi. Ketidakjelasan visi dapat berujung kekacauan akibat tidak tentunya arah suatu film. Menjadi bertambah parah apabila sutradara turut gagal menentukan tujuannya, apakah ingin membuat film atau iklan layanan masyarakat versi extended. Pacarku Anak Koruptor sukses melemparkan setumpuk tanda tanya di otak saya. Apakah genre-nya romansa, satir, musikal, thriller politik atau komedi bodoh? Pertanyaan lebih mendasar, apakah ini film sungguhan atau kampanye anti korupsi berkedok film? Apapun sejatinya pilihan Sys NS (sutradara dan penulis naskah), penonton hanya akan dihadapkan pada berondongan keburukan demi keburukan.

Karakter utamanya adalah Sayanda (Jessica Mila), aktivis sekaligus ketua GANK (Gerakan Anti Narkoba & Korupsi). Sayanda beserta anggota GANK lain tengah mengusut kasus korupsi yang melibatkan pebisnis bernama Maruk Bangetan (Ray Sahetapy), di mana sejauh ini Maruk selalu berhasil lolos dari jerat hukum berkat kekuatan uang miliknya. Ironisnya, saat itu Sayanda tengah menjalin hubungan asmara dengan Gerhana (Sabda Ahessa), putera Maruk Bangetan. Mengetahui hubungan mereka berdua, Maruk menolak tinggal diam dan mengerahkan segala cara bukan hanya untuk menghancurkan percintaan Sayanda dan Gerhana, tapi juga demi menghentikan pergerakan GANK yang membahayakan aksi korupsinya.
Pacarku Anak Koruptor merupakan adaptasi pertunjukkan pop opera berjudul Kisah Cinta Anak Koruptor dan Pacarnya  dipentaskan tahun 2011  hasil karya Sys NS. Sebuah drama panggung wajar memiliki "kenakalan aneh" termasuk dalam penamaan karakter, sebut saja Maruk Bangetan sampai nama-nama geng seperti Blujin Belel, Selendank, hingga Cepak Ngehek. Kesan slengean begitu jamak ditemui di atas panggung, terlebih jika kisahnya punya unsur satir atau surealis, namun beda kasus begitu diapklikasikan ke media film apalagi dengan penggarapan realis. Berawal dari sinilah kebingungan saya terhadap arah film bermula.

Awalnya Pacarku Anak Koruptor bagai satir berisi tokoh-tokoh komikal yang bertujuan sebagai sindiran, lalu kisah bergerak menuju romansa "beda dunia", political thriller kelam dipenuhi kematian serta permainan kotor pejabat negara, sampai berujung musikal. Meleburkan banyak genre sah-sah saja, bahkan bisa berujung sajian hybrid cerdas, tapi film ini bukan termasuk golongan tersebut. Alasannya sederhana, masing-masing bentuk di atas jangankan bagus, memenuhi ukuran standar pun gagal. Sebagai satir, komedinya terlalu bodoh dan urung menyindir. Paparan romansa juga hambar karena minimnya kemunculan momen Sayanda dan Gerhana memadu kasih. Mengusung judul yang kental nuansa romansa, aneh ketika aspek itu justru kemunculannya minim. Namun unsur paling menggelikan adalah musikal. Penggarapannya amat cringeworthy saat transisi kasar adegan, akting buruk, koreografi asal, sampai lirik menggelikan bersatu. Saya tantang anda tidak tertawa menyaksikan barter nyanyian antara Gerhana dan sang ayah di penghujung film. 
Bertebarannya kekonyolan menguatkan inkonsistensi tone akibat jamaknya kehadiran unintentionally funny moments. Andai momen-momen itu sekalian dikemas komedik, mungkin hasilnya justru menghibur, tapi jelas Sys NS memaksakan suasana serius cenderung dramatis. Inkonsistensi turut hadir pada naskah yang sesekali berusaha terdengar puitis lewat pemakaian rima serta diksi "berat" namun di kesempatan lain sering memakai bahasa "ringan". Seolah belum cukup lucu, acapkali karakternya melontarkan dialog bak tengah berorasi di tengah demonstrasi hanya saja tanpa semangat membara. Momen "orasi" tersebut tak lain usaha Sys NS meneriakkan anti korupsi yang terlampau gamblang dan repetitif  kalimat "Aku memang cinta mati sama kamu, tapi sumpah mati aku jauh lebih cinta sama negeri ini" diulang tiga kali  membuat saya ingin berujar "I got it already, stop the preaching and let's move on!"

Pacarku Anak Koruptor tiba di titik nadir kala aspek teknisnya digarap amatiran. Seringkali gambarnya buram plus suaranya tidak jernih. Bahkan di adegan perlombaan menari  dengan alasan penyelenggaraan konyol  suara sempat menghilang, sehingga penonton hanya disuguhi gambar bisu. Perlukah saya sebut juga penempatan properti botol minuman sebagai "iklan" yang posisinya selalu sama meski hari telah berganti? Intinya, Pacarku Anak Koruptor adalah contoh nihilnya visi artistik seorang sutradara, karena satu-satunya visi Sys NS hanya melontarkan pesan anti korupsi secara (kelewat) gamblang nan berulang. Padahal target penonton film bertema seperti ini tentunya golongan intelektual, orang cerdas yang tidak suka dijejali pesan-pesan menggurui apalagi lewat film berkualitas rendah. Sedih rasanya mendapati nama-nama besar macam Ray Sahetapy, Roy Marten, Jajang C. Noer dan lain sebagainya ikut terlibat. 'Pacarku Anak Koruptor' isn't a real movie, it's an extended public service advertisement. A terrible one. So far, this is the worst Indonesian movie of 2016.


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

21 komentar :

Comment Page:

WARCRAFT: THE BEGINNING (2016)

5 komentar
Usaha menciptakan film adaptasi video game berkualitas masih berlanjut. Saya pribadi cukup menikmati beberapa di antaranya, sebut saja Mortal Kombat, Prince of Persia: The Sands of Time, Resident Evil hingga The Angry Birds Movie (the best one so far), namun belum ada satupun layak disebut "critical acclaim". Ditinjau dari jumlah pendapatan pun sebenarnya tidak seberapa, di mana rekor masih dipegang Prince of Persia dengan raupan $336 juta  not bad, but isn't a huge success either. Tahun 2016 sendiri bagai pembuktian akan kelayakan film adaptasi game lewat perilisan Warcraft dan Assassin's Creed. Keberadaan Duncan Jones (Moon Source Code) di kursi penyutradaraan Warcraft tentu menyulut optimisme, apalagi bersama Charles Leavitt, Jones turut berperan selaku penulis naskah.

Negeri Azeroth berada di ambang peperangan besar tatkala bermodalkan sihir fel miliknya, Gul'dan (Daniel Wu) memimpin pasukan orc mengambil alih dunia manusia. Walau dilindungi oleh Medivh (Ben Foster) sang penjaga dan prajurit tangguh bernama Anduin Lothar (Travis Fimmel), pihak manusia tetap berada dalam kondisi terjepit akibat kalah jumlah serta sihir fel Gul'dan yang konon tak tertandingi. Saat itulah Durotan (Toby Kebbell), kepala suku klan Frostwolf menawarkan aliansi antara manusia dengan orc dikarenakan ia merasa rezim Gul'dan walau menawarkan kekuatan luar biasa, turut membawa kehancuran sekaligus kematian bagi bangsa orc sendiri. 

Like the title itself suggests, this movie is only the beginning for more to come. Film ini ibarat prolog sebelum perang besar kemudian hari, memperkenalkan satu demi satu karakter beserta latar belakang terjadinya konflik. Berkaca pada karya-karya terhadulunya, Duncan Jones punya kapasitas menggali karakter secara mendalam, sayangnya naskah hasil tulisannya dan Charles Leavitt urung melakukan itu. Terjangkit permasalahan serupa layaknya blockbuster lain, naskah Warcraft: The Beginning seolah dibuat sekedar untuk menunaikan kewajiban memiliki cerita. Terdapat beberapa konflik personal tokoh termasuk paralel kisah ayah-anak bagi Lothar dan Durotan, namun semua dimunculkan tanpa eksplorasi memadahi, akibatnya saat tiba momen (dimaksudkan) emosional, impact-nya nihil alias datar. 

Dangkalnya penggalian karakter berujung kejanggalan ketika beberapa dari mereka sempat berubah sikap atau pihak karena saya kurang merasa diajak memahami sisi internal karakternya. Kritisi serupa pantas dialamatkan juga pada eksposisi cerita yang potensial membuat penonton tanpa pemahaman mengenai game-nya kebingungan, padahal filmnya mengusung cerita amat generic. Saya bagai diajak menjelajahi negeri antah berantah penuh makhluk aneh, istilah-istilah asing plus setumpuk mitologi tapi tidak diberikan guidance guna melalui semua itu. Ditambah lagi paparan intrik seputaran tokoh manusia jauh dari kesan menarik, menghalangi saya untuk berusaha mencari pemahaman lebih lanjut. Sebagai pondasi berembel-embel "The Beginning" di judulnya, film ini tergolong gagal memberikan pijakan kokoh terhadap karakter maupun hamparan cerita.
Untung Warcraft: The Beginning memiliki modal lain berupa efek visual guna menutupi kekurangan naskahnya. Eksekusi motion capture-nya luar biasa, yang dapat dilihat dari betapa mengagumkan detail tiap sisi tubuh orc mulai rambut, tonjolan otot, tanduk, sampai mimik wajah. Daripada monster artificial, orc  khususnya Durotan  terlihat selayaknya makhluk hidup nyata dengan sentuhan perasaan dalam diri mereka. Alhasil mata saya termanjakan sewaktu film memindahkan fokus menuju kelompok orc, menghasilkan hiburan di tengah membosankannya kisah para manusia. Walau rendering bagi CGI selain motion capture (ex: burung raksasa) terlihat kasar dan palsu, pemakaian efek penuh warna saat pertempuran ilmu sihir bertempat, sukses menyeimbangkan kesan realistis dengan nuansa cartoonish fantasy menyenangkan.

Meski gagal menyuguhkan kelebihan terbesarnya (eksplorasi karakter), penyutradaraan Duncan Jones cukup solid ketika diharuskan menangani action sequence. Belum memasuki taraf epic, namun Jones berhasil memanfaatkan keberadaan otot-otot plus senjata berat kaum orc guna mendorong violence sampai batasan tertinggi suatu film dengan rating PG-13. Soundtrack gubahan Ramin Djawadi turut menambah intensitas adegan berkat nuansa bak genderang pengiring peperangan. It's so epic and iconic! Patut disayangkan film ini masih terjebak penyakit sajian middle chapter di mana momen puncak sengaja disimpan untuk installment berikutnya, sehingga klimaks film berujung datar, bahkan terlampau cepat berakhir. 'Warcraft: The Beginning' is a visual treat indeed, but its story and character development isn't strong enough to keep the audience attention. The gamers will be pleased though

SPHERE X FORMAT: Kurang memuaskan secara keseluruhan kualitas, Warcraft: The Beginning di luar dugaan menghadirkan salah pengalaman menonton paling memuaskan dalam format Sphere X. Layar besar plus luasnya bidang pandang bersinergi sempurna dengan kelebihan film di tataran visual, memfasilitasi penonton menikmati tiap detail visual   termasuk tekstur tubuh orc   secara maksimal. (4/5)


Ticket Powered by: Indonesian Film Critics

5 komentar :

Comment Page:

JANGAN DENGERIN SENDIRI (2016)

8 komentar
Diangkat dari program Oz radio berjudul sama, Jangan Dengerin Sendiri (JDS) karya sutradara Dedy Syahputra mengusung premis yang cukup menjanjikan untuk diolah menjadi urban legend horror menarik. Sebagaimana tajuk programnya, konon jika seseorang mendengarkan JDS seorang diri teror hantu akan mendatanginya. Pertanyaan "bagaimana itu bisa terjadi" punya potensi menghadirkan misteri guna menyokong film di samping kemunculan mengerikan makhluk halus, sehingga tatkala teror tak sedang mengambil fokus, penonton tetap bisa dibuat betah mengikuti perjalanan alur. Ya, saya sempat menyimpan prasangka baik bahwa Jangan Dengerin Sendiri setidaknya bakal layak disimak, tapi ternyata saya terlalu berpikiran positif. 

Film ini diawali oleh dua kisah terpisah yang nantinya akan bertemu. Pertama adalah perjalanan kru JDS mendatangi tempat-tempat angker dan kedua mengenai ekspedisi tiga orang remaja ke Gunung Sadahurip guna menyelesaikan tugas kuliah. Sekembalinya dari gunung, mereka justru kerap diteror oleh hantu nenek-nenek. Dari situlah keterlibatan kru JDS bermula, setelah ketiga remaja tadi meminta bantuan Naomi (Naomi Angelia Sea), salah satu host JDS sekaligus seorang indigo. From this point, there must be an intense exploration of mystery full of puzzling things, right? Nope, there isn't any. Jangan Dengerin Sendiri hanya satu lagi horor buruk penuh kemalasan tutur namun nihil keseraman.
Konsep menarik itu sama sekali tidak dikembangkan oleh duo penulis naskah, Muhammad Abiyoso dan Ridho Saiful Amin. Kenapa jika mendengarkan siaran JDS sendirian dapat menghadirkan teror? Jangan harap menemukan jawabannya. Kalau bertanya langsung pada pembuatnya mungkin bakal dijawab "just because" atau "mystical shit". Seolah belum cukup, dimasukkan pula mitologi Gunung Sadahurip yang lagi-lagi urung dipaparkan secara tuntas. Apa sebenarnya kalung milik Alya (Adinda Rizkyana)? Benarkah di sana terdapat piramida? Jangankan jawaban dipaksakan, film ini seolah sama sekali tak berupaya mengolah segala plot point di atas, membiarkannya tersaji mentah sepanjang durasi tanpa ada tindak lanjut. Tumpukan. misteri tersebut jadi gambaran betapa Jangan Dengerin Sendiri ingin terlihat pintar tapi tidak dibarengi kemampuan plus usaha memadahi.
Semua konflik sekedar pembuka jalan guna memunculkan penampakan demi penampakan yang nyatanya tak jauh beda dengan mayoritas film horor busuk tanah air berisi desain hantu menggelikan hingga jump scare berisik minim kengerian. Akhir-akhir ini makin banyak horor Indonesia menggunakan CGI dalam pengemasan bentuk hantu  khususnya wajah  di mana Jangan Dengerin Sendiri termasuk salah satunya. Dikarenakan keterbatasan bujet serta kurangnya kreatifitas, alih-alih mengerikan, sang hantu justru seringkali menggelikan. Sampai di sini semestinya para horror filmmaker mulai introspeksi terhadap pemakaian CGI murahan lalu mempertimbangkan pemaksimalan make-up atau practical effect. Bicara soal penampakan, kenapa pula sosok wanita berpakaian hitam di poster muncul cuma sekali? Mungkinkah hanya sebagai bukti bahwa filmnya mampu meniru desain hantu Insidious dan The Woman in Black?

Menyia-nyiakan premis menarik, itulah kekurangan Jangan Dengerin Sendiri yang paling disayangkan. Dikemas begitu malas, di samping ketiadaan momen mencekam pula misteri asal masuk, klimaks pun sekedar sambil lalu. Saya tidak heran andai banyak penonton berujar "gitu doang?" tatkala film berakhir. Akting jajaran cast pun tidak memberi nilai lebih entah akibat pengucapan dialog kelewat datar atau pembawaan akting yang membuat seorang karakter terasa menyebalkan.  'Jangan Dengerin Sendiri' isn't the worst Indonesia horror of the year, but definitely not a better one either. Apakah masih sejauh ini harapan untuk mendapat kepuasan menyaksikan suguhan horor hantu lokal? 


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

8 komentar :

Comment Page:

AISYAH: BIARKAN KAMI BERSAUDARA (2016)

8 komentar
Salah satu isu terpenting sekaligus paling sensitif negeri ini adalah keragaman agama. Ironis memang tatkala di Indonesia yang mengusung "Bhinneka Tunggal Ika" acapkali pecah konflik dengan alasan perbedaan kepercayaan. Itulah alasan terbesar mengapa saya jengah saat suatu film (khususnya religi) menolak mempedulikan permasalahan tersebut dan justru berfokus meninggikan agama sendiri sembari merendahkan lainnya. Di tengah kondisi itu, tidak mengejutkan saat usungan pesan mengenai kebersamaan dan persaudaraan milik Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara karya sutradara Herwin Novianto terasa menyejukkan. Even if it's still far from being a great one, it's still an important movie that you should watch.

Seorang gadis asal Ciwidey, Jawa Barat bernama Aisyah (Laudya Cynthia Bella) baru saja meraih gelar sarjana dan tengah mencari pekerjaan. Didorong hasrat mengabdi plus sakit hati setelah tuntutan pekerjaan membuat pria pujaannya, Jaya (Ge Pamungkas) harus pindah ke Aceh, Aisyah menerima tawaran mengajar di NTT meski sang ibu (Lydia Kandou) sempat melarangnya. Mengajar di sana tentu tidaklah mudah mengingat kondisi tempat yang masih terbelakang  tidak ada listrik, kurang air bersih, sekolah penuh keterbatasan. Aisyah sendiri telah siap atas segala situasi di atas, namun tantangan terberat hadir ketika ia ditolak oleh beberapa murid, karena sebagai Islam, Aisyah dianggap menebar ancaman (mayoritas penduduk adalah pemeluk Katolik).
Ditulis berdua oleh Jujur Prananto dan Gunawan Raharja, naskah Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara sesungguhnya amat formulaik di semua sisi. Karakter Aisyah dibawa menuju rangkaian konflik yang kemudian mampu ia hadapi bermodalkan kesabaran dan kebaikan hati. Konklusi pun sanggup dideteksi sedari pertama Aisyah dihadapkan pada permasalahan utama. Fakta ini kerap memunculkan kesan menggampangkan dalam proses penyelesaian masalah. Untungnya karakter Aisyah dituliskan dengan baik tanpa harus terlampau suci atau sempurna. Dia boleh saja dipenuhi kelembutan hati, tapi tetap manusia biasa dengan berbagai urusan personal sederhana seperti home sick kala lebaran atau kegundahan hati akibat percintaan. Sentuhan sisi kemanusiaan itu cukup memudahkan saya bersimpati pada Aisyah.
Akting Laudya Cynthia Bella turut memfasilitasi kemunculan simpati tersebut ketika sang aktris sanggup menyulap tiap dialog Aisyah terdengar alamiah, bukan semata-mata baris kalimat inspiratif. Tatkala melakoni adegan dramatis, Bella mampu memunculkan curahan emosi dalam takaran tepat, membuat penonton terenyuh oleh tangisannya tanpa eksploitasi berlebihan. Semakin lengkap saat Bella menghindarkan kekakuan dari karakternya lewat beberapa sentuhan kecil semisal senyum malu-malu di dekat pria idamannya atau sedikit rengekan pada sang ibu. Arie Kriting sebagai Pedro juga mencuri perhatian di setiap kemunculannya. Bermodalkan celotehan singkat efektif yang tidak sampai merusak tone adegan, Arie berhasil menyegarkan suasana. Para aktor cilik pun menghadirkan performa memikat, sehingga interaksi antara Aisyah dan murid-muridnya terasa meyakinkan.

Sayangnya seringkali penyutradaraan Herwin Novianto terkesan overly dramatic khususnya saat suatu adegan dramatis dibenturkan dengan musik gubahan Tya Subiakto. Kekeliruan bukan terdapat pada scoring yang sejatinya well-made, namun dentuman musik megah sering digunakan mengiringi adegan berintensitas tak seberapa secara berulang. Herwin Novianto berusaha terlalu keras mendramatisir adegan, sehingga alih-alih menyentuh, saya justru acapkali terganggu oleh ketidaksesuaian tersebut. Memang "penyakit" dramatisasi berlebihan macam ini masih kerap menjangkiti drama tanah air yang coba menuturkan kisah inspiratif. Untungnya usungan pesan mengenai persatuan antar umat beragama tersampaikan cukup kuat melalui momen sederhana seperti membuat pohon natal bersama. Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara mungkin masih terjebak dalam keklisean serta dramatisasi tutur berlebih, tapi untaian pesannya penting disimak, terlebih performa memikat jajaran cast memberi kekuatan emosional bagi kisahnya. 


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

8 komentar :

Comment Page:

MY STUPID BOSS (2016)

21 komentar
Diangkat dari buku berjudul sama karya Chaos@work  juga menulis naskah filmnya bersama Upi  My Stupid Boss terlihat menjanjikan terlebih karena keterlibatan nama-nama di dalamnya. Ada Upi (Realita Cinta dan Rock'n Roll, Belenggu) di kursi penyutradaraan, juga Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari sebagai duo pemeran utama. Secuplik teaser yang memperlihatkan Reza Rahadian bertransformasi menjadi sosok bos bodoh berperut tambun dan berambut pitak sudah cukup menghebohkan, melambungkan ekspektasi para calon penonton. Terbukti studio tempat saya menonton di hari perdana penayangannya penuh sesak. Bahkan begitu selesai cukup banyak penonton bertepuk tangan, suatu respon langka bagi film Indonesia.

Premisnya sederhana: Diana (Bunga Citra Lestari) harus kalang kabut meladeni tingkah absurd atasan di tempat kerja barunya, Bossman (Reza Rahadian). That's it. My Stupid Boss ibarat penyatuan banyak segmen di mana masing-masing berisikan kekonyolan Bossman yang selalu membuat anak buahnya geram. Kisahnya memang punya unsur katarsis bagi kekesalan karyawan terhadap atasan mereka tapi itu saja sebenarnya belum cukup menyokong film berdurasi 108 menit. Naskahnya tak seberapa kuat, dan begitu melewati pertengahan semakin terasa repetitif, hanya mengandalkan lontaran-lontaran lelucon. Usaha menyuntikkan hati lewat konklusinya pun terkesan out of nowhere alias dipaksakan. Namun cukup itu saja pembahasan mengenai kekurangan My Stupid Boss.
Walau naskahnya lemah pada pembangunan cerita, tidak demikian kala berurusan dengan komedi. Terdapat setumpuk kreatifitas dalam hal menghiperbolakan situasi di kantor seperti komedi verbal segar hingga karakterisasi penuh warna, bukan saja untuk dua protagonis, tapi tokoh-tokoh sekunder turut punya daya tarik masing-masing. Mengandalkan eksploitasi komedi sepanjang film kerap memunculkan beberapa miss khususnya saat cerita mulai repetitif, namun bisa dimaafkan mengingat keberhasilan humornya mengundang tawa lebih sering daripada kegagalannya. Upi pun mampu mentransformasikan deretan situasi absurd tersebut menuju bahasa visual mumpuni. Setiap adegan tidak hanya asal menangkap para pemerannya menghantarkan jokes, melainkan terkonstruksi dengan baik. Pace ikut terjaga rapih, sehingga walau diisi deretan potongan komedi situasi, progresi alur tetap nyaman dinikmati.
Nyatanya performa jajaran cast tetap merupakan aspek terbaik sekaligus faktor utama keberhasilan guliran komedi. Reza Rahadian membuktikan bahwa ia seorang chameleon-like actor yang mampu melakoni peran apapun. Bossman lucu tidak saja karena make-up konyol tapi ekspresi, gestur aneh, sampai penghantaran dialog  termasuk Bahasa Jawa  Reza adalah sumbernya. Aktingnya bukan sekedar "trying to be as stupid as possible" namun peleburan total aktor sebagai seorang tokoh, yang bisa dibuktikan ketika muncul sentuhan drama menjelang akhir. Reza tidak mengubah karakternya, itu murni sisi personal terselubung milik Bossman. Bunga Citra Lestari pun bisa memancing tawa melalui respon-responnya atas kebodohan Bossman. Sedangkan pemeran pendukung lain ikut tampil maksimal sesuai porsi dan kebutuhan. 

Saya selalu suka bagaimana Upi memiliki visi unik dalam visualisasi adegan. Mempertahankan kelebihan itu, My Stupid Boss berada di kelas lebih tinggi dibanding mayoritas komedi tanah air. Fokus penggarapan bukan sekedar "how to be funny", juga memaksimalkan sisi artistik presentasinya. Nuansa vintage terpancar kuat dari sinematografi garapan Muhammad Firdaus, membuat mata saya dimanjakan oleh warna-warni visualnya. Sebagaimana nampak lewat Belenggu, Upi turut memperhatikan dekorasi setting sampai busana karakter. Alih-alih monoton, semua adegan indoor (kantor, rumah Diana) justru memunculkan adiksi untuk mata. It's not exactly the same, but in visual terms, 'My Stupid Boss' is the closest thing our filmmaker ever made to Wes Anderson's movie or 'Amélie' (because of its color palette and music). So far, it's also the funniest Indonesian comedy this year and the best movie by Upi in years

21 komentar :

Comment Page:

X-MEN: APOCALYPSE (2016)

17 komentar
Lima tahun lalu First Class menyelamatkan franchise X-Men dari kematian pasca The Last Stand dan X-Men Origins: Wolverine yang mengecewakan. Kembalinya Bryan Singer di kursi penyutradaraan serta Simon Kinberg sebagai penulis naskah kemudian menghasilkan Days of Future Past, membawa lagi X-Men menuju puncak kesuksesan komersial maupun critical. Memasuki 2016, genre superhero memasuki tingkatan lebih tinggi kala DC ikut meramaikan persaingan lewat Batman v Superman: Dawn of Justice, sedangkan Marvel mengandalkan Captain America: Civil War. Dalam kondisi seperti itu, keputusan memakai En Sabah Nur a.k.a. Apocalypse sang mutan tertua nampaknya adalah keputusan tepat supaya Fox tidak tenggelam di tengah persaingan tersebut.

Alkisah, sesosok mutan bernama En Sabah Nur/Apocalypse (Oscar Isaac) dianggap Tuhan dan berkuasa pada era Mesir kuno bersama keempat pengawalnya (Four Horsemen). Namun sebuah pengkhianatan membuatnya harus terkubur di bawah reruntuhan piramida, tertidur selama ratusan tahun sebelum bangkit di tahun 1983. Menyadari manusia memegang kuasa atas dunia, Apocalypse berencana menjadikan mutan sebagai raja dan mulai merekrut empat mutan sebagai Four Horsemen baru. Salah satu di antaranya adalah Erik Lehnsherr/Magneto (Michael Fassbender) yang baru saja kehilangan keluarganya. Mengetahui Erik tengah dalam bahaya, Raven/Mystique (Jennifer Lawrence) dan bersama beberapa mutan muda murid Charles Xavier (James McAvoy) bersatu, menghidupkan kembali X-Men guna menghentikan ambisi Apocalypse.
Memandang usungan ceritanya, Apocalypse jelas terasa sederhana cenderung medioker dibanding dua pendahulunya  First Class berisi rekonstruksi sejarah dan Days of Future Past berhiaskan time travel  yaitu sekedar pertarungan good versus evil tanpa banyak intrik. Ada potensi eksplorasi unsur agama atau Mesir Kuno (and another ancient myth), tapi Kinberg sekedar memposisikannya sebagai secuil hiasan, sehingga En Sabah Nur menjadi satu lagi villain dangkal dengan motivasi klise menguasai dunia. Walaupun digambarkan memiliki kekuatan tanpa batas tidak sampai muncul kesan sosoknya memberi ancaman besar bagi seluruh dunia. Apalagi mayoritas kemunculan ia habiskan untuk berbaring, merekrut four horsemen lalu memberi makeover pada penampilan mereka. Are you a fashion stylist or what?

Simon Kinberg seolah enggan mengakui kemediokeran naskahnya, malu tampak kurang dalam. Alhasil ia masukkan beberapa sub-arc tentang sulitnya mutan remaja mengontrol kekuatan mereka, tragedi kehidupan Magneto, usaha Peter Maximoff/Quicksilver (Evan Peters) mencari sang ayah, dan (as usual) perjuangan Xavier. Terlalu banyak cerita ditumpuk tanpa eksplorasi berarti, ujungnya saya merasa digelontori segunung konflik namun tak ada satu pun yang meninggalkan kesan. Kehidupan Magneto sedikit lebih dramatik dibanding kisah lainnya, tapi telah dimunculkan berkali-kali lewat film sebelumnya hingga terlampau familiar. Ororo/Storm (Alexandra Shipp) dan Elizabeth/Psylocke (Olivia Munn) turut tersia-siakan potensinya. Jangankan penggalian karakter, porsi kedua badass heroine tersebut unjuk gigi di medan pertempuran pun minim. 
Saya akan memaafkan kekurangan di cerita maupun karakter andai filmnya mampu menghibur. Sayangnya Bryan Singer bagai kekeringan kreatifitas mengemas action sequence. Tengok adegan Quicksilver yang bak repetisi atas scene serupa di Days of Future Past. Meski skala bertambah besar namun konsep dasarnya serupa, termasuk musik pengiring. But the most disappointing action sequence is the climax. Ketergantungan Singer terhadap CGI lebih parah dibanding Zack Snyder. Setidaknya Snyder tahu cara mengolah gambar memikat penuh fan service, sedangkan di sini penonton cuma disuguhi kehancuran random tanpa ketegangan. Minimnya intensitas dikarenakan segalanya nampak palsu, bukan saja akibat CGI  saya suka tone campy selaku dampak tinggnya pemakaian CGI  tapi juga ketiadaan rasa bahwa pertempuran bertempat di dunia nyata (di mana orang-orang???). Selain minim kreatifitas dan gagal mencapai puncak intensitas, klimaks pun diakhiri dengan amat mengecewakan. Kita semua tahu En Sabah Nur bakal terkalahkan, tapi eksekusi Singer begitu malas. 

Bertambah parah di saat usaha menyelipkan humor ikut gagal memancing tawa. Komedinya seperti dibuat oleh orang "kaku" yang memaksakan diri melucu. Hasilnya pun terasa dipaksakan berujung garing. Kembali lihat adegan Quicksilver di mana Singer bagai terpaku keharusan memasukkan sebanyak mungkin tingkah usil sang tokoh daripada murni kebutuhan. Timing pun luput diperhatikan ketika komedi dilontarkan. Bahkan muncul beberapa momen unintentionally funny, semisal "how often Apocalypse and his four horsemen just standing close to each other, doing nothing except trying to look cool". Saya paling tergelitik oleh ucapan En Sabah Nur berikut: "Everything they've built will fall!", seolah menyindir X-Men: Apocalypse sendiri selaku penghancur segala usaha membangun ulang franchise ini. Sekarang segalanya mundur ke belakang. X-Men sucks again

SPHERE X FORMAT: Biasanya, sajian blockbuster seperti ini wajib hukumnya ditonton dalam format layar raksasa, tapi dikarenakan kualitas CGI yang inkonsisten serta kurangnya momen "megah", lebih bijak rasanya menyaksikan film ini di format layar biasa. (2.5/5)


Ticket Powered by: Indonesian Film Critics

17 komentar :

Comment Page:

THE PEARL BUTTON (2015)

Tidak ada komentar
Sebaris kalimat dari Jacques Cousteau yang berbunyi "We forget that the water cycle and the life cycle are one" cukup menggambarkan betapa air tak bisa dipisahkan dengan kehidupan umat manusia, bukan saja di tataran sebagai konsumsi sehari-hari, tapi juga menyinggung pengertian lebih mendalam, lebih filosofis. The Pearl Button karya sutradara Patricio Guzman   memenangkan best script pada Berlin International Film Festival 2015  berusaha menjadi eksplorasi puitis seputar kaitan antara siklus air dan berjalannya roda peradaban serta isu sosial khususnya mengenai suku-suku pedalaman di Chile, tatkala modernisasi justru menjauhkan mereka dari alam hingga akhirnya "kepunahan" perlahan mulai menjemput. 

Bait demi bait narasi puitis mengiringi gerak lambat kamera (sering pula statis) yang menangkap mulai dari hamparan samudera hingga bentang luar angkasa. Begitulah cara Guzman menjalankan film, setidaknya selama sekitar 12 menit awal sebelum kemudian bergerak menelusuri riwayat suku Yaghan juga Kaweskar. Overall, The Pearl Button memang mengalun lambat  pace alur dan gerak gambar  ibarat membawa penonton ke awang-awang kontemplasi. Jika anda kurang bisa menikmati dokumenter lambat berisikan alam bermodal pengemasan atmosferik macam Baraka, Samsara atau karya Patricio Guzman lainnya, Nostalgia for the Light besar kemungkinan bakal dirundung kebosanan. Namun bagi penyuka meditational movie, film ini akan terasa mendamaikan.
Bersenjatakan perpaduan ambience suara dan sinematografi memikat karya Katell Dijan, The Pearl Button merupakan arena bagi Patricio Guzman bermain-main di ranah atmosfer melalui media audio-visual. Katell Dijan tidak asal mengeksploitasi keindahan alam lewat rangkaian gambarnya, ia selipkan pula sentuhan keunikan entah menggunakan angle atau slow-motion, alhasil beberapa momen mengundang kesan magical. Dijan pun piawai mencuatkan unsettling feeling  berkebalikan dengan indahnya alam  saat film beberapa kali menampilkan foto-foto lawas para native terlebih sewaktu narasi berfokus pada pembantaian mereka oleh sekelompok pemburu Indian. The Pearl Button seketika bertransformasi dari kedamaian menghipnotis menjadi ketidaknyamanan mimpi buruk.
Tata suara The Pearl Button turut mendapat perhatian lebih, di mana nyaris tak ada satu momen terlewat tanpa iringan suara deburan sungai atau aliran air. Jean-Jacques Quinet selaku sound mixer memperhatikan tiap detail suara, kapan telinga penonton perlu digedor terjangan ombak, kapan pula percikkan air bak bisikan lembut sudah cukup mencuri atensi. Komposisi suara favorit saya muncul sewaktu Claudio Mercado menyenandungkan "nyanyian" yang seolah merefleksikan penyatuan seluruh kehidupan di muka Bumi. Berkat poin ini The Pearl Button mampu menjaga konsistensi suasana. Bukan hal baru di kala suatu dokumenter berusaha memaksimalkan gambar dan suara sebagai alat pembangun atmosfer, namun kesesuaian saling melengkapi antara kedua sisi hingga berujung kuatnya konsistensi jelas hasil spesial yang membutuhkan sensitfitas rasa milik para pembuatnya.

Menilik kekuatan narasinya, Patricio Guzman telah berhasil mengolah konsep filosofisnya, memunculkan jalinan cerita kuat berisi keterikatan penuh makna antara air (in whatever forms) dengan progres hidup manusia. Atensi saya terenggut oleh pola penuturan tersebut karena saya dibuat antusias merangkai kepingan-kepingan puzzle guna mencapai hasil akhir berupa pemahaman akan seberapa jauh siklus air dan hidup saling bersinggungan. Memang ada kekurangan berupa ambisi (terlampau) besar Guzman untuk mengisahkan sebanyak mungkin hal yang akhirnya justru melemahkan potensi masing-masing cerita, tapi itu terasa minor dibandingkan daya pikat lainnya. The Pearl Button sukses mencapai tujuannya, menegaskan bahwa air adalah segalanya, baik sumber kehidupan sampai tempat menyembunyikan kematian.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE ANGRY BIRDS MOVIE (2016)

1 komentar
Apakah Hollywood benar-benar kehabisan ide segar? Mereka yang percaya akan hal tersebut bakal semakin vokal menanggapi pembuatan The Angry Birds Movie. Mari lupakan pertanyaan "is it necessary?" sebab jawabannya sudah jelas. Lebih penting justru mempertanyakan bagaimana mengembangkan cerita film banjang berdasarkan game strategi sederhana berisi burung-burung menabrakkan diri guna menghancurkan istana para babi. Angry Birds Toons mampu berjalan karena hanya berdurasi sekitar tiga menit tiap episode, tapi feature film selama 97 menit adalah hal berbeda. Jon Vitti selaku penulis naskah tentu dibebani pekerjaan berat, dan secara mengejutkan mampu ia lakoni cukup baik, menjadikan The Angry Birds Movie tontonan menghibur semua umur.

Di sebuah pulau dengan habitat burung-burung tanpa kemampuan terbang, hiduplah Red, burung yang mudah tersulut amarahnya hingga dijauhi masyarakat dan akhirnya memilih tinggal di bibir pantai, terpisah dari pusat pemukiman. Suatu hari tiba sebuah kapal berisi beberapa ekor babi. Leonard sang pemimpin menyatakan diri datang untuk menjalin perkawanan bersama para burung. Semua senang hati menyambut Leonard dan anak buahnya, terlebih pasca pesta meriah semalam suntuk. Sebenarnya Red menyadari ada intensi tersembunyi di balik kebaikan Leonard, namun seluruh warga enggan mempercayainya. Ketika terungkap bahwa Leonard hendak mencuri semua telur, harapan justru digantungkan pada Red beserta burung-burung bermasalah lain dari sebuah anger management class
Paparan cerita film ini sejatinya biasa saja, yakni sebuah from zero to hero nihil twist. Tapi Jon Vitti layak diapresiasi atas kemampuannya menuliskan aliran cerita rapih tanpa harus terlampau dipaksakan. Karakterisasi tidak begitu mendalam tapi cukup untuk sekedar membawa penonton mengenali masing-masing dari mereka: Red si burung pemarah, Chuck gemar berbuat onar, dan Bomb berhati lembut namun sulit mengontrol sumbu ledak emosinya bergolak. Bermodalkan itu entertaining three-way interaction tercipta, memunculkan dinamika menyenangkan saat ketiganya bercengkerama. Kekurangan naskah terletak pada progresi yang kerap terburu-buru, melupakan pembangunan impact emosi, terlebih pasca para babi beraksi. Alasan warga menggantungkan harap pada Red juga kurang meyakinkan, karena walau dia menyadari rencana Leonard, sebelum itu Red hanya mengacau tanpa sekalipun memunculkan potensi. 
Seperti telah saya singgung di awal, The Angry Birds Movie adalah tontonan menghibur semua umur, yang mana mendapat mayoritas injeksi kekuatan dari komedinya. Dibuka oleh slapstick-oriented opening sequence, saya sempat pesimis film ini bakal mampu menghibur penonton selain anak-anak, sebelum akhirnya seiring waktu berjalan pesona komedi berisi tingkah polah kocak tokoh-tokohnya mulai bermunculan. Harus diakui bukan lelucon cerdas, namun tidak pula dilontarkan secara asal. Jon Vitti memberi dosis cukup alih-alih melepaskannya tiap menit. Duo sutradara Fergal Reilly dan Clay Kaytis pun memahami ketepatan timing serta cara pengemasan sempurna teruntuk masing-masing humor. 

Berhiaskan visual kelas satu, The Angry Birds Movie sukses menghidupkan keunikan tiap tokoh sehingga filmnya penuh warna tidak hanya dalam artian literal. Beberapa burung kecil pun tampil menggemaskan berkatnya. Kelebihan visual turut memfasilitasi penyajian momen paling ditunggu sekaligus klimaks filmnya, apalagi kalau bukan saat para burung terlontar dari ketapel guna menghancurkan istana Leonard. It's well-executed and really entertaining. Sayang, Fergal Reilly dan Clay Kaytis melucuti unsur strategi yang jadi salah satu keasyikan game-nya. Deretan burung-burung diberi kesempatan unjuk gigi menghancurkan bangunan, namun ketiadaan keunikan olah taktik membuatnya sekedar kekacauan (mengasyikkan) biasa. Pada akhirnya memang begitulah keseluruhan The Angry Birds Movie, hiburan lucu nan menyenangkan walau bisa jadi mengecewakan bagi para pencari tontonan berbobot.

1 komentar :

Comment Page:

KOMEDI GOKIL 2 (2016)

11 komentar
Keberhasilan Komedi Modern Gokil mendapat lebih dari 200 ribu penonton tahun 2015 lalu membuat MD Pictures tak butuh waktu lama memproduksi Komedi Gokil 2 yang tetap disutradarai Cuk FK serta masih ditulis naskahnya oleh Eric Satyo dan Dhamoo Punjabi. Banyak pihak menilai franchise ini membangkitkan nostalgia terhadap guyonan khas Warkop DKI, di mana keterlibatan Indro Warkop secara tidak langsung mengkonfirmasi perbandingan tersebut. Saya sendiri belum menonton film pertamanya sehingga bisa dibilang buta akan bentuk pula kualitas filmnya. Namun seusai menyaksikan Komedi Gokil 2 saya tegaskan jika muncul komparasi dengan film-film Warkop DKI, itu ibarat merendahkan karya-karya legendaris mereka. 

Kisahnya ber-setting di rumah kost milik pasangan suami istri Indro (Indro Warkop) dan Tante Maya (Maya Wulan) yang baru saja kedatangan dua penghuni baru, Acho (Muhadkly Acho) dan Lolox (Lolox), adik Boris (Boris Bokir). Berbagai konflik menimpa satu per satu karakter di atas, seperti perselingkuhan Indro dengan Gina (Tengku Dewi), repotnya Boris mengurus tingkah polah adiknya, kembalinya mantan pacar Tante Maya, Tommy (Sas Widjanarko) sampai mimpi Acho merebut hati Mia (Senk Lotta), keponakan Indro yang baru pulang dari luar negeri. Semuanya dirangkum dalam bentuk kepingan sketsa tanpa plot utama sebagai gagasan besar cerita.
Pemakaian teknik sketsa sebenarnya bukan suatu keharaman khususnya pada komedi, namun setidaknya beri satu konflik selaku fokus utama. Kemudian, dari situlah sempilan lain misal sub-arc mengenai seorang karakter dapat dimasukkan, karena jika tidak, apa perbedaan film dengan beberapa acara komedi televisi atau YouTube (bahkan beberapa di antaranya memiliki paparan kisah jelas). Awalnya, perselingkuhan Indro seperti akan diberi fokus terbesar, terlebih ketika ia meminta bantuan Acho, Boris dan Lolox mencuri barang bukti milik Gina. Tapi ternyata konflik berakhir saat film masih menyisakan waktu setengah jam lebih lalu berpindah menuju cerita berikutnya. Eric Satyo dan Dhamoo Punjabi bagai malas menuliskan materi utuh feature film, dan akibat lompatan sketsa acak itu saya pun malas mencurahkan fokus pada film.

Ketiadaan main plot sejatinya bisa dimaafkan dan atensi penonton dapat direnggut andai deretan sketsa tadi konsisten menghadirkan kelucuan, sayangnya, Komedi Gokil 2 gagal memberikan itu, bahkan baru kali ini saya tidak sekalipun tertawa kala menonton film komedi. Tentu faktor selera berpengaruh kuat akan kesuksesan lelucon, namun ada alasan lain terkait kegagalan Komedi Gokil 2 mengundang tawa. Pertama akibat materi yang tingkat kekonyolannya absurd tapi murahan, seperti beberapa scene di trailer  handphone di pantat, meditasi sambil terbang. In real life those unlikely and absurd situations (maybe) are pretty funny, but in a movie are painfully embarassing to watchDi tengah momen-momen tersebut, usaha menyuntikkan unsur meta secara asal melalui ending selaku kelanjutan adegan pembuka daripada terasa pintar justru menegaskan kebodohan film. 
Faktor kedua adalah eksploitasi berlebihan adegan mesum. Apabila Warkop DKI memposisikan sensualitas sebagai bumbu penyedap belaka plus tambahan situasi kocak lain  slapstick, selorohan dialog segar, parodi lagu ikonik  maka Komedi Gokil 2 berkali-kali menampilkan tokoh-tokohnya memasang ekspresi mesum, bodoh, sekaligus menjijikkan ketika memelototi lekuk tubuh para wanita  khususnya Duo Serigala  nihil iringan lelucon lain. Saya tidak munafik. Terkadang keseksian/kecantikan bisa menjadi eye candy memikat, tapi jika itu (saja) diharapkan mampu memancing tawa, terbuktilah ketumpulan kreatifitas para pembuatnya. 

Para aktor juga tak banyak membantu ketika Boris Bokir dan Lolox tampil sangat menyebalkan alih-alih lucu. Acho sedikit lebih likeable meski sayang paparan romansanya dengan Senk Lotta sekedar asal dimunculkan lalu mendadak berakhir bahagia tanpa keberadaan usaha mengambil simpati penonton, membuktikan ambisi Eric Satyo dan Dhamoo Punjabi memasukkan hal sebanyak mungkin ke dalam naskah tanpa memperhatikan kualitasnya. Sebenarnya Indro Warkop sudah berusaha sekuat mungkin membawakan karakternya, plus logat ngapak yang tak dibuat-buat. But he clearly needs a better material to be funny, to be Indro Warkop that we all love. Kenapa pula Brianna Simorangkir ikut terseret? Please, don't waste your great talent, love

Sampai di sini, Komedi Gokil 2 tentu bukan komedi berkualitas, tapi lagi-lagi asumsi mengenai perbedaan selara dapat memberi alasan untuk memaafkan (banyak penonton lain tertawa). Namun alasan itu runtuh tatkala filmnya menjadikan kasus "keracunan kopi sianida" sebagai bahan olok-olok. Semestinya komedi justru sebuah alat kritisi cerdas bagi isu-isu penting, bukan seenaknya sendiri tanpa perasaan membuatnya sebagai bahan bercandaan tak lucu. Sah-sah saja komedi dikemas selaku hiburan semata mengesampingkan seberapa cerdas leluconnya, tapi harus pula ada sensitifitas. Sulit untuk saya memaafkan hal ini. Di awal film, Komedi Gokil 2 memunculkan quote Charlie Chaplin yang berbunyi "Hari tanpa tertawa adalah hari yang terbuang." Hari saya mungkin tidak terbuang, tapi 90 menit yang dihabiskan guna menonton film ini jelas terbuang. 


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

11 komentar :

Comment Page: