REVIEW - RONGGENG KEMATIAN

Hadi (Chicco Kurniawan) adalah anak lurah, sedangkan pacarnya, Larasati (Claresta Taufan Kusumarina), baru saja lulus SMA. Larasati ingin bekerja sebagai abdi negara, tapi sang ibu (Patty Angelica Sandya) berharap ia bisa menjadi penari ronggeng baru di desa mereka, Mangunsari. Selama 20 menit pertama kita dibawa mengikuti hidup keduanya, sebelum filmnya tiba-tiba mengubah arah. 

Ronggeng Kematian yang diadaptasi dari novel Ronggeng Pembalasan Sulastri karya Arumi E. dan Sukhdev Singh merupakan film yang penuh "kesadaran". Para pembuatnya, terutama Verdi Solaiman yang melakoni debut penyutradaraan solo serta Alim Sudio selaku penulis naskah, memahami kekurangan apa saja yang kerap menjangkiti horor lokal, lalu secara sadar menjauhkan film ini dari lubang-lubang tersebut. Apakah berhasil? Kurang lebih. 

Apa yang kita saksikan di 20 menit pertama biasanya sebatas hadir dalam bentuk flashback di paruh akhir, sebagai cara instan untuk menjabarkan latar belakang teror yang karakternya alami (asal muasal si hantu, motivasinya menebar ketakutan, dll.). Ronggeng Kematian enggan menempuh jalur serupa. Film ini ingin karakter-karakter seperti Larasati dan Hadi lebih tergali, alih-alih sebatas alat tanpa nyawa yang bertugas memfasilitasi balas dendam si hantu. 

Barulah setelah itu konflik utamanya terungkap. Di adegan pembuka kita melihat bagaimana Sulastri (Cindy Nirmala), ronggeng kebanggaan Mangunsari, mendadak hilang selepas menari di depan beberapa orang. Nantinya terungkap bahwa orang-orang itu adalah: Adit (Revaldo), Yudi (Dito Darmawan), Ricky (Krisjiana Baharuddin), dan Akhsan (Allan Dastan). 

Berkat kincir angin yang mereka bangun saat menjalani KKN tujuh tahun lalu, keempatnya dianggap sebagai pahlawan oleh warga desa. Kini mereka diundang lagi ke Mangunsari untuk diberi hadiah atas jasa tersebut. Kita berkenalan dengan kuartet ini pada kedatangan kedua mereka di Mangunsari, bukan yang pertama. Sebuah modifikasi kecil yang cukup memberi pembeda dibanding horor bertema "pemuda kota masuk desa" lain, meski cara alurnya bertransisi dari kisah mengenai Larasati berlangsung kurang mulus. 

Satu lagi penyakit khas horor Indonesia yang berhasil film ini hindari adalah ketergantungan pada jumpscare. Serupa dengan yang ia capai belum lama ini di Kuyang: Sekutu Iblis yang Selalu Mengintai, Alim mengorbankan penampakan berisik guna memberi ruang pada presentasi misteri serta kultur mistis. Misterinya masih bergerak sesuai pakem horor mengenai arwah yang menuntut balas, namun eksekusi yang cenderung rapi membuatnya tetap efektif menarik atensi.

Mungkin beberapa penonton, khususnya yang belum familiar dengan kultur tari ronggeng, akan kesulitan menangkap elemen budaya mistis yang dipaparkan dengan cukup subtil. Saya setuju bahwa sebuah film tidak harus selalu menyuapi penonton, namun dalam beberapa aspek (terutama terkait pengaruh kehadiran ronggeng dengan kemakmuran desa), tambahan konteks rasanya diperlukan. 

Babak pamungkasnya membanjiri layar dengan darah, meski sayangnya terdapat kematian-kematian yang tersaji canggung. Bisa dimaklumi mengingat ini adalah debut Verdi Solaiman di balik kamera. Apalagi ia tetap menawarkan "value" dan bukannya asal merekam. Tatkala banyak horor kita begitu betah bergelap-gelapan, Verdi memilih memanfaatkan tata cahaya berupa warna-warni merah, yang walaupun tak seberapa menambah kengerian, jelas merupakan sentuhan estetika menarik yang menandakan kesadaran para pembuat film ini untuk tampil lebih baik. 

REVIEW - GODZILLA X KONG: THE NEW EMPIRE

Godzilla menyerang Kong dengan gerakan suplex. Pemandangan tersebut, meski belum sekonyol (in a good way) dropkick di Godzilla vs. Megalon (1973), sudah cukup menjelaskan arah yang filmnya tuju. Penggemar seri Godzilla dari era Shōwa, atau minimal yang tidak anti terhadapnya, akan dibuat berdecak kagum oleh gelaran monster mayhem yang dibawa ke titik terbaik oleh Adam Wingard selaku sutradara. 

Kisah dibuka oleh petualangan Kong di rongga bumi. Tanpa manusia, tanpa bahasa verbal, hanya ada aksi sang penguasa yang tak tertandingi di hadapan makhluk lain. Kondisi itu membuatnya kesepian. Kong pun kecewa saat raungan yang ia dengar bukan berasal dari monster raksasa yang bakal jadi ancaman baru. Cara mengawali penceritaan yang cukup cerdik untuk sebuah film yang niscaya akan dilabeli "bodoh" oleh banyak penonton. 

Bagaimana dengan Godzilla? Dia masih aktif "melindungi" manusia dari serangan titan. Ilmuwan Monarch masih terus memonitor pergerakan keduanya. Begitu pun Dr. Ilene Andrews (Rebecca Hall), meski di saat bersamaan ia tengah direpotkan oleh sulitnya si puteri angkat, Jia (Kaylee Hottle), beradaptasi dengan dunia permukaan. 

Rasanya cuma segelintir penonton The New Empire yang datang ke bioskop demi menyaksikan drama manusia, yang di suguhan macam ini cenderung tersaji hampa. Tidak keliru. Naskah buatan Terry Rossio, Simon Barrett, dan Jeremy Slater lebih tertarik mengajak kita menyibak misteri baru dalam rongga bumi. Misteri yang nantinya kembali mempertemukan Godzilla dan Kong di medan peperangan antar raksasa. 

Menyebut poin di atas sebagai kekurangan rasanya kurang tepat, sebab itu adalah pilihan yang diambil secara sengaja oleh trio penulisnya. Daripada memaksakan drama hambar, mereka menggunakan cara yang lebih menyenangkan untuk menambah daya tarik karakter manusia. 

Diciptakanlah comic relief combo melalui pertemuan Trapper (Dan Stevens) si dokter hewan khusus titan yang berpenampilan bak Ace Ventura, dan Bernie (Brian Tyree Henry) yang kini menjalankan podcast seputar konspirasi dunia monster. Penampilan kedua aktornya mampu menghapus stigma bahwa kebosanan selalu mengiringi tiap manusia mendominasi layar di film kaiju Hollywood.

Biar demikian Wingard tetap menaruh cinta lebih besar pada para monster. Tidak perlu membahas adegan aksinya untuk menyadari kecintaan tersebut. Tengok bagaimana para monyet raksasa punya kemampuan berekspresi yang mendekati manusia. Mereka memiliki emosi, bahkan kepribadian. Kong sendiri bak perwujudan machismo jagoan aksi Hollywood dengan segala kepercayaan diri mereka. 

Sedangkan terkait eksekusi aksi, sang sutradara semakin piawai mengkreasi deretan shot epik yang membuat mereka nampak bak dewa agung daripada makhluk aneh menyeramkan biasa. Sewaktu akhirnya mereka saling berjibaku, hanya kata "dahsyat" yang sempurna mendeskripsikannya.

Kuncinya adalah kebebasan. Ketakutan jika filmnya terlihat konyol, tidak serius, dan serba berlebihan sepenuhnya ditinggalkan. Godzilla x Kong: The New Empire bagai dibuat untuk melakukan hal-hal gila yang belum sempat dicapai di zaman Shōwa akibat keterbatasan teknologi. Wingard ibarat anak kecil penggemar Godzilla yang bermain-main dengan gembira, lalu berhasil merealisasikan imajinasi liarnya. 

REVIEW - GHOSTBUSTERS: FROZEN EMPIRE

Terdapat adegan di mana Gary (Paul Rudd) berdiri di balik pintu kamar Phoebe (Mckenna Grace), berusaha bicara layaknya seorang ayah, tanpa sadar bahwa si puteri tiri tidak berada dalam kamar. Momen tersebut membingungkan, karena tak pernah jelas apakah Gil Kenan selaku sutradara bermaksud membungkusnya sebagai komedi. Apakah itu adegan serius atau lucu? Keseluruhan filmnya pun terasa demikian. 

Selepas meneruskan jejak ayahnya (Ivan Reitman) dengan cukup baik kala mengarahkan Ghostbusters: Afterlife (2021), di sini Jason Reitman sebatas menulis naskah bersama Gil Kenan. Kolaborasi keduanya kentara menyimpan ambisi. Ambisi untuk menghadirkan kisah lebih besar sekaligus memberi warna baru bagi franchise yang telah berusia 40 tahun.

Tapi apa jadinya saat ambisi tidak dibarengi kemampuan memadai? Di konteks Frozen Empire, hasilnya adalah tontonan melelahkan yang mayoritas durasinya seolah diisi oleh first act. Terlalu banyak yang coba kedua penulisnya tampilkan. 

Alur film ini terdiri dari: upaya Gary menjadi ayah bagi Phoebe; persahabatan Phoebe dengan hantu bernama Melody (Emily Alyn Lind); kontainer hantu milik Ghostbusters yang sudah kepenuhan; ancaman datangnya zaman es kedua dari sesosok entitas jahat; hingga yang paling konyol dan tak seharusnya disertakan, yaitu proses latihan Nadeem (Kumail Nanjiani), yang mendadak bertransformasi dari comic relief menjadi figur substansial bagi mitologi ceritanya. 

Ketimbang aksi berburu hantu seru, Frozen Empire (yang bahkan baru mendatangkan zaman es memasuki paruh akhir) didominasi eksposisi berkepanjangan yang membosankan dan bergulir terlampau serius. Lenyap sudah humor beserta karakter menggelitik khas Ghostbusters. Bukan berarti presentasinya banting setir ke ranah yang lebih kelam, sebab sesekali ia tetap berusaha memancing tawa penonton, menciptakan ketidakpastian soal ke mana filmnya ingin melangkah. Serba tanggung. 

Babak puncaknya mengalami peningkatan tatkala tim Ghostbusters orisinal (melihat Dan Aykroyd, Bill Murray, dan Ernie Hudson berkumpul selalu memberi hiburan tersendiri) kembali bersatu, sementara zaman es yang dijanjikan judulnya akhirnya tiba, dibungkus oleh CGI berkualitas mumpuni yang jadi poin terbaik filmnya, biarpun dibanding judul-judul sebelumnya, aksinya cenderung kehilangan tenaga. 

Ghostbusters pertama (1984) membuat aktivitas berburu hantu terlihat menghibur. Judul-judul selanjutnya, meski gagal mencapai kualitas serupa, setidaknya masih dibuat menggunakan semangat yang sama. Tapi di Frozen Empire, untuk pertama kalinya dalam empat dekade Ghostbusters tidak terasa menyenangkan. 

REVIEW - INSHALLAH A BOY

Di Inshallah a Boy kita melihat bagaimana perempuan kehilangan segala miliknya setelah ditinggal mati sang suami, dan melahirkan anak laki-laki adalah satu-satunya cara untuk "membatalkan" kehilangan tersebut. Bisa diartikan, perempuan takkan memiliki apa pun tanpa laki-laki. Tentu itu bukan dunia yang ideal untuk ditinggali, dan perwakilan Yordania di Academy Awards 2024 ini mengkritik konstruksi sosial gender tersebut.

Pasca meninggalnya sang suami secara mendadak, Nawal (Mouna Hawa) harus seorang diri menghidupi puterinya, Nora (Seleena Rababah), dengan bekerja sebagai perawat di rumah keluarga kaya. Belum usai Nawal berduka, datang masalah baru. Kakak iparnya, Rifqi (Haitham Alomari), menagih utang beserta warisan berupa rumah yang ditinggali Nawal dan Nora. 

Semasa hidupnya, sang suami tidak benar-benar membahagiakan Nawal. Setelah tiada pun ia meninggalkan setumpuk masalah. Ahmad (Mohammed Al Jizawi), kakak Nawal, cenderung bersikap pasif daripada melindungi adiknya dari tuntutan Rifqi. Ditambah catcalling oleh para pemuda yang kerap ia terima di sepanjang jalan pulang, seolah seluruh laki-laki bersatu menyudutkan Nawal. 

Sampai tercetus solusi tak terduga. Nawal bisa menghalangi Rifqi memperoleh hak waris andaikan ia memiliki anak laki-laki. Dia pun mulai menimbang-nimbang untuk berpura-pura hamil. Tapi berbohong, yang di konteks ini tak hanya melanggar aturan agama tapi juga hukum negara, bukan perkara gampang bagi sosok alim seperti Nawal. 

Delphine Agut dan Rula Nasser, yang menulis naskahnya berdasarkan cerita buatan sang sutradara, Amjad Al Rasheed, mempertanyakan perihal "ketaatan". Bisakah menyalahi aturan demi kebaikan dijustifikasi? Apakah Tuhan bersedia memaklumi dosa manusia? 

Inshallah a Boy mengajak kita untuk jangan gampang menghakimi, mengingat manusia tak punya hak serta kuasa guna memberi cap "dosa" pada suatu tindakan. Apalagi Tuhan kerap bergerak secara misterius. Mengapa Nawal tak kunjung hamil walau amat menginginkan anak (lagi)? Sebaliknya, Lauren (Yumna Marwan), puteri keluarga tempat Nawal bekerja justru tengah mengandung meski menolak kehadiran buah hati. 

Terjalin dinamika menarik antara Nawal dengan Lauren. Jika Nawal adalah penganut Islam yang taat dengan pola pikir konservatif miliknya termasuk bersikap pro-life, maka Lauren merupakan pemeluk Kristen yang progresif dan mengutamakan kebebasan sebagai seorang pro-choice. Tapi harmoni malah tercipta dalam hubungan mereka. Di film ini, hanya Nawal dan Lauren yang setia melempar dukungan tanpa mengharap pamrih. 

Di tengah sistem sosial (khususnya keharusan untuk menikah) yang cenderung menyudutkan bahkan menghapus kemerdekaan perempuan, Nawal dan Lauren memang harus saling mengulurkan tangan. Tidak ada yang baru dalam pola tutur Inshallah a Boy, namun bukan berarti sebagai kisah empowerment ia tidak menggigit. 

Satu lagi masalah yang mengganggu Nawal adalah kemunculan tikus di dapurnya. Secara kebetulan tikus itu selalu menampakkan diri setiap Rifqi datang berkunjung. Apakah dua makhluk hidup ini serupa? Tentu tidak. Meski merasa takut, Nawal sejatinya tak pernah dirugikan oleh keberadaan si tikus. Tidak satu pun barangnya dicuri, dan akhirnya tikus itu mati dengan sendirinya. Rifqi sebaliknya. Bukankah artinya manusia bisa lebih buruk ketimbang tikus? 

REVIEW - SHAYDA

Setelah bertutur kurang lebih selama 110 menit, Shayda yang jadi wakil Australia di Academy Awards 2024 mengakhiri penceritaannya. Sebelum kredit bergulir, rekaman home video milik sang sutradara, Noora Niasari, muncul dan memperlihatkan interaksi ibu-anak yang mirip dengan dinamika dua karakter utama filmnya. Seketika saya sadar, Niasari melahirkan film ini berdasarkan kehidupan masa kecilnya.

Di situ filmnya berevolusi menjadi surat cinta yang lebih personal. Apa yang penonton saksikan bukan sekadar buah imajinasi sang sineas, melainkan curahan perasaan, baik luka maupun kekaguman, yang telah lama menunggu waktu untuk dituangkan. 

Mona (Selina Zahednia) adalah perwakilan Niasari di film ini. Seorang bocah yang terjebak di tengah prahara rumah tangga orang tuanya. Ibu Mona, Shayda (Zar Amir Ebrahimi), berharap bisa segera bercerai akibat kekerasan yang dilakukan sang suami, Hossein (Osamah Sami). Keduanya tinggal di rumah milik Joyce (Leah Purcell), yang memang dikhususkan bagi para perempuan pencari suaka. 

Shayda menampilkan perjuangan seorang ibu melindungi puterinya, seorang perempuan mengejar kemerdekaan dari kekangan sistem patriarki serta prasangka masyarakat, dan tidak kalah penting, sakit hati warga negara yang dibuang oleh tanah airnya. 

Shayda adalah imigran asal Iran yang tinggal di Australia untuk berkuliah. Kabar mengenai tuntutan cerainya telah tersebar luas, tidak hanya di kalangan imigran, tapi juga di Iran. Banyak orang mencela keputusan Shayda. Ibunya pun meminta Shayda bertahan dengan alasan, "Minimal Hossein adalah ayah yang baik". Jika gagal bercerai, Shayda mesti ikut kembali ke Iran bersama Hossein, di mana hukuman telah menantinya. 

Ketika negara gagal memberi tempat bernaung, siapa yang dapat melindungi para perempuan? Sesama perempuan tentu saja. Shayda beruntung mengenal Joyce beserta penghuni rumah penampungan, juga sahabat bernama Elly (Rina Mousavi) yang berdiri di sampingnya. Shayda bukan cuma surat cinta Niasari kepada ibunya, juga untuk seluruh perempuan. 

Terlihat betul filmnya dibuat dengan penuh sensitivitas. Tatkala alurnya tak menawarkan hal baru terkait isu empowerment, cara sang sutradara membungkus kisah formulaik itulah yang terasa spesial. Dibantahnya anggapan bahwa supaya penonton terikat secara emosional, kekerasan dan pemerkosaan terhadap perempuan perlu digambarkan secara gamblang. Niasari menggunakan narasi verbal yang diucapkan oleh protagonisnya, dan mendapatkan hasil maksimal berkat kepekaan pengadeganan serta kekuatan akting. 

Zar Amir Ebrahimi, yang sebagaimana Shayda juga terasing dari tanah air akibat penghakiman moral, begitu lihai mengolah perasaan. Walau begitu, pelakon paling mencuri perhatian di sini adalah si aktris cilik, Selina Zahednia, yang sama sekali tidak kagok mengutarakan luka di hati karakternya. 

Akting keduanya termaksimalkan oleh pemakaian rasio 1.33:1 yang turut berfungsi menyimbolkan sesaknya hidup Shayda. Saya termasuk penyuka film-film dengan "rasio kotak" tersebut. Dimensi yang sempit mengurangi potensi adanya ruang yang terbuang sia-sia di layar. Alhasil framing-nya memiliki fokus yang lebih jelas. 

Nantinya Shayda bakal memperlihatkan bagaimana jajaran karakter perempuannya berusaha menikmati hidup. Mereka datang ke klub malam, pula menghadiri pesta dan perayaan adat. Shayda dan kawan-kawan sadar bahwa pergi ke luar berpotensi mendatangkan risiko (letak rumah penampungan dirahasiakan rapat-rapat). 

Apakah itu berarti para perempuan ini gagal mengontrol dorongan bersenang-senang? Apakah mereka lalai? Jika pemikiran-pemikiran itu sempat terlintas di benak kalian, jangan lupa bahwa idealnya, para perempuan ini tidak perlu was-was menikmati hidup. Jangan lupa bahwa semua berawal dari penderitaan yang disebabkan oleh laki-laki dalam hidup mereka. Orang-orang itulah yang seharusnya disalahkan. 

REVIEW - TANDUK SETAN

Ulama masih berlainan pendapat terkait pemaknaan soal dua tanduk setan yang mengiringi terbit dan tenggelamnya matahari sebagaimana disebut dalam hadis. Film Tanduk Setan punya interpretasinya sendiri, dengan menyamakan matahari dengan kehidupan manusia, sedangkan siklus terbit dan tenggelam ibarat kelahiran dan kematian. 

Tanduk Setan adalah antologi berisi dua cerita. Entah kenapa materi promosinya seolah malu-malu untuk membeberkan informasi itu. Cerita pertama yang bertajuk Kelahiran dibesut oleh Amriy R. Suwardi, sedangkan cerita kedua, Kematian, lahir dari kepala Bobby Prasetyo. Keduanya menyoroti dosa-dosa yang menyulitkan terjadinya dua siklus tersebut. 

Di Kelahiran ada Jaya (Boy Muhammad) yang tengah menanti proses persalinan istrinya, Sumirah (Nur Mayati). Tapi kelahiran si jabang bayi tidak terjadi dengan mudah. Hari telah berganti hari, dan Sumirah tak kunjung melahirkan. Di saat bersamaan, Jaya nampak sulit diandalkan dan serba kebingungan dalam segala situasi. 

Sewaktu dua kawannya datang menjenguk, mereka membahas bagaimana Jaya enggan mendaftar bekerja di pabrik, semata karena ia pesimis bakal diterima. Akibatnya, kini Jaya cuma kerja serabutan, sehingga bingung mesti bagaimana membiayai akikah calon anaknya. Hari itu, Jaya dengan santai bermain gim dengan teman-temannya sampai subuh, bak tanda sedikit pun kekhawatiran atas kondisi Sumirah. Jelas bahwa Jaya belum siap memiliki momongan. 

Amriy R. Suwardi tak menggerakkan filmnya sesuai pakem konvensional, setidaknya di paruh awal yang mengesampingkan formula parade penampakan setan khas horor arus utama. Temponya merayap perlahan membungkus obrolan kasual yang bertujuan membangun penokohan sang protagonis, sambil sesekali mengingatkan bahwa kita sedang menonton film horor lewat beberapa fenomena misterius yang mengiringi persalinan Sumirah. 

Kemudian di Kematian kita melihat bagaimana Nur (Taskya Namya) bingung menangani sang ibu yang kesulitan menyambut ajal akibat susuk yang ia tanam semasa muda guna mencari nafkah. Di sini pun terdapat sosok ayah (Rukman Rosadi) yang tak bisa diandalkan, dan sekadar duduk mengamati dari sudut ruangan sembari mengisap rokok. Apakah Tanduk Setan memang ingin menyentil dinamika gender? Entahlah. Naskahnya tak pernah melakukan eksplorasi secara signifikan.

Ketika kisah pertama punya durasi sekitar 55 menit, maka kisah kedua cuma bergulir selama 20 menit. Entah apa alasan di balik perbandingan jomplang tersebut, tapi dampaknya, Kematian terasa jauh lebih padat. Diiringi musik gubahan Fajar Ahadi yang dibuat untuk membangun urgensi alih-alih asal berisik, pacing-nya tersaji solid. Lalu seiring kemunculan twist yang cukup efektif, filmnya berakhir sebelum ia berlangsung terlampau lama. 

Keunggulan itu tak dipunyai Kelahiran yang babak ketiganya penuh adegan berlarut-larut yang berjalan jauh lebih lama dari kebutuhan. Alhasil intensitas yang dimiliki babak pertama pun luntur. Amriy sempat membawa ide menarik kala membuat para hantu menampakkan diri dalam wujud yang terdistorsi di tengah hutan. Mungkin sang sutradara ingin meniru kondisi mata manusia ketika melihat hantu di dunia nyata, yang mana merupakan gagasan unik, namun sekali lagi, tempo yang draggy, ditambah terlalu gelapnya pengadeganan, membuat ide itu kehilangan kengeriannya. 

Tanduk Setan memang menampilkan kualitas terbaiknya sewaktu tidak sedang berkutat di penampakan hantu. Sebab pada dasarnya ia didesain sebagai cerita mistis alih-alih horor konvensional. Kumpulan cerita di mana umat manusia menuai dosa yang dahulu mereka tanam. 

REVIEW - AMERICAN FICTION

American Fiction adalah fiksi tentang cara menceritakan realita, dan bagaimana realita dibawa ke medium fiksi. Sebuah proses menuangkan hal nyata ke dalam karya tak nyata, yang masing-masing dibedakan oleh pengalaman tiap pembuatnya serta tujuan di balik pembuatan karya tersebut. Adanya perbedaan-perbedaan itu membuat penghakiman atas karya semestinya tidak terjadi dengan mudah dan asal. 

Thelonious "Monk" Ellison (Jeffrey Wright) adalah pria kulit hitam kelas menengah ke atas. Selain menjadi profesor di Los Angeles, ia pun menulis beberapa novel, yang meski gagal di pasaran namun mendapat pujian akademik. Monk pernah berujar bahwa ia "tidak percaya pada konsep ras", serta menganggap karya literatur yang hanya menjual penderitaan kulit hitam sebagai upaya memenuhi hasrat kulit putih semata. 

Di salah satu kelasnya, seorang mahasiswi kulit putih mengutarakan ketidaknyamanan membahas literatur yang mengandung "N" word di judulnya. Monk menampik penolakan si mahasiswi yang akhirnya memilih keluar dari kelas. Bahkan saat orang kulit putih berpikir memakai perspektif "woke", mereka tetap membungkam minoritas. Ironis. 

Mungkin itu pula alasan karya Monk tidak laku. Berlawanan dengan keinginan Monk, novelnya yang membahas kultur Yunani kuno dipajang di seksi black literature, di saat para pembaca mengharapkan kisah pilu minim kebahagiaan dari "buku kulit hitam". 

Masalah dengan mahasiswi tadi memaksa Monk cuti sementara waktu dan pulang ke Boston, di mana ia: mengunjungi ibunya, Agnes (Leslie Uggams), yang menunjukkan tanda-tanda alzheimer; menemui adiknya, Lisa (Tracee Ellis Ross), yang merasa ditinggal seorang diri untuk merawat sang ibu; bertemu lagi dengan si adik bungsu, Cliff (Sterling K. Brown) yang seorang gay; pula berkenalan dengan pengacara bernama Coraline (Erika Alexander) yang menarik hati Monk. 

Mengadaptasi novel Erasure karya Percival Everett, naskah buatan sang sutradara, Cord Jefferson, begitu cerdik menyusun penokohan. Berbagai informasi yang melandasi karakter mereka (Masalah seluruh anggota keluarga Monk, nasib ayah mereka, dll.) dengan jeli diungkap lewat obrolan kasual yang tak pernah terkesan seperti eksposisi. Alhasil penonton akan benar-benar mengenal karakternya secara organik ketimbang merasa "dipaksa berkenalan". 

Di departemen musik, Laura Karpman merangkai nomor-nomor jazz yang indah, punya rasa, walau tidak jarang bergerak liar. Sama seperti dinamika antar karakternya, juga bagaimana para cast-nya memerankan mereka. Tatkala Jeffrey Wright tampil bak musik jazz bertempo rendah yang meski terkesan tenang bukan berarti tanpa hentakan, Sterling K. Brown ibarat sesi improvisasi yang bergulir liar tanpa kehilangan kepekaan rasa. 

Nantinya, Monk iseng menulis novel yang memenuhi dahaga para pembaca akan kisah pilu orang kulit hitam sebagai bentuk ejekan, yang justru membawanya melewati titik balik kehidupan yang tak terduga. Di situlah American Fiction makin gencar melempar sindiran menggelitik, yang meskipun tajam, tak pernah dipenuhi kebencian. 

Di sudut berlawanan dengan sang protagonis ada Sintara Golden (Issa Rae), penulis novel We's Lives in Da Ghetto yang Monk benci karena dianggapnya cuma memenuhi stereotip kulit hitam di mata kulit putih. Jefferson menghadirkan adegan menarik saat mempertemukan dua penulis tersebut, memberi mereka ruang diskusi yang membantu kita memahami sudut pandang masing-masing. 

American Fiction adalah curahan keresahan yang pantang begitu saja menyalahkan. Monk si kelas menengah ke atas dengan segala privilege yang memfasilitasinya berpikir kritis, Sintara yang ingin mengentaskan diri dari penderitaan yang sudah kenyang ia konsumsi, tak satu pun disalahkan maupun direndahkan. Satu-satunya yang film ini gambarkan bak karikatur adalah orang kulit putih yang mengeksploitasi luka para minoritas atas nama komoditas.

(Prime Video) 

REVIEW - KUYANG: SEKUTU IBLIS YANG SELALU MENGINTAI

Masalah banyak horor Indonesia terletak pada ketidakmampuan (atau ketidakmauan?) pembuatnya untuk secara serius mengolah mitologi mistis tanah air, yang seperti kita tahu, amat beragam. Alhasil, sajian dangkal yang hanya diisi penampakan ala kadarnya dari para hantu mendominasi layar bioskop. Untunglah Kuyang: Sekutu Iblis yang Selalu Mengintai cenderung hadir sebagai solusi alih-alih bagian dari masalah. 

Alim Sudio bertugas menulis naskahnya yang mengadaptasi novel berjudul sama buatan Achmad Benbela, dan selama 97 menit durasi, ragam budaya klenik Kalimantan benar-benar ia jadikan pondasi penceritaan. 

Bimo (Dimas Aditya) bersama istrinya yang tengah hamil, Sriatun (Alyssa Abidin), baru pindah ke sebuah desa terpencil di Kalimantan. Bimo baru mendapat pekerjaan baru sebagai guru di SD yang hanya memiliki tujuh murid. 

Tapi bahkan sebelum mereka tiba di desa, berbagai fenomena aneh telah menghampiri. Selain kuyang, muncul pula gangguan dari peti mati yang bergerak sendiri yang disebut "raung". Di desa tersebut, peti mati tidak dikubur melainkan digantung di pepohonan, dan raung sendiri berasal dari peti orang yang semasa hidupnya memiliki ilmu hitam. Melempar telur adalah cara untuk mengalihkan perhatian raung. 

Begitulah cara film ini membuka alurnya. Menarik. Sekali lagi, kultur mistis (yang masih jarang diangkat ke layar lebar oleh sinema arus utama) bukan pernak-pernik numpang lewat semata. 

Kemudian, pasca lepas dari teror-teror tadi, Bimo dan Sriatun mulai berkenalan dengan para warga lokal: Kasno (Totos Rasiti) si kepala sekolah yang juga pendatang; Tingen (Andri Mashadi), guru dengan pemahaman tinggi soal klenik; hingga Tambi Nyai (Elly D. Luthan) dan Bue Alang (Egy Fedly), pasutri uzur yang dikucilkan warga karena ilmu hitam mereka ditengarai jadi penyebab banjir bandang yang menewaskan banyak nyawa beberapa tahun lalu. 

Tidak butuh waktu lama sampai Bimo dan Sriatun kembali mendapat gangguan mistis. Setelah menyaksikan sedemikian banyak peristiwa di luar nalar, tatkala Sriatun bercerita mengenai penampakan yang baru ia lihat, Bimo malah menganggap sang istri cuma kelelahan. Antara naskahnya kurang cermat, atau sebaliknya, sebuah kesengajaan selaku bentuk sentilan terhadap tendensi suami mengerdilkan perkataan istri. Jika yang kedua, maka naskahnya perlu tambahan eksplorasi untuk menjadikannya kritik yang kuat. 

Menurut Mina Uwe (Putri Ayudya), dukun setempat yang berjanji bakal memberi perlindungan, Tambi Nyai dan Bue Alang adalah biang segala teror tadi. Twist-nya sudah tercium sejak konflik mulai diperkenalkan, tapi bukan masalah, sebab naskahnya mampu menjalin penceritaan slow burn yang mengalir rapi, tidak buru-buru mengumbar penampakan, dan dipenuhi elemen kultural menarik. 

Deretan gagasan mengenai teror yang dikreasi oleh Alim Sudio terdengar menyeramkan di atas kertas, sayangnya penyutradaraan Yongki Ongestu, biarpun merupakan peningkatan dibanding Tarian Lengger Maut (2021) selaku debutnya, masih kurang maksimal mengolah kengerian. 

Beberapa set piece penampakan hantu terlihat canggung, tapi visinya dalam mengolah intensitas dalam adegan bertempo tinggi patut diapresiasi. Lihat bagaimana Yongki, yang turut menduduki posisi sinematografer, menggerakkan kamera secara dinamis guna mengikuti Bimo yang tengah berlarian mencari Sriatun. 

Satu hal yang kerap didengungkan selaku materi promosi adalah penggunaan CGI untuk menghidupkan sosok kuyang. Produk akhirnya memang memuaskan. Tidak ada efek yang nampak memalukan, termasuk saat dengan percaya diri, sang sutradara secara gamblang memperlihatkan kepala kuyang terlepas dari tubuhnya.

Di jajaran pemain, Dimas Aditya tampil total dalam menyampaikan rasa takut serta keputusasaan yang Bimo alami kepada penonton, sementara Putri Ayudya menyulap kalimat klise "Lihat apa kau?" menjadi situasi yang mencekam. 

Satu penampilan yang agak mendistraksi berasal dari Totos Rasiti, tatkala perangainya yang jenaka bahkan ketika sedang berusaha serius, tidak jarang berlawanan dengan suasana yang hendak dibangun. Apakah sampai merusak filmnya? Untungnya tidak. Kuyang: Sekutu Iblis yang Selalu Mengintai tetap sebuah kejutan menyenangkan di awal tahun, yang memberi secercah harapan bahwa 2024 bakal menandai peningkatan kualitas horor Indonesia.

REVIEW - KUNG FU PANDA 4

Kung Fu Panda 4 menandai kali pertama installment di seri Kung Fu Panda dibuat dengan biaya di bawah 100 juta dollar. Tanpa kehadiran jajaran pengisi suara Furious Five (Angelina Jolie, Jackie Chan, Seth Rogen, David Cross, Lucy Liu) ia memang bagaikan paket hemat. Tidak semua paket hemat punya kualitas inferior, tapi film garapan Mike Mitchell (Shrek Forever After, Trolls, The Lego Movie 2: The Second Part) ini memang yang terlemah dalam franchise-nya, biarpun masih memiliki daya hibur.

Senada dengan tren industri masa kini, filmnya mengusung tema "melempar tongkat estafet". Terlalu dini? Mungkin, mengingat film pertamanya baru berusia 16 tahun. Tapi masalahnya bukan di situ, melainkan bagaimana trio Jonathan Aibel, Glenn Berger, dan Darren Lemke selaku penulis naskah, tidak pernah melakukan eksplorasi memadai untuk tema tersebut.

Masalah apa yang bisa menyulitkan Po (Jack Black) di puncak kejayaannya sebagai Pendekar Naga? Jawabannya bukan lawan pemilik jurus-jurus sakti, tapi keharusan meninggalkan kejayaan tersebut, saat Master Shifu (Dustin Hoffman) mengarahkan Po mengisi posisi pemimpin spiritual. Artinya, Po mesti menanggalkan status Pendekar Naga yang amat berharga baginya, sekaligus menunjuk penerusnya. 

Di saat bersamaan, muncul ancaman baru dari penyihir bernama The Chameleon (Viola Davis) yang punya kemampuan berubah wujud. Satu-satunya yang dapat membantu Po mencari keberadaan sang penyihir adalah Zhen (Awkwafina) si pencuri licik. 

Kita tahu nantinya Zhen bakal menjadi Pendekar Naga yang baru. Kita tahu Po yang awalnya tak menyukai kelicikan Zhen akan melihat "sesuatu" dalam diri si rubah korsak. Po menuruti petuah Master Shifu untuk mengikuti kata hati, tatkala logika pikir tak membantunya menemukan jawaban. 

Wajar Po berpikir demikian, namun para penulis naskah tak semestinya memakai prinsip serupa. Mereka tidak bisa menuntut penonton begitu saja memercayai sesuatu yang sukar dipercaya, atau dalam konteks film ini, meyakini bahwa Zhen pantas meneruskan jejak Po. Alurnya tak pernah memberikan eksplorasi memadai untuk karakternya, sewaktu 94 menit durasi sebatas diisi petualangan generik yang pesonanya cepat memudar (baca: seiring waktu semakin membosankan), juga deretan humor yang hanya memproduksi senyum simpul alih-alih tawa lepas.

Penceritaannya seperti kebingungan menentukan arah akibat banyaknya distraksi. Selain dituntut mengenalkan karakter baru sepenting Zhen dalam waktu singkat, ia masih harus mengolah proses Po berdamai dengan egonya. Belum lagi subplot yang sejatinya tak perlu mengenai dua ayah Po, Mr. Ping (James Hong) dan Li Shan (Bryan Cranston), yang turut terlibat petualangan karena mengkhawatirkan keselamatan putera mereka. 

Untunglah visualnya masih tampil solid (walau tetap penurunan dibanding film-film sebelumnya) sehingga cerita medioker tak membuat perjalanan Po sepenuhnya hambar. Warna-warni langit magis yang menjauh dari keklisean gaya animasi arus utama Hollywood, hingga tekstur ala lukisan yang membungkus kilas balik kehidupan Zhen, semuanya menyenangkan untuk dipandang.

Mike Mitchell pun sanggup mengarahkan deretan aksi dengan gerak dinamis, termasuk klimaks yang jadi parade visual memikat. Kemampuan seri Kung Fu Panda menghibur penontonnya mampu film ini pertahankan, biarpun bagi franchise yang memiliki slogan se-exciting "Skadoosh!", Kung Fu Panda 4 kekurangan energi yang membuat tiga judul pertama amat dicintai. 

REVIEW - THE ZONE OF INTEREST

Layar hitam membuka The Zone of Interest, dan selama dua menit ke depan hanya itulah yang mata kita lihat, sementara musik atmosferik garapan Mica Levi terdengar menghantui. Mungkin ini semacam latihan sensoris bagi penonton, supaya terbiasa untuk membuka telinga lebar-lebar sepanjang 105 menit durasi filmnya. 

Adaptasi novel berjudul sama karya Martin Amis ini memang proses latihan, baik bagi Jonathan Glazer selaku sutradara sekaligus penulis naskah yang ingin mengasah teknik bertuturnya, maupun penonton yang disuguhi cara berbeda dalam menikmati sinema.

Alkisah hiduplah Rudolf Höss (Christian Friedel) bersama sang istri, Hedwig (Sandra Hüller), beserta kelima anak mereka. Kebun yang terawat indah menghiasi sekeliling rumah Keluarga Höss. Di pagi hari sang ayah berangkat kerja, sang ibu mengurus rumah dibantu beberapa asisten, sedangkan para bocah berlarian di alam sekitar. Sewaktu sang ayah berulang tahun, anak dan istrinya memberi kejutan berupa kano. 

"Sungguh hidup yang sempurna" adalah reaksi yang bakal hadir jika kita cuma berfokus pada indera penglihatan. Tapi The Zone of Interest adalah suguhan yang "menipu". Kisah sesungguhnya justru tidak pernah penonton saksikan langsung. Semua terjadi di belakang sebagai latar, dan kita hanya mendengarnya. 

Rudolf Höss adalah komandan di kamp konsentrasi Auschwitz. Bukan cuma itu, rumahnya terletak tepat di samping kamp. Segala tawa menunjukkan kebahagiaan Höss sekeluarga terjadi bersamaan dengan teriakan penderitaan orang-orang Yahudi yang disiksa lalu dibakar hidup-hidup. Kita mendengar teriakan-teriakan tersebut. Sesekali lesatan peluru senapan turut terdengar. Entah apa (atau siapa) yang menjadi target, tapi besar kemungkinan satu nyawa melayang saat itu. 

Tata suara garapan Tarn Willers dan Johnnie Burn diganjar nominasi Oscar, yang mana pantas mereka dapatkan. Suara-suara dari kamp konsentrasi terdengar menghantui, namun tetap dalam kapasitasnya sebagai "latar". Karena memang itulah poin utama dari suara teriakan tersebut. Sesuatu yang acap kali cuma sayup-sayup terdengar, tetapi mustahil dilewatkan oleh telinga. 

Tentu Keluarga Höss mampu mendengarnya. Mereka hanya tidak peduli. Rudolph membahas desain krematorium baru bagi para tahanan seolah itu tak lebih dari obrolan bisnis biasa, sementara Hedwig dengan santai menjajal baju milik korban yang telah tewas. 

Di satu titik, ibu Hedwig, Linna (Imogen Kogge), datang berkunjung. Berulang kali diucapkannya rasa syukur melihat kediaman sang puteri yang bagaikan taman surga. Di malam hari, Linna melihat asap keluar dari cerobong krematorium. Pemandangan itu amat mengguncang Linna yang buru-buru pergi sebelum pagi menjelang. Jika bersedia membuka mata, telinga, dan tentunya hati, mudah untuk menyadari betapa tidak manusiawinya Rudolf dan Hedwig. 

Christian Friedel dan Sandra Hüller tampil meyakinkan sebagai manusia yang kehilangan kemanusiaan. Keserakahan dan ego menguasai keduanya, sampai luput menyadari lingkungan yang tak ideal itu pelan-pelan menggerogoti psikis anak-anak mereka. Si anak sulung sempat mengurung adiknya di rumah kaca. Dia  tersenyum, menikmati rasa takut "si korban", sebagaimana ayahnya menikmati pembantaian yang ia lakukan. 

Gaya bercerita Glazer yang menjauhi pakem standar bernarasi menjadikan The Zone of Interest sebuah presentasi yang tidak gampang dinikmati. Letupan emosi khas kisah holocaust dihapuskan, pun poin utama filmnya telah tersampaikan hanya dalam beberapa menit (format film pendek rasanya bakal jauh lebih efektif). Tapi selaku seniman yang sedang bereksperimen, Glazer sukses mencapai tujuannya. 

The Zone of Interest berhasil membungkus cerita yang sejak pertama dikupas oleh Night Train to Munich (1940) entah sudah berapa ribu kali diangkat secara unik. Sewaktu formula visualnya mendadak berbalik 180 derajat dalam sekuen mengenai gadis cilik yang menyelundupkan buah ke kamp yang ditangkap memakai kamera thermal, Glazer membuktikan keliaran eksplorasinya. 

Di paruh kedua, konflik internal keluarga meruncing ketika Rudolf naik pangkat dan mesti pindah ke Oranienburg. Hedwig menolak pergi meninggalkan rumah mereka di Auschwitz, sembari secara emosional membicarakan soal cita-cita dan impian. Hedwig memikirkan perihal kehidupan tatkala di dekatnya jutaan manusia mengakrabi kematian. Biarpun mengambil latar 80 tahun lalu, The Zone of Interest ternyata lebih relevan dari kelihatannya.