10 FILM INDONESIA TERBAIK & TERBURUK 2016 SEJAUH INI

10 komentar
Separuh perjalanan kita lalui di 2016. Tahun ini adalah saat di mana saya memutuskan lebih banyak menonton film Indonesia di bioskop dengan total sejauh ini berjumlah 43 film. Alasan pertama jelas karena kualitas perfilman tanah air perlahan mulai merangkak naik. Namun bukan berarti sajian busuk sepenuhnya menghilang. Terima kasih (in a sarcasm tone) untuk "tugas" dari Indonesian Film Critics saya pun berkesempatan menikmati setumpuk tontonan buruk pula. Berikut ini adalah daftar 10 film Indonesia terbaik dan terburuk 2016 sejauh ini, yang tiap daftar disusun urut abjad. Beberapa judul semisal A Copy of My Mind, Aach...Aku Jatuh Cinta hingga Siti takkan anda temui karena ketiganya telah masuk dalam list tahun 2015 (bisa dicek di sini)

10 FILM INDONESIA TERBURUK 2016:
- 2 Batas Waktu: Amanah Isa Al-Masih
- Dia Pasti Datang
- Dilarang Masuk..!
- Dubsmash
- Ghost Diary
- Ketika Mas Gagah Pergi
- Komedi Gokil 2
- Pacarku Anak Koruptor
- Tausiyah Cinta
- Video Maut

10 FILM INDONESIA TERBAIK 2016:
- Ada Apa dengan Cinta 2
- Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara
- Gila Jiwa The Movie
- Juara
- Midnight Show
- My Stupid Boss
- Rudy Habibie
Super Didi
- Surat dari Praha
- Talak 3

Karena masih list pertengahan tahun saya sengaja tidak menulis ulasan singkat tiap judul. Untuk membahas review lengkapnya, silahkan buka tag "Indonesian Film" di bagian bawah blog, atau klik tautan ini. 

10 komentar :

Comment Page:

RUDY HABIBIE (2016)

13 komentar
Suatu ketika saya mendengar celetukan seorang teman. Dia berujar, "kapan ya film Indonesia bisa bikin blockbuster?", menimbulkan tanya mengenai makna blockbuster itu sendiri. Dalam perfilman, istilah tersebut umum diartikan sebagai film dengan bujet besar yang sukses meraup keuntungan besar pula. Tanpa melupakan banyak blockbuster punya kualitas penceritaan mumpuni, tujuan utamanya jelas memberikan hiburan bagi penonton. Mari sambut Rudy Habibie, film dengan DNA blockbuster kental mengalir di dalamnya. Mengapa Rudy Habibie layak masuk kategori tersebut? Mari kupas beberapa unsur yang ia miliki.

Pertama, ini merupakan sekuel untuk Habibie & Ainun yang pada 2012 lalu diserbu lebih dari 4,5 juta penonton, menjadikannya film Indonesia terlaris kedua sepanjang masa di bawah Laskar Pelangi. Jika liburan musim panas jadi momen terbaik mengeruk pendapatan di Hollywood, lebaran serta akhir tahun (November-Desember) adalah momentum bagi industri tanah air, dan seperti kita tahu Rudy Habibie dirilis menjelang lebaran (Habibie & Ainun pada akhir tahun). Keberadaan Reza Rahadian dan Chelsea Islan  bankable actor and actress  di jajaran cast turut memberi sokongan. Last but not least, Hanung Bramantyo berperan selaku sutradara. Tahukah anda bahwa selama medio 2007-2015, total ada sembilan karya Hanung bertengger di 10 besar film terlaris selama setahun?

Bertindak sebagai prekuel Habibie & Ainun, Rudy Habibie bertutur mengenai kehidupan sang titular character (Reza Rahadian) kala tinggal di Jerman guna berkuliah di RWTH Aachen. Sesekali pula kita diajak menengok masa Rudy kecil, saat obsesinya akan pesawat terbang bermula termasuk bagaimana sang ayah, Alwi Abdul Jalil Habibie (Donny Damara) setia memupuk impiannya. Filmnya sendiri membuka narasi ketika Rudy sekeluarga harus kabur dari serangan pesawat pembom milik Jepang. Opening sequence itu saja cukup menggambarkan pendekatan yang diinginkan Hanung terhadap karyanya ini. Deretan bom menghujam, kehancuran penuh ledakan, jelas Hanung berniat menciptakan suguhan dramatis bertempo tinggi.
Tatkala setting berpindah ke Jerman, menyoroti liku persahabatan Rudy bersama mahasiswa asal Indonesia lain sesama anggota PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) sampai kisah cinta beda agamanya dengan Illona (Chelsea Islan), Hanung setia mempertahankan pendekatan penuh aksi di atas, dalam arti selalu rutin menghadirkan kejadian signifikan bernuansa dramatis  kadang  nyaris berlebihan  dibalut pace cepat tanpa berlama-lama tinggal di satu titik tertentu. Scoring gubahan Tya Subiakto dan Krisna Purna senantiasa terhampar entah berupa orkestra mendayu megah mengiringi peristiwa dramatis atau dentuman ritmik intens sewaktu karakternya terancam. Alhasil momen pengeroyokan terhadap Rudy dan kawan-kawannya bak berasal dari film action/thriller, sedangkan deretan kesulitan batin Rudy ibarat setumpuk klimaks yang memuncak berulang kali. Tapi Hanung bukan sutradara murahan, membuat Rudy Habibie urung jatuh menjadi suguhan overly dramatic norak.

Naskah tulisan Hanung bersama Gina S. Noer mencakup begitu banyak persoalan, membentang dari konflik politis, agama, persahabatan, hingga percintaan. Those are still a little bit too much even with its 142 minutes running time. Eratnya persahabatan Rudy dan mahasiswa Indonesia lain sering terdistraksi oleh perseteruan internal dalam kubu PPI beserta intrik-intrik politik lain yang saat itu tengah bergejolak di Indonesia. Walau beberapa penampil khususnya Ernest Prakasa punya cukup pesona sebagai sidekick Rudy,  tipikal teman baik yang kita ingin miliki  mereka semua nampak sebatas rekan organisasi belaka daripada sekumpulan teman sebangsa yang mesti struggle bersama di tanah asing. Itulah sebabnya ketika satu konflik membawa pengkhianatan, dampak emosional tak seberapa terasa.
Untungnya setumpuk plot point tersebut bukan terpisah acak melainkan saling bertalian, sampai bermuara pada dua hal, yakni menyentuh isu persatuan sekaligus membentuk kepribadian seorang Bacharuddin Jusuf Habibie. Cinta, agama dan politik. Ketiganya ibarat segitiga tiada putus mempengaruhi satu sama lain. Persoalan agama tidaklah seberapa kontroversial, namun punya dampak terhadap percintaan Rudy dan Illona, pula bersinggungan dengan perpecahan PPI yang sempat menyinggung perbedaan status paspor (sama-sama perbedaan penghalang persatuan). Hanung pun masih sempat menyelipkan momen religi berkesan  cenderung berani  sewaktu Rudy solat di Gereja. 

Percintaan Rudy-Illona belum dan memang tidak diniati sekuat romantika abadi Habibie-Ainun. Penonton dengan harapan ingin mengharu biru lagi pasca membaca sub-judul Habibie & Ainun 2 bisa saja kecewa. Tapi seperti Ainun, kehadiran Illona berpengaruh pada berbagai tindakan Rudy, mencipta keselarasan tema pada perjalanan hidup Rudy Habibie, mengenai keberadaan sosok wanita kuat di balik seorang pria hebat. Akting Chelsea Islan sebagai Illona (lagi-lagi) kerap menyentuh batasan tipis antara kesuksesan menghidupkan wanita energetic dan overactingShould I mention how good Reza Rahadian is? Boleh saja banyak pihak melontarkan komentar miring berbunyi "Reza lagi Reza lagi", namun saya tidak keberatan andai sang aktor konsisten menghadirkan karakter variatif, mumpuni melakoni adegan komedik maupun dramatik, mampu menarik atensi penonton setiap menit.

Seusai pemutaran, saya mencuri dengar pembicaraan sepasang kekasih. Sang pria berkata "lumayan oke, tapi kurang greget nggak sih? Berapa jam ya ngomong-ngomong?" Si wanita menjawab sambil memperlihatkan jam tangannya "dua setengah jam kayaknya", yang direspon dengan keterkejutan oleh pacarnya, "Hah? Serius? Kok nggak berasa selama itu ya?" Begitulah Rudy Habibie. Mungkin tak sampai mengaduk-aduk emosi penonton layaknya film pertama, konklusi beberapa permasalahan pun terburu-buru tanpa menawarkan eksposisi memadahi, namun di saat durasi sekitar 142 menit terasa berlalu sejenak saja, itulah tanda keberhasilan suatu hiburan, blockbuster sejati menghanyutkan penontonnya. 



Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

13 komentar :

Comment Page:

THE BROTHERS GRIMSBY (2016)

3 komentar
Kita semua pernah menyesal akibat menertawakan suatu hal/peristiwa yang dirasa semestinya tak layak ditertawakan, melihat teman terjatuh dan kesakitan misalnya. You felt horrible for laughing, but you just couldn't help it...because it was too damn funny. Perasaan serupa saya rasakan saat menonton The Brothers Grimsby, film terbaru Sacha Baron Cohen dengan tonggak penyutradaraan dipegang Louis Leterrier (The Incredible Hulk, Clash of the Titans, Now You See Me). Semenjak kesuksesan Borat 10 tahun lalu, Cohen telah menulis naskah bagi tiga film termasuk film ini, di mana ketiganya menegaskan transformasi karya Cohen dari satir shocking cerdas menuju pure shocking dengan satir makin memudar sebatas sampul depan. 

Dibuat bak kulminasi upayanya mengejutkan penonton, dalam The Brothers Grimsby (or simply 'Grimsby' in UK) Cohen memerankan Nobby, hooligan bodoh, mesum, and totally irresponsible parent with 11 childrens  di satu scene ia meminta anaknya yang masih kecil berhenti merokok dan beralih vaping. Menengok tingkah kurang ajar plus gaya rambutnya, mudah berasumsi jika karakternya didasari Liam Gallagher (salah satu joke turut menyinggung Liam). Selama 28 tahun, Nobby setia menanti kepulangan adiknya, Coddy a.k.a. Sebastian Graves (Mark Stron) yang tanpa diduga kini telah menjadi agen MI6. Berpatok pada formula buddy comedy, tentu saja Coddy punya kepribadian berlawanan dengan Nobby: agen handal yang tenang dan serius melaksanakan misi. Keduanya kembali bertemu tatkala Coddy berada dalam sebuah misi, lalu mudah diduga kekacauan demi kekacauan langsung tumpah ruah.
Dasarnya, The Brothers Grimsby adalah parodi bagi film-film agen rahasia sekaligus satir mengenai berbagai sisi kultural Inggris khususnya hooligan, but Cohen really wants to push the boundaries with this movieBegitu ekstrim, sampai unsur satir nyaris hilang tanpa sisa  even less-satire and more stupid than 'The Dictator'. Saya yakin bakal banyak penonton mendapati deretan leluconnya menjijikkan bahkan ofensif daripada lucu. Tapi Cohen sadar betul bahwa tidak sedikit pula orang akan terhibur kala mendapati adegan-adegan dengan tingkat kegilaan tak terbayangkan, tidak keberatan menertawakan hal-hal jorok pula idiot. Untuk kalangan semacam itulah Cohen membuat film ini, and forgive me God, I'm one of them.

Komedi seks adalah hal biasa, dan jujur saja semakin repetitif, menurunkan kadar kelucuannya. Namun lain cerita apabila komedi tersebut menampilkan testikel Mark Strong menempel di wajah Sacha Baron Cohen atau keduanya terperangkap dalam vagina gajah betina yang tengah berhubungan seks. Semakin gila di saat Louis Leterrier tidak ragu memvisualisasikannya secara gamblang. Di situlah letak kelucuan film ini, ketika momen sinting tak terduga terhampar di layar. The crazier it gets, the funnier. Namun paling berpotensi mencipta kontroversi adalah momen "Harry Potter gets AIDS" yang demi menghindari spoiler takkan saya jabarkan. Itulah saat saya merasa bersalah, sebab jelas lelucon itu (dan lainnya) ofensif, and forgive me God, I laughed.
Di luar kesintingan-kesintingan tersebut, sejatinya The Brothers Grimsby kurang maksimal sebagai buddy comedy. Cohen melakoni peran bodohnya penuh totalitas, begitu pula Mark Strong lewat deadpan comedy-nya. Tapi kombinasi keduanya urung menghantarkan interaksi renyah hasil banter dua protagonis dengan kepribadian berlawanan. Alasannya, naskah garapan Cohen bersama Phil Johnston tak memberi waktu memadahi bagi keduanya untuk sering bertukar line. Mereka kerap terjebak dalam situasi lucu berdua, tapi kelucuan lebih dikarenakan situasi atau kegilaan ketimbang kombinasi Nobby-Coddy. Sentuhan drama kakak beradik pun sekedar tempelan walau Mark Strong mampu menyuntikkan sisi melankoli melalui ekspresi saat mengenang kepahitan masa lalunya.

Berjalan hanya selama kurang lebih 80 menit, The Brothers Grimsby berjalan dinamis berbalut pacing kokoh dari Louis Leterrier. Ditambah lagi sewaktu komedinya menepi guna berganti ke arah geberan aksi, Leterrier sanggup mengemas hiburan solid, khususnya pada pemakaian kamera first person. Suka atau tidak, harus diakui ini merupakan komedi menjijikkan, tidak sensitif, dan hanya ingin menampilkan kegilaan sebanyak mungkin tanpa filter sedikitpun. But is it funny? Yes it is. In fact, for me 'The Brothes Grimsby' is one of the funniest movie of the year so far. Ditambah lagi balutan lagu-lagu macam Parklife milik Blur atau Cigarettes and Alcohol-nya Oasis sukses membuat pecinta Britpop seperti saya kegirangan. This is the limit though. Menggila lebih dari ini, karya Sacha Baron Cohen berikutnya berpotensi jatuh akibat terlalu memaksakan diri. But for now let's enjoy this craziness. Once again, forgive me God, I like this movie.

3 komentar :

Comment Page:

SOUTHBOUND (2015)

1 komentar
There won't be any perfect anthology horror movie, that's for sure. Keberadaan banyak segmen dari banyak sutradara yang berujung keberagaman kualitas jadi faktor utama. Tengok saja trilogi V/H/S serta dwilogi ABC's of Death sebagai bukti nyata. Menampilkan total lima cerita garapan empat sutradara, Soutbound sejatinya masih menyimpan permasalahan serupa. Hanya saja, hadirnya keterikatan tema kuat antar cerita membawa filmnya sedikit "naik kelas" dari sekedar upaya penyatuan random beberapa short

Kelima kisah Southbound dituturkan saling berkaitan dengan tidak adanya jeda, di mana kala satu segmen berakhir, protagonis segmen tersebut bakal bersinggungan dengan protagonis segmen berikutnya, baik secara langsung  berinteraksi atau bahkan terlibat dalam plot  maupun tidak langsung  memasuki tempat sama. Ada kisah kaburnya dua pria dari kejaran makhluk misterius (The Way Out), tiga orang personel band wanita yang terpaksa bermalam di rumah pasangan misterius (Siren), seorang pria yang tanpa sengaja menabrak wanita di tengah jalan (The Accident), usaha pria paruh baya mencari sang adik (Jailbreak), hingga sebuah keluarga korban home invasion (The Way In).
Walau caranya meneror penonton berbeda, lima bentuk cerita di atas terjalin erat oleh benang merah berupa tema mengenai dosa masa lalu dan rasa bersalah. Kedua aspek itu senantiasa mengiringi perjalanan karakternya seraya menjaga supaya sebagai satu kesatuan film panjang, Southbound tak pernah kehilangan fokus. Ditambah faktor ketiadaan jeda antar segmen, semakin kuatlah kesan bahwa seluruh ceritanya bersifat saling melengkapi, alhasil sebagai antologi, film ini tidak terasa disjointed, berujung pada terjaganya flow penuturan alur. 

Sumber teror kelimat ceritanya berbeda-beda mulai creature horror sampai home invasion, artinya potensi suguhan variatif jelas dimiliki film ini. Sayangnya potensi tersebut berhenti pada tataran premis belaka, karena saat memasuki ranah eksekusi, mayoritas berakhir kurang menggigit. The Way Out menawarkan daya tarik lewat kemunculan makhluk aneh yang tampilannya bagai versi modifikasi sosok grim reaper, tapi unsur ouroboros-nya urung menyuguhkan kengerian maupun drama kontemplasi bagi karakternya. Matt Bettinelli-Olpin selaku penulis naskah hanya menyelipkan unsur tersebut tanpa berusaha membangun impact untuk penonton. Permasalahan serupa dimiliki Siren. Pembangunan horor klise sekaligus predictable hingga ke twist-nya gagal meninggalkan kesan. 
Barulah pada The Accident karya David Bruckner, ketegangan mulai hinggap berkat pace cepat, balutan gore efektif menghadirkan rasa ngilu, serta konsistennya kabut misteri mencuri atensi. Semakin menegangkan tatkala saya diajak bersimpati pada Lucas (Mather Zickel), sebab ia terjebak di waktu dan tempat yang salah, kemudian tetap berusaha menolong Sadie (Fabianne Therese), bukan membiarkannya tewas di jalan. Namun memasuki penutup, penonton diberi tease berkenaan ambiguitas sisi lain yang (mungkin) Lucas pendam, mengakhiri The Accident sebagai satu-satunya segmen yang berhasil menuturkan tema guilt/past sin dengan baik. 

Celakanya, The Accident ibarat puncak yang datang terlampau dini, karena setelahnya, Southbound mengalami penurunan kualitas. Jailbreak menyia-nyiakan potensi menjadi suguhan batshit crazy berisikan kepala pecah dan monster ganas walau dibanding segmen lain sajian kekerasannya paling kental. Satu-satunya poin plus The Way In selaku penutup yakni twist penghubung dengan segmen sebelumnya,  menguatkan poin bahwa Southbound bertutur mengenai lingkaran setan  sedangkan unsur home invasion gagal memberi ketegangan akibat penonton tak diajak mengenali para protagonis, apalagi peduli kepada mereka. 

Dijajarkan dengan The Accident yang menonjol, keempat segmen lain memang terkesan tumpul, namun tidak pula sepenuhnya membosankan berkat keberadaan pesona masing-masing, entah melalui gore atau twist-nya. Secara keseluruhan, Southbound masih sanggup membawa penonton menuju dunia Twilight Zone-esque berisi keanehan tak terjabarkan pula perjalanan mengelilingi lingkaran setan tanpa ujung. Konsistensi tema dalam tiap segmen menjadikannya terasa lebih terstruktur dibandingkan banyak anthology horror lain di luar sana. Satisfying, but still far from being an ultimate scarefest.

1 komentar :

Comment Page:

INDEPENDENCE DAY: RESURGENCE (2016)

5 komentar
Suatu hari saya pernah bermimpi mendapati di luar kamar saya di lantai 2 sebuah benda asing raksasa tengah melayang. Tidak jelas benda apa itu sebenarnya, tapi yang pasti, saya ingat hanya bisa diam, dibuat terperangah oleh ukuran gigantic-nya. Memang begitulah sifat makhluk kecil bernama manusia, selalu dibuat terpana bahkan terobsesi oleh hal-hal berukuran raksasa. Semakin besar  dan "tak masuk akal"  semakin tinggi pula kekaguman kita. Di situlah letak keunggulan utama Roland Emmerich selaku sutradara spesialis disaster movie. Dari Independence Day, The Day After Tomorrow sampai 2012, Emmerich mampu membangkitkan perasaan di atas, dan itu diulanginya lewat Independence Day: Resurgence.

20 tahun pasca keberhasilan mengganyang para alien, pihak Bumi bermodalkan teknologi peninggalan alien tersebut mulai membangun benteng serta strategi pertahanan selaku early warning system andaikata invasi makhluk asing kembali datang. Namun tanpa disangka, mereka sempat mengirim distress call, dan kini armada yang jauh lebih banyak dengan pesawat berdiameter ribuan kilometer siap melancarkan serangan yang bahkan tak bisa ditandingi manusia meski teknologi serta senjata sudah mengalami kemajuan pesat. 
Resurgence sejatinya gagal mengulangi beberapa kekuatan utama film pendahulunya. Penonton film pertama tentu ingat speech ikonik nan menggetarkan "We will not go quietly into the night!dari Presiden Whitmore (Bill Pullman) yang sukses membakar semangat patriotisme sekalipun anda bukan warga negara Amerika Serikat. Patriotisme urung dihadirkan kala Emmerich hanya berfokus meningkatkan skala kehancuran plus ukuran pesawat alien daripada membangun nuansa perjuangan umat manusia. Tidak ada lagi tensi mendebarkan kala mendapati likeable protagonist macam Captain Steven Hiller (Will Smith) berjibaku di atas pesawat, terlebih Liam Hemsworth tak cukup berkharisma melakoni peran lead hero, sedangkan (mantan) Presiden Whitmore hanyalah pria tua setengah gila yang orasinya kali ini tak lebih dari usaha putus asa mereplikasi original speech-nya.

Independence Day bukan film dengan paparan cerita mendalam, tapi sekuelnya ini nyaris sama sekali meminggirkann narasi. Sepanjang durasi kita hanya diperlihatkan rentetan set-up sebagai alasan menampilkan satu per satu action sequence. Terdapat setumpuk karakter, namun peran mereka tidaklah berguna, bahkan David Levinson (Jeff Goldblum) sekalipun. Di luar kekurangan penceritaannya, ada satu poin positif mengenai penggambaran sikap meremehkan manusia kepada alien. Manusia menganggap alien sebagai monster tanpa otak, yang berujung backfire kala mereka melancarkan rencana serupa 20 tahun lalu dan akhirnya mengakibatkan kegagalan. Aspek ini tepat menggambarkan kepongahan manusia, melupakan betapa kecilnya kita di tengah hamparan luas jagat raya misterius. 
Saya sadar betul bahwa Resurgence kehilangan mayoritas daya pikat milik pendahulunya. Sebagai standalone pun filmnya medioker dari banyak sisi. But like the other guilty pleasure out there, 'Resurgence' forced me to "sold my soul to the devil", so I could enjoy the movie without being bothered by its minus points. Menyaksikan pesawat alien terhampar di Afrika atau tatkala kapal induk mereka mendarat, menutupi sebagian permukaan Bumi, perasaan terpukau karena benda-benda raksasa tadi serentak menyeruak. Emmerich bersama sinematografer Markus Förderer teramat piawai merangkai visual, sehingga berbeda dengan Michael Bay,  kompatriot dalam bidang blockbuster bombastis  walau dipenuhi hal-hal masif, deretan kekacauannya tetap memanjakan mata, melupakan fakta jika segala kehancuran itu seolah tanpa arti akibat ketiadaan dampak signifikan berupa korban jiwa  hanya diisi kehancuran gedung. Efek CGI mumpuni tentunya ikut berperan besar memperkuat, khususnya pada klimaks saat gigantic alien queen menampakkan wujudnya. It looks so seamless and breathtaking!

Ditinjau dari segi sinematik mana saja, Independence Day: Resurgence bakal lebih banyak memunculkan sisi negatif ketimbang positif. Lagi-lagi beginilah cara kerja guilty pleasure. Kita sadar keburukan suatu film, namun akhirnya "menyerah" karena kesuksesan filmnya mengusung hiburan menyenangkan. Mengembalikan kekaguman serta binar di mata saya kepada hal-hal masif melayang di angkasa raya, 'Independence Day: Resurgence' is Roland Emmerich at his best game: highly entertaining spectacle full of giant things and massive destruction. Dengan senang hati saya menantikan sekuelnya yang berencana membawa umat manusia berangkat menuju peperangan epic antar galaksi.


SPHERE X FORMAT: Bertambah rasa terpukau oleh pameran pesawat raksasa Emmerich kala bidang layar SphereX bagai melipatgandakan pemandangan tersebut. Kemunculan sang ratu alien pun jadi puncak gelimangan visual mumpuni yang terhampar begitu dekat pula nyata di depan mata. To put it simply, 'Independence Day: Resurgence' is my best SphereX experience so far.  (4.5/5)

Ticket Sponsored by: Indonesian Film Critics

5 komentar :

Comment Page:

CENTRAL INTELLIGENCE (2016)

2 komentar
Buddy cop is not a new formula, but it never gets old. Bermodalkan naskah paten berisi interaksi renyah dua protagonis, buddy cop movie dapat menghadirkan kesenangan bagi penonton sekalipun alurnya klise. Namun jika ada yang dibutuhkan genre tersebut guna menemukan kembali kesegarannya, pastilah hal itu dipunyai sosok Dwayne Johnson. Dikenal akan kemampuannya menghidupkan lagi franchise film  Journey, G.I. Joe, Fast & Furious  rasanya bukan kemustahilan apabila seorang "The Rock" mampu menyuntikkan energi baru untuk genre satu ini. Terlebih, dalam Central Intelligence garapan sutradara Rawson Marshall Thurber ini, Johnson dipasangkan dengan Kevin Hart. Pertukaran kalimat kocak dibalut chemistry solid seketika terbayang.

Bob Stone (Dwayne Johnson) selalu di-bully, dipermalukan oleh teman-temannya semasa SMA akibat badan gemuknya. Satu-satunya yang bersedia membela Bob hanyalah Calvin Joyner (Kevin Hart), siswa paling populer di sekolah. Selang 20 tahun kemudian, Calvin mendapati hidupnya sebagai akuntan jauh dari bayangan kejayaan masa muda dahulu. Stagnan. Belum lagi pernikahannya dengan Maggie (Danielle Nicolet) tengah berada di fase hambar. Sampai Calvin bertemu Bob kembali yang kini sudah berubah 180 derajat; berbadan kekar, dipuja wanita, pula jago berkelahi, hidupnya turut berubah. Ternyata Bob adalah anggota CIA yang sedang terjebak tuduhan pembunuhan, dan mau tidak mau, Calvin ikut terseret menuju kekacauan berbahaya tersebut.
Menilik ceritanya, naskah karya Ike Barinholtz, David Stassen dan Rawson Marshall Thurber coba  dan berpotensi  mengangkat isu bullying terutama mengenai bagaimana sang korban berusaha menghadapi trauma meski telah lewat puluhan tahun. Semakin menarik kala mendapati Bob yang sudah bertransformasi menjadi agen CIA tangguh tetap tak berkutik kala bertemu kembali dengan si pelaku (cameo dari Jason Bateman). Sayangnya tidak ada penggalian memadahi termasuk fakta bahwa kita hanya sejenak dipertemukan dengan Bob masa SMA (Johnson with a fatsuit). Padahal bila menghabiskan waktu sedikit lebih lama, niscaya keterikatan penonton dengan Bob bisa menguat. After being heavily teased, it was such a disappointment that it only last for only five minutes (maybe even less). Besides, seeing the fat Dwayne Johnson dancing around naked is hilarious.
Leluconnya berusaha keras mengeksploitasi referensi serta plesetan (Pitch black like Vin Diesel, Snake Gyllenhaal) sampai pada titik di mana semuanya terasa berlebihan. Awalnya terdengar lucu hingga perlahan kehilangan kesegarannya dan akhirnya membosankan. Untung kombinasi Johnson-Hart konsisten menghadirkan banter menarik sebagai bahan bakar laju film. No matter how unfunny the joke is, Kevin Hart with his histerical behavior and Dwayne Johnson's big smile and his starstruck to Calvin always interesting to watch. Tanpa keduanya, lelucon milik Central Intelligence bakal berujung datar, bahkan sejatinya kalah dalam urusan memancing tawa dibanding rangkaian bloopers sewaktu credit akhir bergulir.

Sulit dibayangkan memang apabila Central Intelligence tak memiliki dua sosok protagonis tersebut, apalagi Thurber kurang piawai memaksimalkan adegan aksi. Peluru berdesingan di mana-mana, tapi minimnya kreatifitas Thurber dalam mengkreasi, memupuskan terciptanya dinamika hiburan penuh aksi. Selipan misteri bertemakan pengkhianatan dan identitas villain sesungguhnya menambah energi, setidaknya cukup membuat Central Intelligence bukan menjadi siksaan membosankan selama 107 menit bagi para penonton, tapi sungguh disayangkan tatkala film ini berakhir hanya sebagai another forgettable buddy comedy, karena kolaborasi Dwayne Johnson-Kevin Hart semestinya sanggup menghantarkan kesenangan luar biasa. 

2 komentar :

Comment Page:

FINDING DORY (2016)

22 komentar
Tepat apabila menyebut "drama emosional" sebagai keunggulan utama Pixar sekaligus salah satu alasan terbesar penonton dewasa menantikan karya-karya mereka. Tapi menjadi keliru tatkala unsur tersebut dianggap wajib ada dan merupakan kegagalan jika gagal menguras air mata. Pixar is more than that. Cerita berselipkan kritik sosial, karakter ikonik nan likeable, sampai visual memikat adalah kekuatan lain yang semestinya tak dikesampingkan. Itu pula yang terjadi pada Finding Dory, sekuel dari Finding Nemo, which is one of Pixar's best and richest movie. Tidak sekalipun saya sesenggukan berlinang air mata karenanya, namun bukan berarti bencana, sebab selama kurang lebih 103 menit durasi, gelak tawa setia menghampiri seolah tanpa henti. 

Enam bulan pasca kisah film pertama, Dory (Ellen DeGeneres) mendadak ingat kepingan-kepingan ingatan masa kecil mengenai kedua orang tuanya serta suatu tempat bernama "the jewel of Morro Bay, California". Tanpa pikir panjang, Dory segera melakukan perjalanan mencari keluarganya ditemani oleh Marlin (Albert Brooks) dan Nemo (Hayden Rolence), sebelum akhirnya terpisah dan terjebak di sebuah marine life institue. Di sanalah Dory bertemu dengan beberapa hewan laut yang turut memberi bantuan mencari keluarganya; Hank (Ed O'Neill) si gurita bertentakel tujuh, Destiny (Kaitlin Olson) hiu paus sekaligus teman masa kecil Dory, dan paus beluga bernama Bailey (Ty Burrell). Now it's time for Dory's adventure and (of course) she's gonna keeps swimming

Originalitas penuh imaji berupa keunikan interpretasi dunia bawah laut milik Finding Nemo sudah tentu takkan terasa lagi, dan sayangnya sulit menanggulanginya mengingat nyaris mustahil sekuel memunculkan sihir serupa pendahulunya. Andrew Stanton selaku sutradara sekaligus penulis naskah (bersama Victoria Strouse) sadar betul dan memilih pendekatan lain yakni fokus menghadirkan petualangan semenyenangkan mungkin. Bagi saya Finding Nemo adalah reka ulang "realis" terhadap kehidupan hewan laut meliputi kebiasaan, cara hidup, pola pikir, atau parodi tentang stereotip yang melekat. Sebaliknya, Finding Dory lebih cartoonish dan adventure-oriented, sebagaimana dicontohkan adegan Hank mengendarai truk di jalan raya yang mana adegan semacam itu tidak akan ditemukan dalam film pertama. 
Apakah itu buruk? Justru sebaliknya, pendekatan berbeda sukses menghindarkan kesan repetitif meski beberapa poin alur  pencarian keluarga, usaha kabur dari "kurungan"  mencerminkan kemiripan. Stanton total mencurahkan ide kreasinya guna membangun petualangan penuh adegan imajinatif plus deretan humor-humor cerdas dengan keefektifan tinggi memancing tawa. Tidak peduli seberapa anehnya seekor gurita kebut-kebutan saya terpukau kala Stanton menggunakan slow motion serta iringan lagu What A Wonderful World sebagai penutup sequence. Begitu pula gelak tawa yang rutin muncul ketika Bailey beraksi layaknya cenayang  sambil bergumam "ooomm". Aneh, tapi keanehan berbalut pengadeganan kreatif juga visual unik itulah daya pikatnya.

Naskah karya Andrew Stanton dan Victoria Strouse masih mempertahankan jalinan drama keluarga, pula paparan isu tentang kesalahan manusia mengartikan "menyelamatkan" dengan "merusak" yang kembali menempatkan manusia sebagai ancaman terbesar di tengah ketiadaan sosok villain layaknya film pertama, walau akibat fokus pada hiburan, eksplorasi berujung tak seberapa emosional meski well-executed dan bukan hanya sepintas lalu. Sentuhan paling berkesan justru ada dalam pesan penuh makna seputar sosok Dory. Dia boleh saja melupakan banyak hal, tapi justru karena itulah, seperti kalimat andalannya "just keep swimming", tiada keraguan menyelimuti Dory sewaktu hendak melakukan sesuatu, seberapa gilanya hal itu. Bahkan saat Marlin dan Nemo tersudut, mereka berusaha memposisikan diri sebagai Dory, because "do something" is what she always does. Berangkat dari situ, saya makin terpikat oleh daya juang Dory, mendukungnya di tiap momen petualangan.
Berkaitan akan perjuangan karakternya, Stanton dan Strouse sukses menuliskan baris kalimat demi kalimat quotable yang saya cukup yakin nantinya bakal bertebaran di internet sebagai meme penebar pesan moral. Di samping itu, selaras dengan semangat mengusung suguhan menghibur, deretan pun (plesetan) menggelitik konsisten dituliskan Stanton dan Strouse. Serangkaian pun seperti "Don't be so Dory, Dory" merupakan bentuk kepiawaian duo penulis naskahnya merangkai kalimat-kalimat yang sejatinya "murahan" jadi terdengar cerdas, renyah dan sudah baran tentu amat lucu berkat kesempurnaan timing dan cara penghantarannya. 

Pada akhirnya Finding Dory belum berada di level setara Finding Nemo, tapi bukan masalah mengingat pendahulunya itu adalah masterpiece animasi. Berada setingkah di bawah bukanlah hal mengecewakan. Justru menganggap Finding Dory suatu kegagalan akibat ketiadaan banjir air mata ibarat merendahkan kapasitas Pixar, karena bukan itu belaka kemampuan studio animasi terbaik di Hollywood ini. Finding Dory telah berhasil melakukan apa yang tak mampu dilakukan dua film Cars maupun Monsters University, yaitu menyuguhkan kesempurnaan hiburan menyenangkan tanpa pernah melupakan pentingnya kekuatan penceritaan. There won't be a bucket full of tears here, but there will be laughter and so much joy. One of Pixar's funniest


STARIUM EXPERIENCE: Selayaknya suguhan animasi Pixar lain, Finding Dory dibalut visual memikat dan saya mereferensikan supaya menontonnya di layar raksasa macam IMAX, Starium maupun Sphere X. Untuk Starium sendiri, tekstur karakter sampai penggambaran lautan dapat dinikmati secara cukup detail, hanya saja tidak sampai pada tingkatan memukau, terlebih seputar kedalaman gambar yang biasa saja. Is it worth the money? Pretty much, but Sphere X or IMAX are a better choice. (3.5/5)

Ticket Sponsored by: Indonesian Film Critics

22 komentar :

Comment Page:

ONE WAY TRIP (2016)

9 komentar
Sekilas One Way Trip karya sutradara Choi Jung-yeol (juga merangkap penulis naskah) ini tak memiliki perbedaan berarti dibanding sajian coming-of-age bertemakan persahabatan lainnya. Ditambah aspek road movie, mudah membayangkan para protagonis melakoni perjalanan yang membawa mereka menuju kejadian-kejadian mengejutkan penuh konflik hingga akhirnya masing-masing mendapat pengalaman berharga mengenai hidup serta pertemanan. Another lighthearted and cliche movie with good loking actor  Kim Jun-myeon a.k.a. Suho is a member of South Korean boyband EXO  as a magnet for female audience. Saya pun tidak menyangka saat One Way Trip punya banyak cerita untuk dituturkan dengan tone cukup kelam menyelimutinya. 

Film dibuka oleh adegan kejar-kejaran antara polisi dan empat orang pemuda; Yong-Bi (Ji Soo), Sang-Woo (Kim Jun-myeon), Ji-Gong (Ryu Jun-yeol) dan Doo-Man (Kim Hee-chan). Belum dijelaskan alasan dibalik pengejaran tersebut kecuali mereka terlibat sebuah kasus penyerangan. Kemudian alurnya mundur, mengungkap bahwa keempat sahabat itu melakukan perjalanan bersama sebagai acara perpisahan karena Sang-Woo akan berangkat wajib militer. Perjalanan menyenangkan itu serentak berubah 180 derajat tatkala suatu insiden menggiring keempatnya menuju serangkaian kesulitan. 
Ada ambisi besar tersimpan di balik cerita film ini. Choi Jung-yeol bukan hanya ingin menuturkan kisah persahabatan, melainkan juga kekacauan sistem hukum  beserta penegaknya  sampai penggalian akan bangkitnya sisi kelam manusia saat tengah tersudutkan posisinya. Guna mengakali tumpukan poin tersebut, Jung-yeol memanfaatkan alur nonlinier, melompat maju mundur antara sebelum dan sesudah insiden. Paparan persahabatan tokoh utama memang jadi kurang maksimal akibat kerap terpotongnya momentum serta perbedaan tone kedua timeline, sehingga saya urung sepenuhnya terikat pula terpikat dengan hubungan keempat protagonis. Tapi ibarat pengorbanan kecil sebab eksplorasi terhadap isu-isu lain mampu tergali mendalam, membawa One Way Trip jauh lebih kompleks dari kelihatannya.

Emosi penonton akan dibawa bergejolak mendapati aparat kepolisian dalam film ini hanya mementingkan terselesaikannya kasus tanpa peduli kebenaran sesungguhnya, bahkan berat sebelah kala dihadapkan pada pihak pemilik kekuatan. Cara memantik emosi itu sejatinya formula lama namun belumlah usang mengingat kejadian serupa masih jamak terjadi. Tapi aspek terbaik One Way Trip adalah kala beberapa tokoh "terpaksa" menampakkan sisi gelap mereka demi kepentingan personal entah karir, masa depan, dan lain-lain. Poin itu tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan persahabatan, bagaimana ikatan kebersamaan terbentur hasrat menyelamatkan diri sendiri. Benturan di atas membangun dilema dalam batin saya. One Way Trip mampu membuat penonton menempatkan diri di posisi karakternya, berandai-andai bakal bersikap seperti apa jika mengalami situasi serupa. 
Ketiga lead actors  tanpa menghitung Jun-myeon mengingat minim kesempatan baginya berbuat banyak  menampilkan performa cukup apik menghantarkan tiap-tiap karakter gampang disukai berkat hadirnya beberapa tawa, sehingga ketika porsi menghabiskan waktu bersama tak begitu banyak, tidak sulit merasakan ikatan di antara mereka. Persahabatan yang believable berdampak pada kuatnya impact emosional sewaktu hubungan mereka tergoncang luar biasa. 

One Way Trip sebenarnya tetap tergolong melodrama, hanya saja Choi Jung-yeol menolak berlebihan mendramatisir. Adegan menampilkan air mata masih dipertahankan, namun dalam kadar secukupnya meski sempat beberapa kali hadir berlarut-larut semisal tangisan Yong-Bi mendekati akhir film. Ada setumpuk kesedihan  bahkan tragedi  mengiringi hidup karakternya, tapi penonton bukan sekedar diajak mengasihani, melainkan merenungi sambil mungkin sesekali mengintip sisi gelap di balik topeng normatif kita sehari-hari. Bagi saya momen paling emosional sekaligus heartbreaking adalah tatkala tiga dari tokoh utama terlibat pertengkaran, ibarat kulminasi perjalanan menuju "the dark side of human being" yang sepanjang durasi konsisten dituturkan. 'One Way Trip' isn't a fairy tale about friendship, it's a bitter truth that'll makes you question the existence of true frienship

9 komentar :

Comment Page:

THE CONJURING 2 (2016)

24 komentar
Sekitar setahun lalu, melalui akun twitter miliknya James Wan pernah berujar, "People say why remake Poltergeist when we should be making this generation's Poltergeist. Leigh Whannell and I already did." Penuturan itu merujuk pada Insidious yang dianggap sebagai salah satu haunted house horror terbaik generasi sekarang. 'Insidious' is indeed one of the better mainstream horror in recent years, but for me Wan's best is 'The Conjuring'. Dirilis tiga tahun lalu, bermodalkan serangkaian jump scare pintar nan efektif (ex: clap sceneThe Conjuring sukses meraup penghasilan $318 juta alias hampir 16 kali lipat bujetnya. Kali ini lewat sekuelnya, James Wan mementahkan anggapan sekuel film horor pasti berkualitas buruk sekaligus menciptakan Poltergeist versinya sendiri. 

Alur The Conjuring 2 diangkat dari kisah nyata "Enfield Poltergeist" yang bertempat di London tahun 1977 dengan korban teror adalah seorang ibu tunggal, Peggy Hodgson (Frances O'Connor) beserta empat anaknya. Kejadian aneh berawal saat sang puteri bungsu, Janet (Madison Wolfe) memperlihatkan tanda-tanda kerasukan  sleepwalking, perubahan suara. Ketika keganjilan semakin bertambah tatkala barang-barang dalam rumah mulai bergerak sendiri, pihak gereja menugaskan pasangan suami istri Ed Warren (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga) melakukan penyelidikan. Namun Lorraine sempat gamang akibat penglihatan mengenai kematian suaminya yang ia dapat kala mengusut "The Amityville Horror" (their most famous and most documented case). 
Kelebihan terbesar James Wan meracik kengerian terletak pada pemahamannya akan isi pikiran penonton berujung terciptanya kesempurnaan timing untuk kehadiran momen seram. Ekspektasi penonton Wan permainkan. Sometimes he put it on a predictable moment, sometimes it was unpredictable, sometimes he delayed it for a sec, sometimes nothing happened. But most of the times it was scary and shocking. Dari situ ketegangan didasari antisipasi merambat sewaktu kita diajak menantikan jump scare sembari berharap-harap cemas mengawasi sudut gelap ruangan tempat Wan seolah meletakkan sesosok hantu mengerikan. Penggunaan tracking shot mengikuti pergerakan karakter serupa film pendahulunya turut menguatkan perasaan tersebut. 

Biarpun tidak ada yang sejenius adegan "tepuk tangan" ikonik pada film pertama, Wan masih mempertankan kreatifitasnya dalam menentukan tak hanya "kapan", pula "bagaimana" teror hadir. Salah satu adegan penampakan "the nun demon" memanfaatkan bayangan plus lukisan boleh jadi bukti meski tak bisa dipungkiri sedikit terkesan silly. Nilai positif lain adalah ketika Wan mampu membuat poltergeist-esque scene miliknya terasa menyegarkan, tetap efektif walaupun sudah berulang kali diterapkan oleh setumpuk film horor lain. Dia menolak asal melempar barang ke dengan cepat diiringi efek suara bombastis. Ibaratnya Wan ber-statement "you don't need to destroy a lot of things, just move it on the exact moment". Seperti saat Janet terbangun mendapati kursi berpindah ke sebelahnya, rasa ngeri akibat membayangkan hal sama terjadi di kehidupan kita berhasil dipancing menyeruak muncul. For me, this one is scarier than 'Poltergeist' in term of crafting terror from moving things.
Iringan musik ikut menambah kekuatan The Conjuring 2. Seperti trilogi Insidious dan The Conjuring, James Wan masih berkolaborasi dengan komposer Joseph Bishara, dan selayaknya hasil serangkaian kerja sama tersebut, scoring-nya efektif merambatkan aura mencekam, membantu memaksimalkan dampak scary moment seklise apapun. But the most surprising aspect is the using of 'Can't Help Falling in Love' by Elvis Presley. Sekilas lagu itu bagaikan out of place di tengah cekaman horor, tapi nyatanya sesuai kala digunakan membangun hubungan romansa Ed dan Lorraine. Terdapat dua momen romantis  termasuk ending  berhiaskan lagu tersebut. Lagu ditambah akting kuat Vera Farmiga yang melalui ekspresi menyiratkan betapa besar cintanya pada sang suami berhasil menumbuhkan kepedulian saya terhadap keduanya hingga cukup menyentuh perasaan. Jarang sajian horor mampu menggaet hati penonton lewat romansa  this movie even ends in a very romantic tone  dan The Conjuring 2 jadi salah satunya.

Sayang, filmnya memiliki flaw besar terkait pace juga durasi yang mencapai 134 menit (22 menit lebih panjang dari predecessor-nya). Walau dasar cerita cukup kuat, Wan terlalu lama menggerakkan alur akibat sering dipotong demi memberi jalan bagi suguhan teror. Akhirnya tensi ikut terpengaruh, sehingga meskipun kreatifitas teror terjaga, kuantitasnya yang berlipat ganda berujung repetisi, sempat melelahkan di babak pertengahan. Mungkin itu pula penyebab klimaks kurang menggigit, sebab Wan telah kehabisan ide guna mengeksekusi puncak pertarungan Warrens melawan Valac. In the end, 'The Conjuring 2' is a little bit overlong and not as tight as its predecessor, but the smartly crafted jump scares and solid acting especially by Vera Farmiga made it one of the best (and sweetesthorror movie sequel in a long time. This generation's 'Poltergeist' that we deserve, more than the actual remake, proving that James Wan is also this generation's master of horror. 


SPHERE X FORMAT: The Conjuring 2 tak punya efek visual megah yang biasanya jadi kenikmatan utama format SphereX, namun rentetan scary imageries milik James Wan jelas membuat pengalaman menonton di layar raksasa ini patut dipertimbangkan. Atmosfer creepy serta penampakan-penampakannya cukup termaksimalkan. Cukup menyenangkan tapi bukan suatu kewajiban menontonnya di SphereX. (3/5)

Ticket Powered by: Indonesian Film Critics

24 komentar :

Comment Page:

DUBSMASH (2016)

3 komentar
Mengangkat fenomena kultur populer ke dalam film tergolong langkah menjanjikan, karena popularitasnya dapat menarik perhatian penonton sebanyak mungkin sembari membuka kesempatan eksplorasi kultural bagi naskahnya. Tapi perilisan Dubsmash jelas mengherankan, mengingat maraknya penggunaan aplikasi tersebut di media sosial tanah air mencapai puncaknya pada medio pertengahan hingga akhir 2015 lalu, alias sudah berlalu. Tidak menjadi masalah apabila filmnya coba melakukan penggalian mendalam teruntuk fenomena tersebut, namun pada kenyataannya, film garapan sutradara Indrayanto Kurniawan dengan naskah karya Aviv Elham ini sekedar berniat mendompleng ketenaran dubsmash melalui kedangkalan romantika remaja penuh intrik super klise.

Alkisah, seorang seleb instagram asal Filipina, Teejay (Teejay Marquez) baru pindah ke Indonesia dan memancing kehebohan gadis-gadis di SMA barunya. Teejay sendiri akhirnya menjalin kedekatan dengan Elsa (Jessica Mila) yang merasa kurang mendapat perhatian dari pacarnya, Marvel (Verrell Bramasta). Sebagaimana saingan cinta protagonis film romansa kelas teri kebanyakan, Marvel adalah asshole egois , pencemburu, posesif yang seketika menimbulkan tanya "mengapa Elsa bisa jatuh cinta padanya?" Sebagaimana  saingan cinta protagonis film romansa kelas teri kebanyakan pula, Marvel menantang Teejay bertanding suatu hal yang jadi kelebihannya demi mempertahankan sang kekasih, di mana hal itu tak lain adalah basket. 
Mari bicarakan dahulu mengenai penggunaan kata "dubsmash" sebagai judul. Teejay terkenal berkat dubsmash dan beberapa kali kita diperlihatkan video miliknya, pula usahanya membuat Elsa terhibur lewat aksi-aksi memalukan menggunakan dubsmash, tapi adakah korelasi dengan plot? Tidak. Teejay mampu menghadirkan tawa bagi Elsa, tapi sejatinya sang gadis tertarik karena Teejay bersedia meluangkan waktu lebih dibanding Marvel. Saya takkan menyinggung fakta bahwa jika tingkah serupa diterapkan di dunia nyata bisa saja wanita pujaan Teejay justru menganggap aksinya memalukan, toh mungkin Elsa suka dipermalukan plus mempermalukan dirinya di muka umum  bertengkar di tengah lapangan basket. Masalahnya, untuk apa mengusung judul Dubsmash jika jangankan mengandung eksplorasi, pengaruh signifikan pada plot saja nihil?

Mengincar target pasar remaja SMA dengan cinta monyet mereka yang "datang dan pergi begitu saja" walau tidaklah keliru, bukan berarti filmnya bisa bebas seenaknya memposisikan Elsan dan Teejay jatuh cinta begitu cepat meski baru beberapa waktu berkenalan. Atau bisa jadi Dubsmash memang menawarkan satir penyindir kekonyolan cinta masa muda? Andai benar seperti itu, naskahnya sungguh cerdas mengingat nyaris semua adegan terasa cringeworthy akibat motivasi karakter maupun eksposisi konflik yang tak kalah menggelikan terlebih saat seolah kehidupan tiap tokoh hanya diisi percintaan. Mereka sedih karena cinta, bahagia karena cinta, basket karena cinta, bermusuhan akibat cinta, sekolah pun untuk bercinta. Besar kemungkinan faktor ini merupakan kesengajaan, paparan satir mengenai remaja masa kini selaku "generasi galau cinta".
Tatkala naskah termasuk eksplorasi romantika suatu film lemah, akting beserta jalinan chemistry dua pemeran utama mampu menyuntikkan sedikit nyawa, sayangnya Teejay Marquez dan Verrell Bramasta tidak capable mengemban tugas sebagai lead actor walau sudah barang tentu paras rupawan mereka bakal menghipnotis gadis remaja. Teejay berusaha tampak cute plus energetic  berakhir cengeng dan memalukan  sedangkan Verrell selalu melotot demi menghidupkan sosok antagonis khas sinetron. Untungnya akting Jessica Mila tergolong lumayan, cukup kuat sehingga deretan line serta karakterisasi menggelikan naskahnya agak terselamatkan berkat kepiawaiannya bermain emosi. Jessica Mila adalah aktris muda berbakat, sayang ia kerap terjerumus dalam pilihan film buruk seperti Dubsmash dan Pacarku Anak Koruptor (review).

Industri perfilman Indonesia jelas butuh drama/romansa "putih abu-abu" berkualitas lagi, suatu kebutuhan yang belum dapat film ini penuhi. Bahkan sampai kapan pun kebutuhan tersebut takkan bisa terpenuhi andai tema serupa selalu dieksekusi dangkal, berisikan karakter remaja budak cinta seolah tiada hal lain mengisi hidupnya, serta komponen-komponen formulaic lain semisal unsur persahabatan yang sekedar "tiruan" berkualitas rendah dari AADC? Pada akhirnya, Dubsmash hanyalah kombinasi pop culture tak berarti akibat pengangkatan fenomena yang sudah lewat masa puncaknya  dan tanpa korelasi untuk plot  dengan roman SMA klise menggelikan. Satu-satunya aspek layak tonton di sini berupa akting Jessica Mila. 


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

3 komentar :

Comment Page:

NOW YOU SEE ME 2 (2016)

9 komentar
Menyikapi suguhan blockbuster macam Now You See Me beserta sekuelnya ini, kadangkala perlulah kita sebagai penonton lupakan sejenak logika cerita dalam bentuk apa pun atas nama "hiburan". Menengok Now You See Me sebagai contoh, otak anda bisa rontok apabila berusaha terlalu keras mencari nalar di balik trik-trik sulap milik The Four Horsemen, karena sesungguhnya para pesulap tak ubahnya untouchable wizard jika mampu melakukan semua aksi tersebut di dunia nyata. Hal terpenting bagi film seperti ini adalah kemampuannya menyuguhkan hiburan menyenangkan. Kalau berhasil maka dengan senang hati, penonton  termasuk saya  bakal terbuai lalu melupakan setumpuk lubang logika. 

Setahun pasca film pertama, The Four Horsemen yang beranggotakan Danny Atlas (Jesse Eisenberg), Merritt McKinney (Woody Harrelson), Jack Wilder (Dave Franco) dan seorang anggota baru bernama Lula (Lizzy Caplan) tengah bersiap melancarkan comeback mereka setelah The Eye dengan perantara Dylan Rhodes (Mark Ruffalo) mengeluarkan perintah untuk mengekspos praktik ilegal seorang ahli teknologi. Namun aksi tersebut mendadak kacau akibat interupsi dari Walter Mabry (Daniel Radcliffe) yang berhasil menjebak The Four Horsemen guna memaksa mereka melakukan misi pencurian. Apabila sukses, Walter berjanji akan membersihkan nama sekaligus memberi kehidupan baru bagi keempatnya.
Memandang tatanan cerita, naskah karya Ed Solomon sangat unoriginal karena pada dasarnya sekuel ini sebatas pengulangan pendahulunya, mulai dari first hingga third act. Kemunculan tokoh-tokoh baru pun tak memberi perbedaan berarti di mana mereka hanya menggantikan peran karakter lain namun dalam kapasitas sama. Satu-satunya perubahan (kecil) adalah motivasi Horsemen beraksi, dan itu pun masih merupakan pattern familiar khas sekuel film heist sebutlah Ocean's Twelve (SPOILER: villain film pertama menjebak protagonis, memaksa mereka membantu mencuri sesuatu lalu berujung kembali ditipu oleh sang tokoh utama). Alih-alih menyuntikkan hal baru, Ed Solomon justru memaksa kisah klisenya hadir serumit mungkin lewat konspirasi berlapis penuh kejutan alur tanpa dasar yang bakal membuat mayoritas penonton tersesat kebingungan, termasuk twist menjelang akhir yang kentara sekali tidak direncanakan sedari penulisan cerita film sebelumnya.

Tapi seperti telah ditulis sebelumnya, kekurangan naskah layak dimaafkan saat kadar hiburannya mencukupi, dan sutradara John M. Chu piawai merangkai sequence demi sequence berintensitas tinggi nan memikat mata. Kreatifitas Chu mungkin belum setingkat apa yang disajikan Louis Leterrier pada Now You See Me, tapi paling tidak setiap Horsemen memamerkan trik sulap, kita selalu disuguhi pertunjukkan membius berkat pemahaman Chu akan cara menjaga intensitas sembari mempertahankan gaya supaya adegan terlihat stylish. Alhasil saya terpukau hingga melupakan pertanyaan-pertanyaan seperti "bagaimana Danny menghilang di tengah hujan?" atau "bagaimana para Horsemen punya ketepatan luar biasa melempar kartu ke sana kemari?" Scoring gubahan Brian Tyler turut menghadirkan kesan serupa, memacu adrenaline, menyunggingkan senyum ayaknya bocah pertama kali dihibur pertunjukkan sulap. 
You won't find an Oscar-worthy acting here, but the cast clearly knew how to deliver an entertaining performance. Karakter Merritt di sini lebih diarahkan sebagai comic relief ketimbang film pertamanya, dan Woody Harrelson memiliki charm, pula ketepatan timing penghantaran komedi. Sedangkan Walter Mabry meski bukan villain yang "menggigit", saya terhibur mendapati Daniel Radcliffe memberikan performa over the top. Namun pencuri perhatian terbesar tak lain Lizzy Caplan. Tampil menggantikan Isla Fisher yang harus absen karena hamil, sang aktris sukses menjadi likeable scene stealer berkat pembawaan quirky-nya, membuat penonton jatuh cinta dan menimbulkan kepedulian untuk protagonis tatkala Jesse Eisenberg menjadi "his usual annoying dick", sebagaimana Morgan Freeman tetaplah  Morgan Freeman. 

Overall, kekurangan Now You See Me 2 masih serupa pendahulunya, yakni memilih penggunaan CGI demi hiburan megah daripada penekanan terhadap penggunaan teknik sulap secara nyata. Akhirnya daya pikat film ini tergantung seberapa jauh toleransi masing-masing penonton kepada dipaksakannya kerumitan plot berlebih untuk kisah sederhana, serta pengemasan style over substance. For me, 'Now You See Me 2' is another illogical yet magical hollywood popcorn blockbuster. Entertaining enough

9 komentar :

Comment Page: