TOKYO GHOUL (2017)

6 komentar
Transformasi protagonis menjadi spesies yang dianggap mematikan untuk kemudian menyadari ada perspektif lain, bahwa mereka sekedar berusaha bertahan hidup, dan manusia nyatanya tidak kalah berbahaya bukan premis baru. Tapi dengan perlakuan tepat, kisah thought-provoking dapat dihadirkan. Tokyo Ghoul selaku adaptasi manga berjudul sama buatan Sui Ishida punya konsep serupa, dan sutradara Kentaro Hagiwara pun nampak berusaha keras menggiring filmnya ke nuansa serius, kelam, cenderung kontemplatif ketimbang memberatkan bobot aksi berbalut fantasi. Di antara setumpuk adaptasi live action "hura-hura" nan absurd, ini termasuk niat baik, meski bukan sepenuhnya keputusan tepat. 

Sekilas Ghoul tampak seperti manusia biasa. Namun di balik itu, mereka merupakan predator pemangsa manusia, berwujud mengerikan dengan mata merah menyala serta organ di bagian belakang tubuh sebagai senjata, yang disebut "Kagune". Bentuk Kagune tiap ghoul berlainan, dari ekor tajam, sayap, sampai tentakel. Memiliki makhluk sedemikian aneh membuka opsi luas bagi eksplorasi, bisa dark fantasy, creature horror, atau hibrida keduanya. Toh Hagiwara memilih drama pergolakan jati diri, khususnya di paruh awal tatkala kencan impian Ken Kaneki (Masataka Kubota) berujung kecelakaan, dan ia harus menerima transplantasi organ milik ghoul. Ken adalah satu-satunya sosok setengah-ghoul/setengah-manusia. 
Tokyo Ghoul cukup melelahkan di sekitar 45 menit pertama. Pergulatan Ken, bahkan dua kali serangan ghoul Hagiwara kemas menggunakan tempo lambat menjurus menyeret. Adegan yang berlangsung terlampau panjang hingga kehilangan momentum maupun layar statis tak perlu sebelum transisi jadi penyebab. Sah-sah saja menghadirkan drama kental perenungan, tapi film ini menyimpan kekayaan potensi terkait detail kehidupan ghoul, dan alih-alih segera membawa Ken ke lingkaran tersebut, Hagiwara betah menetap di kesulitan sang protagonis menahan memangsa manusia, yang kurang menarik akibat disusun atas keklisean erangan demi erangan Ken.

Padahal begitu tokoh utama kita bersinggungan dengan Anteiku, kelompok pemilik cafe sekaligus perlindungan rahasia bagi ghoul, daya tarik mulai mencuat berkat konflik yang bertambah kompleks ditambah Ken yang semakin likeable. Apalagi Masataka Kubota bermain apik saat bertransformasi secara lembut namun meyakinkan dari sosok introvert canggung menjadi lebih tenang pula kokoh. Terlihat dari kesanggupannya lancar berinteraksi dengan Touka (Fumika Shimizu) atau menghadirkan rasa aman bagi Hinami (Hiyori Sakurada) kala ia dan sang ibu diburu oleh CCG (Commission of Counter Ghoul). Dua hal itu takkan mampu Ken lakukan sebelumnya, bukti kejelian naskah terkait detail-detail penguat penokohan. 
Naskahnya juga cukup solid dalam memancing pemikiran soal saling buru (dan bunuh) manusia dengan ghoul. Tokyo Ghoul menyiratkan skenario bagaimana bila hukum rimba diterapkan di dunia manusia, di mana saling bunuh adalah kewajaran, bahkan keharusan, agar bertahan hidup. Persoalan yang amat kompleks, dilematis, terlebih begitu kita diajak memahami sudut pandang kedua sisi, walau begitu film berakhir, sulit menepis anggapan bahwa Tokyo Ghoul sebatas prolog untuk gesekan lebih dalam pula emosional antara ghoul dan manusia, dengan Ken dan Amon (Nobuyuki Suzuki), anggota CCG yang memendam kepahitan masa lalu, sebagai perwakilan terdepan masing-masing pihak.

Sederet pertarungan bersenjatakan kagune selalu menyenangkan disimak, membangkitkan kegirangan masa kecil melihat keganjilan fantasi imajinatif pernak-pernik bernuansa monster. Namun daya tariknya lebih disebabkan desain, sementara penggarapan ala kadarnya dari Hagiwara urung mendukung kapasitas visual itu. Dalam membuat film bernuansa fantastis sang sutradara menolak bersenang-senang, ngotot menonjolkan keseriusan gelap yang semakin terasa dipaksakan kala enggan mengindahkan cue komedi naskah, membiarkan amunisi humor yang dapat menghembuskan tambahan energi berlalu datar. Rasanya canggung menemukan hal menggelitik, bersiap tertawa, hanya untuk mendapatinya numpang lewat. Pengadeganan Hagiwara tidak cukup dinamis sebagai aksi/fantasi, kurang mengerikan sebagai horor walau dihiasi gore

6 komentar :

Comment Page:
dim mukti mengatakan...

Nunggu review Hantu Jeruk Purut Reborn 😊

Dading Limpang mengatakan...

Apakah sudah pernah baca "manga" nya,
Sepertinya live actionya blum bsa memenuhi kehebatan manganya, dengan gesekan sisi psikologis dan action spektakuler ditambah gore, Tokyo Ghoul menghantarkan Sui Ishida menjadi salah satu dari jajaran mangaka seinen kelas atas padahal Tokyo Ghoul adalah manga debutnya, bahkan manga Tokyo Ghoul berhasil menguasai pasar manga di Amerika

kalo belum baca sangat direkomendasikan :)

Kasamago mengatakan...

Adaptasi manga gampang 2 susah. Manga ttp menjadi bandingmeter nya.
Dr segi penggarapan, Ghoul msh dibawah Parasyte..

Rasyidharry mengatakan...

Nggak nonton, lagi sayang nyawa :D

Rasyidharry mengatakan...

Belum baca, tapi dari filmnya kelihatan, sumbernya pasti punya dasar cerita kuat

Rasyidharry mengatakan...

(((Bandingmeter))) that's new :D