DEATH WISH (2018)

Tidak ada komentar

Death Wish (1974) yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Brian Garfield, memang layak dibuat ulang. Menonton aksi Paul Kersey (Charles Bronson) menghabisi para kriminal bersenjatakan pistol pemberian seorang rekan, yang menganggap kepemilikan senjata api oleh warga sipil bersinonim dengan penurunan angka kriminalitas, kini tentu terasa mengganggu. Alasannya jelas: gun control issue. Melalui remake-nya, sejatinya Eli Roth tidak memberi kontra-argumen. Keputusan merilis filmnya 16 hari pasca insiden penembakan di SMA Stoneman Douglas pun bakal membuat Death Wish sulit diterima publik Amerika.

Jika diperhatikan, naskah hasil tulisan Joe Carnahan banyak melucuti subteks sosial politik film aslinya. Pembahasan soal perlu atau tidaknya vigilantisme di tengah kurang becusnya polisi masih tertuang, namun perannya sebatas pembuka jalan bagi Bruce Willis menghujamkan peluru ke tubuh penjahat buruannya. Fokusnya condong pada kekeluargaan. Keluarga itu milik Dr. Paul Kersey (Bruce Willis), seorang ahli bedah. Kersey tinggal bersama sang istri, Lucy (Elisabeth Shue) dan puterinya, Jordan (Camila Morrone) yang tengah menyiapkan diri untuk berkuliah di New York. Sesekali, adik Paul, Frank (Vincent D’Onofrio) ikut berkumpul.
Hidup mereka bahagia, dan Roth sanggup menggambarkan kebahagiaan itu secara nyata, sebagai modal penting menjelang tragedi yang hendak menerjang. Kala Paul mesti bertugas di rumah sakit, tiga perampok membobol rumahnya. Perlawanan Lucy dan Jordan justru berujung fatal. Salah satu perampok melepaskan tembakan. Jordan terbaring koma, sedangkan Lucy meninggal dunia. Keputusan mengubah karakter Kersey dari arsitek menjadi dokter pun tepat, sebab duka sekaligus penyesalannya niscaya berlipat ganda. Menolong nyawa manusia merupakan kegiatannya sehari-hari, dan ia tak kuasa menolong orang-orang tercinta. Bruce Willis mengingatkan saya betapa dirinya adalah aktor mumpuni berkat keberhasilan memancarkan kerapuhan pria paruh baya.

Death Wish enggan berlama-lama menunggu guna mengubah Kersey jadi malaikat maut. Pergulatan psikis, depresi, hingga konseling sejenak mengisi, tapi sebatas obligasi, supaya ada transisi antara satu fase kehidupan protagonis dengan fase berikutnya. Kita paham betul, satu-satunya tujuan Roth yakni memberi Bruce Willis panggung tempat dia bebas menarik pelatuk pistol, membantai penjahat-penjahat jalanan. Tiada subplot tentang polisi maupun jaksa yang diam-diam mengamini kehadiran vigilante layaknya film orisinalnya, hanya ada selingan diskusi ringan dalam sebuah talk show mengenai pro-kontra aksi main hakim sendiri, yang tak pernah ditujukan untuk memprovokasi pemikiran penonton.
Roth cuma ingin mencengkeram penonton lewat intensitas. Death Wish paling memukau sewaktu Roth bermain-main di area yang familiar baginya: thriller dan kekerasan. Sang sutradara piawai membangun ketegangan memakai kesunyian penyulut antisipasi “harap-harap cemas” penonton. Dia pun tak menahan diri pamer kebrutalan, entah berupa cipratan darah, kepala pecah, sampai luka-luka lain yang membuat penonton umum meringis sambil memalingkan wajah atau menutup mata, sementara pemuja gore bakal tersenyum puas. Semakin menyenangkan saat bumbu komedi hitam sesekali ditaburkan. Sesuai hakikat, klimaksnya merupakan kulminasi, ketika Roth dengan mulus mencampur sadisme dengan dinamika keluarga seputar usaha ayah melindungi puteri tercinta. Roth memastikan penonton mau diajak mendukung Kersey.

Eli Roth tidak mau dan rasanya tidak mampu pula menyajikan thriller balas dendam kaya pesan socio-politica cerdas. Alhasil, dikesampingkan segala tetek bengek tersebut, kemudian berdasarkan pondasi dari naskah milik Carnahan, diubahnya beberapa aspek cerita dari versi 1974 supaya bermuara pada satu hasil, yaitu penekanan terhadap unsur kekeluargaan. Death Wish tidak sekompleks film aslinya, tetapi lebih menyenangkan. Sebagai salah satu orang yang menganggap Hostel overrated, jika muncul pertanyaan, “apa film terbaik Eli Roth”,  saya akan senang hati menyodorkan film ini.

Tidak ada komentar :

Comment Page: