THE POST (2017)

13 komentar

Jika Alfred Hitchcock adalah master of suspense, maka gelar master of emotion layak disematkan kepada Steven Spielberg. Tidak peduli betapa rumit konspirasi dan investigasi dalam The Post, sang sutradara bakal menyoroti kehidupan personal tokoh-tokohnya guna menitikberatkan gejolak batin mereka. Karakter Spielberg adalah manusia dengan perasaan yang tengah berusaha mengatasi kekurangan miliknya demi kebaikan. Alhasil, walau name-dropping maupun gempuran beruntun fakta-fakta kompleks memusingkan anda, filmnya tak pernah terasa kosong. Karena The Post tidak pernah sepenuhnya soal konspirasi pemerintah.

Kita sesekali terpapar beberapa hasil riset rahasia mengenai keterlibatan Amerika Serikat di Perang Vietnam, yang telah disembunyikan dari publik sejak era Harry S. Truman sampai Richard Nixon. Namun, ini bukan Spotlight apalagi All the President’s Men. Investigasi jurnalistik memegang peran besar, tapi pergolakan personal karakter lebih diutamakan. Pergolakan yang memicu berbagai debat ideologi. Ben Bradlee (Tom Hanks), pimpinan redaksi The Washington Post, merasa wajib mempublikasikan riset di atas setelah The New York Times—media pertama yang mengungkap konspirasi itu—diperintahkan pengadilan untuk berhenti memuat berita tersebut karena dianggap membahayakan keberlangsungan pemerintah.
Larangan ini tentunya melanggar amandemen pertama soal kebebasan pers. Ketika Ben berhasrat, Katharine Graham (Meryl Streep) si pemilik surat kabar justru meragu, sebab The Washington Post sedang berada dalam proses penjualan saham guna mengatasi permasalahan finansial. Sedikit saja timbul masalah, para investor bisa kabur. Belum lagi pria-pria di jajaran direksi kerap mengatur Katharine yang memang kurang tegas dan minim pengalaman. Pun sahabatnya, Robert McNamara (Bruce Greenwood) termasuk salah satu pihak yang paling dirugikan atas terbongkarnya konspirasi. Seberapa besar seseorang bersedia berkorban demi kebenaran?

Dalam pertukaran ideologinya, Spielberg terkadang membiarkan para aktor memainkan intensitas adegan. Sebab, menyatukan Hanks dan Streep di layar sudah lebih dari cukup. Seperti tampak di momen pertama Katharine dan Ben bersama, saat Spielberg tak menggerakkan kamera dalam satu take panjang. Dinamika suasana tumbuh secara alamiah seiring keduanya saling melempar opini dan lelucon. Hanks, sebagaimana biasa, memancarkan pesona magnetis, tapi Streep lebih memukau. Penuh rasa ragu, bicara yang terbata dengan suara seolah mengawang tak tentu. Begitu ia mampu mengatasi kekurangannya, Streep bukan menunjukkan “perubahan mendadak”, melainkan transformasi alamiah yang tak berkontradiksi dengan karakterisasi.
Perlahan mendekatkan kamera menuju objek (track-in) untuk menguatkan intensitas adalah strategi mendasar pengadeganan. Berulang kali Spielberg menerapkannya untuk menangkap emosi di mata pemain, dan tidak banyak sutradara dengan kepekaan timing sekuat dirinya. Di tangan Spielberg, adegan Tom Hanks menjajarkan koran di meja saja bisa begitu emosional. “It’s not a party, it’s a war”. Demikian ucap seorang tokoh. Spielberg memang menjadikan thriller politik bernuansa jurnalistik ini bak tontonan epic. Musik John Williams sesekali menyeruak di sela-sela kantor surat kabar yang riuh rendah akan bunyi mesin ketik, sedangkan penyuntingan gambar taktis Michael Kahn dan Sarah Broshar acap kali berjasa menyusun ketegangan.

The Post memakai formula bercerita yang familiar, seperti halnya penindasan Nixon terhadap pers menjadi pemandangan familiar bagi publik Amerika di tengah kekuasaan Trump kini. Sepanjang film terdengar rekaman pembicaraan telepon Nixon yang bermuara pada salah satu skandal paling menghebohkan, apalagi kalau bukan Watergate. Skenario buatan Liz Hannah dan Josh Singer menjadikan Watergate sebagai penutup The Post tak lain selaku pengingat, betapa pemerintah mungkin selalu menyembunyikan rahasia lain, yang bisa jadi lebih besar dari sebelumnya.

13 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Meryl streep bagus banget ya bang disini? Belum nonton sih bagusan mana bang sama Jessica chastain di mollys game gue sih lebih milih jessica di nominaso oscar tp gatausih kalo meryl lebih layak hehe.

Rasyidharry mengatakan...

Bagus banget. Lebih pilih Streep. Tuntutan emosinya lebih kompleks. Belum kalau ngomongin detail kayak gestur dan sebagainya

Budi mengatakan...

Gara-gara nonton Bridge of Spies..... ane jd kurang gitu tertarik ma filmnya Steven Spielberg...... and The Post ....... it's so Bridge of Spies.... hehehe.... atau mungkin gara-gara ane gk punya perasaan kali...... LOL

Rasyidharry mengatakan...

Unsur political thriller aja yang mirip. Lagian Spielberg kan bukan cuma Bridge of Spies

Luqman mengatakan...

Di salah satu artikel yang pernah saya baca, film ini adalah film terlemah yang akan bersaing di kategori Best Picture nanti. Gimana menurut kang Rasyid?

Winterfell mengatakan...

dan gelar untuk master of review film dari indonesia ini layak disematkan kepada mas rasyid hehe
btw skrng udah gak review tv series lg ya mas ?

Rasyidharry mengatakan...

Wow thanks a lot!

Udah nggak sempet, review film yang nggak tayang di bioskop aja nggak bisa hehe

Unknown mengatakan...

bang. kalau suka sama spotlight apa udah pasti seneng sama The Post?

Rasyidharry mengatakan...

Nggak pasti, tapi kemungkinan besar. Walaupun pendekatannya beda

Unknown mengatakan...

buat penonton awam lebih mudah mencerna the post atau spotlight bang ?

Rasyidharry mengatakan...

@Kevin sama aja sih. Bedanya, Spotlight fokus ke intensitas case revealing, kalau The Post ke emosi & sisi personal karakter. Tapi ciri jurnalisme investigasi yang banyak name/fact dropping tetep ada

ihsan nr mengatakan...

Sebenernya ini film keren banget disanjikan dengan camerawork yg megah dan betapa hebatnya para aktor portraying karakter mereka, tiap karakternya juga diperdalam dengan penyajian keseharian dan cara mereka menentukan pilihan. Tapi menurut saya sih sayang sekali untuk penonton awam bakalan nerka2 banget karna tema press yg diangkat. Bahasa dan situasi yg gak familiar bikin penonton jadi kebingungan haha.

Rasyidharry mengatakan...

@Rayhan Ya bukan hal yang disayangkan dong itu. Jurnalistik kan emang rumit, penonton yang mesti berusaha keep up :)