TROLLS (2016)

1 komentar
Merupakan produksi studio animasi yang filmnya terdiri atas sekumpulan hit-and-miss, mengambil inspirasi dari sebuah mainan bernama Troll doll, serta disutradarai oleh Mike Mitchell yang menghasilkan "Deuce Bigalow: Male Gigolo" hingga "Shrek Forever After" selaku installment terburuk "Shrek", "Trolls" seperti bakal menjadi satu lagi film forgettable milik DreamWorks berisikan slapstick kekanak-kanakan dan petualangan bertempo cepat yang terasa kosong. Namun begitu visual warna warni bak cup cake terhampar disusul hentakan mengasyikkan medley "Move Your Feet" / "D.A.N.C.E." / "It's a Sunshine Day", jelas bahwa "Trolls" bukan sajian medioker. 

Troll adalah makhluk kecil yang selalu bahagia, mengisi hari dengan bernyanyi, menari, berpelukan tiap jam. Alkisah, Troll selalu jadi incaran Bergen, raksasa yang tak pernah merasa bahagia. Hanya ada satu cara supaya Bergen mendapat kebahagiaan: memakan troll. Karena itu tiap tahun Bergen mengadakan festival Trollstice guna memakan para troll. Setelah hidup damai selama 20 tahun, persembunyian troll berhasil ditemukan, di mana beberapa dari mereka tertangkap oleh Bergen. Merasa bertanggung jawab, Poppy (Anna Kendrick) sang puteri memutuskan pergi ke kota Bergen Town demi membebaskan teman-temannya, ditemani Branch (Justin Timberlake), satu-satunya troll yang menolak bersenang-senang dan tubuhnya berwarna kelabu.
Mengusung tagline "Find your happy place" film ini punya pesan jelas yang oleh Jonathan Aibel dan Glenn Berger pun dituangkan ke dalam naskah secara gamblang tapi tidak dangkal berkat konstruksi kuat berupa karakterisasi. Bergen ibarat perwakilan penguasa lalim yang memperoleh kebahagiaan mereka lewat penindasan dan merenggut kebahagiaan pihak lemah. Branch tidak, atau lebih tepatnya menolak bahagia, sedangkan Poppy adalah gadis yang selalu senang sekaligus naif, memandang segala hal sebagai keindahan. Sayangnya perjalanan alur urung mengeksplorasi pendewasaan Poppy, berkesimpulan jika sikap Poppy merupakan pilihan terbaik. Namun bukan masalah mengingat kecocokan pesan tersebut bagi anak-anak (target penonton utama).

Penokohan kontras Poppy dan Branch menciptakan interaksi menarik pada petualangan keduanya, tapi daya pikat terbesar terletak di visualnya. Media animasi memberi jalan suatu film merealisasikan visi yang sulit dicapai live action, dan "Trolls" memaksimalkan kelebihan itu melalui warna-warna mencolok ditambah keabsurdan desain karakter dan lokasi menciptakan pemandangan menghipnotis bagi sebuah trippy adventure. Saya bagai melihat dunia kreatif ciptaan para artis yang dalam proses pembuatannya sedang "high". Coba tonton "Trolls" dan "Doctor Strange" secara bergantian, niscaya pengalaman hallucinogenic bakal anda dapatkan. Soal desain karakter, para troll adalah sosok likeable berhiaskan tampilan fisik unik juga ciri khas masing-masing. Di samping duo protagonis, Guy Diamond (Kunal Nayyar) sang troll berlapis glitter dan bersuara autotune paling mencuri perhatian.
Salah satu penyakit animasi dengan fokus hiburan semata yakni penggunaan asal lagu pop penguasa chart lagu, tapi tidak dengan "Trolls" yang memiliki Justin Timberlake sebagai produser eksekutif soundtrack-nya. Sederet nomor semisal "Can't Stop the Feeling" hingga "Get Back Up Again" bukan saja catchy, namun sempurna mengiringi adegan, memunculkan kesesuaian situasi sekaligus emosi. Mike Mitchell bersama Walt Dohrn di kursi penyutradaraan merangkum momen musikalnya penuh kepekaan rasa. Tatkala lagu upbeat menyentak, kebahagiaan sebagaimana pesan utama filmnya berhasil tersampaikan. Bahkan lantunan balada "True Colors" terasa romantis, indah pula menyentuh. 

"Trolls" masih terjebak permasalahan standar berupa resolusi konflik yang terlalu menggampangkan, mengurangi dampak emosional pada babak akhir. Walau demikian, kekurangan tersebut tak sampai menghancurkan kesenangan yang dibangun sedemikian baik selama kurang lebih satu setengah jam durasi. "Trolls" merupakan pencapaian yang tak selalu sukses DreamWorks lakukan, yaitu racikan tepat antara drama solid dengan hiburan menyenangkan berpadu kreatifitas tinggi. One of their best in years.

1 komentar :

Comment Page:

CATATAN DODOL CALON DOKTER (2016)

8 komentar
Pasca "Pesantren Impian" yang (surprisingly) buruk, sutradara Ifa Isfansyah merilis film keduanya tahun ini, satu lagi adaptasi novel. Kali ini giliran "Cado Cado" karya Ferdiriva "Riva" Hamzah yang diangkat. Alurnya berkisah tentang suka duka Ferdiriva (Adipati Dolken) sebagai ko-ass bersama teman-temannya, di mana mereka memiliki ciri unik (baca: konyol) masing-masing: Budi (Ali Mensan) si tukang makan, Kresno (Rizky Mocil) yang terobsesi hal mistis, Hani (Albert Halim) dengan Bahasa Inggris kacaunya, Kalay (Amec Aris) sang perayu, Uba (Cindy Valery) si bau ketiak, Cilmil (Rizka Dwi Septiana) yang taat agama, dan terakhir Evi (Tika Bravani) si rajin sekaligus sahabat terdekat Riva. 

Melihat judul serta deskripsi karakter di atas, tidak keliru bila penonton berharap disuguhi kejenakaan berdosis tinggi hasil kekonyolan imaji sang penulis akibat problematika di lingkungan kerja semacam "My Stupid Boss". Adegan pembuka berisi perkenalan satu per satu karakternya memenuhi ekspektasi tersebut. Kemudian seiring bergulirnya durasi plus kemunculan tokoh Vena (Aurellie Moeremans), dosis humor semakin dikurangi, lebih didominasi cinta segitiga Evi-Riva-Vena sambil sesekali mempertanyakan makna profesi dokter yang acapkali bersinggungan dengan hidup-mati pasien. "Catatan Dodol Calon Dokter" bagai enggan disebut "dodol". 
Daripada menyiratkan pesan subtil di balik beragam situasi menggelitik, naskah garapan Ardiansyah Solaiman dan Chadijah Siregar memilih menegaskan batas antara momen drama dengan komedi. Sewaktu komedi menyeruak masuk hanya ada kekonyolan, sebaliknya saat sentuhan drama mengambil sentral, situasi berubah serius total cenderung kelam. Akhirnya balutan komedi lebih terasa sebagai selipan hiburan ketimbang aspek signifikan guna memparodikan kehidupan para ko-ass. Untungnya perpindahan tone terjalin rapi, di mana Ifa pun cermat dalam bertutur, sehingga pergerakan alur amat nyaman dinikmati meski harus rutin berganti warna (drama dan komedi).

Mengorbankan kejenakaan memang patut disayangkan, namun tidak pula sia-sia, sebab jalinan dramanya mampu menghadirkan konflik yang solid nan relatable. Di balik setting dunia kedokteran, sejatinya kisah film ini universal, sebutlah kegamangan akan jurusan kuliah, perselisihan kecil dengan keluarga soal pilihan masa depan, bahkan romansanya terasa dekat sekaligus believable. Poinnya terletak pada karakterisasi kokoh (Evi ambisius, Riva penuh keraguan, Vena manja dan manipulatif). Kenapa hubungan Evi dan Riva merenggang sampai alasan Riva terpikat oleh Vena, semua punya motivasi kuat yang dilatari oleh karakterisasi juga situasi mereka masing-masing.
Tika Bravani jadi penampil paling memikat berkat kemampuannya menjadi seorang gadis yang sesekali manja (in a lovable way) tapi juga ambisius, keras dan berharga diri tinggi. Akting dramatiknya begitu kuat, ekspresi Evi saat sekuat tenaga menahan tangis mendengar tuduhan menyakitkan dari Riva turut meremukkan perasaan saya. Albert Halim konsisten memancing tawa berkat Bahasa Inggirs belepotan yang selalu ia lontarkan penuh kehebohan, dan Rizky Mocil sukses naik kelas setelah sebelum ini kerap dikenal sebagai sosok annoying dalam judul-judul macam "Menculik Miyabi" dan "Dendam Pocong Mupeng". Sayangnya Kalay, Cilmil dan Uba (khususnya Kalay) hadir bak pelengkap tak substansial. 

"Catatan Dodol Calon Dokter" turut memiliki production value kelas wahid, sehingga tiap gambar yang tersaji di layar enak dilihat, tanpa sedikitpun tercipta kesan murahan, termasuk ketiadaan gambar buram meski pada adegan di mana kamera bergerak dinamis. Pada akhirnya "Catatan Dodol Calon Dokter" mungkin tidak mengandung kedodolan seperti harapan  dan perkiraan  banyak pihak, seperti lupa jika komedi pun dapat dimanfaatkan guna menuturkan psan penting. Tapi kemampuannya mengolah paparan drama relatable membuat fakta tersebut sangat layak untuk dimaafkan. 

8 komentar :

Comment Page:

THE DOLL (2016)

3 komentar
Melalui film horror keenam produksi Hitmaker Studios ("Tarot", "Rumah Kentang") ini, sutradara Rocky Soraya ("Sunshine Becomes You") menunjukkan bahwa ia tahu bahwa judul-judul seperti "The Conjuring" dan "The Exorcist" termasuk horror bagus. Rocky pun tahu penampakan hantu tiap 10 menit sekali bakal menjatuhkan kualitas karyanya. Sayangnya, pengetahuan itu sekedar di level permukaan belaka. Dalam "The Doll", sang sutradara (sekaligus produser dan co-writer) mengaplikasikan pergerakan kamera James Wan, mengambil beberapa momen "The Conjuring" sampai meminimalisir penampakan hantu namun melupakan substansi selaku alasan mengapa aspek-aspek tersebut efektif menghadirkan kengerian.

Saya takkan menyebut "The Doll" menjiplak karena memang tidak sepenuhnya walaupun adegan pembuka menimbulkan kesan replikasi situasi kala Ed dan Lorraine Warren mewawancarai klien mereka. Ceritanya sendiri menyoroti kehidupan sepasang suami istri, Daniel (Denny Sumargo) dan Anya (Shandy Aulia) yang berprofesi sebagai pembuat boneka meski sepanjang film tak pernah sekalipun kita melihat ia membuat boneka. Keduanya baru membeli rumah pasca Daniel naik jabatan, tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama tatkala sebuah boneka aneh beserta hantu anak kecil pemiliknya (bernama Uci) mulai menebar teror akibat kenekatan Daniel menebang pohon keramat di lokasi proyek yang tengah ia kerjakan. 
Keputusan Rocky total menyembunyikan penampakan selama sekitar 30 menit pertama memang menjauhkan filmnya dari kesan murahan. Tapi seperti telah saya singgung, mengurangi kemunculan hantu tidak berbanding lurus dengan kualitas. First act berfungsi sebagai build up, membangun teror bertahap serta kelekatan penonton pada protagonis. Di sini, kurangnya imajinasi sutradara berujung fatal ketika pemanasan sebelum puncak kengerian justru berakhir repetitif. Entah berapa kali penonton diperlihatkan situasi bel rumah berbunyi secara misterius, atau karakternya menemukan surat ajakan bermain petak umpet. 

Lemahnya naskah garapan Riheam Junianti ("Tarot", "Sunshine Becomes You") dan Rocky Soraya menyulitkan terciptanya simpati untuk dua tokoh utama. Berniat menjalin romansa, yang hadir justru rasa annoying akibat tebaran dialog dangkal ("aku ngelakuin ini buat kita sayang", etc.) pula kurangnya chemistry antara Deddy Sumargo dan Shandy Aulia. Contoh sempurna bagaimana drama cheesy merusak ketimbang membangun film adalah suatu flashback mendadak di klimaks. Bukan kesan romantis yang muncul melainkan konyol (seisi bioskop tertawa melihatnya). "The Conjuring 2" sukses meleburkan horror dan romansa berkat hubungan kuat karakter, bukan momen ala video pre-wedding yang diselipkan mendadak hingga menimbulkan tonal inconsistency.
Sungguh saya ingin berhenti menyebut judul "The Conjuring" namun Rocky Soraya memang tampak terlalu berusaha keras menjadi  atau meniru  James Wan melalui kemunculan adegan petak umpet (mengganti tepukan tangan dengan lonceng), hantu di atas lemari, hantu yang tak hanya menampakkan diri melainkan menyergap, hingga pergerakan kamera tanpa putus mengikuti karakternya. "The Doll" punya semua itu, tapi Rocky Soraya hanya melakukan pengulangan tanpa memperhatikan element of surprise dan mempermainkan antisipasi penonton. Hasilnya datar. Terlebih saat banyak sequence terasa dragging, terlampau lambat bergerak.

Punya setumpuk kekurangan, "The Doll" bukan sampah tanpa satupun aspek yang layak dikagumi. Tata artistiknya memikat mata. Sejumlah desain setting memancarkan aura creepy semisal rak boneka Anya atau bekas aliran darah di pintu (not the glass one) pada klimaks. Figur boneka Ghawiyah sederhana tapi cukup mengerikan berkat sentuhan kecil berupa corak hitam di bagian mata. But the best part of this movie is the last 40 minutes. Rocky memacu filmnya supaya bergerak cepat, membanjiri layar dengan sadisme berdarah yang sempurna mewakili kekejaman arwah Uci. It's so evil yet very fun to watch. Saya nyaris memaafkan kesalahan-kesalahan sebelumnya, termasuk sebuah twist yang gagal tampil maksimal akibat dangkalnya penggalian karakter. 


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

3 komentar :

Comment Page:

DOCTOR STRANGE (2016)

22 komentar
Bisakah Marvel gagal? Setelah Marvel Cinematic Universe (MCU) bergulir selama delapan tahun pertanyaan tersebut kerap menghiasi benak publik. Beberapa film memang di bawah ekspektasi ("Avengers: Age of Ultron", "Iron Man 3")  tapi tak ada satupun layak disebut buruk  even their weakest which is "Thor: The Dark World" isn't entirely a bad movie. Bahkan kini mereka melanjutkan pencapaian "Guardians of the Galaxy" hingga "Ant-Man", lewat perjudian berjudul "Doctor Strange" yang membawa penonton mengeksplorasi sisi mistik MCU dalam sebuah gelaran petualangan psychedelic yang akan membuat anda terperangah sembari berujar "What the hell am I watching?!".

Benedict Cumberbatch berperan sebagai Stephen Strange, seorang ahli bedah jenius penuh kepercayaan diri cenderung arogan. Berkat kejeniusan tersebut, tak jarang Strange membuat "keajaiban", menyelamatkan nyawa pasien yang hampir mustahil dapat diselamatkan. Namun ketika kecelakaan lalu lintas membuat kedua tangannya terluka parah, giliran Strange mencari keajaiban di Kamar-Taj (Nepal), tempat Ancient One (Tilda Swinton) yang konon dapat menyembuhkan penyakit apapun tinggal. Alih-alih menerima pengobatan, Ancient One justru mengenalkan Strange pada dunia sihir yang tak pernah ia bayangkan, sekaligus mempersiapkannya menghadapi pertarungan melawan Kaecilius (Mads Mikkelsen), mantan murid Ancient One yang membelot ke jalan kegelapan.
Rasa skeptis mengenai penunjukkan Scott Derrickson yang lebih dikenal lewat suguhan macam "The Exorcism of Emily Rose" dan "Sinister" seketika sirna kala mendapati sentuhan horror sang sutradara tetap muncul sedari opening sequence berisi adegan pemenggalan. Walau implisit, pemandangan itu jadi mencengangkan mengingat track record Marvel selama ini. Derrickson mendorong batas rating PG-13 sejauh mungkin, menyajikan sejumlah (meski tidak banyak) kekerasan berdarah pula kematian. Gaya Derrickson juga turut berjasa menghantarkan poin positif terbesar film ini, yaitu keanehan visual yang bakal membuat adegan subatomic pada "Ant-Man" tampak normal.

Momen tatkala Ancient One memperkenalkan Strange  dan penonton  pada sisi lain semesta tak diragukan lagi merupakan one of the weirdest sequence I've ever seen in blockbuster cinema. Terhampar pemandangan psychedelic seolah kita baru saja mengkonsumsi mushroom atau LSD. Balutan CGI-nya impresif, tapi visi Derrickson-lah yang jadi kunci kesuksesan. Insting horror sang sutradara mampu menciptakan creepy surreal imageries bagaikan mimpi buruk absurd. Di luar sequence tersebut, kreatifitas Derrickson beserta segenap tim artistik pun tetap bersinar dalam membangun adegan aksi yang meski minim ledakan nyatanya amat menghibur. Perubahan struktur kota, karakter berpindah tempat sampai memutarbalikkan waktu memunculkan rasa outta-this-world yang turut jadi bukti jika para pengkarya bakal selalu menemukan hal baru apabila bersedia memaksimalkan kepekaan artistik mereka.
Naskah garapan Scott Derrickson dan C. Robert Cargill sayangnya menyimpan permasalahan. Pergerakan alurnya datar, seolah dituturkan selaku obligasi belaka, sekedar berpindah dari satu titik menuju titik berikutnya tanpa memperhatikan dinamika pergolakan konflik. Rasanya datar, mini daya cengkeram apalagi guratan emosional. Konsep rumitnya pun dipaparkan ala kadarnya, terasa lemah akibat ketidakjelasan "aturan" mengenai hal-hal seperti astral (tubuh astral menembus tembok namun bisa menyentuh barang lain), transportasi (orang-orang nampak tak terkejut melihat karakternya mendadak muncul), dan lain sebagainya. 

Benedict Cumberbatch memimpin jajaran ensemble cast-nya, memikat hati bersenjatakan kemampuannya memainkan komedi fisik maupun verbal. Meyakinkan pula menangani transformasi Strange dari jenius arogan menjadi lebih bijak. Kesuksesan ini turut dibantu oleh solidnya karakterisasi, memudahkan penonton memahami tiap motivasi yang melandasi tindakan atau perubahan sikapnya. Jika selama ini MCU memiliki dua kutub pada diri Steve Rogers dan Tony Stark, saya bisa membayangkan Stephen Strange selaku sosok penengah yang sama kuatnya. Chiwetel Ejiofor, Tilda Swinton, Rachel McAdams serta Mads Mikkelsen tampil semaksimal mungkin walau penulisan karakter mereka agak lemah. 

Beberapa kekurangan di atas tentu mengganggu, tapi di saat bersamaan bisa dimaafkan sebab film ini sendiri enggan menganggap dirinya terlampau serius. This is Marvel at their best game: having fun! Klimaks yang nihil pertempuran berskala besar pun dapat diterima karena alasan tersebut, bahkan mencuatkan kekaguman akan kemampuan  plus keberanian  Marvel menyulap situasi sederhana (serupa tarian Star Lord di "Guardians of the Galaxy") menjadi puncak menghibur nan kreatif. Komedinya bekerja dengan baik, sesekali menyegarkan suasana tanpa perlu mendistraksi. Sungguh memukau bagaimana Derrickson berhasil menyeimbangkan tone berlawanan berupa horror dan drama kelam soal kematian dengan komedi. Jadi, bisakah Marvel gagal? Bisa, tapi jelas bukan sekarang, karena "Doctor Strange" justru salah satu installment terbaik MCU sejauh ini. 

22 komentar :

Comment Page:

BRIDGET JONES'S BABY (2016)

2 komentar
15 years after the critically acclaimed and commercially successful "Bridget Jones's Diary" and 12 years after the underrated but also commercially successful "Bridget Jones: The Edge of Reason", Bridget (Renee Zellweger) is back, and (once againshe's all by herself. Sungguh, hubungan Bridget dan Mark Darcy (Colin Firth) semakin mendekati persahabatan Professor X dan Magneto yang berulang kali mengalami putus-sambung. Tapi biarlah, meski menandakan kemalasan para penulis naskah (Helen Fielding, Dan Mazer dan Emma Thompson) membangun pemicu konflik, setidaknya jenis percintaan semacam itu memang kerap terjadi di dunia nyata.

Di hari ulang tahunnya yang ke-43, Bridget kembali duduk sendiri tanpa kehadiran pasangan hidup. Serupa film pertama, ia ditemani iringan lagu "All By Myself", tapi kali ini Bridget segera menggantinya dengan nomor upbeat, "Jump Around" milik House of Pain, seolah menegaskan jika "Bridget Jones's Baby" bukan lagi mengenai ratapan putus asa mencari cinta, melainkan bagaimana seorang wanita dewasa mampu berdiri kokoh seorang diri. Sebuah bentuk penyesuaian cerita terhadap kondisi masa kini, tapi lewat lyp sinc dan tarian konyol, Renee Zellweger langsung mencuri perhatian, memastikan bahwa Bridget belum berubah, masih sosok awkward idola penonton.
Seperti telah tertulis di judulnya, permasalahan Bridget berasal dari bayi dalam kandungannya. The baby is not the problem, the father is. Bridget tidak yakin siapa ayah bayi sesungguhnya. Apakah Jack (Patrick Dempsey), seorang ahli algoritma cinta asal Amerika yang baru ia kenal di Glastonbury, atau Mark yang sudah bertahun-tahun tak ia temui dan kini telah menikah. Di saat bersamaan Bridget pun harus berusaha keras mempertahankan karirnya sebagai produser siaran berita televisi. Begitulah inti perjalanan alur 123 menit filmnya, bentuk kesederhanaan yang berujung bagai dua sisi mata pisau.

Pasca konflik "besar" melibatkan kasus penyelundupan narkoba internasional pada "The Edge of Reason", kembali membumi dalam penyajian cerita memberi kesempatan mengolah keintiman kisah yang jadi kekuatan film pertama. Masalahnya, alur "Bridget Jones's Baby" tampil formulaik baik dari segi bentuk maupun timing penempatan konflik dan resolusi. Ditambah lagi Sharon Maguire seringkali terlalu lama berputar di satu titik penceritaan. Bermaksud memberi eksposisi mendalam tentang berbagai hal (karakterisasi, paparan cinta segitiga, karir Bridget) hasilnya justru draggy nan melelahkan, minim letupan, minim kelokan. Cukup Bridget saja yang berdiam diri terjebak di satu fase akibat dilema, filmnya tak perlu.
"Bridget Jones's Baby" patut berterima kasih pada jajaran cast baik muka lama atau baru. Zellweger tetap piawai membuat sisi quirky Bridget  yang masih sulit bicara di muka umum  mudah disukai. Firth pun masih seorang charming British gentleman yang meski dari luar nampak kaku dan sukar bersikap romantis tapi rela berbuat apapun demi cintanya. Sedangkan Patrick Dempsey  disokong karakterisasi cermat naskahnya  menjadikannya lawan sepadan bagi Mark menggantikan Daniel (Hugh Grant). Unlike Daniel, Jack is not an asshole playboy, but a sweet man with a lot of sweet surprises. Beberapa tokoh pendukung turut mencuri perhatian dengan Emma Thompson sebagai Dr. Rawlings yang direpotkan oleh situasi pelik Bridget jadi yang paling memikat. Bertindak selaku co-writer, Emma memancing tawa lewat kesempurnaan comic timing serta humor verbal cerdas (the "X-Factor joke" is one of the funniest).

Keterlibatan Emma Thompson dalam penulisan naskah memuluskan modernisasi cerita, dari pencarian cinta menuju pembuktian seorang wanita atas kekuatannya. Beberapa kali penuturan pesannya tegas, tepat sasaran namun tanpa melupakan sentuhan komedi semisal celetukan Dr. Rawlings mengenai bagaimana para pria tidak memahami betapa sakitnya proses melahirkan. Tapi sempat pula pesan tentang kekuatan tersebut melukai film, seperti bagaimana Bridget justru tampak kurang bertanggung jawab ketimbang kuat nan berani terkait masalah di tempat kerja (she's clearly wrong and responsible). Keseluruhan "Bridget Jones's Baby" pun serupa, penuh hit-and-miss namun tetap menyenangkan. 

2 komentar :

Comment Page:

HUSH (2016)

5 komentar
Sepintas, "Hush" buatan Mike Flanagan ("Oculus", "Ouija: Origin of Evil") merupakan perpaduan standar home invasion dengan slasher yang menampilkan karakter utamanya terjebak dalam rumah, diteror oleh psikopat bertopeng. Alasan mengapa film ini ada di tingkat berbeda adalah tatkala keheningan lebih banyak mendominasi serta logika pikir diapresiasi. Adegan pembuka menampilkan Maddie (Kate Siegel, istri Flanagan) tengah memasak makan malam. She seems disturbed by the situation but we don't know why just yet. Sampai tetangganya, Sarah (Samantha Sloyan) tiba, berbicara memakai bahasa isyarat, mengungkap bahwa protagonis kita tak mampu bicara pula mendengar. Dari sini filmnya mulai menggaet perhatian.

Biasanya dalam film serupa, tokoh utama bakal bersembunyi sembari memanfaatkan pendengaran guna mencari tahu keberadaan sang pembunuh. Ketika kesempatan tiba, ia akan mencoba berteriak atau menelepon meminta bantuan. Alhasil menarik dinanti bagaimana Flanagan mengakali keterbatasan Maddie tersebut. Kondisi ini berujung pada situasi creepy saat si pembunuh bertopeng (John Gallagher Jr.) tampak pertama kali, berdiri menatap Maddie bahkan masuk ke rumah tanpa ia sadari. Momen ini bakal membangkitkan sisi paranoid yang umum dirasakan seseorang bahwa dalam suatu waktu ada penyusup masuk ke rumah, diam-diam mengawasi tanpa kita ketahui.
Flanagan berkesempatan memainkan tata audio, sesekali menghilangkan suara guna menempatkan penonton pada posisi serupa protagonisnya, sambil sesekali menghentak lewat jump scare secukupnya sesuai kebutuhan. Kepiawaian Flanagan membangun ketegangan nampak saat saya selalu berhasil dibuat terpaku penuh kecemasan melihat Maddie berlomba dengan si pembunuh untuk meraih sesuatu (pintu, crossbow) walau hal tersebut diulang berkali-kali. Keputusan memperlihatkan wajah sang pembunuh, membuatnya berdialog alih-alih mengemasnya sebagai sosok boogeyman layaknya Michael Myers atau Jason Voorhees, justru meningkatkan intensitas, membuat "Hush" bagai adu taktik dua sisi.

Surprisingly, naskah yang ditulis Flanagan dan Siegel memunculkan observasi karakter solid. Maddie adalah penulis novel kriminal. Fakta ini membuat beberapa poin terasa masuk akal dan reasonable, misal alasannya mengisolasi diri di tempat sepi supaya bisa konsentrasi menulis. Keseharian Maddie yang diisi kegiatan menulis novel termasuk obsesinya menghasilkan ending sempurna (she has seven different endings for the draft of her second novel) menjadikan penonton mengerti kenapa ia dapat berpikir taktis dalam mengambil berbagai keputusan. Ketidakmampuan Maddie bicara memang menyudutkan, tapi memudahkan sosoknya disukai penonton. She's not an annoying character who screams a lot. Dia kuat, cerdas juga kerap mengungguli sang pembunuh.
Logika berkaitan sikap tokoh bisa ditemukan pula pada sang pembunuh tanpa nama. Dia adalah psikopat yang mendapat kepuasan tak hanya dari merenggut nyawa, pula menyiksa secara psikis (goresan di crossbow menyiratkan telah banyak orang menjadi korban). Karenanya, sangat masuk akal sewaktu ia memilih menunda membunuh Maddie, memilih berkeliaran di luar rumah sambil sesekali "menggoda". Hal ini bukan tindakan dipaksakan dari filmnya untuk mengulur waktu atau menambahkan konflik tak perlu. 

Berlangsung selama 81 menit, intensitas kuat terjaga sebab "Hush" bukan hanya diisi hide and seek, melainkan serangkaian observasi mengenai kalkulasi yang Maddie lakukan. Naskahnya kerap mengalokasikan waktu memunculkan adegan saat Maddie membaca situasi hingga secara tak sadar penonton bakal ikut berandai-andai apa keputusan yang akan diambil jika berada pada kondisi serupa. Flanagan turut memperhatikan detail pengadeganan, di mana banyak shot yang awalnya nampak remeh (memasukkan handphone ke dalam kantong, menjatuhkan pisau) ternyata substansial mempengaruhi jalannya alur beberapa menit kemudian. "Hush" merupakan horror/thriller langka yang sebisa mungkin menghindari kebodohan plot hole, pula menyertakan penonton dalam alurnya. 

5 komentar :

Comment Page:

ME VS MAMI (2016)

11 komentar
Menonton "Me vs Mami" tidak sampai sebulan pasca "Athirah" memberi pemahaman betapa Cut Mini adalah seorang versatile actress. Jika sebagai ibunda Jusuf Kalla tersebut ia sedikit bertutur verbal, mengandalkan ekspresi serta gerak tubuh secukupnya, maka peran Mami Maudy dalam film terbaru sutradara Ody C. Harahap ("Skakmat", "Kapan Kawin?") ini menuntutnya berperilaku heboh ke sana kemari, berceloteh sepanjang durasi. Cut Mini tak ubahnya sumber energi, nyawa bagi "Me vs Mami", sehingga tatkala dia absen dari layar meski tak sampai 10 menit, intensitas film langsung menurun drastis.

Maudy dan puteri tunggalnya, Mira (Irish Bella) selalu bertengkar. Bagi Maudy  yang berprofesi sebagai chef sebuah acara masak televisi  Mira adalah anak bandel yang sulit diatur. Sebaliknya, Mira sering terganggu oleh "kegemaran" maminya memberi perintah. Hubungan keduanya memang mulai renggang sejak perceraian Maudy dengan sang suami yang kini telah meninggal, di mana Mira yakin perpisahan itu dipicu kesibukan berlebihan sang mami. Suatu hari mereka terpaksa melakukan perjalanan bersama ketika nenek buyut Mira yang tengah sekarat di Padang meminta bertemu dengannya.
"Me vs Mami" jadi road movie kedua dalam dua minggu terakhir yang menitikberatkan pada relasi ibu dan anak setelah "Wonderful Life". Bedanya, film satu ini lebih berfokus mengocok perut penonton ketimbang menjalin sisi dramatik emosional. Naskah garapan Vera Varidia (Surat Cinta untuk Kartini) banyak melontarkan konflik sepanjang perjalanan protagonisnya, yang mayoritas ditujukan demi menghadirkan tawa. Berkonsentrasi pada kekonyolan situasi (menabrak kerbau, melawan jambret, "menolong" orang bunuh diri), balutan humornya tidaklah pintar pula kreatif yang bila tidak ditangani dengan tepat dapat berujung kekonyolan bodoh.

Untungnya Ody C. Harahap tidak overkill mengemas komedi. Walau berisi situasi absurd, penonton tetap akan merasa menyaksikan kelucuan sehari-hari dunia nyata, tentunya dengan dramatisasi secukupnya. Sebagaimana "Kapan Kawin?", Ody mengandalkan talenta komedik cast-nya. Karakterisasi Mami Maudy adalah apa yang kita semua bayangkan dimiliki "mami-mami modern", yakni cerewet, rempong, banyak tingkah. Cut Mini memanfaatkan ciri-ciri tersebut, menyulap kalimat sederhana macam "tidak ada satupun manusia" jadi amunisi efektif pemancing tawa. Her comic timings are perfect too
Tatkala komedinya mendekati sempurna, tidak demikian dengan porsi drama. Berisi pesan tentang perjuangan seorang ibu, transisi komedi menuju momen emosional tidak berjalan mulus. Vera Varidia sebenarnya telah berusaha menyelipkan pesan dengan mengaitkan antara proses memasak atau memilih kerbau dengan kasih sayang ibu-anak, tapi hanya berakhir bak hiasan di permukaan semata yang dipaksakan masuk di tengah gelaran komedi. Perpindahan yang kasar menjadikan sulit untuk terikat oleh dramanya setelah sekian lama menghabiskan waktu diberondong lelucon demi lelucon, apalagi kala Cut Mini absen beberapa saat. Irish Bella natural mengekspresikan rasa haru, tapi belum cukup kuat mengemban beban seorang diri. Terbukti kala Cut Mini kembali hadir, emosi saya langsung teraduk-aduk, memuncak saat Mami menggendong Mira. Senyum simpulnya mengiringi kalimat "kamu nggak salah, Mami yang salah" seketika mengingatkan begitu besar rasa cinta seorang ibu pada anaknya.

Hampir saja saya memberi empat bintang bagi film ini kalau bukan karena ending-nya. Sebuah ending buruk ditinjau dari segala sisi. Andai diniati sebagai twist, sesungguhnya tidaklah sulit ditebak. Cara mengakhirinya pun kasar, sangat mendadak sampai terkesan bahwa film belum berakhir. Tapi poin paling fatal yaitu saat konklusinya meninggalkan begitu banyak lubang alur sekaligus pertanyaan-pertanyaan tak terjawab. Boleh saja akhir film memunculkan tanya, tapi jika menghadirkan pertanyaan yang seharusnya tidak lagi perlu dipertanyakan seperti motivasi karakter, artinya ending tersebut buruk. It ruined the drama, it ruined the journey, it ruined the whole movie. Ya, saya diam terpaku begitu "Me vs Mami" berakhir. Terpaku mendapati salah satu calon film paling memuaskan tahun ini mendadak berujung mengecewakan dalam sekejap. 

11 komentar :

Comment Page:

JACK REACHER: NEVER GO BACK (2016)

Tidak ada komentar
Apa perbedaan Jack Reacher dengan Ethan Hunt selaku karakter action hero terbesar Tom Cruise? Keduanya sama-sama badass yang kerap melakukan aksi gila, tapi saat Hunt mendapat bantuan teknologi canggih pula rekan-rekannya sesama anggota IMF, Reacher sang eks-militer nomaden bekerja sendiri. He doesn't even has his own gun, let alone face changer or sticky glove. Tapi di situlah letak daya tarik karakter  dan franchise  satu ini. Kental unsur raw serta pendekatan gritty realism memposisikan Reacher sebagai badass antihero (he steals and kills). Lalu apa jadinya bila "Never Go Back" memberi sang titular character dua sidekick, memaksanya bekerja bersama orang lain?

Reacher secara rutin menjalin komunikasi lewat telepon dengan Mayor Susan Turner (Cobie Smulders) setelah membantunya mengungkap kasus human trafficking. Namun begitu tiba di Washington DC tempat Turner bertugas, Reacher mendapati sang Mayor telah ditangkap oleh polisi militer akibat tuduhan mata-mata. Meyakini Turner tak bersalah, Reacher pun membawanya kabur dari penjara untuk bersama-sama mencari pelaku sebenarnya. Di saat bersamaan, Reacher juga harus melindungi Samantha (Danika Yarosh), gadis remaja yang diduga merupakan puteri kandungnya. Samantha sendiri turut diincar akibat keterlibatan Reacher dalam kasus Turner.
Penambahan Turner sebagai karakter baru menjadi poin positif berkat penampilan Cobie Smulders. Sang aktris piawai dalam berdialog, memiliki ketepatan timing humor sekaligus meyakinkan sebagai seorang wanita kuat berdedikasi tinggi, bukan semata-mata eye candy, walau selipan pesan mengenai "kekuatan wanita" masih malu-malu timbul ke permukaan. Jalinan interaksinya dengan Reacher maupun Sam selalu menarik disimak, menciptakan barter dialog renyah yang jarang kita temui dalam suguhan action-thriller kebanyakan. Cruise pun turut mengimbangi bersenjatakan deadpan reaction kala Reacher dihadapkan pada situasi yang sulit ia percaya  Sam mencuri kartu kredit misal.
Samantha memang jadi pendukung yang menghibur, tapi minim substansi dan melemahkan karakter Reacher. Sekali lagi, Reacher bukan Ethan Hunt. Daya tariknya berasal dari kemampuannya beraksi sendirian. Masalahnya, naskah hasil tulisan Richard Wenk, Edward Zwick dan Marshall Herskovitz yang mengadaptasi novel "Never Go Back" kurang berhasil menekankan dampak kehadiran Sam dalam hidup Reacher kecuali memberi "tugas" tambahan bagi Reacher untuk menghajar penjahat sebanyak mungkin demi menyelamatkan puterinya (?) tersebut. Film ini semestinya menggali proses adaptasi Reacher menjadi seorang ayah, dan poin itu gagal dilakukan.

Edward Zwick ("The Last Samurai", "Love & Other Drugs") cukup solid merangkai adegan aksi intens. Tidak sekuat kesunyian menegangkan milik Christopher McQuarrie di film pertama, namun usaha tidak asal menghadirkan ledakan serta keberhasilan Zwick membuat tiap baku hantam terasa brutal bukan hanya menghasilkan hiburan, juga menjaga identitas franchise supaya tidak berujung menjadi versi low budget dari "Mission: Impossible". Sayang, klimaksnya dragging dan tak lebih dari perkelahian yang well-coreographed tapi formulaik, jauh dari kesan spesial. "Jack Reacher: Never Go Back" masih enjoyable namun urung meniupkan nafas baru guna menjaga keberlangsungan franchise ini. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

THE BEATLES: EIGHT DAYS A WEEK - THE TOURING YEARS (2016)

4 komentar
Siapa tidak kenal The Beatles? Hampir semua orang tahu bermacam hal tentang mereka, mulai fakta umum bagaimana empat pemuda asal Liverpool ini mendominasi kancah musik dunia, hingga mitos unbeliveable  yet convincing for some mengenai kematian Paul McCartney beserta pesan rahasia dalam cover album "Abbey Road". Walau anda bukan seorang die-hard fan sekalipun, pastilah anda pernah mendengar bahkan mungkin menyukai deretan hits macam "I Want to Hold Your Hand" atau "Yesterday". Jadi masih adakah hal baru yang bisa Ron Howard selaku sutradara sampaikan? Jawabannya tidak. Tapi bukan berarti dokumenter berisi masa The Beatles menggelar tur pada 1961-1966 ini buruk.

Howard jelas sutradara bagus, namun berkaca dari beberapa karyanya termasuk "Inferno" yang dirilis selang satu bulan pasca film ini, ia kerap tak berdaya bila dihadapkan dengan naskah lemah. Permasalahan tersebut mencuat di sini. Ditulis naskahnya oleh Mark Monroe, "The Beatles: Eight Days a Week - The Touring Years" punya beberapa kisah menarik yang dipaparkan sambil lalu, hanya menawarkan sekilas informasi yang mayoritas dapat kita dapatkan di internet. Beberapa hal sederhana semisal saat Ringgo menceritakan jika ia mengetahui bagian lagu yang tengah dimainkan dengan melihat goyangan pantat John dan Paul (teriakan penonton mengalahkan volume instrumen) menarik disimak, tapi itu saja belum cukup memenuhi janji filmnya guna menyuguhkan tentan "the band you know, the story you don't".
Film ini enggan menyentuh sisi gelap The Beatles, tapi bisa diterima karena tujuannya memang memperlihatkan betapa besar mereka khususnya kala "the touring years", yang notabene puncak kesuksesan bermodal nomor-nomor pop catchy sebelum beralih ke experimental psychedelic. Filmnya mengaitkan keberhasilan itu dengan faktor kultural seperti era baby bloom di mana jumlah remaja (mayoritas Beatlemania kala itu) membludak, pula kepekaan pada isu sosial yang tampak ketika Beatles mengancam batal manggung demi melawan rasialisme. Beberapa wawancara turut mendukung pemahaman penonton. Whoopy Goldberg, Sigourney Weaver sampai Elvis Costello menyatakan kekaguman, dan saat nama-nama besar tersebut berkata demikian, you know you're the real deal. Sedangkan Paul dan Ringgo menjelaskan alasan berhenti tampil live karena fokus utama pertunjukkan bukan lagi musik, melainkan The Beatles sendiri. Bisa diterima tatkala "real artist" berharap diapresiasi karya daripada ketampanan fisiknya.

Walau mengandung kalimat "The Touring Years" di judul serta berisi banyak footage konser, "The Beatles: Eight Days a Week - The Touring Years" bukan concert movie mengingat adanya kandungan kisah di luar pertunjukan musik. Maka dari itu kurang luasnya (juga dalam) kisah merupakan kekurangan. Namun harus diakui setumpuk arsip footage  konser dan belakang panggung  tersaji memuaskan. Jika anda mempertanyakan sebesar apa band ini, menyaksikan para fans berteriak histeris sampai menangis sewaktu melihat John atau Paul menggoyangkan kepala sudah jadi bukti sahih. Dari atas panggung pun terhampar pemandangan luar biasa berupa performa penuh energi serta kesatuan harmoni meski nyaris mustahil bagi keempatnya mendengar instrumen masing-masing. Bukan saja bukti skill bermusik tingkat tinggi, juga eratnya chemistry.
Di belakang panggung saat musik berhenti dimainkan, daya tarik film tak pernah mengendur, sebab John-Paul-Ringgo-George selalu mampu melontarkan kelakar jenaka sekaligus cerdas dalam menanggapi serangkaian pertanyaan wartawan. Tentu Ringgo di masa muda paling mencuri perhatian lewat tingkah quirky ditambah senyum adorable, menjadikannya sosok paling lovable dalam film ini. More footage of John Lennon and George Harrison will do this movie good, though

Lagu-lagunya menggabungkan widely-known hits macam "Ticket to Ride" dengan beberapa nomor yang mungkin terdengar asing bagi non-fans. Tapi kita tengah membicarakan karya The Beatles yang dapat seketika "meracuni" pikiran. Penonton yang merasa asing dapat tergerak mencari lagu-lagu itu setelah film usai, sedangkan longtime fans bakal puas ber-sing-along. Unsur di atas sesuai dengan tujuan utama film, yaitu menyeimbangkan antara nostalgia penggemar lama dengan menghibur penonton awam, mengenalkan mereka akan masa keemasan dari band terbesar sekaligus (bisa jadi) terbaik sepanjang masa. 

4 komentar :

Comment Page:

THE ACCOUNTANT (2016)

4 komentar
Ben Affleck mengikuti jejak sahabatnya, Matt Damon berperan sebagai super soldier dalam "The Accountant" garapan sutradara Gavin O'Connor. Bedanya, karakter Christian Wolff  satu dari sekian banyak nama samaran miliknya  yang Affleck perankan bukan agen rahasia hasil uji coba pemerintah, melainkan akuntan pengidap autis. Kondisi tersebut membuat Chris sulit menjalin komunikasi sosial, juga terganggu oleh berbagai hal semisal suara keras dan cahaya terang. Ddi sisi lain Chris adalah sosok jenius, yang menurut seorang psikolog lebih mirip Einstein atau Mozart ketimbang orang pada umumnya. Saat dewasa, Chris berprofesi sebagai akuntan dan meraup keuntungan sebagai forensic accountant bagi para kriminal besar seluruh dunia.

Chris bukan hanya unggul secara kognitif  mampu menganalisis catatan keuangan perusahaan selama 15 tahun dalam waktu semalam  juga fisik. Dia ahli menggunakan senjata sekaligus menguasai pencak silat. Gaya akting deadpan milik Affleck dimaksimalkan guna menggambarkan sifat tertutup Chris. Affleck sendiri punya charm kuat sehingga (nyaris) tiadanya perubahan ekspresi tidak berujung akting datar. Sang aktor kerap memainkan gestur maupun ekspresi mikro namun substansial seperti kedipan mata cepat akibat gugup kala berinteraksi dengan Dana Cummings (Anna Kendrick dalam pembawaan lovable menyuntikkan kehangatan di tengah film yang dingin) atau gerak meniup kedua tangan saat hendak melakukan suatu pekerjaan. 
Gavin O'Connor menghargai sekaligus memahami betul subjek yang diangkat, tampak dari beberapa implementasi autisme bagi estetika film. Penghormatan terbesar O'Connor pada autisme diberikan saat Chris diperlihatkan bukan sebagai freak killing machine melainkan seorang yang diberkati kemampuan spesial mengarah ke manusia super. Sedangkan ranah artistik dihiasi Tone warna lembut plus score garapan Mark Isham yang konstan mengiringi tanpa pernah mencuri spotlight tak hanya menguatkan sisi elegan "The Accountant", pula selaras dengan ketidakmampuan sang protagonis menghadapi cahaya dan suara berlebih. Seamus McGarvey (sinematografer) dan John Collins (art director) pun kerap mengisi layar dengan gambar dan penyusunan properti simetris, mewakili sisi obsesif Chris.
Sayangnya keunikan artistik di atas hanya bertahan di 40 menit pertama, setelahnya O'Connor bagai enggan berusaha lebih sehingga secara sinematik, "The Accountant" nyaris tanpa perbedaan dengan slow-burning action-thriller kebanyakan meski jika bicara soal tempo, O'Connor cermat mengatur pace, sabar tidak terlalu lambat. Beruntung daya tarik masih terjaga berkat pengemasan adegan aksi yang sesekali menerjang masuk di tengah kesunyian alur. Koreografinya solid, walau belum pada tingkatan "The Raid", Affleck cukup mumpuni melakoni beberapa stunt. Pengemasannya juga brutal, di mana Chris tak ragu menembak musuhnya di wajah atau menghantam kepala mereka dengan berbagai benda. Chris melakukannya tanpa ekspresi, menguatkan kesan badass yang membuat saya bersorak mendukung sang protagonis.

The biggest flaw is the script written by Bill Dubuque. Naskahnya kurang cakap menangani setumpuk poin alur yang sesungguhnya dapat dipersempit ruang lingkupnya. "The Accountant" berkisah tentang karakter dengan autisme, intrik dunia bisnis, konflik keluarga, romansa, bahkan terdapat sentuhan espionage. Semuanya saling tumpang tindih dan seluruhnya berakhir setengah matang, termasuk eksposisi mengenai Raymond King (J.K. Simmons) dan Medina (Cynthia Addai-Robinson) yang tak memberi dampak signifikan bagi plot utama, walau di saat bersamaan turut menunjukkan niat baik Dubuque memperkaya naskah. Kesan bertumpuk makin memburuk kala mencapai finale akibat twist (predictable) yang membenturkan aspek thriller-nya dengan drama keluarga. It's a dull and anticlimax resolution for an ellegant and carefully-paced thriller


Ticket Sponsored by Bookmyshow ID

4 komentar :

Comment Page:

INFERNO (2016)

3 komentar
Mengusung konsep menarik berisi teka-teki yang mengundang rasa penasaran sebelum akhirnya mendatangkan rasa kecewa akibat jawaban mengecewakan entah karena terlalu dipaksakan atau minim kreativitas sehingga terkesan malas. Begitulah kiranya penyakit umum film bertemakan riddle solving, tak terkecuali "Inferno". Merupakan adaptasi ketiga dari novel Dan Brown setelah "The Da Vinci Code" dan "Angels & Demons" serta masih disutradarai oleh Ron Howard, "Inferno" kembali mengajak penonton mengikuti petualangan Robert Langdon (Tom Hanks) berkeliling Eropa memecahkan simbol tersembunyi dalam karya-karya seni, bersinggungan dengan konspirasi global pengancam keselamatan umat manusia.

Langdon mendapati dirinya terbangun di sebuah rumah sakit di Florence, Italia dengan sebuah luka tembak di kepala. Luka tersebut membuat Langdon kehilangan ingatannya tentang kejadian dua hari terakhir, hingga ia pun lupa siapa pelaku penembakan, detail peristiwa, serta alasannya berada di Florence. Howard membuka cerita dengan solid. Bersenjatakan rangkaian hellish surreal imagery aneh nan mengerikan guna mengemas vision yang didapat Langdon, first act milik "Inferno" seolah memperlihatkan apa jadinya bila David Lynch menjual jiwanya pada setan lalu beralih membuat modern blockbuster. Antusiasme saya melambung, bersemangat menanti kala teka-teki mulai dihadapi Langdon. 
Langdon kemudian mendapati kepemilikannya atas sebuah petunjuk menuju virus mematikan bernama Inferno yang diciptakan oleh Bertrand Zobrist (Ben Foster), seorang ilmuwan garis keras yang baru saja tewas bunuh diri beberapa hari sebelumnya. Zobrist mempunyai keyakinan bahwa berbagai permasalahan dunia saat ini disebabkan oleh populasi berlebihan manusia, dan berniat menggunakan Inferno untuk mengurangi setengah di antaranya. Petunjuk itu pula yang membuat Langdon bersama dokter yang merawatnya, Sienna Brooks (Felicity Jones), harus kabur dari kejaran berbagai pihak mulai kedubes Amerika sampai WHO. 

Awalnya kegiatan memecahkan teka-teki berlangsung menarik sampai prosesnya terus diulang, berujung repetitif. Kita selalu diperlihatkan rutinitas berupa di mana beberapa karakter berdiri, mendiskusikan makna sebuah simbol, lalu salah satu dari mereka mulai menyadari arti petunjuknya, membicarakannya panjang lebar dengan antusiasme plus tempo tinggi yang berfungsi memberi penjelasan pada penonton namun berujung susah diikuti. Jawaban yang ditawarkan pun dipaksakan, asal mengaitkan berbagai dot. Bisa diterima andai filmnya sadar akan kebodohan itu dan dipresentasikan sebagai brainless b-movie. But "Inferno" takes itself too seriously
Berdurasi 121 menit yang mana lebih pendek dibanding dua pendahulunya, "Inferno" tetap terasa melelahkan akibat pengulangan pakem di atas. Apalagi memasuki paruh kedua penceritaan, naskah David Koepp justru menanggalkan misterinya, lebih banyak didominasi situasi Langdon dan Sienna berlari dari satu lokasi menuju lokasi berikutnya. Saya takkan terkejut bila mendadak "Inferno" terungkap sebagai sekuel rahasia bagi "Forrest Gump" dengan usungan judul "Run Robert, Run". Di tengah kegiatan lari tersebut, Koepp menyelipkan beberapa twist yang lagi-lagi terkesan menggelikan dan hanya akan efektif bila film ini tidak menganggap dirinya terlalu serius. Salah satu twist yang melibatkan sosok Harry (Irrfan Khan) bahkan terlampau rumit, membuat Koepp nampak kewalahan menyuguhkan penjelasan.

Menjelang finale, film semakin membosankan, tapi alih-alih ditutup dengan menarik, "Inferno" hanya diisi klimaks malas berupa lomba mencari keberadaan virus sembari disisipi sedikit ledakan dan aksi medioker. Sinematografi Salvatore Totino (the best aspect of this moviemasih setia menyajikan gambar memikat mata, menangkap kolam berwarna merah darah tatkala pengarahan Ron Howard gagal menjauhkan klimaks film dari sederet action-thriller medioker di luar sana. Penampilan penuh kharisma Irrfan Khan menyenangkan diikuti, Tom Hanks pun masih memiliki kepedulian untuk bermain maksimal terlebih saat harus berurusan dengan rasa sakit yang Langdon alami (he looks convincing), tapi "Inferno" tetap berujung sebagai borefest.

3 komentar :

Comment Page:

WONDERFUL LIFE (2016)

16 komentar
Dalam "Wonderful Life", Aqil (Sinyo) sang protagonis merupakan bocah pengidap disleksia, tapi filmnya tidak menempatkan gangguan belajar tersebut sebagai musuh utama, melainkan ketiadaan pemahaman terhadapnya. Amalia (Atiqah Hasiholan) ibunda Aqil menolak diagnosa psikolog, meyakini puteranya dapat disembuhkan seperti penyakit pada umumnya. Sang ayah (Arthur Tobing) menganggap Amalia telah gagal sebagai seorang ibu karena Aqil tidak berprestasi gemilang di sekolah. Sedangkan gurunya (Putri Ayudya) kerap mempermasalahkan ketidakmampuan Aqil membaca dan menulis. Terdapat dua persamaan di antara mereka. Pertama, ketiganya sama-sama menganggap Aqil bermasalah.

Persamaan kedua berupa fakta bahwa mereka sosok terpelajar. Tapi kenapa para sosok berpendidikan ini kurang memahami bahkan cenderung enggan mengerti tentang disleksia? Semuanya kembali pada anggapan umum bahwa kepintaran anak diukur dari nilai yang didapat di kelas, berada di rangking berapa dia, juga sejauh mana penguasaan materi akademis. Walau bocah seperti Aqil menonjol di bidang seni dan olahraga, menjadi percuma bila nilai di pelajaran seperti matematika jeblok. Diangkat dari novel karya Amalia Prabowo, "Wonderful Life" berhasil mengangkat isu penting berupa sempitnya sudut pandang masyarakat soal pendidikan serta keengganan untuk mengerti apalagi menerima suatu hal yang berbeda. 

Amalia memutuskan membawa putera tunggalnya dalam sebuah perjalanan untuk mencari orang yang dapat menyembuhkan kondisi Aqil. Namun timbul pertanyaan, apakah pencarian itu sepenuhnya demi sang anak atau sekedar pencarian ketenangan hati Amalia atas sesuatu yang sulit ia terima. Karena tidak hanya pihak psikolog, seorang guru di suatu padepokan dan ahli herbal selalu memberi jawaban serupa; Aqil tidak sakit, hanya kurang istirahat, makan dan tertawa. Amalia tidak puas mendengar berbagai jawaban itu dan terus mencari bahkan hingga tiba di tempat praktik dukun. Ironis mendapati wanita cerdas dari kota dengan karir gemilang ini justru berpaling pada hal mistis.
"Wonderful Life" dipresentasikan dengan amat sederhana. Durasinya pun pendek, hanya 79 menit. Kesederhanaan itu justru menjadikan filmnya tepat guna, tanpa melebarkan ruang lingkup penceritaan ke arah yang tak perlu. Naskah garapan Jenny Jusuf ("Filosofi Kopi") memang tanpa konflik rumit tetapi kuat soal karakterisasi, di mana masing-masing punya peranan signifikan baik membantu pengembangan karakter lain maupun sebagai sarana Jenny menyuarakan kritiknya. Terdapat beberapa informasi bagi penonton mengenai disleksia, dan Jenny mampu mengemasnya supaya tidak berakhir sebagai selipan asal masuk namun selaras, menyatu dengan cerita. Kekurangan terletak pada penyajian unsur road movie khususnya turning point tatkala karakter mengalami kejadian yang memberinya pelajaran hidup  aspek penting sebuah road movie  yang penyajiannya terlalu "biasa". Ya, tidak semua kesederhanaan membawa dampak positif bagi film ini.

Sutradara debutan Agus Makkie terbukti cukup piawai bercerita, mampu menjaga pace perjalanan Aqil dan Amalia dengan baik serta cermat memformulasikan kadar serta timing curahan emosi, membuatnya terasa dinamis. Turut menguatkan suasana yakni scoring buatan Mc Anderson dan band asal Bandung, Bottlesmoker. Iringan musik mid hingga up-tempo sempurna mewakili kesan feel good yang diusung. Sedangkan tata artistiknya beberapa kali memvisualkan gambar-gambar Aqil, tak hanya menambah estetika, pula memantik rasa kagum saya terhadap kemampuan bocah ini, walau suatu adegan berhiaskan animasi disajikan terlampau singkat, terlanjur berakhir sebelum sempat menggiring penonton menuju imaji penuh fantasi penuh warna sang protagonis.
Atiqah Hasiholan menyuguhkan salah satu akting terkuat tahun ini berkat keseimbangan antara ekspresi mikro  beberapa tatapan skeptikal dan frustrasi terpendam  dengan intensitas emosi tinggi. Momen saat Amalia bertengkar dengan sang ayah lalu berkata "Aqil nggak sakit Pak, kita yang sakit" adalah puncak pencapaian. Layaklah Atiqah menerima nominasi aktris terbaik FFI 2016. Tapi sungguh saya terkejut sekaligus terpukau menyaksikan penampilan Sinyo. Aktor cilik ini menuturkan baris demi baris kalimat, bertingkah penuh semangat, sampai berteriak meluapkan amarah dengan begitu alami. Sinyo membuat kita semua mudah bersimpati pada Aqil, pencapaian luar biasa bagi bocah yang baru melakukan debut aktingnya.

Bagi Visinema Pictures, film ini memperpanjang winning streak studio ini (total 5 film telah diproduksi), membuktikan walau tanpa keberadaan Angga Dwimas Sasongko di kursi penyutradaraan pun, karya berkualitas tetap sanggup mereka ciptakan. "Wonderful Life" bukan saja solid, tapi ikut membawa pesan teramat penting. Filmnya tidak berusaha memusuhi disleksia, namun mengajak kita memahami bahwa perbedaan yang disebabkan bukan serta merta membuat si penderita lebih buruk dari orang "normal", bahwa prestasi akademis di sekolah bukan satu-satunya hal penting. This is one of the most important movie of the year for all of us (especially parents and teachers) to see

16 komentar :

Comment Page: